Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

FootballStoryAvatar border
TS
FootballStory
Hubungan Antara Teori Eistein, Dunia Sepakbola, Dan Filippo Inzaghi

Anda boleh terheran ketika membaca judul thread ini. Bicara soal kecepatan dan percepatan dalam sepak bola pasti ada kaitannya dengan Inzaghi, kenapa harus Inzaghi yang dijadikan contoh? Ada lebih banyak contoh yang lebih pantas sebut saja Gareth Bale atau si pemiliki 6 Ballon d’Or Lionel Messi. Toh, membandingkan kecepatan mereka berdua dengan Inzaghi rasanya tidak adil. Sangat tepat jika menggunakan contoh bagaimana Bale pernah melakukan overtaking hebat melewati Marc Bartra pada final Copa Del Rey 2014 sebelum melesatkan bola ke gawang Jose Manuel Pinto. Hal yang membuat gol tersebut selalu dibicarakan adalah ketika Bale sempat berlari ke sisi luar lapangan dan masuk lagi untuk mengejar bola – ya, benar prosesnya begitu menghibur.

Secara awam, kita cenderung menilai apa yang dilakukan Bale menunjukkan bahwa ia adalah pemain dengan kecepatan yang diatas rata rata. Pandangan tersebut tidak salah. Namun, mari kita telaah lebih dalam, apa yang dilakukan pemain berkaki kaca ini adalah hal yang lumrah jika kita menggunakan pandangan yang sedikit berbeda. Sampai sini anda boleh saja membantah. Apalagi dengan pertimbangan bahwa jarak yang ditempuh Bale lebih jauh daripada yang harus ditempuh Bartra. Bukankah dengan begitu Bale memerlukan lebih banyak usaha daripada Batra? Jadi bukankah itu membuktikan bahwa kecepatan Bale memang diatas rata rata? Ya, memang betul jika kita hanya berpatokan pada jarak dan langkah. Tapi jika kita berpatokan pada ilmu mengenai “kecepatan” dan “percepatan”, maka apa yang dilakukan Bale hanyalah kemampuan untuk menyeimbangkan pergerakannya ke kecepatan konstan yang umumnya dapat dilakukan pemain dengan kecepatan normal. Kondisi seperti itu adalah ketika pemain timnas Wales tersebut memaksa Batra melakukan dua kali percepatan. Sedikit rumit? Baiklah, kita buat lebih sederhana dengan fisika sederhana. Kita tahu semua, bahwa kecepatan merupakan “pergerakan konstan” sebuah benda yang berpindah dari satu titik ke titik lain. Artinya, sebuah benda bergerak dengan kecepatan yang sama dan konsisten dari awal hingga akhir. Bagi Einstein, benda yang bergerak bukanlah benda yang memiliki kecepatan, tapi benda yang mengalami percepatan, atau kita lebih familiar dengan kata akselerasi.


Dari logika tersebut, kondisi bergerak adalah ketika sebuah benda mengalami peningkatan atau penurunan kecepatan. Bukan pergerakan dari satu titik ke titik lain, melainkan pergerakan dari satu kecepatan ke kecepatan yang berbeda. Dan perlu diingat, percepatan bukan hanya soal dari kondisi diam ke kondisi bergerak, namun juga sebaliknya. Sudah paham kan? Nah, artinya, bukan Bale yang sedang “bergerak” dalam kejadian tersebut, tapi justru Bartra. Baiklah, Bale memang mengalami percepatan, tapi pergerakan kecepatan Bale tidak seekstrem yang dialami Bartra. Disebut “ekstrem” karena percepatan yang dialami Bartra benar-benar drastis ketika dirinya hanya membayang bayangi Bale dan harus mengejar kecepatan Bale yang sudah dalam kondisi top speednya dan konstan.
Bartra sedikitnya harus mengalami dua kali percepatan ekstrem dalam situasi tersebut. Pertama, ketika Bartra datang dengan berlari di sisi kanan pertahanan Barca untuk kemudian menurunkan kecepatan karena hendak membayang bayangi Bale. Kedua, ketika ia harus berbalik badan saat Bale menggleser bola kedepan dan mencoba mengejar Bale hingga titik darah akhir. Pada momen inilah, Bartra mengalami kekurangan timing karena melakukan dua kali percepatan ekstrem dalam waktu yang sangat singkat. Momen saat Batra mendorong Bale agar menjauh sampai ke luar lapangan, tanpa disadari Bartra telah melakukan blunder. Yakni, bukannya menurunkan kecepatan Bale, Batra justru “mempersilakan” Bale untuk menjaga kecepatan konstannya dengan memberi Bale ruang untuk bebas berlari.

Mau secepat apapun akselerasi Bartra mengejar Bale, ia tidak akan bisa mengejar sekalipun ia seorang Hector Bellerin. Sebab, Bale sudah dalam kondisi top speed, sedangkan Batra harus memulai lagi dari titik terendah kecepatannya dan masih butuh waktu untuk mencapai top speed.
Dari pembahasan sederhana tersebut, menjadi wajar jika kita sering mendengar bagaimana pelatih olahraga lapangan hampir selalu meminta pemain-pemainnya untuk tidak diam dan selalu bergerak secara dinamis demi menjaga momen momen tak terduga seperti counter attack contohnya. Karena dengan sering bergerak selain untuk menciptakan ruang demi lancarnya suplai bola, kecepatan yang konsisten ditambah percepatan yang minim, membuat seorang pemain akan mendapatkan keuntungan karena bakal mampu bereaksi lebih cepat dari lawannya. Terlebih lagi jika si lawan lebih sering dalam posisi diam.
Mau contoh lain? Oke, kita ambil dari aksi solo run Lionel Messi kala mengobrak - abrik pertahanan Real Madrid di ajang el classico semifinal leg pertama UCL 2010/2011 di Santiago Bernabeu. Dalam aksi tersebut, Messi mempecundangi sedikitnya empat pemain bertahan Madrid yang dinilai merupakan pemain kelas wahid yaitu Sergio Ramos, Lassana Diarra, Raul Albiol, dan Marcelo. Di balik fenomenalnya aksi Messi yang mengundang decak kagum, sesungguhnya ada satu pemain lagi yang patut mendapatkan perhatian namun sering dilupakan dalam momen fantastis tersebut ialah Sergio Busquets. Mengapa? Mari kita kulik. Ketika di menit ‘87 Busquets menerima umpan dari Messi, Lassana Diarra menjadi pemain sematawayang Madrid yang bergerak dengan menempel ketat Leo. Saat itu, terlihat Messi belum melakukan sesuatu yang cukup membahayakan pertahanan Madrid. Wajar saja, posisi bola kala itu masih di tengah lapangan.

