- Beranda
- Stories from the Heart
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
...
TS
agusmulyanti
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
Spoiler for prolog:
*********
RULES
- Ikuti perarturan SFTH
- Agan2 dan Sista bebas berkomentar, memberikan kritik dan saran yang membangun.
- Selama Kisah ini Ditulis, mohon untuk berkomentar seputar cerita.
- Dilarang meng-copas atau meng copy segala bentuk di dalam cerita ini tanpa seizin penulis
index
Diubah oleh agusmulyanti 07-12-2022 06:16
theoscus dan 56 lainnya memberi reputasi
55
43.4K
590
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
agusmulyanti
#226
Part - 24
Malam ini hari kedua setelah kematian bu Hanum. Kami tidak mengadakan tahlilan, karena rumah warga terlalu jauh untuk sampai ke sini, hanya penghuni rumah ini yang mengadakan pengajian dan berdoa untuk almarhumah, dipimpin kyai Hasan.
Menjelang jam sembilan pengajian usai, masing-masing kembali ke kamarnya. Gue keluar sendiri, udara malam ini bikin gue merasa sumpek. Gue nyalain sebatang rokok, hisapan demi hisapan, membuat gue merasa lebih tenang. Hingga waktu menjelang tengah malam, mata gue masih belum terasa ngantuk, gue masih penasaran, siapa yang telah membuat bu Hanum jatuh kedalam parit ?, dan kenapa diparit itu bisa ada besi tajam ?.
"Anjirrr, otak gue buntu banget sih...si*l*n," maki gue.
Saat gue tengah dalam ke galauan, tiba-tiba gue melihat sekelebat bayangan memasuki paviliun.
Gue segera mengendap-endap mengintip, ada apa di paviliun itu. Dari balik semak, gue melihat mang Asep sedang berbicara dengan seorang perempuan paruh baya, usianya samalah dengan mang Asep. Dan kalau gue cermati banget, itu perempuan mirip banget dengan fhoto yang ada di paviliun.
"Rania..akting kamu bagus banget kemarin, akang salut sama kamu, kamu betul-betul aktris berbakat."
"Hihihi..hihihi...akang bisa aja," ujar perempuan itu dengan genit. Gundukan besar di dadanya terlihat begitu jelas.
Mang Asep mendekap perempuan paruh baya itu dari belakang dengan mesra. Perempuan itu menggeliat manja, bikin perut gue mual ngeliatnya.
"Kang...kan penghalang kita sudah gak ada, kapan akang nikahin Rania."
"Sabar sayang, masih banyak tugas yang harus kita selesaikan."
Gue tambah bingung, sebenernya siapa Rania itu ?, dan siapa yang dia maksudkan dengan penghalang. Kenapa masalahnya semakin rumit. Saat mereka hendak melakukan hal yang tidak sepantasnya, gue berjalan mendekat, kuketuk pintu paviliun.
"Mang...mang Asep, buka pintu mang !."
Saat mang Asep keluar, gue langsung menerobos masuk, kesabaran gue sudah habis, gue gak mau ada perzinahan di rumah gue, yang nantinya akan menyeret gue kedalam adzab Allah. Gue periksa semua ruangan. Nampan sesajen dengan dupa yang masih mengepul, gue tendang, kemarahan gue betul-betul sudah memuncak. Mang Asep memandang gue dengan rasa tidak suka, gue gak perduli.
"Dimana perempuan itu ?."
"Perempuan yang mana den ?, nggak ada siapa-siapa disini, saya sendiri den."
"Mamang gak usah bohong, tadi saya lihat dia masuk, dan bermesraan dengan mamang, cepat suruh dia keluar."
"Aden sudak periksa kan, disini gak ada siapa-siapa .Mungkin aden lelah setelah kematian bu Hanum, makanya aden berfikir yang tidak-tidak."
Akhirnya karena gue gak menemukan perempuan itu, gue keluar dengan satu ultimatum, jika mang Asep membawa perempuan kedalam paviliun, gue minta mang Asep keluar dari rumah gue, tanpa tapi.
Guepun beranjak meninggalkan paviliun dengan rasa marah.
********
Bi Inah yang baru saja selesai dari kamar mandi, berjalan menghampiri gue.
"Ada apa den ?, sedang ada masalah."
Gue diam. Bi Inah tau, jika gue diam, artinya gue sedang marah dan tidak mau di ganggu. Bi Inah berjalan ke dapur, dan kembali dengan secangkir teh manis hangat. Diletakan begitu saja, dan beranjak pergi.
"Bi !."
"Ya den." tubuhnya yang kurus dan kecil berbalik menghampiri gue.
"Bi..kenapa ya, semenjak aku mendapatkan rumah ini, masalah demi masalah selalu datang, aku bingung bi."
"Aden, kalau kemarin-kemarin aden bisa melewati masalah yang sangat berat, kenapa sekarang aden terlihat putus asa, bibi yakin aden bisa melewati ini semua, bibi percaya itu."
"Bi..boleh aku peluk bibi."
Tanpa meminta persetujuannya, gue peluk tubuh wanita tua itu, dan tanpa terasa air mata gue tumpah disana.
