- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#10
Spoiler for Episode 3:
"Eh mau kemana lu..." kata seorang teman kampus yang menghampiriku di pelataran, "tumben udah mau cabut aja jam segini?"
"Kan udah ngga ada apa-apaan lagi, jadi ya cabut aja lah." Kataku.
"Lu ngga mau nongkrong dulu gitu bareng adik-adik kelas? Lumayan kan kali aja lu nemu jodoh di sana." Katanya lagi.
"He run a coffee shop..." salah seorang temanku yang lain menghampiri kami berdua, " jadi ya kalau udah ngga ada kegiatan di kampus mending ke kedai, iya ngga Mas?"
"Nah dia aja paham, masa lu masih ngga paham juga. Udah ah gue cabut duluan ya, kalau mau kalian ke tempat gue aja." Kataku kemudian berjalan menjauhi mereka berdua.
"Ada diskon kan?" Tanyanya lagi.
Aku menjauhi mereka berdua sambil berkata, "Sepuluh persen..." dan semakin menjauh dari mereka. Kemudian aku berjalan menuju parkiran lalu menaiki motor meninggalkan kampus. Siang ini kendaraan tidak terlalu banyak yang menbuatku hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk tiba di ruko. Setibanya di sana, aku melihat meja sudah dipenuhi oleh pelanggan dan hanya terlihat Bella di meja kasir. Aku berjalan masuk ke dalam lalu menuju mesin kopi setelah bersiap-siap.
"Hai Mas..." Bella menyapaku tanpa mengalihkan pandangannya dari mesin kasir, " Bang Ferdi lagi ngobrol tuh sama tamu di sana."
Bella menunjuk ke arah dimana Ferdi berada, di sana aku melihat dia sedang berbincang dengan seorang wanita yang belum pernah ku temui.
"Partnerkerja paling..." aku berjalan menuju mesin kopi, "atau gebetan barunya."
Bella hanya tersenyum menanggapinya, kami pun sibuk dengan tugas kami masing-masing. Beberapa menit berlalu hingga akhirnya Ferdi menyudahi perbincangan dengan wanita tersebut, ia lalu menghampiri kami.
"Kalau gue liat-liat sih kayaknya cocok Fer, cuma jangan buru-buru aja." Kataku.
"Dia orang yang ngundang kita ke acara yang waktu itu gue bilang, inget ngga lu?", ia berjalan menuju mesin kasir, "tapi cantik sih. Eh Bel istirahat gih."
Bella mengangguk lalu berjalan menuju meja belakang seraya berkata, "Aku ngedukung Bang Ferdi kok sama cewe itu."
"Ah gara-gara lu nih si Bella jadi ikut-ikutan." Kata Ferdi.
Aku hanya tersenyum menanggapi Ferdi. Pesanan pun mulai berdatangan lagi, aku mulai membuatkan apa yang pelanggan inginkan. Satu demi satu pesanan sudah ku selesaikan, setelah itu aku mulai mengisi bahan-bahan apa saja yang hampir kosong di penyimpanan. Jika sudah ku selesaikan, lebih baik aku langsung mencuci beberapa gelas dan piring yang kotor daripada harus menunggu Bella selesai istirahat agar tidak menumpuk.
"Eh gue mau nanya dong..." Ferdi menghampiriku di tempat cucian, "kata-kata lu kemaren soal stop the show bukan berarti lu ngga bakalan bikin cerita lagi kan?"
"Yang lu tanggepin apa?" Tanyaku sambil berjalan.
"Yang gue tanggepin..." Ferdi mengikutiku ke mesin kopi, "setengah-setengah, antara emang lu mau berhenti atau mau apa itu namanya hiatus ya kalo ngga salah."
"Iya Mas..." Bella menghampiri kami berdua, "kalau Mas beneran berhenti dan aku liat-liat di komen, sayang aja. Mending bikin cerita baru atau apa gitu daripada bener-bener berhenti."
"Gue ngerasa kayak punya beban..."
Bella dan Ferdi saling menatap satu sama lain.
"Gue ngga bakalan nyangka kalau akhirnya seperti ini. Andai aja cerita ini selesai jauh lebih cepet, gue mungkin ngga bakalan ngerasa terbebani kayak gini. Sebagai amatiran di dunia penulisan yang harus nyeritain orang yang udah ngga ada, itu berat banget." Kataku.
"Sebagai pembaca cerita lu dan tau apa yang sebenernya terjadi, gue coba buat mahamin lu sih. Mungkin emang lu butuh waktu entah sebentar atau lama, atau mungkin selamanya untuk istirahat." Kata Ferdi.
"Iya Mas, aku bakalan tetep dukung kok gimana pun akhirnya." Kata Bella.