Namun, situasi menjadi beda ketika Busquets yang menerima umpan dari Messi dan tiba-tiba berhenti bergerak. Kondisi itulah yang kemudian memancing 4 bek Madrid ikut berhenti bergerak pula. Momen tersebut yang sangat dimanfaatkan Messi yang sudah mendapatkan kecepatan top speed dari belakang segera “mencuri” bola yang ada di kaki Busquets. Lalu yang terjadi selanjutnya? Tentu pemain-pemain bertahan kelas dunia milik El Real pun kelabakan mengejar Leo yang merangsek masuk ke kotak penalti. Messi seperti hanya berlari dan berlari tanpa satupun pemain Madrid yang mampu menutup ruang atau bahkan mengejarnya. Bahkan, dengan tendangan cukup pelan Messi berhasil menempatkan bola ke gawang Casillas.

Kondisi yang dialami kuartet bek Madrid tersebut sejatinya sama dengan kondisi yang dialami Marc Bartra ketika duel dengan seorang Gareth Bale. Posisi diam tak bergerak membuat mereka kesulitan untuk beranjak ke kecepatan puncak dengan waktu yang singkat saat mereka harus mengejar objek yang sudah bergerak mencapai top speed jauh sebelum menghampiri mereka. Situasi yang sama juga sering dialami para bek ketika menghadapi seorang Filippo Inzaghi. Bukan bermaksud membandingkan kecepatan antara Inzaghi dengan Bale atau Messi karena itu adalah hal konyol, namun ane cuma ingin menegaskan bahwa “kecepatan” Inzaghi bukan pada sekedar secepat apa larinya, melainkan persoalan sesering apa dia berlari. Inzaghi memang sangat jarang turun untuk membantu pertahanan tim, namun ketika dalam proses penyerangan timnya, ia selalu bergerak tak tentu arah. Kebanyakan orang menilai bahwa apa yang dilakukan Inzaghi adalah soal membuka ruang. Ya, memang tidak salah, namun keuntungan dari penjelajahan seorang Pippo tidak sampai disitu. Inzaghi bergerak tak tentu arah demi menjaga kecepatan konstannya. Memang kecepatannya tidak seberapa dan terlihat seperti lari untuk pemanasan, namun hal ini membuatnya selalu mampu bereaksi dan merespon seolah-olah lebih cepat dari para bek lawan.

Sebab, para pemain bertahan lebih sering bergerak dari posisi diam daripada Inzaghi yang sudah siap melakukan pergerakan jauh sebelum bola berada pada momen dan timing yang tepat untuk ia eksekusi. Dan itulah alasan mengapa koleksi gol Inzaghi sedikit banyak adalah hasil dari bola rebound atau bola-bola deflected yang bagi orang awam akan menilainya sebagai gol keberuntungan. Atau jika ingin memuji gol-gol aneh semacam itu, para analis dan pandit akan menyebutnya sebatas “naluri sejati seorang striker” yang sebenarnya tidak menjelaskan apapun. Padahal jika kita gunakan logika percepatan dan kecepatan ala fisikawan Einstein, kita harusnya menyadari dan mengakui, betapa hebatnya insting kecepatan dan percepatan dari seorang Inzaghi, sampai-sampai menutup seluruh anggapan mengenai keterbatasan skill yang dimilikinya dan menjelma jadi salah satu striker menakutkan di Eropa. Itulah mengapa seorang Carlo Ancelotti tetap menaruh kepercayaan lini depan AC Milan kepada Inzaghi selama bertahun-tahun. “Tidak ada tim hebat tanpa seorang striker berjenis pembunuh,” kata Don Carlo merujuk pada Super Pippo.

Ancelotti tidak sembarangan bicara. Secara statistik, Inzaghi memang patut disejajarkan dengan penyerang top Eropa. Menurut data dari Opta, ia termasuk striker yang jarang membuang peluang. Pippo menjaringkan 63% gol dari seluruh total paluang yang didapat selama karirnya. Statistik berbicara bahkan membuat pemain sekelas Raul, Ruud van Nistelrooy, dan Roy Makaay harus bertekuk lutut karena berada di bawah Inzaghi. Dan dengan kemampuan “hanya sebatas itu” juga, catatan gol Inzaghi nyatanya lebih tinggi daripada seorang legenda yang pernah mencibirnya tidak bisa bermain bola sama sekali.
emoticon-Cendol Ganemoticon-Jempol
nona212
tien212700
Howitzer.
Howitzer. dan 13 lainnya memberi reputasi
14
4.2K
27
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Soccer & Futsal Room
Soccer & Futsal RoomKASKUS Official
5.6KThread9.1KAnggota
Tampilkan semua post
aluwungsAvatar border
aluwungs
#10
Salah satu penyerang kaporit ane. duet Del Pippo....
FootballStory
FootballStory memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.