- Beranda
- Stories from the Heart
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
...
TS
agusmulyanti
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
Spoiler for prolog:
*********
RULES
- Ikuti perarturan SFTH
- Agan2 dan Sista bebas berkomentar, memberikan kritik dan saran yang membangun.
- Selama Kisah ini Ditulis, mohon untuk berkomentar seputar cerita.
- Dilarang meng-copas atau meng copy segala bentuk di dalam cerita ini tanpa seizin penulis
index
Diubah oleh agusmulyanti 07-12-2022 06:16
theoscus dan 56 lainnya memberi reputasi
55
43.4K
590
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
agusmulyanti
#167
Part - 20
Gue berjalan menyusuri taman bunga entahlah gue hari ini hanya ingin sendiri. Perkataan bu Hanum tadi malam, membuat gue terus berfikir, apa maksud dari perkataannya itu. Hal itulah yang membuat gue tambah penasaran dan ingin tau, sejauh mana bu Hanum mengenal tempat ini.
Mang Asep sedang membersihkan kandang burung, saat gue datang ke paviliun. Dia sedikit terkejut, tapi dia berusaha untuk menutupinya.
"Burung apa ini mang ?."
"Burung Jalak den."
"Bagus kicauannya mang ?."
"Bagus den...hehe."
"Ibu sering kesini dulu mang ?," tanya gue lagi, tanpa menyebut nama Hanum.
"Sering den, sebelum..."
"Sebelum apa mang ?."
"Maaf den, air mamang matang, mamang kedapur dulu," ujar mang Asep, seperti menghindar.
Lama gue nunggu mang Asep kembali, tapi mang Asep gak juga muncul. Kucoba menyusulnya ke dalam.
"Mang !, mang Asep !," panggilku perlahan, tak ada jawaban.
Saat gue masuk ke ruang tamu, tanpa sengaja netra gue menangkap sekelebat bayangan dalam kamar. Gue berjalan mendekat, dan dari celah pintu yang terbuka, gue lihat mang Asep sedang berbicara dengan seseorang, entah dengan siapa.
"Iya...iya, saya akan minta tolong ki Anom, nanti."
Gue dengan cepat berbalik ke luar, saat gue lihat mang Asep menutup telpon dan berjalan mendekati pintu. Gue jongkok dekat burung jalak, seolah tengah memperhatikan burung kesayangan mang Asep. Dia sedikit terkejut karena gue masih belum pergi.
"Loh Aden masih disini ?,"
"Iya mang, saya lagi perhatiin burung ini, bagus. Kapan-kapan saya mau beli juga buat ditaruh di rumah ibu."
"Bu Hanum kan gak suka burung den, dia itu sukanya sama kucing. Dia suka marah kalau kesini lihat saya ngurus burung."
"Oh iya ya, saya koq lupa, kalau ibu gak suka burung."
"Yasudah saya balik dulu mang, bi Inah nanti nyariin lagi."
Gue tinggalin mang Asep yang sedang asik dengan burungnya. Otak gue disesaki berbagai pertanyaan yang membuat gue terus berfikir.
********
Kyai Hasan meminta gue untuk duduk, saat gue melintas.
"Nak Linggar, kemarilah."
"Ada apa kyai," ujar gue, sambil duduk dihadapannya."
"Begini nak, besok saya harus pulang, karena saya sudah lama ninggalin pesantren, kasian santri-santri disana, gak ada yang bimbing."
"Fatimah juga ikut pulang kyai."
"Iya nak, gak baik buat kalian jika tinggal dalam satu atap, tanpa pengawasan, bisa jadi fitnah nantinya."
Gue diam, hati gue resah. Kyai Hasan menatap gue dalam-dalam.
"Ada apa nak, bicaralah."
"Kyai, saya tidak tau harus memulai dari mana, saya khawatir sekali kyai, sepertinya ada seseorang yang tidak menghendaki kehadiran saya disini dan dia ingin saya celaka."
Kyai Hasan mengerutkan keningnya, lalu dengan bijak beliau berkata..