Alasan, entah apa yang membuat sebuah alasan menjadi tameng diri dari kenyataan yang sedang kita hadapi. Kadang karena terlalu takut, sebuah alasan bisa menjadi jawabannya entah alasan sebenarnya atau hanya alasan. Tapi karena alasan pula sebuah kemungkinan lain bisa muncul, entah lebih baik atau bahkan lebih buruk. Untuk saat ini aku percaya, alasan yang ku pilih akan memunculkan sebuah kemungkinan lain yang lebih baik.
*
Jam 11 malam, setelah mengunci rolling door aku memutuskan untuk meninggalkan ruko ini. Ferdi sudah pulang lebih dahulu karena dia akan pergi ke suatu tempat yang ia rahasiakan. Akhirnya aku menaiki motorku yang sudah menyala.
"Ngga ngerepotin emang Mas?"
"Ngga lah..." aku menengok ke belakang dimana Bella berada, "sesekali nganterin kamu, daripada harus naik KRL terus."
Bella mengangguk sambil tersenyum, kemudian ia naik di belakang. Setelah mengenakan helm, kami pun berangkat menuju kediaman Bella. Jalanan malam ini sudah cukup sepi, aku jadi memikirkan bagaimana setiap hari Bella harus pulang ke rumahnya.
"Jadi kamu tiap malem pulang tuh udah sepi kayak gini?" Tanyaku.
"Iya Mas..." aku melihatnya dari kaca spion motorku, " cuma nanti pas naik KRL masih agak ramai. Suka takut aja kalau dapet abang ojol yang meragukan, tapi untungnya selama ini selalu dapet yang baik-baik."
"Keluarga kamu nggapapa emangnya kalau kamu pulang malem?" Tanyaku lagi.
"Ngga masalah kok." Jawabnya singkat.
Aku menganggukkan kepala menanggapinya. Beberapa menit hingga Bella menunjukkan dimana ia biasa naik kereta. Ia bercerita bagaimana keadaan kereta pada malam hari jika masih penuh dan bagaimana jika keadaan tidak terlalu penuh.
"Aku mending naik kereta pas penuh terus berdiri deh Mas daripada satu gerbong cuma isi beberapa orang kehitung jari. Kadang suka parno sama orang yang diem-diem ngeliatin, ngga tau pikirannya dia apa. Atau apes-apes pernah ketemu orang naik kereta, perempuan tapi mukanya pucet banget kayak bukan orang." Jelasnya.
Bella masih menceritakan kejadian-kejadian apa saja yang pernah ia alami selama naik KRL, hingga tak terasa sudah berjalan 30 menit. Bella mengarahkanku ke sebuah komplek perumahan yang belum pernah ku sambangi. Beberapa meter dari pintu gerbang perumahan hingga ia menyuruhku untuk berhenti di sebuah rumah yang cukup dekat dari pintu gerbang.
"Nah ini rumah aku. Masuk dulu ya Mas biar aku bikinin minum atau apa kek." Katanya.
"Ngga usah lah, ngga enak." Kataku.
"Justru malah aku yang ngga enak Mas udah dianterin masa ngga ada terima kasihnya..." Bella menarik tanganku yang masih memegang stang motor, "udah ayo masuk dulu please."
"Oke deh tapi sebentar aja, ngga enak udah malem." Kataku.
Setelah memarkirkan motor di halaman rumahnya, aku berjalan mengikutinya masuk ke teras rumahnya. Ia menyuruhku untuk masuk ke dalam rumah namun aku memilih untuk duduk di teras saja dengan dalih agar bisa merokok. Setelah ia masuk aku pun menyalakan sebatang rokok. Tak lama kemudian datanglah seorang abang ojol dengan penumpang di belakangnya, ku lihat adalah seorang wanita yang menjadi penumpangnya. Setelah ia membayar abang ojol tersebut, ia berjalan menuju tempat dimana aku berada. Dengan maksud sopan, aku pun berdiri dan bersiap untuk menyapa wanita tersebut.
"..."
Aku terdiam, rasanya mulut ini menjadi kaku entah bagaimana caranya. Aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, di hadapanku saat ini berdiri seorang wanita, dia adalah Bella. Lantas siapa wanita yang sedari tadi aku antar, pertanyaan itu muncul begitu saja di kepalaku.
"Ini Mas minumannya..."
Aku menoleh ke belakang, ada Bella yang sedang meletakkan gelas minuman di meja. Dengan cepat aku kembali melihat wanita yang baru saja datang, dia juga Bella seperti apa yang aku lihat.
"Eh kamu udah pulang duluan ternyata, pantesan ngga ketemu di Stasiun." Kata Bella yang ada di hadapanku.
"Iya ini dianterin makanya ngga naik kereta." Kata Bella yang ada di belakangku.
