- Beranda
- Stories from the Heart
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
...
TS
agusmulyanti
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
Spoiler for prolog:
*********
RULES
- Ikuti perarturan SFTH
- Agan2 dan Sista bebas berkomentar, memberikan kritik dan saran yang membangun.
- Selama Kisah ini Ditulis, mohon untuk berkomentar seputar cerita.
- Dilarang meng-copas atau meng copy segala bentuk di dalam cerita ini tanpa seizin penulis
index
Diubah oleh agusmulyanti 07-12-2022 06:16
theoscus dan 56 lainnya memberi reputasi
55
43.4K
590
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
agusmulyanti
#137
Part - 17
Pernikahan gue gak bisa diteruskan dan harus tertunda, karena kejadian yang sungguh diluar nalar. Bi Narti masih meronta-ronta, tubuhnya dirasuki kekuatan ghoib yang sangat susah untuk dikeluarkan. Dia terus menatap Fatimah dengan penuh kebencian dan berusaha untuk melukai tubuh gadis itu. Kyai Hasan mulai kewalahan menghadapinya, akhirnya dengan dibantu dua santri, ghoib itu berhasil dikeluarkan. Tubuh bi Narti terkulai lemas dan pingsan.
********
Mang Asep datang tergopoh-gopoh dengan seseorang yang memakai baju hitam, layaknya jawara.
"Maaf den, ini ki Anom. Dia dukun ternama dari kampung sebelah. Saya memanggilnya untuk mengusir arawah yang mengganggu aden."
Gue menarik tangan mang Asep dan mengajaknya menjauh.
"Mang, siapa yang nyuruh mamang manggil dukun ?, kan sudah ada kyai Hasan."
"Maaf den, mamang gak tau."
"Yasudah suruh ki Anom pulang saja," ujar gue dengan marah.
Mang Asep mendekati ki Anom.
"Maaf ki, ternyata ghoibnya sudah bisa dikeluarkan."
Ki Anom tak berkata-kata, pandangan matanya tajam menatap Fatimah yang duduk di sudut ruangan. Dikeluarkannya keris dari sangkurnya, lalu perlahan ia berjalan ke arah Fatimah.
Gue berteriak dengan marah dan mengusirnya.
"Ki Anom, jangan coba-coba dekati calon istriku."
Ki Anom tak menggubris ucapan gue, dia terus berjalan mendekat dan semakin dekat. Fatimah tak bergeming, wajahnya menunduk. Gue juga heran kenapa Fatimah diam saja.
Gue takut dia akan melukai tubuh Fatimah, gue berlari dan memasang badan di depan tubuhnya. Kyai Hasan yang kakinya terluka memberi isyarat kepada santrinya untuk bersiaga.
Berbeda dengan kami yang ketakutan, mang Asep langsung berlari ke paviliun dan kembali dengan dupa menyala dan bunga tujuh rupa. Asap dupa mengepul memenuhi ruang tamu, wangi bunga berbaur dengan dupa membuat bulu kuduk gue meremang.
Gue tetap berdiri membelakangi Fatimah, sebelum akhirnya gue dikejutkan dengan cengkraman dan erangan yang membuat gue berteriak kesakitan...aduhhh....aawwww
Ki Anom komat kamit, melemparkan bunga setaman ke arah Fatimah. Fatimah mengerang..aarrrg, dan melepaskan cengkramannya dari tangan gue.
Gue bergeser menjauh. Fatimah menatap ki Anom dengan marah, matanya yang merah membelalak, dan berusaha menyerang ki Anom dengan ilmu kanuragan.
"Mau apa kamu disini ?, ini rumahku, pergi...aarrrghhh."
Ki Anom terkena satu serangan dan jatuh, hampir saja keris yang dipegangnya melukainya. Disaat terdesak, ki Anom menghunuskan kerisnya ke arah Fatimah, ..trangg
, santri kyai Hasan bertindak cepat, keris itu terjatuh di lantai. Kyai Hasan dengan tertatih mendekati Fatimah, dan dengan satu gerakan mengunci tubuh gadis itu.