"Baiklah nak, saya akan tunda kepulangan saya, sampai nak Linggar kembali ke kota."
"Betul kyai ?, alhamdulillah ya Allah."
Seperti anak-anak yang mendapatkan mainan, gue senang bukan main, gue cium tangan kyai Hasan berulang-ulang, gue peluk tubuhnya dengan erat.
Kyai Hasan menepuk bahu gue dengan hangat sambil tersenyum.
******
"Bi...mas Linggar, kesukaannya apa bi ?."
"Oh..den Linggar itu, suka banget sama sayur asem, goreng tempe sama ikan teri balado Bisa nambah berkali-kali dia kalau sudah makan dengan lauk itu neng."
"Boleh Imah yang masak hari ini bi ?."
"Boleh..boleh banget neng."
Lalu Fatimah memasak dengan cekatan, bi Inah dan bi Narti yang ikut membantu, merasa kagum dengan kecantikan dan kepintaran gadis itu memasak.
Tidak berapa lama, semua makanan sudah siap dan di sajikan. Gue yang mencium aroma masakan kesukaan gue langsung datang ke meja makan, sambil mengajak kyai Hasan.
"Ayo kyai kita makan, kelihatannya bi Inah masak enak nih."
Kami makan bersama-sama, tanpa mang Asep tentunya, karena dia tak pernah mau, makan satu meja dengan kami. Gue makan dengan lahap, karena masakan hari ini benar-benar enak.
"Bi, masakan bibi hari ini enak banget, terutama sayur asemnya, lain dari yang biasa bibi masak, lebih enak, pokoknya top deh ," ujar gue seusai menyantap makanan.
"Bukan bibi yang masak den."
"Trus siapa bi ?, bi Narti ?, wah bibi berarti ada saingan ya..hehehe."
"Bukan den, bukan bi Narti juga, tapi neng Fatimah."
Gue menatap ke arah Fatimah, yang kelihatan malu-malu karena dipuji.
"Fatimah ?,"
"Iya den, neng Fatimah."
"Fatimah, terimakasih ya, sudah masak makanan kesukaan saya."
Fatimah mengangguk sambil tersenyum malu. Disaat seperti itu, Fatimah terlihat sangat cantik dan rupawan. Gue gak bisa menutupi rasa cinta yang semakin bersemi di hati gue. Ya Tuhan, tolong mudahkan jalan aku untuk menikahinya, doa gue dalam hati
Mang Asep sedang membersihkan kandang burung, saat gue datang ke paviliun. Dia sedikit terkejut, tapi dia berusaha untuk menutupinya.
"Burung apa ini mang ?."
"Burung Jalak den."
"Bagus kicauannya mang ?."
"Bagus den...hehe."
"Ibu sering kesini dulu mang ?," tanya gue lagi, tanpa menyebut nama Hanum.
"Sering den, sebelum..."
"Sebelum apa mang ?."
"Maaf den, air mamang matang, mamang kedapur dulu," ujar mang Asep, seperti menghindar.
Lama gue nunggu mang Asep kembali, tapi mang Asep gak juga muncul. Kucoba menyusulnya ke dalam.
"Mang !, mang Asep !," panggilku perlahan, tak ada jawaban.
Saat gue masuk ke ruang tamu, tanpa sengaja netra gue menangkap sekelebat bayangan dalam kamar. Gue berjalan mendekat, dan dari celah pintu yang terbuka, gue lihat mang Asep sedang berbicara dengan seseorang, entah dengan siapa.
"Iya...iya, saya akan minta tolong ki Anom, nanti."
Gue dengan cepat berbalik ke luar, saat gue lihat mang Asep menutup telpon dan berjalan mendekati pintu. Gue jongkok dekat burung jalak, seolah tengah memperhatikan burung kesayangan mang Asep. Dia sedikit terkejut karena gue masih belum pergi.
"Loh Aden masih disini ?,"
"Iya mang, saya lagi perhatiin burung ini, bagus. Kapan-kapan saya mau beli juga buat ditaruh di rumah ibu."