Aku masih melihat mereka secara bergantian dan nampaknya kedua Bella ini menyadari bahwa aku sedang kebingungan melihat mereka.
"Oh iya Mas kenalin ini kembaran aku."
"Oh kembar..." aku menghela nafas, "aku kira aku halusinasi tadi ngeliat kamu ada dua."
"Halo, Bellin." Katanya sambil mengulurkan tangan.
Aku pun menjabat tangannya setelah merasa canggung, lalu aku berkata "Kalian bener-bener identik kayak gini? Wah susah banget bedainnya."
"Iya kita kembar Mas, aku lahir beberapa menit lebih cepet dari dia." Kata Bella.
Aku mengangguk beberapa kali, Bellin pun masuk ke dalam rumah meninggalkan kami berdua di teras.
"Kalo kamu Bellania, berarti dia Bellinia?" Kataku menebak.
"Seratus..." Bella mengacungkan jempol tangannya, "baru pertama kali ada yang bisa langsung nebak nama kembaran aku."
Bella pun mulai menceritakan bagaimana ia dan kembarannya tumbuh besar bersama, bagaimana orang-orang kebingungan saat harus membedakan mana yang satu dan mana yang lain. Aku pun cukup kagum karena ini kali pertama aku menemukan kembar identik yang dari raut wajah pun tidak ada bedanya sama sekali, benar-benar persis.
"... Akhirnya kita hidup berdua aja Mas di rumah ini, dan kita mutusin untuk kerja demi makan dan biaya hidup lain. Bellin udah kerja duluan, seinget aku udah mau dua tahun dia kerja di restoran bagian dapur dan aku udah setahun kerja sama Mas dan Bang Ferdi." Jelasnya.
"Are you okay?" Tanyaku.
"Awalnya berat..." kata-katanya terhenti, ia menghela nafas cukup panjang. Aku pun hanya diam menunggu Bella melanjutkan kata-katanya, "... pas tau kalau orang tua kita ternyata selama ini hidup ngga rukun, menyembunyikan semuanya... dari mulai mereka punya seseorang lain di luar sana hingga akhirnya kekerasan terjadi, itu berat Mas."
"..."
"Sampai puncaknya..." setetes air mata pun jatuh di wajah Bella, "mereka bercerai dan pergi begitu aja tanpa ada kabar. Hak asuh yang jatuh di tangan Mama pun kayak ngga ada gunanya, aku dan Bellin dibiarin tinggal di rumah ini tanpa ada apapun. Itu yang akhirnya bikin tekad kita bulat kalau kita harus bisa hidup tanpa mereka, kita mau nunjukkin kalau kita bisa tanpa mereka."
"Dan itu alasannya, kenapa kamu ngga percaya sama cinta, pernikahan, dan sejenisnya?" Tanyaku.
Ia mengangguk pelan, aku hanya bisa mengusap pundaknya pelan agar ia merasa lebih tenang. Teringat setahun yang lalu saat aku dan Ferdi membuka lowongan untuk mencari karyawan saat kami baru akan membuka usaha.
CV pelamar sudah masuk ke e-mail dan Ferdi mulai membacanya satu persatu. Ada satu yang menarik perhatian Ferdi, ia menyuruhku untuk ikut membacanya juga. Sebagaimana Ferdi, aku pun setelah membacanya juga ikut penasaran bagaimana latar belakang pelamar ini yang tidak lain adalah Bella. Di kolom catatan tambahan, kebanyakan pelamar menuliskan akan bekerja sekeras mungkin untuk menaikkan profit. Namun tidak dengan Bella, ia menuliskan "Saya akan mencintai sewajarnya agar tidak merasa sakit jika kehilangan."
Sebuah kalimat yang mungkin nampak main-main, bagaikan kutipan-kutipan romansa yang biasa ditemukan di sosial media ataupun novel ringan. Namun kalimat itu yang membuat kami penasaran dengan Bella, hingga kami memutuskan menghubunginya dan bertemu untuk wawancara.
Tidak ada yang spesial dari Bella, dia adalah seorang wanita berumur 21 tahun dengan latar belakang yang menurut Ferdi biasa saja hingga Ferdi berniat untuk membatalkan Bella. Namun aku merasa ada yang lain, aku meminta Bella untuk menjelaskan apa maksud yang ia tulis. Dengan penjelasan singkat dan seadanya, aku merasakan ada sesuatu yang tersimpan dalam dirinya hingga aku meminta Ferdi untuk menerimanya sebagai karyawan.
Memulai usaha, antara aku dan Ferdi. Awalnya Ferdi sangat pesimis dengan Bella karena penjelasannya yang kurang untuk memantapkan pilihanku, namun aku berusaha meyakinkan Ferdi soal Bella setidaknya untuk tiga bulan pertama. Hasilnya tidak main-main, kinerja Bella dalam bekerja sangatlah totalitas hingga membuat Ferdi kagum.