"Den..jika menangis bisa membuat aden lega, menangislah. Tapi satu yang perlu aden ingat, laki-laki harus kuat, dan jangan mudah mengeluarkan air mata."
Gue memandang bi Inah, gue hapus air mata gue, lalu gue tersenyum. Bi Inah ikut tersenyum, meski gue tau batinnya pasti menangis.
Menjelang jam sembilan pengajian usai, masing-masing kembali ke kamarnya. Gue keluar sendiri, udara malam ini bikin gue merasa sumpek. Gue nyalain sebatang rokok, hisapan demi hisapan, membuat gue merasa lebih tenang. Hingga waktu menjelang tengah malam, mata gue masih belum terasa ngantuk, gue masih penasaran, siapa yang telah membuat bu Hanum jatuh kedalam parit ?, dan kenapa diparit itu bisa ada besi tajam ?.
"Anjirrr, otak gue buntu banget sih...si*l*n," maki gue.
Saat gue tengah dalam ke galauan, tiba-tiba gue melihat sekelebat bayangan memasuki paviliun.
Gue segera mengendap-endap mengintip, ada apa di paviliun itu. Dari balik semak, gue melihat mang Asep sedang berbicara dengan seorang perempuan paruh baya, usianya samalah dengan mang Asep. Dan kalau gue cermati banget, itu perempuan mirip banget dengan fhoto yang ada di paviliun.
"Rania..akting kamu bagus banget kemarin, akang salut sama kamu, kamu betul-betul aktris berbakat."
"Hihihi..hihihi...akang bisa aja," ujar perempuan itu dengan genit. Gundukan besar di dadanya terlihat begitu jelas.
Mang Asep mendekap perempuan paruh baya itu dari belakang dengan mesra. Perempuan itu menggeliat manja, bikin perut gue mual ngeliatnya.
"Kang...kan penghalang kita sudah gak ada, kapan akang nikahin Rania."
"Sabar sayang, masih banyak tugas yang harus kita selesaikan."
Gue tambah bingung, sebenernya siapa Rania itu ?, dan siapa yang dia maksudkan dengan penghalang. Kenapa masalahnya semakin rumit. Saat mereka hendak melakukan hal yang tidak sepantasnya, gue berjalan mendekat, kuketuk pintu paviliun.
"Mang...mang Asep, buka pintu mang !."
Saat mang Asep keluar, gue langsung menerobos masuk, kesabaran gue sudah habis, gue gak mau ada perzinahan di rumah gue, yang nantinya akan menyeret gue kedalam adzab Allah. Gue periksa semua ruangan. Nampan sesajen dengan dupa yang masih mengepul, gue tendang, kemarahan gue betul-betul sudah memuncak. Mang Asep memandang gue dengan rasa tidak suka, gue gak perduli.
"Dimana perempuan itu ?."
"Perempuan yang mana den ?, nggak ada siapa-siapa disini, saya sendiri den."
"Mamang gak usah bohong, tadi saya lihat dia masuk, dan bermesraan dengan mamang, cepat suruh dia keluar."
"Aden sudak periksa kan, disini gak ada siapa-siapa .Mungkin aden lelah setelah kematian bu Hanum, makanya aden berfikir yang tidak-tidak."
Akhirnya karena gue gak menemukan perempuan itu, gue keluar dengan satu ultimatum, jika mang Asep membawa perempuan kedalam paviliun, gue minta mang Asep keluar dari rumah gue, tanpa tapi.
Guepun beranjak meninggalkan paviliun dengan rasa marah.
********
Bi Inah yang baru saja selesai dari kamar mandi, berjalan menghampiri gue.
"Ada apa den ?, sedang ada masalah."
Gue diam. Bi Inah tau, jika gue diam, artinya gue sedang marah dan tidak mau di ganggu. Bi Inah berjalan ke dapur, dan kembali dengan secangkir teh manis hangat. Diletakan begitu saja, dan beranjak pergi.
"Bi !."
"Ya den." tubuhnya yang kurus dan kecil berbalik menghampiri gue.
"Bi..kenapa ya, semenjak aku mendapatkan rumah ini, masalah demi masalah selalu datang, aku bingung bi."
"Aden, kalau kemarin-kemarin aden bisa melewati masalah yang sangat berat, kenapa sekarang aden terlihat putus asa, bibi yakin aden bisa melewati ini semua, bibi percaya itu."
"Bi..boleh aku peluk bibi."
Tanpa meminta persetujuannya, gue peluk tubuh wanita tua itu, dan tanpa terasa air mata gue tumpah disana.
"Den..jika menangis bisa membuat aden lega, menangislah. Tapi satu yang perlu aden ingat, laki-laki harus kuat, dan jangan mudah mengeluarkan air mata."
Gue memandang bi Inah, gue hapus air mata gue, lalu gue tersenyum. Bi Inah ikut tersenyum, meski gue tau batinnya pasti menangis.
Diubah oleh agusmulyanti 06-02-2020 11:28
anwaranwar93 dan 11 lainnya memberi reputasi
12