"Bismillahi Allahu Akbar," kyai Hasan membacakan doa dan tubuh Fatimah yang tadi bertingkah sangat liar, melemah dan mengerang.
"Sakiittt....lepaskan aku."
"Aku akan melepasmu, tapi kamu harus pergi dari sini."
"Tidak mau..ini rumahku, aku ratu di rumah ini."
"Jika kamu tidak mau pergi, aku akan membakarmu."
"Sakiittt....lepaskan...iya aku akan pergi."
Lalu kyai Hasan mengeluarkan ghoib itu dari tubuh Fatimah. Fatimah terkulai lemas. Kyai Hasan menepuk nepuk pipi gadis itu.
"Bangun neng, ini abi."
"Abi.., ada apa ?, kenapa abi memeluk eneng ?," ujar Fatimah dengan nada bingung. Kyai Hasan hanya menggeleng sambil tersenyum.
"Gak ada apa-apa, hanya kamu tadi kecapekan, pingsan."
Fatimah menatap aku, air matanya terlihat mulai menggenang dan perlahan tumpah. Gue tak kuasa menahan amarah yang bergejolak, ingin rasanya gue memeluk tubuh Fatimah dan menenangkannya. Tapi gue gak bisa untuk saat ini.
Kyai Hasan menghapus air mata di pipi Fatimah.
"Sabar ya neng, ingat Allah tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan umatnya, dan eneng harus yakin, kekuatan tertinggi hanya milik Allah."
Fatimah mengangguk, sementara itu kyai Anom yang terluka berjalan meninggalkan ruang tamu dengan rasa malu.
********
Gue berjalan menghampiri kyai Hasan dan Fatimah. Gue tatap wajah Fatimah yang masih menangis.
"Fatimah, maafin saya ya."
"Kyai maafin saya," ujar gue sambil mencium tangan kyai. Kyai Hasan memeluk tubuh gue, dan menepuk bahu gue dengan hangat.
"Sabar nak Linggar, insyaAllah semua akan cepat berakhir."
Ruang tamu yang sedianya menjadi saksi pernikahan gue hari ini, terlihat berantakan disana sini. Bi Narti yang masih lemah, dipapah ke kamar oleh mas Tono, sementara bi Inah dan mas Parjo, berusaha merapikan ruangan yang berantakan, dibantu santri kyai Hasan.
********
Mang Asep datang tergopoh-gopoh dengan seseorang yang memakai baju hitam, layaknya jawara.
"Maaf den, ini ki Anom. Dia dukun ternama dari kampung sebelah. Saya memanggilnya untuk mengusir arawah yang mengganggu aden."
Gue menarik tangan mang Asep dan mengajaknya menjauh.
"Mang, siapa yang nyuruh mamang manggil dukun ?, kan sudah ada kyai Hasan."
"Maaf den, mamang gak tau."
"Yasudah suruh ki Anom pulang saja," ujar gue dengan marah.
Mang Asep mendekati ki Anom.
"Maaf ki, ternyata ghoibnya sudah bisa dikeluarkan."
Ki Anom tak berkata-kata, pandangan matanya tajam menatap Fatimah yang duduk di sudut ruangan. Dikeluarkannya keris dari sangkurnya, lalu perlahan ia berjalan ke arah Fatimah.
Gue berteriak dengan marah dan mengusirnya.
"Ki Anom, jangan coba-coba dekati calon istriku."
Ki Anom tak menggubris ucapan gue, dia terus berjalan mendekat dan semakin dekat. Fatimah tak bergeming, wajahnya menunduk. Gue juga heran kenapa Fatimah diam saja.
