- Beranda
- Stories from the Heart
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
...
TS
agusmulyanti
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
Spoiler for prolog:
*********
RULES
- Ikuti perarturan SFTH
- Agan2 dan Sista bebas berkomentar, memberikan kritik dan saran yang membangun.
- Selama Kisah ini Ditulis, mohon untuk berkomentar seputar cerita.
- Dilarang meng-copas atau meng copy segala bentuk di dalam cerita ini tanpa seizin penulis
index
Diubah oleh agusmulyanti 07-12-2022 06:16
theoscus dan 56 lainnya memberi reputasi
55
43.4K
590
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
agusmulyanti
#102
Part - 14
Waktu menunjukan pukul 11 lebih 15 menit, saat kami memasuki gerbang rumah. Gerbang di gembok dari dalam.
"Mang...mang Asep..buka pintu mang," teriak gue...sepi, tak ada sahutan dari dalam. Kupencet bel pintu berkali-kali, tapi tak ada seorangpun yang keluar.
"Aduh..gimana ini ?."
Kyai Hasan mendekati gue, dan membisikan sesuatu ke telinga gue. Gue mengangguk mengiyakan. Sejurus kemudian pintu gerbang sudah terbuka.
Kami masuk dengan tetap waspada. Fatimah terlihat berbisik ke Abinya, entah apa yang dibicarakannya.
Paviliun terlihat terang, asap dupa tercium sangat menyesakan dada. Gue hendak berjalan menuju paviliun, tapi kyai Hasan mencegahnya, dengan satu isyarat. Akhirnya gue urungkan niat gue untuk masuk ke paviliun.
*******
Akhirnya kami langsung menuju rumah utama. Gue ketuk pintu rumah...tak ada sahutan dari dalam. Saat gue mencoba menggerakkan handle pintu, ternyata tidak terkunci dan rumah dalam keadaan gelap gulita. Jantung gue berdegup kencang.
"Bi...bi Inah.. Bi Narti!!..Mas Parjo."
Tak ada sahutan. Mas Tono panik dan langsung menerobos masuk.
"Narti...Nar...Narti, kamu dimana Ti," mas Parjo berusaha memanggil istrinya, tapi tak ada sahutan.
Gue hidupkan lampu ruang tamu, ruangan menjadi terang, tapi gue enggak menemukan siapapun. Gue alihkan pandangan ke seluruh ruang, pandangan gue tertuju ke kamar ayah, pintu kamar ayah terbuka. Gue berjalan masuk ke kamar itu, ternyata lampunya masih belum juga menyala...siall, kemarin gue langsung berangkat, dan lupa menyuruh Parjo memasang lampu.
********
Kyai Hasan, Fatimah dan tiga orang santrinya, gue persilahkan masuk, dan duduk di ruang tamu. Fatimah yang seluruh tubuhnya basah, meminta ijin untuk ke kamar mandi dan mengganti pakaian. Mas Tono terus mencari keberadaan istrinya, ia naik ke atas dan tak lama kemudian berteriak memanggil gue.
"Mas...mas Linggar, naik mas !!."
Gue berlari menuju lantai atas, diikuti kyai Hasan dan santrinya, betapa terkejutnya gue, saat mendapati bi Inah, bi Narti dan Parjo, terbaring di lantai, tak sadarkan diri.
"Bu...bu, bangun bu, bangun...ini aku."
Bi Narti membuka matanya, saat melihat suaminya ia langsung memeluk dan menangis.
"Mas...aku takut mas., aku takut."
Mas Tono mendekap istrinya erat-erat, sementara itu bi Inah dan Parjopun, sudah sadar, dan mulai berdiri.
"Apa yang terjadi mas Parjo ?, kenapa kalian pingsan semua," tanya gue
Mas Parjo mulai bercerita, bahwa tadi selepas maghrib, ia ingin menghidupkan lampu kamar ayah, tapi tiba-tiba, seperti ada satu kekuatan besar yang mendorongnya, ia terjatuh. Tak lama kemudian bi Inah datang, dan berusaha untuk menolong, tapi tubuhnyapun ikut terdorong , begitu juga dengan bi Narti. Tubuh mereka seperti terbawa ke lorong yang gelap, ada jeritan perempuan yang merintih kesakitan dan ada suara laki-laki yang dengan bengis seperti sedang menghujamkan sesuatu dengan kasar. Saya tidak tau apa itu mas, karena sesudahnya saya pingsan.
"Tapi koq, tubuh kalian bisa ada di lantai atas," tanya gue heran
"Saya juga gak tau mas," ujar Parjo sambil menggaruk garuk kepalanya.
********
Kyai Hasan mendengarkan cerita Parjo dengan seksama, lalu ia meminta ijin untuk melihat kamar ayah.
Belum lagi kami masuk ke kamar ayah, suara jeritan Fatimah membuat kami menghambur ke kamar mandi.
"Fatimah buka!!, buka pintunya nak !."
