Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!
"Karena ada tamu dari luar negeri, untuk acara seminar minggu depan kamu akan kerja sama dengan anak sastra ya." Ucap salah satu Dosen.
"Anak sastra? Dari kampus kita atau gimana Pak?" Tanyaku.
"Iya dari kampus kita aja, ngga usah ngundang dari luar. Jadi nanti dia yang bicara bahasa inggris dan kamu bahasa indonesia." Jawab beliau.
"Loh dia ngga ikut briefingsekarang Pak?" Tanyaku lagi.
"Teknisnya ngga terlalu ribet, cukup kamu yang bicara duluan abis itu baru dia. Jadi ya ketemu besok aja langsung. Seandainya butuh tambahan ngga terlalu banyak jadi masih aman." Jelas beliau.
"Oke kalau begitu Pak."
"Dan untuk yang lain..." Rapat berlanjut hingga selesai, tak terasa hari sudah mulai gelap. Aku bersama dengan beberapa temanku berjalan keluar dari gedung kampus lalu singgah sebentar di pelataran.
"Ngomong-ngomong lu tau ngga sih siapa yang bakalan jadi partner gue minggu depan?" Tanyaku.
Satu temanku hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Yang gue tau sih dia itu anak unggulan." Jawab yang lain.
"Anak unggulan? Maksudnya?" Tanyaku lagi.
"Ya maksudnya tuh dia yang terbaik di kelasnya, yang gue denger sih nilainya pukul rata A, selain itu ada B satu doang." Jelasnya.
"Ya kan kebanyakan orang yang pinter banget itu sedikit punya temen bahkan bisa ngga punya. Ilmunya kebanyakan, sosialnya jadi sedikit." Jelasnya.
"Ya ngga semuanya gitu juga dong, cuma mayoritas aja." Sanggahku.
Setelah perbincangan kami yang mulai melebar, akhirnya kami meninggalkan pelataran menuju parkiran dan pulang ke rumah masing-masing. Dengan santainya ku nyalakan mesin motor lalu berkendara melewati beberapa gedung yang ada di kampus.
Lalu lalang kendaraan silih berganti, 30 menit sudah berlalu, hingga aku tiba di sebuah komplek ruko. Ku parkirkan motorku di sebelah mobil hitam yang sudah terparkir. Aku berjalan masuk ke dalam ruko dan berjalan melewati beberapa pelanggan yang sudah duduk sambil berbincang.
"Tumben lu sampe sore banget?" Tanya orang di balik meja kasir.
"Ada briefing buat acara seminar minggu depan, jadi ya sampe sore." Kataku sambil meletakkan tas.
Ku ambil apron hitam yang menggantung di dinding lalu mengenakannya, kemudian aku berjalan menuju mesin kopi.
"Seminar apaan?" Tanyanya.
Bunyi mesin giling kopi terdengar setelah ku nyalakan, keluarlah bubuk kopi ke dalam wadahnya, "Acara waktu itu yang gue studi ke luar negeri." Kumatikan mesin tersebut sambil berlalu menuju mesin kopi.
Orang itu hanya mengangguk. Mesin kopi ini sudah mulai beroperasi dan sedikit demi sedikit datanglah pengunjung pada sore hari ini.
"Cappucino Hot satu ya, sama Brownies.."
"Java Chips Frappe ya mas..."
"Strawberry Latte satu, Cafe Latte Hot satu, sama Ice Americano extra shot satu..."
Itulah suara-suara yang ku dengar dari balik mesin kopi ini, dan tak jarang juga ku dengar lantunan lagu dari speaker di setiap sudut ruangan ini. Satu demi satu pesanan berdatangan silih berganti, tak kadang juga ada pelanggan yang meminta pesanan dengan permintaan tidak biasa.
Beberapa jam sudah berlalu, saat ini aku sedang membereskan bangku-bangku dengan meja dan ada orang yang masih berkutat dengan mesin kasirnya. Hingga salah satu orang dari gudang keluar sudah dengan tas di punggungnya.
"Mas, Bang, aku pulang duluan ya." Ucapnya.
Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum menjawabnya. Orang yang ada di balik kasir menatap ke arahnya sambil berkata, "Oh iya gaji kamu mau ditransfer apa tunai?"
"Transfer aja Bang.” Jawabnya.
Kemudian ia pergi meninggalkan ruko ini. Setelah semuanya selesai aku menyempatkan diri untuk duduk di teras. Tak lama berselang datanglah orang yang sedari tadi di mesin kasir, duduk di sampingku sambil menyerahkan sekotak rokok.
"Eh bagian lu udah gue transfer ya, sama rekap datanya udah gue kirim." Katanya.
Aku mengangguk setelah menyalakan sebatang rokok. Kemudian aku membuka pesan yang baru saja dia kirim, ku baca dengan teliti laporan bulan ini hingga halaman terakhir.
"Diundang sih, cuma apa perlu gue dateng ya?" Tanyanya.
"Ya dateng dong, kan udah diundang. Beda urusannya kalau lu ngga diundang tapi tiba-tiba dateng." Kataku.
"Tapi kan gue mantannya, mantan terakhir pula sebelum dia akhirnya mutusin buat nikah. Apa kata orang-orang ntar." Sanggahnya.
"Ya ngga ada yang salah kalau lu dateng, salah kalau lu mau batalin pernikahannya dia..." kataku sambil memasukkan handphone ke dalam saku kemeja, "apa emang lu masih ngga rela?"
"Jujur aja sih sebenernya gue kaget banget dapet kabar kalau dia mau nikah. Maksud gue gini, dia aja putus sama gue baru 3 bulan. Lah siapa yang ngga kaget tiba-tiba dikasih undangan dua nikah?" Ucapnya.
"Emang salah ya kalo baru putus 3 bulan langsung dapet yang baru terus nikah?" Tanyaku penasaran.
"Ya ngga salah sih cuma pasti semua orang bakalan mikir beda-beda. Pasti ada yang mikir dia dijodohin lah, ada yang mikir dia hamil duluan lah, atau dia nikah karena terpaksa lah, itu loh maksud pembicaraan gue. Lu sih udah lama ngga punya pacar jadi ngga tau gimana rasanya..." dia mengambil sebatang rokok dari kotaknya, "tapi lu udah 5 tahun ya ngga ngedeketin siapa-siapa, kok lu betah sih?"
"Masa gue harus jelasin lagi dari awal? Kan lu udah denger semua ceritanya dulu." Kataku.
"Tapi maksud gue gini, menurut gue itu hal wajar banget. cuma kenapa lu butuh sampe 5 tahun gitu?" Tanyanya lagi.
"Entah..." jawabku setelah bangun dari duduk, "mungkin emang kapasitas gue aja..." aku berjalan menuju motor lalu mengenakan helm, "atau emang yaudah."
Obrolan malam ini selesai ketika aku meninggalkan orang itu. Tidak banyak kendaraan yang lewat, hanya sesekali beberapa lampu merah yang membuat kendaraan-kendaraan memadat. Begitu juga dengan apa yang sudah ku lalui hingga saat ini, terasa hampa tanpa ada pencapaian namun jika dirunut satu persatu maka akan nampak banyak hasilnya.
15 menit berlalu hingga aku tiba di rumah. Aku masuk ke dalam berjalan melewati ruang tamu yang gelap, singgah ke dapur untuk membuka kulkas. Setelah mengambil botol minuman, aku berjalan naik ke lantai atas menuju kamar. Ku letakkan tas di atas meja setelah mengeluarkan laptop dari dalamnya, beberapa saat kemudian aku mulai membaca tulisan-tulisan sambil meminum minuman botolan.
"Harus gue lanjutin ceritanya..." kataku seorang diri sambil tetap membaca tulisan-tulisan tersebut, "atau gue udahin aja."
Kuletakkan laptop yang masih menyala di lantai beralaskan karpet, kutinggalkan menuju balkon kamar dengan rokok yang sudah menyala di tangan. Aku hanya berdiri, terdiam menatap atap-atap perumahan yang berjajar dari sini. Sesekali aku melihat langit malam yang cerah dengan bulan dan bintang nampak jelas di mata. Handphone sudah ku genggam, aku mencoba untuk mengirim pesan kepada seseorang dengan harapan mendapat jawaban.
