- Beranda
- Stories from the Heart
Singgah Tanpa Rasa
...
TS
ningka
Singgah Tanpa Rasa
#Cerbung

Habiba Maherunnisa adalah gadis cantik yang menjalin hubungan dengan teman kuliahnya Mahardika Wisnutama. Mereka adalah pasangan yang serasi dan selalu bersama. Hingga sebuah pekerjaan menyebabkan mereka berjauhan. Sampai ujian itu datang merusak semuanya. Bagaimana nasib kisah cinta Habiba selanjutnya? Sedangkan seluruh cintanya terlanjur terpatri buat satu nama? Akankah bisa membuka hatinya kembali?
Part. 1
"Satu yang ingin aku tanyakan. Apa kamu melakukan perbuatan itu?" Sesaat hening. Dika hanya menunduk. Cukup, sikapnya adalah jawaban.
Bis antar kota yang aku tumpangi penuh sesak, sehingga banyak penumpang berdiri. Namun aku tetap memaksa masuk. Takut kemalaman karena bis berikutnya harus menunggu lama. Aku berpegangan pada pipa panjang di atas kepala. Berkali-kali terhuyung akibat rem mendadak. Seorang ibu-ibu berkali-kali menatapku tajam, ketika tak sengaja mendorong bahunya. Aku hanya bisa meminta maaf sambil berusaha menjauh.
Aku mengambil aroma terapi saat tercium berbagai bau yang campur aduk. Jangan tanya aromanya, luar biasa. Meski begitu ada rindu jika lama tak naik. Rindu ... kamu. Iya, kamu. Seseorang yang lama memenuhi pikiran. Yang membersamai setiap naik kendaraan itu.
Dulu... sewaktu awal kuliah. Kami sering berangkat bersama. Mengejar bis yang hampir berangkat, kadangkala berebut naik dengan penumpang lain. Masih teringat saat lengan kekarnya mengungkungku, menghindari dari dorongan atau ulah penumpang iseng. Mengingat itu, membuat aku berkali-kali mengulum senyum. Betapa Dika—kekasihku, sangat melindungi. Ahhh... rasa rinduku tambah menggebu.
Bis berhenti, sedikit berlari menyusuri jalan menuju toko kecil di sudut terminal. Tempat kami janji bertemu. Senyum terus mengembang, apalagi terlihat motor tua warna merah terparkir. Membuat debar di dada berdetak semakin kencang.
Aku berdiri, terdiam di depannya yang sibuk memainkan ponsel. Kulihat Dika tak menyadari keberadaanku. Hingga terdengar ponselku berbunyi, pesan dari nomor tak dikenal. Aku tercekat melihat deretan pesan yang kuterima. Seketika aku mundur, berbalik, dan langsung berlari. Dia yang telah menyadari keberadaanku, berteriak memanggil. Tidak kupedulikan, karna kaki ini terus melangkah.
Air mata sudah menganak sungai, kuusap kasar. Foto yang dikirim seperti menenggelamkan aku dari kubangan asa yang telah terajut. Gambaran masa depan yang sudah tersusun, pecah, dan berhamburan tanpa bisa dicegah. Aku seketika, patah.
"Habiba!" Dika terus memanggil.
Sakit yang teramat, sangat dalam tergores di sini, dalam hati yang terlanjur terpatri namamu. Berdarah, meski tak menetes.
Brakk!!
Untung gerobak cilok yang aku tabrak tidak rusak, hanya perut sedikit nyeri. Ramai terdengar suara orang di sekitar. Ada yang kasihan, bahkan ada yang tertawa. Dika cengar cengir di belakang, mendekat lalu menggandeng lenganku. Aku berusaha menepis, namun cekalannya terlalu kuat. Hingga kami tiba di sebuah bangku tunggu.
“Aku mau pulang,” ucapku sambil menatapnya tajam.
"Tunggu, jelaskan. Aku tidak mengerti." ucapnya sambil menahan lenganku.
"Ini oleh-olehmu dari luar kota. Hebat."
Dengan sinis kuangsurkan ponsel. Dika terbelalak melihat foto di depannya. Seorang gadis cantik sedang tidur memeluk seorang pria. Pria itu, Dika. Kekasihku. Sebuah kejutan luar biasa, saat pertunangan tinggal dua hari lagi, dan saat semua sudah disiapkan. Ingin kuputar waktu, agar malu dan sakit ini tak terjadi.