Karena tak ada jawaban, kyai Hasan meminta yang lain menjauh, karena ia akan membuka paksa pintunya dan menyelamatkan Fatimah.
brakkk, pintu kamar mandi berderak saat di buka paksa kyai Hasan. Disudut kamar mandi tubuh Fatimah terkulai lemas, ia masih memakai baju yang basah tadi, di lehernya terlihat luka bekas cakaran dan lebam.
Kyai Hasan langsung membopong tubuh Fatimah, dan membaringkannya di tempat tidurku. Wajah cantik Fatimah terlihat pucat, dan tubuhnya sangat lemah.
"Tolong buatkan air teh hangat !," teriak gue dengan panik.
Mas Tono berlari ke dapur, dan tak lama membawa secangkir teh manis hangat. Gue berikan teh itu kepada kyai Hasan.
Kyai Hasan memeriksa keadaan Fatimah dan mencoba menyalurkan hawa panas kedalam tubuh putri cantiknya yang terbaring lemah. Tak lama kemudian tubuh Fatimah terlihat mulai bergerak dan membuka matanya.
"Syukurlah...Allah masih menyelamatkanmu anakku" ujar kyai Hasan
"Abi...abi, Imah takut abi, dia jahat, dia mencekik leher Imah."
Kyai Hasan mendekap tubuh Fatimah, dan membelai rambutnya.
"Iya neng, untunglah Allah masih melindungimu nak
"
"Sekarang eneng ganti baju dulu ya. Luka eneng, tadi udah abi obatin, biar tubuh eneng hangat."
"Tapi Abi, baju eneng basah semua, kehujanan tadi."
"Pakai baju aku saja Fatimah, kebetulan badan kita sama besarnya, aku rasa cukup." ujar gue refleks
Fatimah memandang abinya. Setelah mendapat persetujuan dari abinya, ia menerima tawaranku.
"Abi..Imah takut."
"Enggak apa-apa neng, Abi tunggu disini, eneng gak usah takut."
Gue menunggu di luar, dan meminta bi Narti untuk meminjamkan pakaian dalam dan hijab miliknya kepada Fatimah. Kalau baju, jelas gak mungkin muat, karena tubuh bi Narti dan bi Inah pendek dan kecil.
******
Tak lama menunggu, akhirnya Imah keluar dengan mengenakan sweather dan celana jeans gue yang sudah gak muat gue pakai. Ia terlihat sangat cantik dan menawan. Tubuh semampainya terlihat sangat indah dengan baju itu.
"Abi, aku malu pakai ini."
"Iya gak apa-apa neng, inikan dalam keadaan darurat."
Fatimah mengangguk, dan meminta abinya untuk mengganti baju juga.
Gue yang sudah kedinginan juga bergegas mandi dan mengganti baju.
"Mang...mang Asep..buka pintu mang," teriak gue...sepi, tak ada sahutan dari dalam. Kupencet bel pintu berkali-kali, tapi tak ada seorangpun yang keluar.
"Aduh..gimana ini ?."
Kyai Hasan mendekati gue, dan membisikan sesuatu ke telinga gue. Gue mengangguk mengiyakan. Sejurus kemudian pintu gerbang sudah terbuka.
Kami masuk dengan tetap waspada. Fatimah terlihat berbisik ke Abinya, entah apa yang dibicarakannya.
Paviliun terlihat terang, asap dupa tercium sangat menyesakan dada. Gue hendak berjalan menuju paviliun, tapi kyai Hasan mencegahnya, dengan satu isyarat. Akhirnya gue urungkan niat gue untuk masuk ke paviliun.
*******
Akhirnya kami langsung menuju rumah utama. Gue ketuk pintu rumah...tak ada sahutan dari dalam. Saat gue mencoba menggerakkan handle pintu, ternyata tidak terkunci dan rumah dalam keadaan gelap gulita. Jantung gue berdegup kencang.
"Bi...bi Inah.. Bi Narti!!..Mas Parjo."
Tak ada sahutan. Mas Tono panik dan langsung menerobos masuk.
"Narti...Nar...Narti, kamu dimana Ti," mas Parjo berusaha memanggil istrinya, tapi tak ada sahutan.
Gue hidupkan lampu ruang tamu, ruangan menjadi terang, tapi gue enggak menemukan siapapun. Gue alihkan pandangan ke seluruh ruang, pandangan gue tertuju ke kamar ayah, pintu kamar ayah terbuka. Gue berjalan masuk ke kamar itu, ternyata lampunya masih belum juga menyala...siall, kemarin gue langsung berangkat, dan lupa menyuruh Parjo memasang lampu.
********
Kyai Hasan, Fatimah dan tiga orang santrinya, gue persilahkan masuk, dan duduk di ruang tamu. Fatimah yang seluruh tubuhnya basah, meminta ijin untuk ke kamar mandi dan mengganti pakaian. Mas Tono terus mencari keberadaan istrinya, ia naik ke atas dan tak lama kemudian berteriak memanggil gue.