Sudah setahun berlalu, akhirnya aku berhasil tau apa maksud dari Bella menuliskan kalimat itu. Lagi-lagi sebuah alasan, dimana ia memberikan tameng diri untuk dirinya sendiri agar ia tidak masuk ke dalam lubang kesalahan yang pernah membuat hidupnya hancur berantakan.
"... Mencintai sewajarnya agar tidak sakit jika kehilangan."
*
Beberapa jam lagi acara seminar akan dimulai, sudah banyak mahasiswa yang mengantre untuk masuk ke dalam aula sambil mengisi daftar kehadiran mereka. Aku sedang duduk bersama dengan beberapa dosen yang bertugas melancarkan acara ini.
"Oh iya Pak, ngomong-ngomong yang jadi partner saya belum dateng?" Tanyaku.
"Udah di lantai bawah tinggal naik lift ke sini." Jawabnya.
Aku mengangguk pelan. Benar saja, tak lama berselang masuklah seorang wanita lalu menghampiri kami. Aku melempar senyum kepadanya dan ia balas dengan senyuman juga. Briefing akhir pun dimulai, kami diingatkan kembali apa saja yamg harus dikerjakan agar acara berjalan mulus sesuai rencana awal.
"... dan untuk pembawa acara simple aja kita rubah sedikit, jadi yang pertama bahasa inggris dulu baru kemudian bahasa indonesia."
Briefing selesai, kami pun bersiap-siap. Aku sudah berdiri di samping panggung, jujur saja ini pengalaman pertamaku untuk membawakan sebuah acara. Beberapa kali kutarik nafas panjang agar tenang.
"Tegang?" Tanyanya kepadaku.
"Iya..." aku menatapnya lalu mengangguk, "pertama kali."
Ia tersenyum kepadaku. Acara pun dimulai, kami berdua menaiki panggung dan berdiri di depan ratusan orang yang hadir. Rasa tegang semakin menjadi karena ada beberapa tamu asing yang juga ikut datang. Aku mencoba sebisa mungkin berbicara dengan jelas tanpa melakukan kesalahan, apalagi kesalahan dalam menyebut nama tamu undangan. Beberapa kalimat sudah kami lontarkan lalu disambut tepuk tangan oleh semua orang yang menonton, kami pun kembali turun ke samping panggung lalu duduk di bangku yang disediakan.
"Serius pertama kali?..." ia menatapku curiga, "kayaknya ini udah yang ke sekian kali, kamu santai banget."
"Kamu liat aja nih..." kakiku bergetar, "ini buktinya."
Ia tertawa melihatku dan aku hanya bisa tersenyum malu. Beberapa kali kami naik-turun panggung, hingga akhirnya tibalah di segmen dimana kami punya waktu cukup luang untuk duduk di samping panggung.
Kami disediakan makanan kecil selagi menunggu acara berjalan. Aku melihat ke arahnya, dimana ia sedang berusaha membuka botol minuman yang nampaknya cukup keras sehingga membuatnya sulit untuk terbuka. Aku meraih botol minuman tersebut dan membuka tutupnya, lalu ia berkata "Terima kasih." dan tak lupa dengan senyumannya.
Aku sibuk dengan handphone milikku, begitu juga dengan dia. Tidak banyak yang kami bicarakan setelah kejadian botol minum itu. Ku masukkan handphone ke dalam saku kemeja yang ku kenakan lalu aku melirik ke arah layar handphonenya. Aku terkejut, melihat apa yang sedang ia lakukan.
"Buku Harian Airin..." Kataku.
"Eh..." ia menatapku, "kamu baca serial Aku, Kamu, dan Lemon juga?"
"Aku..." cukup canggung untuk menjawabnya, "juga baca cerita itu."
"Aku suka baca biasanya bentuk fisik gitu, belum lama ini baca lewat ini dan ternyata seru juga. Yang judul Buku Harian ini malah makin seru, kayaknya sih penulisnya udah nemu karakter sendiri dengan gaya tulisan yang lebih baik dibanding serial sebelumnya." Katanya.
Harus ku akui bahwa gaya tulisanku di Buku Harian Airin jauh lebih baik dibandingkan dengan Aku, Kamu dan Lemon, dimana saat itu adalah pertama kali aku memutuskan untuk menulis dan hasil tulisannya sangatlah berantakan. Dan ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengan salah satu orang yang membaca tulisanku tanpa tau aku yang membuatnya, dan rasanya cukup menyenangkan.
"Oh iya daritadi sampai lupa..." aku mengulurkan tangan padanya, "boleh kenalan?"
"Boleh..." ia menjabat tanganku, "Namaku Renata, kamu?"