Dua tahun menjalani hubungan jarak jauh, tanpa ada masalah. Hubungan yang aku pikir selalu baik-baik saja, meskipun banyak yang meragukan. Tidak ada tanda-tanda buruk karena komunikasi selalu lancar, teman Dika juga aku kenal hampir semua. Ternyata, saling percaya dan mendukung tidak cukup, meski cinta seluas samudera, tetap ada takdir yang tak bisa dihindari.
"Aku bisa jelaskan." Terlihat jelas kesedihan di mata Dika.
"Semua sudah jelas."
"Mereka menjebakku.”
"Satu yang ingin aku tanyakan. Apa kamu melakukan perbuatan itu?" Sesaat hening. Dika hanya menunduk. Cukup, sikapnya adalah jawaban.
“Saat ada rapat di luar kota, aku tidak sengaja bertemu Bela, adik sahabatku. Aku tidak menyangka, minumanku diberi obat, hingga aku hilang kendali. Tolong, maafkan aku. Aku sangat mencintaimu. Aku bisa mati, jika tanpamu." Dika terlihat gemetar. Aku tahu dia terluka, begitupun aku.
"Gadis itu lebih butuh tanggung jawabmu. Aku ... mundur."
Aku segera berlalu dari hadapannya. Tubuh seakan melayang, terasa langkahku tak berpijak. Ingin rasanya menghilang saat itu juga. Pergi ke tempat paling jauh, membuang semua sakit ini. Nyatanya aku tidak kuat, hingga sampai di sudut terminal, seketika luruh. Kukeluarkan semua tangisku, tanpa peduli banyak orang menatap. Duduk menekuk kedua kaki dengan wajah menelungkup di lutut. Biarkanlah.. kunikmati dulu rasa sakit ini. Hingga aku mulai terbiasa. Meskipun sebagian hati tidak yakin, apa aku bisa?
By. Ningka
Part selanjutnya
1. Part 1
2. part 2
3. Part 3

Habiba Maherunnisa adalah gadis cantik yang menjalin hubungan dengan teman kuliahnya Mahardika Wisnutama. Mereka adalah pasangan yang serasi dan selalu bersama. Hingga sebuah pekerjaan menyebabkan mereka berjauhan. Sampai ujian itu datang merusak semuanya. Bagaimana nasib kisah cinta Habiba selanjutnya? Sedangkan seluruh cintanya terlanjur terpatri buat satu nama? Akankah bisa membuka hatinya kembali?
Part. 1
"Satu yang ingin aku tanyakan. Apa kamu melakukan perbuatan itu?" Sesaat hening. Dika hanya menunduk. Cukup, sikapnya adalah jawaban.
Bis antar kota yang aku tumpangi penuh sesak, sehingga banyak penumpang berdiri. Namun aku tetap memaksa masuk. Takut kemalaman karena bis berikutnya harus menunggu lama. Aku berpegangan pada pipa panjang di atas kepala. Berkali-kali terhuyung akibat rem mendadak. Seorang ibu-ibu berkali-kali menatapku tajam, ketika tak sengaja mendorong bahunya. Aku hanya bisa meminta maaf sambil berusaha menjauh.
Aku mengambil aroma terapi saat tercium berbagai bau yang campur aduk. Jangan tanya aromanya, luar biasa. Meski begitu ada rindu jika lama tak naik. Rindu ... kamu. Iya, kamu. Seseorang yang lama memenuhi pikiran. Yang membersamai setiap naik kendaraan itu.
Dulu... sewaktu awal kuliah. Kami sering berangkat bersama. Mengejar bis yang hampir berangkat, kadangkala berebut naik dengan penumpang lain. Masih teringat saat lengan kekarnya mengungkungku, menghindari dari dorongan atau ulah penumpang iseng. Mengingat itu, membuat aku berkali-kali mengulum senyum. Betapa Dika—kekasihku, sangat melindungi. Ahhh... rasa rinduku tambah menggebu.
Bis berhenti, sedikit berlari menyusuri jalan menuju toko kecil di sudut terminal. Tempat kami janji bertemu. Senyum terus mengembang, apalagi terlihat motor tua warna merah terparkir. Membuat debar di dada berdetak semakin kencang.
Aku berdiri, terdiam di depannya yang sibuk memainkan ponsel. Kulihat Dika tak menyadari keberadaanku. Hingga terdengar ponselku berbunyi, pesan dari nomor tak dikenal. Aku tercekat melihat deretan pesan yang kuterima. Seketika aku mundur, berbalik, dan langsung berlari. Dia yang telah menyadari keberadaanku, berteriak memanggil. Tidak kupedulikan, karna kaki ini terus melangkah.