"Mas...mas Linggar, naik mas !!."
Gue berlari menuju lantai atas, diikuti kyai Hasan dan santrinya, betapa terkejutnya gue, saat mendapati bi Inah, bi Narti dan Parjo, terbaring di lantai, tak sadarkan diri.
"Bu...bu, bangun bu, bangun...ini aku."
Bi Narti membuka matanya, saat melihat suaminya ia langsung memeluk dan menangis.
"Mas...aku takut mas., aku takut."
Mas Tono mendekap istrinya erat-erat, sementara itu bi Inah dan Parjopun, sudah sadar, dan mulai berdiri.
"Apa yang terjadi mas Parjo ?, kenapa kalian pingsan semua," tanya gue
Mas Parjo mulai bercerita, bahwa tadi selepas maghrib, ia ingin menghidupkan lampu kamar ayah, tapi tiba-tiba, seperti ada satu kekuatan besar yang mendorongnya, ia terjatuh. Tak lama kemudian bi Inah datang, dan berusaha untuk menolong, tapi tubuhnyapun ikut terdorong , begitu juga dengan bi Narti. Tubuh mereka seperti terbawa ke lorong yang gelap, ada jeritan perempuan yang merintih kesakitan dan ada suara laki-laki yang dengan bengis seperti sedang menghujamkan sesuatu dengan kasar. Saya tidak tau apa itu mas, karena sesudahnya saya pingsan.
"Tapi koq, tubuh kalian bisa ada di lantai atas," tanya gue heran
"Saya juga gak tau mas," ujar Parjo sambil menggaruk garuk kepalanya.
********
Kyai Hasan mendengarkan cerita Parjo dengan seksama, lalu ia meminta ijin untuk melihat kamar ayah.
Belum lagi kami masuk ke kamar ayah, suara jeritan Fatimah membuat kami menghambur ke kamar mandi.
"Fatimah buka!!, buka pintunya nak !."
Karena tak ada jawaban, kyai Hasan meminta yang lain menjauh, karena ia akan membuka paksa pintunya dan menyelamatkan Fatimah.
brakkk, pintu kamar mandi berderak saat di buka paksa kyai Hasan. Disudut kamar mandi tubuh Fatimah terkulai lemas, ia masih memakai baju yang basah tadi, di lehernya terlihat luka bekas cakaran dan lebam.
Kyai Hasan langsung membopong tubuh Fatimah, dan membaringkannya di tempat tidurku. Wajah cantik Fatimah terlihat pucat, dan tubuhnya sangat lemah.
"Tolong buatkan air teh hangat !," teriak gue dengan panik.
Mas Tono berlari ke dapur, dan tak lama membawa secangkir teh manis hangat. Gue berikan teh itu kepada kyai Hasan.
Kyai Hasan memeriksa keadaan Fatimah dan mencoba menyalurkan hawa panas kedalam tubuh putri cantiknya yang terbaring lemah. Tak lama kemudian tubuh Fatimah terlihat mulai bergerak dan membuka matanya.
"Syukurlah...Allah masih menyelamatkanmu anakku" ujar kyai Hasan
"Abi...abi, Imah takut abi, dia jahat, dia mencekik leher Imah."
Kyai Hasan mendekap tubuh Fatimah, dan membelai rambutnya.
"Iya neng, untunglah Allah masih melindungimu nak
"
"Sekarang eneng ganti baju dulu ya. Luka eneng, tadi udah abi obatin, biar tubuh eneng hangat."
"Tapi Abi, baju eneng basah semua, kehujanan tadi."
"Pakai baju aku saja Fatimah, kebetulan badan kita sama besarnya, aku rasa cukup." ujar gue refleks
Fatimah memandang abinya. Setelah mendapat persetujuan dari abinya, ia menerima tawaranku.
"Abi..Imah takut."
"Enggak apa-apa neng, Abi tunggu disini, eneng gak usah takut."
Gue menunggu di luar, dan meminta bi Narti untuk meminjamkan pakaian dalam dan hijab miliknya kepada Fatimah. Kalau baju, jelas gak mungkin muat, karena tubuh bi Narti dan bi Inah pendek dan kecil.
******
Tak lama menunggu, akhirnya Imah keluar dengan mengenakan sweather dan celana jeans gue yang sudah gak muat gue pakai. Ia terlihat sangat cantik dan menawan. Tubuh semampainya terlihat sangat indah dengan baju itu.
"Abi, aku malu pakai ini."
"Iya gak apa-apa neng, inikan dalam keadaan darurat."
Fatimah mengangguk, dan meminta abinya untuk mengganti baju juga.
Gue yang sudah kedinginan juga bergegas mandi dan mengganti baju.
Diubah oleh agusmulyanti 03-02-2020 17:53
anwaranwar93 dan 13 lainnya memberi reputasi
14