"Adrian..."
***
"Kan udah ngga ada apa-apaan lagi, jadi ya cabut aja lah." Kataku.
"Lu ngga mau nongkrong dulu gitu bareng adik-adik kelas? Lumayan kan kali aja lu nemu jodoh di sana." Katanya lagi.
"He run a coffee shop..." salah seorang temanku yang lain menghampiri kami berdua, " jadi ya kalau udah ngga ada kegiatan di kampus mending ke kedai, iya ngga Mas?"
"Nah dia aja paham, masa lu masih ngga paham juga. Udah ah gue cabut duluan ya, kalau mau kalian ke tempat gue aja." Kataku kemudian berjalan menjauhi mereka berdua.
"Ada diskon kan?" Tanyanya lagi.
Aku menjauhi mereka berdua sambil berkata, "Sepuluh persen..." dan semakin menjauh dari mereka. Kemudian aku berjalan menuju parkiran lalu menaiki motor meninggalkan kampus. Siang ini kendaraan tidak terlalu banyak yang menbuatku hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk tiba di ruko. Setibanya di sana, aku melihat meja sudah dipenuhi oleh pelanggan dan hanya terlihat Bella di meja kasir. Aku berjalan masuk ke dalam lalu menuju mesin kopi setelah bersiap-siap.
"Hai Mas..." Bella menyapaku tanpa mengalihkan pandangannya dari mesin kasir, " Bang Ferdi lagi ngobrol tuh sama tamu di sana."
Bella menunjuk ke arah dimana Ferdi berada, di sana aku melihat dia sedang berbincang dengan seorang wanita yang belum pernah ku temui.
"Partnerkerja paling..." aku berjalan menuju mesin kopi, "atau gebetan barunya."
Bella hanya tersenyum menanggapinya, kami pun sibuk dengan tugas kami masing-masing. Beberapa menit berlalu hingga akhirnya Ferdi menyudahi perbincangan dengan wanita tersebut, ia lalu menghampiri kami.
"Kalau gue liat-liat sih kayaknya cocok Fer, cuma jangan buru-buru aja." Kataku.
"Dia orang yang ngundang kita ke acara yang waktu itu gue bilang, inget ngga lu?", ia berjalan menuju mesin kasir, "tapi cantik sih. Eh Bel istirahat gih."
Bella mengangguk lalu berjalan menuju meja belakang seraya berkata, "Aku ngedukung Bang Ferdi kok sama cewe itu."
"Ah gara-gara lu nih si Bella jadi ikut-ikutan." Kata Ferdi.
Aku hanya tersenyum menanggapi Ferdi. Pesanan pun mulai berdatangan lagi, aku mulai membuatkan apa yang pelanggan inginkan. Satu demi satu pesanan sudah ku selesaikan, setelah itu aku mulai mengisi bahan-bahan apa saja yang hampir kosong di penyimpanan. Jika sudah ku selesaikan, lebih baik aku langsung mencuci beberapa gelas dan piring yang kotor daripada harus menunggu Bella selesai istirahat agar tidak menumpuk.
"Eh gue mau nanya dong..." Ferdi menghampiriku di tempat cucian, "kata-kata lu kemaren soal stop the show bukan berarti lu ngga bakalan bikin cerita lagi kan?"
"Yang lu tanggepin apa?" Tanyaku sambil berjalan.
"Yang gue tanggepin..." Ferdi mengikutiku ke mesin kopi, "setengah-setengah, antara emang lu mau berhenti atau mau apa itu namanya hiatus ya kalo ngga salah."
"Iya Mas..." Bella menghampiri kami berdua, "kalau Mas beneran berhenti dan aku liat-liat di komen, sayang aja. Mending bikin cerita baru atau apa gitu daripada bener-bener berhenti."
"Gue ngerasa kayak punya beban..."
Bella dan Ferdi saling menatap satu sama lain.
"Gue ngga bakalan nyangka kalau akhirnya seperti ini. Andai aja cerita ini selesai jauh lebih cepet, gue mungkin ngga bakalan ngerasa terbebani kayak gini. Sebagai amatiran di dunia penulisan yang harus nyeritain orang yang udah ngga ada, itu berat banget." Kataku.
"Sebagai pembaca cerita lu dan tau apa yang sebenernya terjadi, gue coba buat mahamin lu sih. Mungkin emang lu butuh waktu entah sebentar atau lama, atau mungkin selamanya untuk istirahat." Kata Ferdi.
"Iya Mas, aku bakalan tetep dukung kok gimana pun akhirnya." Kata Bella.