Air mata sudah menganak sungai, kuusap kasar. Foto yang dikirim seperti menenggelamkan aku dari kubangan asa yang telah terajut. Gambaran masa depan yang sudah tersusun, pecah, dan berhamburan tanpa bisa dicegah. Aku seketika, patah.
"Habiba!" Dika terus memanggil.
Sakit yang teramat, sangat dalam tergores di sini, dalam hati yang terlanjur terpatri namamu. Berdarah, meski tak menetes.
Brakk!!
Untung gerobak cilok yang aku tabrak tidak rusak, hanya perut sedikit nyeri. Ramai terdengar suara orang di sekitar. Ada yang kasihan, bahkan ada yang tertawa. Dika cengar cengir di belakang, mendekat lalu menggandeng lenganku. Aku berusaha menepis, namun cekalannya terlalu kuat. Hingga kami tiba di sebuah bangku tunggu.
“Aku mau pulang,” ucapku sambil menatapnya tajam.
"Tunggu, jelaskan. Aku tidak mengerti." ucapnya sambil menahan lenganku.
"Ini oleh-olehmu dari luar kota. Hebat."
Dengan sinis kuangsurkan ponsel. Dika terbelalak melihat foto di depannya. Seorang gadis cantik sedang tidur memeluk seorang pria. Pria itu, Dika. Kekasihku. Sebuah kejutan luar biasa, saat pertunangan tinggal dua hari lagi, dan saat semua sudah disiapkan. Ingin kuputar waktu, agar malu dan sakit ini tak terjadi.
Dua tahun menjalani hubungan jarak jauh, tanpa ada masalah. Hubungan yang aku pikir selalu baik-baik saja, meskipun banyak yang meragukan. Tidak ada tanda-tanda buruk karena komunikasi selalu lancar, teman Dika juga aku kenal hampir semua. Ternyata, saling percaya dan mendukung tidak cukup, meski cinta seluas samudera, tetap ada takdir yang tak bisa dihindari.
"Aku bisa jelaskan." Terlihat jelas kesedihan di mata Dika.
"Semua sudah jelas."
"Mereka menjebakku.”
"Satu yang ingin aku tanyakan. Apa kamu melakukan perbuatan itu?" Sesaat hening. Dika hanya menunduk. Cukup, sikapnya adalah jawaban.
“Saat ada rapat di luar kota, aku tidak sengaja bertemu Bela, adik sahabatku. Aku tidak menyangka, minumanku diberi obat, hingga aku hilang kendali. Tolong, maafkan aku. Aku sangat mencintaimu. Aku bisa mati, jika tanpamu." Dika terlihat gemetar. Aku tahu dia terluka, begitupun aku.
"Gadis itu lebih butuh tanggung jawabmu. Aku ... mundur."
Aku segera berlalu dari hadapannya. Tubuh seakan melayang, terasa langkahku tak berpijak. Ingin rasanya menghilang saat itu juga. Pergi ke tempat paling jauh, membuang semua sakit ini. Nyatanya aku tidak kuat, hingga sampai di sudut terminal, seketika luruh. Kukeluarkan semua tangisku, tanpa peduli banyak orang menatap. Duduk menekuk kedua kaki dengan wajah menelungkup di lutut. Biarkanlah.. kunikmati dulu rasa sakit ini. Hingga aku mulai terbiasa. Meskipun sebagian hati tidak yakin, apa aku bisa?
By. Ningka
Part selanjutnya
1. Part 1
2. part 2
3. Part 3
Diubah oleh ningka 11-03-2020 00:48
tariganna dan 53 lainnya memberi reputasi
54
8.5K
261
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ningka
#1
Part. 2
Ruang tamu terasa tegang, terutama Ayah dan Ibu saat mendengar ceritaku tentang Dika. Rahang Ayah terlihat mengeras dengan dua tangan mencengkeram erat ujung sofa yang diduduki. Ibu yang biasanya sabar berkali-kali menarik nafas panjang sambil beristigfar. Sedangkan aku hanya mampu menunduk, menyeka setetes demi tetes bulir bening yang lagi-lagi berjatuhan tanpa bisa dicegah.
“Aku akan memanggil Dika,” ujar Ayah memecah kesunyian, ”Pertunanganmu harus dibatalkan.” Ayah langsung berdiri berjalan gontai menuju kamar.
“Ini lebih baik, daripada kamu teruskan.” Ibu berdiri setelah menepuk pundakku dan berjalan menyusul Ayah.
Pertunangan terpaksa dibatalkan. Hal yang tidak pernah terpikirkan. Bayangan indah akan cincin pertunangan yang indah, serta stempel ‘Calon Istri Mahardika Wisnutama’ musnah sudah dalam sekejap.