"Bu Hanum kan gak suka burung den, dia itu sukanya sama kucing. Dia suka marah kalau kesini lihat saya ngurus burung."
"Oh iya ya, saya koq lupa, kalau ibu gak suka burung."
"Yasudah saya balik dulu mang, bi Inah nanti nyariin lagi."
Gue tinggalin mang Asep yang sedang asik dengan burungnya. Otak gue disesaki berbagai pertanyaan yang membuat gue terus berfikir.
********
Kyai Hasan meminta gue untuk duduk, saat gue melintas.
"Nak Linggar, kemarilah."
"Ada apa kyai," ujar gue, sambil duduk dihadapannya."
"Begini nak, besok saya harus pulang, karena saya sudah lama ninggalin pesantren, kasian santri-santri disana, gak ada yang bimbing."
"Fatimah juga ikut pulang kyai."
"Iya nak, gak baik buat kalian jika tinggal dalam satu atap, tanpa pengawasan, bisa jadi fitnah nantinya."
Gue diam, hati gue resah. Kyai Hasan menatap gue dalam-dalam.
"Ada apa nak, bicaralah."
"Kyai, saya tidak tau harus memulai dari mana, saya khawatir sekali kyai, sepertinya ada seseorang yang tidak menghendaki kehadiran saya disini dan dia ingin saya celaka."
Kyai Hasan mengerutkan keningnya, lalu dengan bijak beliau berkata..
"Baiklah nak, saya akan tunda kepulangan saya, sampai nak Linggar kembali ke kota."
"Betul kyai ?, alhamdulillah ya Allah."
Seperti anak-anak yang mendapatkan mainan, gue senang bukan main, gue cium tangan kyai Hasan berulang-ulang, gue peluk tubuhnya dengan erat.
Kyai Hasan menepuk bahu gue dengan hangat sambil tersenyum.
******
"Bi...mas Linggar, kesukaannya apa bi ?."
"Oh..den Linggar itu, suka banget sama sayur asem, goreng tempe sama ikan teri balado Bisa nambah berkali-kali dia kalau sudah makan dengan lauk itu neng."
"Boleh Imah yang masak hari ini bi ?."
"Boleh..boleh banget neng."
Lalu Fatimah memasak dengan cekatan, bi Inah dan bi Narti yang ikut membantu, merasa kagum dengan kecantikan dan kepintaran gadis itu memasak.
Tidak berapa lama, semua makanan sudah siap dan di sajikan. Gue yang mencium aroma masakan kesukaan gue langsung datang ke meja makan, sambil mengajak kyai Hasan.
"Ayo kyai kita makan, kelihatannya bi Inah masak enak nih."
Kami makan bersama-sama, tanpa mang Asep tentunya, karena dia tak pernah mau, makan satu meja dengan kami. Gue makan dengan lahap, karena masakan hari ini benar-benar enak.
"Bi, masakan bibi hari ini enak banget, terutama sayur asemnya, lain dari yang biasa bibi masak, lebih enak, pokoknya top deh ," ujar gue seusai menyantap makanan.
"Bukan bibi yang masak den."
"Trus siapa bi ?, bi Narti ?, wah bibi berarti ada saingan ya..hehehe."
"Bukan den, bukan bi Narti juga, tapi neng Fatimah."
Gue menatap ke arah Fatimah, yang kelihatan malu-malu karena dipuji.
"Fatimah ?,"
"Iya den, neng Fatimah."
"Fatimah, terimakasih ya, sudah masak makanan kesukaan saya."
Fatimah mengangguk sambil tersenyum malu. Disaat seperti itu, Fatimah terlihat sangat cantik dan rupawan. Gue gak bisa menutupi rasa cinta yang semakin bersemi di hati gue. Ya Tuhan, tolong mudahkan jalan aku untuk menikahinya, doa gue dalam hati
Diubah oleh agusmulyanti 05-02-2020 10:56
anwaranwar93 dan 18 lainnya memberi reputasi
19