Alasan, entah apa yang membuat sebuah alasan menjadi tameng diri dari kenyataan yang sedang kita hadapi. Kadang karena terlalu takut, sebuah alasan bisa menjadi jawabannya entah alasan sebenarnya atau hanya alasan. Tapi karena alasan pula sebuah kemungkinan lain bisa muncul, entah lebih baik atau bahkan lebih buruk. Untuk saat ini aku percaya, alasan yang ku pilih akan memunculkan sebuah kemungkinan lain yang lebih baik.
*
Jam 11 malam, setelah mengunci rolling door aku memutuskan untuk meninggalkan ruko ini. Ferdi sudah pulang lebih dahulu karena dia akan pergi ke suatu tempat yang ia rahasiakan. Akhirnya aku menaiki motorku yang sudah menyala.
"Ngga ngerepotin emang Mas?"
"Ngga lah..." aku menengok ke belakang dimana Bella berada, "sesekali nganterin kamu, daripada harus naik KRL terus."
Bella mengangguk sambil tersenyum, kemudian ia naik di belakang. Setelah mengenakan helm, kami pun berangkat menuju kediaman Bella. Jalanan malam ini sudah cukup sepi, aku jadi memikirkan bagaimana setiap hari Bella harus pulang ke rumahnya.
"Jadi kamu tiap malem pulang tuh udah sepi kayak gini?" Tanyaku.
"Iya Mas..." aku melihatnya dari kaca spion motorku, " cuma nanti pas naik KRL masih agak ramai. Suka takut aja kalau dapet abang ojol yang meragukan, tapi untungnya selama ini selalu dapet yang baik-baik."
"Keluarga kamu nggapapa emangnya kalau kamu pulang malem?" Tanyaku lagi.
"Ngga masalah kok." Jawabnya singkat.
Aku menganggukkan kepala menanggapinya. Beberapa menit hingga Bella menunjukkan dimana ia biasa naik kereta. Ia bercerita bagaimana keadaan kereta pada malam hari jika masih penuh dan bagaimana jika keadaan tidak terlalu penuh.
"Aku mending naik kereta pas penuh terus berdiri deh Mas daripada satu gerbong cuma isi beberapa orang kehitung jari. Kadang suka parno sama orang yang diem-diem ngeliatin, ngga tau pikirannya dia apa. Atau apes-apes pernah ketemu orang naik kereta, perempuan tapi mukanya pucet banget kayak bukan orang." Jelasnya.
Bella masih menceritakan kejadian-kejadian apa saja yang pernah ia alami selama naik KRL, hingga tak terasa sudah berjalan 30 menit. Bella mengarahkanku ke sebuah komplek perumahan yang belum pernah ku sambangi. Beberapa meter dari pintu gerbang perumahan hingga ia menyuruhku untuk berhenti di sebuah rumah yang cukup dekat dari pintu gerbang.
"Nah ini rumah aku. Masuk dulu ya Mas biar aku bikinin minum atau apa kek." Katanya.
"Ngga usah lah, ngga enak." Kataku.
"Justru malah aku yang ngga enak Mas udah dianterin masa ngga ada terima kasihnya..." Bella menarik tanganku yang masih memegang stang motor, "udah ayo masuk dulu please."
"Oke deh tapi sebentar aja, ngga enak udah malem." Kataku.
Setelah memarkirkan motor di halaman rumahnya, aku berjalan mengikutinya masuk ke teras rumahnya. Ia menyuruhku untuk masuk ke dalam rumah namun aku memilih untuk duduk di teras saja dengan dalih agar bisa merokok. Setelah ia masuk aku pun menyalakan sebatang rokok. Tak lama kemudian datanglah seorang abang ojol dengan penumpang di belakangnya, ku lihat adalah seorang wanita yang menjadi penumpangnya. Setelah ia membayar abang ojol tersebut, ia berjalan menuju tempat dimana aku berada. Dengan maksud sopan, aku pun berdiri dan bersiap untuk menyapa wanita tersebut.
"..."
Aku terdiam, rasanya mulut ini menjadi kaku entah bagaimana caranya. Aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, di hadapanku saat ini berdiri seorang wanita, dia adalah Bella. Lantas siapa wanita yang sedari tadi aku antar, pertanyaan itu muncul begitu saja di kepalaku.
"Ini Mas minumannya..."
Aku menoleh ke belakang, ada Bella yang sedang meletakkan gelas minuman di meja. Dengan cepat aku kembali melihat wanita yang baru saja datang, dia juga Bella seperti apa yang aku lihat.
"Eh kamu udah pulang duluan ternyata, pantesan ngga ketemu di Stasiun." Kata Bella yang ada di hadapanku.
"Iya ini dianterin makanya ngga naik kereta." Kata Bella yang ada di belakangku.
Aku masih melihat mereka secara bergantian dan nampaknya kedua Bella ini menyadari bahwa aku sedang kebingungan melihat mereka.