Entah bagaimana nasib tenda dan katering yang sudah dipesan. Semua sudah di urus katanya. Pasti Ayah sudah mengeluarkan biaya besar. Dan itu salah satu yang membuat tambah sedih.
Sekarang yang aku pikirkan hanya bagaimana menyelamatkan nama baik orang tua. Bagaimanapun pasti mereka merasa malu, marah bahkan sedih.
Kedua orang tuaku terlihat murung meski berusaha menyembunyikan. Yang paling kubenci adalah saat mereka berusaha menghiburku, namun air mata Ibu selalu lebih dulu turun.
@@@
Aku berusaha menjaga hatiku sebaik-baiknya agar terlihat biasa. Ternyata ... hatiku tidak mudah menerima kenyataan. Seperti menggelembung menyesakkan dada, dan tinggal menunggu meledak terberai menjadikan keping-keping yang akan berhamburan tanpa bisa dicegah. Harapanku terlalu tinggi, hingga aku jatuh terlalu dalam. Terperosok hingga lupa cara kembali.
Menikmati setiap inci dari rasa perih yang menyayat hati. Bergelung ditemani alunan lagu patah hati yang semakin menancapkan rasa itu.
Aku bodoh. Iya... benar. Karena dalam hati masih belum menerima. Ada asa, meski secuil tentang ini semua hanya mimpi. Padahal jelas-jelas rasa sakitnya sungguh nyata.
Dua nomer ponselnya terlanjur hapal diluar kepala, meski sudah dihapus, kadang membuat jariku tidak sadar mengetik nomor, meski tidak sampai tersambung. Rindu ... jelas aku rindu.
Kebiasaan itu candu. Biasa telp tiap hari, biasa diperhatikan, biasa diantar kemanapun. Terus, dalam satu minggu disuruh lupakan? Ini hati ... dan aku belum tahu rumus, atau cara terinstan buat melupakan.
Hati yang masih kacau membuatku memutuskan keluar dari pekerjaan. Kunikmati sepi, sendiri, dan sakit ini dalam kamar ukuran empat kali empat meter itu. Mengalihkan diri dengan menonton film, tapi semakin membuat galau. Salah diriku sendiri lihat film romantis. Kan tambah baper.
Bagaimana dengan orang sekitar? Sudah menutup mata dan telinga, tetap terdengar dan terasa. Kasak kusuk dengan berbagai tambahan kata yang entah bersumber dari siapa. Seringkali tatapan mengiba, atau mata tajam seperti nenek sihir yang siap menertawakan nasib ini. Tahu kan rasanya diperhatikan secara berlebihan, tidak enak. Apalagi ini hal besar, mengingat Ayah salah satu orang terpandang di sini. Membuatnya semakin terkenal. Kesialannya ...
Sempat tak berani keluar rumah karena tidak tahan pertanyaan dari orang sekitar. Hati belum kuat, masih sibuk berandai-andai, masih berusaha tetap waras, dari bayangan dirinya, dari kenangan saat bersama.
Terdengar pintu diketuk perlahan. Aku hanya melirik ke arah pintu sebentar, kembali bergelung dengan selimut. Namun, ketukan itu masih terdengar berkali-kali. Dengan enggan menyeret kaki menuju pintu, dengan baju dan rambut masih berantakan.
"Makan dulu," sapa Ibu setelah pintu aku buka.
"Sudah tadi, Bu!"
"Kapan? Makan bantal ,ya!" goda ibu.
Senyum tipis menghias wajahku, mau tak mau kuikuti langkahnya ke meja makan. Ibu yang biasanya cerewet, sekarang sedikit pendiam. Hanya pelukan yang diberikan tiap melihatku termenung sendiri. Kadang mata tuanya sering berhias kaca-kaca. Aku tahu, luka ini bukan hanya melukaiku, Ibu juga.
"Istighfar, Nak! Yang ikhlas, nanti pasti dapat ganti lebih baik. Insya Allah," ujar ibu sore itu sambil membelai rambutku. Aku terpejam menikmatinya. Rasa tenang, dan damai menyusupi hati.
"Ada yang ingin bertemu denganmu," ucap Ibu sambil berdiri.
"Siapa, Bu?"
“Aku akan memanggil Dika,” ujar Ayah memecah kesunyian, ”Pertunanganmu harus dibatalkan.” Ayah langsung berdiri berjalan gontai menuju kamar.
“Ini lebih baik, daripada kamu teruskan.” Ibu berdiri setelah menepuk pundakku dan berjalan menyusul Ayah.