Gue takut dia akan melukai tubuh Fatimah, gue berlari dan memasang badan di depan tubuhnya. Kyai Hasan yang kakinya terluka memberi isyarat kepada santrinya untuk bersiaga.
Berbeda dengan kami yang ketakutan, mang Asep langsung berlari ke paviliun dan kembali dengan dupa menyala dan bunga tujuh rupa. Asap dupa mengepul memenuhi ruang tamu, wangi bunga berbaur dengan dupa membuat bulu kuduk gue meremang.
Gue tetap berdiri membelakangi Fatimah, sebelum akhirnya gue dikejutkan dengan cengkraman dan erangan yang membuat gue berteriak kesakitan...aduhhh....aawwww
Ki Anom komat kamit, melemparkan bunga setaman ke arah Fatimah. Fatimah mengerang..aarrrg, dan melepaskan cengkramannya dari tangan gue.
Gue bergeser menjauh. Fatimah menatap ki Anom dengan marah, matanya yang merah membelalak, dan berusaha menyerang ki Anom dengan ilmu kanuragan.
"Mau apa kamu disini ?, ini rumahku, pergi...aarrrghhh."
Ki Anom terkena satu serangan dan jatuh, hampir saja keris yang dipegangnya melukainya. Disaat terdesak, ki Anom menghunuskan kerisnya ke arah Fatimah, ..trangg
, santri kyai Hasan bertindak cepat, keris itu terjatuh di lantai. Kyai Hasan dengan tertatih mendekati Fatimah, dan dengan satu gerakan mengunci tubuh gadis itu.
"Bismillahi Allahu Akbar," kyai Hasan membacakan doa dan tubuh Fatimah yang tadi bertingkah sangat liar, melemah dan mengerang.
"Sakiittt....lepaskan aku."
"Aku akan melepasmu, tapi kamu harus pergi dari sini."
"Tidak mau..ini rumahku, aku ratu di rumah ini."
"Jika kamu tidak mau pergi, aku akan membakarmu."
"Sakiittt....lepaskan...iya aku akan pergi."
Lalu kyai Hasan mengeluarkan ghoib itu dari tubuh Fatimah. Fatimah terkulai lemas. Kyai Hasan menepuk nepuk pipi gadis itu.
"Bangun neng, ini abi."
"Abi.., ada apa ?, kenapa abi memeluk eneng ?," ujar Fatimah dengan nada bingung. Kyai Hasan hanya menggeleng sambil tersenyum.
"Gak ada apa-apa, hanya kamu tadi kecapekan, pingsan."
Fatimah menatap aku, air matanya terlihat mulai menggenang dan perlahan tumpah. Gue tak kuasa menahan amarah yang bergejolak, ingin rasanya gue memeluk tubuh Fatimah dan menenangkannya. Tapi gue gak bisa untuk saat ini.
Kyai Hasan menghapus air mata di pipi Fatimah.
"Sabar ya neng, ingat Allah tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan umatnya, dan eneng harus yakin, kekuatan tertinggi hanya milik Allah."
Fatimah mengangguk, sementara itu kyai Anom yang terluka berjalan meninggalkan ruang tamu dengan rasa malu.
********
Gue berjalan menghampiri kyai Hasan dan Fatimah. Gue tatap wajah Fatimah yang masih menangis.
"Fatimah, maafin saya ya."
"Kyai maafin saya," ujar gue sambil mencium tangan kyai. Kyai Hasan memeluk tubuh gue, dan menepuk bahu gue dengan hangat.
"Sabar nak Linggar, insyaAllah semua akan cepat berakhir."
Ruang tamu yang sedianya menjadi saksi pernikahan gue hari ini, terlihat berantakan disana sini. Bi Narti yang masih lemah, dipapah ke kamar oleh mas Tono, sementara bi Inah dan mas Parjo, berusaha merapikan ruangan yang berantakan, dibantu santri kyai Hasan.
anwaranwar93 dan 13 lainnya memberi reputasi
14