"Oh iya Mas kenalin ini kembaran aku."
"Oh kembar..." aku menghela nafas, "aku kira aku halusinasi tadi ngeliat kamu ada dua."
"Halo, Bellin." Katanya sambil mengulurkan tangan.
Aku pun menjabat tangannya setelah merasa canggung, lalu aku berkata "Kalian bener-bener identik kayak gini? Wah susah banget bedainnya."
"Iya kita kembar Mas, aku lahir beberapa menit lebih cepet dari dia." Kata Bella.
Aku mengangguk beberapa kali, Bellin pun masuk ke dalam rumah meninggalkan kami berdua di teras.
"Kalo kamu Bellania, berarti dia Bellinia?" Kataku menebak.
"Seratus..." Bella mengacungkan jempol tangannya, "baru pertama kali ada yang bisa langsung nebak nama kembaran aku."
Bella pun mulai menceritakan bagaimana ia dan kembarannya tumbuh besar bersama, bagaimana orang-orang kebingungan saat harus membedakan mana yang satu dan mana yang lain. Aku pun cukup kagum karena ini kali pertama aku menemukan kembar identik yang dari raut wajah pun tidak ada bedanya sama sekali, benar-benar persis.
"... Akhirnya kita hidup berdua aja Mas di rumah ini, dan kita mutusin untuk kerja demi makan dan biaya hidup lain. Bellin udah kerja duluan, seinget aku udah mau dua tahun dia kerja di restoran bagian dapur dan aku udah setahun kerja sama Mas dan Bang Ferdi." Jelasnya.
"Are you okay?" Tanyaku.
"Awalnya berat..." kata-katanya terhenti, ia menghela nafas cukup panjang. Aku pun hanya diam menunggu Bella melanjutkan kata-katanya, "... pas tau kalau orang tua kita ternyata selama ini hidup ngga rukun, menyembunyikan semuanya... dari mulai mereka punya seseorang lain di luar sana hingga akhirnya kekerasan terjadi, itu berat Mas."
"..."
"Sampai puncaknya..." setetes air mata pun jatuh di wajah Bella, "mereka bercerai dan pergi begitu aja tanpa ada kabar. Hak asuh yang jatuh di tangan Mama pun kayak ngga ada gunanya, aku dan Bellin dibiarin tinggal di rumah ini tanpa ada apapun. Itu yang akhirnya bikin tekad kita bulat kalau kita harus bisa hidup tanpa mereka, kita mau nunjukkin kalau kita bisa tanpa mereka."
"Dan itu alasannya, kenapa kamu ngga percaya sama cinta, pernikahan, dan sejenisnya?" Tanyaku.
Ia mengangguk pelan, aku hanya bisa mengusap pundaknya pelan agar ia merasa lebih tenang. Teringat setahun yang lalu saat aku dan Ferdi membuka lowongan untuk mencari karyawan saat kami baru akan membuka usaha.
CV pelamar sudah masuk ke e-mail dan Ferdi mulai membacanya satu persatu. Ada satu yang menarik perhatian Ferdi, ia menyuruhku untuk ikut membacanya juga. Sebagaimana Ferdi, aku pun setelah membacanya juga ikut penasaran bagaimana latar belakang pelamar ini yang tidak lain adalah Bella. Di kolom catatan tambahan, kebanyakan pelamar menuliskan akan bekerja sekeras mungkin untuk menaikkan profit. Namun tidak dengan Bella, ia menuliskan "Saya akan mencintai sewajarnya agar tidak merasa sakit jika kehilangan."
Sebuah kalimat yang mungkin nampak main-main, bagaikan kutipan-kutipan romansa yang biasa ditemukan di sosial media ataupun novel ringan. Namun kalimat itu yang membuat kami penasaran dengan Bella, hingga kami memutuskan menghubunginya dan bertemu untuk wawancara.
Tidak ada yang spesial dari Bella, dia adalah seorang wanita berumur 21 tahun dengan latar belakang yang menurut Ferdi biasa saja hingga Ferdi berniat untuk membatalkan Bella. Namun aku merasa ada yang lain, aku meminta Bella untuk menjelaskan apa maksud yang ia tulis. Dengan penjelasan singkat dan seadanya, aku merasakan ada sesuatu yang tersimpan dalam dirinya hingga aku meminta Ferdi untuk menerimanya sebagai karyawan.
Memulai usaha, antara aku dan Ferdi. Awalnya Ferdi sangat pesimis dengan Bella karena penjelasannya yang kurang untuk memantapkan pilihanku, namun aku berusaha meyakinkan Ferdi soal Bella setidaknya untuk tiga bulan pertama. Hasilnya tidak main-main, kinerja Bella dalam bekerja sangatlah totalitas hingga membuat Ferdi kagum.