Pertunangan terpaksa dibatalkan. Hal yang tidak pernah terpikirkan. Bayangan indah akan cincin pertunangan yang indah, serta stempel ‘Calon Istri Mahardika Wisnutama’ musnah sudah dalam sekejap.
Entah bagaimana nasib tenda dan katering yang sudah dipesan. Semua sudah di urus katanya. Pasti Ayah sudah mengeluarkan biaya besar. Dan itu salah satu yang membuat tambah sedih.
Sekarang yang aku pikirkan hanya bagaimana menyelamatkan nama baik orang tua. Bagaimanapun pasti mereka merasa malu, marah bahkan sedih.
Kedua orang tuaku terlihat murung meski berusaha menyembunyikan. Yang paling kubenci adalah saat mereka berusaha menghiburku, namun air mata Ibu selalu lebih dulu turun.
@@@
Aku berusaha menjaga hatiku sebaik-baiknya agar terlihat biasa. Ternyata ... hatiku tidak mudah menerima kenyataan. Seperti menggelembung menyesakkan dada, dan tinggal menunggu meledak terberai menjadikan keping-keping yang akan berhamburan tanpa bisa dicegah. Harapanku terlalu tinggi, hingga aku jatuh terlalu dalam. Terperosok hingga lupa cara kembali.
Menikmati setiap inci dari rasa perih yang menyayat hati. Bergelung ditemani alunan lagu patah hati yang semakin menancapkan rasa itu.
Aku bodoh. Iya... benar. Karena dalam hati masih belum menerima. Ada asa, meski secuil tentang ini semua hanya mimpi. Padahal jelas-jelas rasa sakitnya sungguh nyata.
Dua nomer ponselnya terlanjur hapal diluar kepala, meski sudah dihapus, kadang membuat jariku tidak sadar mengetik nomor, meski tidak sampai tersambung. Rindu ... jelas aku rindu.
Kebiasaan itu candu. Biasa telp tiap hari, biasa diperhatikan, biasa diantar kemanapun. Terus, dalam satu minggu disuruh lupakan? Ini hati ... dan aku belum tahu rumus, atau cara terinstan buat melupakan.
Hati yang masih kacau membuatku memutuskan keluar dari pekerjaan. Kunikmati sepi, sendiri, dan sakit ini dalam kamar ukuran empat kali empat meter itu. Mengalihkan diri dengan menonton film, tapi semakin membuat galau. Salah diriku sendiri lihat film romantis. Kan tambah baper.
Bagaimana dengan orang sekitar? Sudah menutup mata dan telinga, tetap terdengar dan terasa. Kasak kusuk dengan berbagai tambahan kata yang entah bersumber dari siapa. Seringkali tatapan mengiba, atau mata tajam seperti nenek sihir yang siap menertawakan nasib ini. Tahu kan rasanya diperhatikan secara berlebihan, tidak enak. Apalagi ini hal besar, mengingat Ayah salah satu orang terpandang di sini. Membuatnya semakin terkenal. Kesialannya ...
Sempat tak berani keluar rumah karena tidak tahan pertanyaan dari orang sekitar. Hati belum kuat, masih sibuk berandai-andai, masih berusaha tetap waras, dari bayangan dirinya, dari kenangan saat bersama.
Terdengar pintu diketuk perlahan. Aku hanya melirik ke arah pintu sebentar, kembali bergelung dengan selimut. Namun, ketukan itu masih terdengar berkali-kali. Dengan enggan menyeret kaki menuju pintu, dengan baju dan rambut masih berantakan.
"Makan dulu," sapa Ibu setelah pintu aku buka.
"Sudah tadi, Bu!"
"Kapan? Makan bantal ,ya!" goda ibu.
Senyum tipis menghias wajahku, mau tak mau kuikuti langkahnya ke meja makan. Ibu yang biasanya cerewet, sekarang sedikit pendiam. Hanya pelukan yang diberikan tiap melihatku termenung sendiri. Kadang mata tuanya sering berhias kaca-kaca. Aku tahu, luka ini bukan hanya melukaiku, Ibu juga.
"Istighfar, Nak! Yang ikhlas, nanti pasti dapat ganti lebih baik. Insya Allah," ujar ibu sore itu sambil membelai rambutku. Aku terpejam menikmatinya. Rasa tenang, dan damai menyusupi hati.
"Ada yang ingin bertemu denganmu," ucap Ibu sambil berdiri.
"Siapa, Bu?"
Diubah oleh ningka 10-03-2020 22:36
tariganna dan 16 lainnya memberi reputasi
17