Ting! Pesan balasan masuk, aku mulai membacanya dan membalas pesan tersebut. Terjadi dialog pesan antara aku dengan orang tersebut hingga aku membalas dan mengakhirinya, "Terima kasih."
Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan kembali melihat laptop, dan aku mulai mengetik beberapa paragraf untuk melanjutkan tulisan tersebut. Dan tak terasa sudah beberapa jam aku menatap laptop ini dengan paragraf-paragraf baru yang sudah ku tambahkan, beberapa kali aku membaca dan mengulanginya lagi hingga kumatikan laptop tersebut.
Aku tak beranjak dari tempat dudukku, mataku terpaku pada sebuah amplop yang muncul hanya sudutnya padahal sudah ku simpan di antara tumpukkan buku dan kertas di atas meja. Terdiam untuk beberapa saat hingga aku mencoba untuk mengambil amplop tersebut, dan aku berhasil untuk bangun dari kursi beranjak ke tempat tidur.
"Ngga bakalan..." kataku kemudian merebahkan diri di atas tempat tidur, "gue buka amplop itu." lalu kupejamkan mata ini.
*
Sabtu pagi, kegiatan kampus tidak ada. Aku masih duduk di ruang tamu sambil menonton acara televisi, sajian berita politik yang kupilih.
"Heran..." aku membuka botol minuman dingin lalu meminumnya, "apa zaman udah makin ngga bener ya, ada lah anak ngebunuh ibunya, ada lah pemerkosaan di bawah umur, ada lah korupsi pengadaan."
Beberapa menit botol minuman sudah kosong, aku memutuskan untuk keluar rumah dengan tas yang sudah kukenakan dan botol kosong di tangan kanan. Sebuah tong sampah sudah menanti di luar pagar, kurang lebih jaraknya tiga meter. Sebuah lemparan sudah kulakukan dan Tak!, botol minuman itu masuk ke dalam tong sampah. Bersamaan dengan itu pula sudah ada mobil yang terparkir di depan rumahku, kaca jendela mobil pun terbuka.
"Masih jago juga ternyata, ayo buruan." Ucapnya.
"Sabar..." kataku sambil mengikat tali sepatu, "ngga liat nih lagi ngapain."
Setelah itu aku masuk ke dalam mobil dan kami pun berangkat. Suara radio dari dalam mobil sudah terdengar, kepulan asap dari rokok kami sudah nampak, dan jalanan di Sabtu pagi yang masih sepi.
"Eh iya semalem lu udah update cerita kan?" Tanyanya.
"Udah kok, gue update langsung tiga sekaligus." Jawabku.
"Tiga?..." tanyanya sambil melihat ke arah persimpangan jalan, "kok bisa langsung tiga?"
"Udah baca aja jangan kebanyakan nanya." Kataku.
"Loh pasti orang-orang yang baca cerita lu juga bakalan nanya pertanyaan yang sama, mana pernah lu update dalam seminggu itu tiga kali tapi ini dalam sehari langsung tiga." Katanya.
Aku tidak menanggapi perkataannya, aku hanya memandang pinggiran jalan yang hari ini kosong. Kami memutuskan untuk singgah sejenak di pinggir jalan lalu membeli sarapan di pedagang gerobakan.
"Bang, bubur ayam porsinya satu setengah, tanpa kacang dan seledri. Lu gimana?" Ucapnya.
"Gue porsi normal..." kataku lalu duduk di bangku, "banyakin bawangnya."
Pesanan kami sudah ada di meja, aku mulai memakan bubur ini dengan santainya, sedangkan orang yang ada di hadapanku masih berkutat dengan handphone miliknya. Beberapa suapan, beberapa tusuk sate jeroan sudah kuhabiskan, namun dia masih saja dengan handphone tanpa memakan buburnya.
"Lu ngapain sih? Tadi ngeluh laper sekarang malah didiemin buburnya?" Protesku.
"Bentar..." dia masih menatap layar handphone dengan seksama dan aku memutuskan untuk kembali makan.