Sudah setahun berlalu, akhirnya aku berhasil tau apa maksud dari Bella menuliskan kalimat itu. Lagi-lagi sebuah alasan, dimana ia memberikan tameng diri untuk dirinya sendiri agar ia tidak masuk ke dalam lubang kesalahan yang pernah membuat hidupnya hancur berantakan.
"... Mencintai sewajarnya agar tidak sakit jika kehilangan."
*
Beberapa jam lagi acara seminar akan dimulai, sudah banyak mahasiswa yang mengantre untuk masuk ke dalam aula sambil mengisi daftar kehadiran mereka. Aku sedang duduk bersama dengan beberapa dosen yang bertugas melancarkan acara ini.
"Oh iya Pak, ngomong-ngomong yang jadi partner saya belum dateng?" Tanyaku.
"Udah di lantai bawah tinggal naik lift ke sini." Jawabnya.
Aku mengangguk pelan. Benar saja, tak lama berselang masuklah seorang wanita lalu menghampiri kami. Aku melempar senyum kepadanya dan ia balas dengan senyuman juga. Briefing akhir pun dimulai, kami diingatkan kembali apa saja yamg harus dikerjakan agar acara berjalan mulus sesuai rencana awal.
"... dan untuk pembawa acara simple aja kita rubah sedikit, jadi yang pertama bahasa inggris dulu baru kemudian bahasa indonesia."
Briefing selesai, kami pun bersiap-siap. Aku sudah berdiri di samping panggung, jujur saja ini pengalaman pertamaku untuk membawakan sebuah acara. Beberapa kali kutarik nafas panjang agar tenang.
"Tegang?" Tanyanya kepadaku.
"Iya..." aku menatapnya lalu mengangguk, "pertama kali."
Ia tersenyum kepadaku. Acara pun dimulai, kami berdua menaiki panggung dan berdiri di depan ratusan orang yang hadir. Rasa tegang semakin menjadi karena ada beberapa tamu asing yang juga ikut datang. Aku mencoba sebisa mungkin berbicara dengan jelas tanpa melakukan kesalahan, apalagi kesalahan dalam menyebut nama tamu undangan. Beberapa kalimat sudah kami lontarkan lalu disambut tepuk tangan oleh semua orang yang menonton, kami pun kembali turun ke samping panggung lalu duduk di bangku yang disediakan.
"Serius pertama kali?..." ia menatapku curiga, "kayaknya ini udah yang ke sekian kali, kamu santai banget."
"Kamu liat aja nih..." kakiku bergetar, "ini buktinya."
Ia tertawa melihatku dan aku hanya bisa tersenyum malu. Beberapa kali kami naik-turun panggung, hingga akhirnya tibalah di segmen dimana kami punya waktu cukup luang untuk duduk di samping panggung.
Kami disediakan makanan kecil selagi menunggu acara berjalan. Aku melihat ke arahnya, dimana ia sedang berusaha membuka botol minuman yang nampaknya cukup keras sehingga membuatnya sulit untuk terbuka. Aku meraih botol minuman tersebut dan membuka tutupnya, lalu ia berkata "Terima kasih." dan tak lupa dengan senyumannya.
Aku sibuk dengan handphone milikku, begitu juga dengan dia. Tidak banyak yang kami bicarakan setelah kejadian botol minum itu. Ku masukkan handphone ke dalam saku kemeja yang ku kenakan lalu aku melirik ke arah layar handphonenya. Aku terkejut, melihat apa yang sedang ia lakukan.
"Buku Harian Airin..." Kataku.
"Eh..." ia menatapku, "kamu baca serial Aku, Kamu, dan Lemon juga?"
"Aku..." cukup canggung untuk menjawabnya, "juga baca cerita itu."
"Aku suka baca biasanya bentuk fisik gitu, belum lama ini baca lewat ini dan ternyata seru juga. Yang judul Buku Harian ini malah makin seru, kayaknya sih penulisnya udah nemu karakter sendiri dengan gaya tulisan yang lebih baik dibanding serial sebelumnya." Katanya.
Harus ku akui bahwa gaya tulisanku di Buku Harian Airin jauh lebih baik dibandingkan dengan Aku, Kamu dan Lemon, dimana saat itu adalah pertama kali aku memutuskan untuk menulis dan hasil tulisannya sangatlah berantakan. Dan ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengan salah satu orang yang membaca tulisanku tanpa tau aku yang membuatnya, dan rasanya cukup menyenangkan.
"Oh iya daritadi sampai lupa..." aku mengulurkan tangan padanya, "boleh kenalan?"
"Boleh..." ia menjabat tanganku, "Namaku Renata, kamu?"
"Adrian..."
***
Diubah oleh beavermoon 07-02-2020 13:37
oktavp dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas