- Beranda
- Stories from the Heart
[cinta. horror. roman] - The Second
...
TS
abangruli
[cinta. horror. roman] - The Second
![[cinta. horror. roman] - The Second](https://s.kaskus.id/images/2019/11/14/10479605_20191114110217.jpg)
“Kamu tidak perlu memilih dia atau aku.
Pilih dia saja.
Tak perlu kamu khawatirkan aku.
Aku cuma minta satu hal.
Maukah kamu sebut namaku dalam doa-doamu?”
***
Chapter 1 – Awal Kisah
Pukul 01.34 dini hari. Aku sendirian di kamar. Duduk tegak lurus dengan pandangan penuh ke layar laptop. Jemari kubiarkan menari di keyboard, mengetik setiap detik kisah hidup yang aku alami. Tentu saja nama-namanya aku pilih yang lebih keren, kota tempat kejadian aku geser beberapa ratus kilometer dari aslinya dan penggambaran para tokoh aku percantik dan perganteng sekian persen. Seolah menjadi kisah fiksi. Padahal tidak. Hanya saja aku tak ingin mereka tahu bahwa itu kisah asli.
Jemariku terus mengetik hingga mendadak aku merasa dingin. Tercium wangi yang khas.
Aha. Dia sudah datang.
“Hai apa kabar..” tanyaku sambil terus menatap layar. Tak perlu menengok agar aku tak tebuai dalam keindahan yang memabukkan. Tapi dari bayang-bayang yang memantul di layar, bisa terlihat siluetnya yang menarik. Suara lembut menjawab terdengar seolah tepat disampingku, padahal dia masih dibelakang, “kangen kamu..”
Tanpa sadar aku tersenyum. Entah dari siapa mahluk itu belajar merayu orang. Teringat beberapa bulan lalu saat dia pertama kali menyapa aku.
***
“Hai..” suara lembut seorang wanita dari belakang. Aku kaget dan segera menoleh. Terlihat seorang gadis menatap mataku dengan ceria. Senyumnya mengembang sempurna memamerkan deretan giginya yang rapi. Kulitnya putih, tubuhnya wangi. Rambutnya lurus sepundak khas remaja yang energik, yang tak ingin gerak geriknya terganggu oleh rambut panjang. Poninya yang aduhai, yang bikin aku terpesona sekian detik menatapnya. Aku memang sangat mudah jatuh cinta pada poni yang menghias kening seorang gadis. Membuat ia terlihat lebih feminin. Bajunya pun casual, kaos pink sedikit ketat dengan celana jeans yang pas di kaki jenjangnya. Sepatu kets warna pink menghiasi ujungnya.
Indah.
Harusnya moment tersebut menjadi moment yang sangat indah. Sayang, keindahan tersebut agak ternoda dengan waktu dan lokasi pertemuan yang tidak tepat. Aku melihat angka digital pada pergelangan tangan.
Pukul 01.20 di pinggir kompleks.
Komplek perumahan? Sayangnya bukan. Aku sedang berjalan melewati komplek pemakaman. Dengan tergesa-gesa karena tak ingin mengganggu keheningan kompleks tersebut. Ini terjadi karena aku harus lembur, pulang malam, sialnya mobilku mogok kehabisan bensin 1 kilometer dari rumah. Panggil ojek online gak bisa gegara handphone yang mati. Terpaksa jalan toh hanya 1 kilometer. Hanya saja aku memang harus melewati pemakaman untuk mencapai rumah. Ya sudah daripada tidur di mobil aku pun memutuskan untuk jalan. Bertekad setengah berlari saat melewati kuburan.
Tapi kini aku dapati bukannya berjalan terburu-buru seperti rencana awal, aku malah sedang mematung memandang seorang gadis. Gadis yang indah tapi di waktu dan background lokasi yang salah.
“Kami jin ya?” aku bertanya sambil tertawa. Berharap ia tertawa dan menggeleng.
Tapi ia hanya tertawa. Renyah. Tawa yang bikin lega, karena jauh dari kesan menakutkan. Masa sih kuntilanak ketawanya bikin gemes gitu.
“Kamu tinggal dimana sih, kok jam segini masih disini..” tanyaku. Pertanyaan bodoh yang seharusnya tak pernah aku lontarkan.
“Aku tinggal disini” jawabnya sambil tersenyum.
Anjay! Aku terdiam, seketika aku bisa merasakan rona hangat dari wajahku seperti terhisap habis dan menyisakan pucat pasi yang luar biasa, “ka.. kamu becanda?”
Ayo mengangguklah! Angguklah!
Sayang seribu sayang, bukannya mengangguk ia malah mengegeleng. Sambil terus tersenyum ia berkata “aku gak becanda, aku memang tinggal disini...”
Seolah belum puas melihat kengerianku, ia perjelas dimana ia tinggal, “itu di pohon kamboja sebelah sana”
Sungguh ingin rasanya kutempeleng bocah kurang ajar itu, seenaknya bikin air pipisku mendadak ingin keluar. Walaupun cantik tapi kalau bikin aku kencing dicelana harus diberi pelajaran. Tapi jangankan menampar, menggerakkan tangan saja aku gagal, “ini prank ya?”
“kalau prank aku pasti pakai kostum pocong atau suster ngesot atau apalah yang serem-serem..” ia terdiam sebentar, seolah sedang berpikir, “atau kamu mau lihat aku berubah pakai kostum itu?”
Aku terdiam bagai lumpuh. Lututku lemas, lidahku kelu.
“Gak lah, aku gak mau kamu takut. Aku begini karena aku tahu selera kamu. Aku tahu kamu suka cewek berponi, aku tahu kamu suka cewek casual, aku tahu kamu suka cewek yang ceria. Karena itu aku menjadi seperti ini...karena aku...”
Terdiam sejenak, “karena aku suka kamu..” jawabnya dengan mata yang luar biasa indah.
Aku ternganga. Aku pasti mimpi. Berdiri mematung di pinggir kuburan dengan sesosok mahluk entah apa yang sedang menyatakan cinta padaku. Ini pasti mimpi.
Mimpi romantis yang sayangnya bergenre horror.
Akhirnya aku merasakan kehangatan dipangkal celanaku. Anjay!
[bersambung]
INDEX
Chapter 2 - Pingsan
Chapter 3 - Rumah Sakit
Chapter 4 - Namaku Danang
Chapter 5 - Namanya Rhea
Chapter 6 - Maudy dan 'Maudy'
Chapter 7 - The Second
Chapter 8 - Konser
Chapter 9 - Bertemu Wulan
Chapter 10 - Rumah Sakit (Lagi)
Chapter 11 - Aku dan Rhea dan Satunya Lagi
Chapter 12 - Menggapai Dirinya
Chapter 13 - Dinner with Rhea
Chapter 14 - Wulan versus Rhea Featuring Vania
Chapter 15 - ..........................
Chapter 16 - Rindu
Chapter 17 - Semakin Rindu
Chapter 18 - Melepas Rindu
Chapter 19 - Maafkan Aku lah Bang!
Chapter 20 - Menusuk Tepat di Hati
Chapter 21 - Seribu Alasan Satu Jawaban
Chapter 22 - Belajar Mencintai
Chapter 23 - Would You?
Chapter 24 - The Show Must Go On
Chapter 25 - Tragedi
Chapter 26 - Mimpi
Chapter 27 - Arti Cinta
Chapter 28 - Sad Session
Chapter 29 - Stories of My Life
Chapter 30 - Dua Puluh Tahun Lalu
Chapter 31 - Who Are You?
Chapter 32 - Mya dan Temannya
Chapter 33 - Tok Tok Tok!
Chapter 34 - Menjelang Pertemuan
Chapter 35 - Wajah Itu
Chapter 36 - Pending
Chapter 37 - Dinner for Three
Chapter 38 - Bla Bla Bla
Chapter 39 - Little Heart
Chapter 40 - This Will Be a Long Nite
Chapter 41 - Story from My Side
Chapter 42 - Story from Vania's Side
Chapter 43 - Deja Vu
Chapter 44 - Permintaan Terakhir
Chapter 45 - One Last Dance
Bonus - Behind The Story [Road to Final Chapter]
Chapter 46 - Reality
Chapter 47 - No More Mr. Nice Guy
Chapter 48 - Shocking Reality
Session 2 - The Second - The Killing Rain
Klik dimari bro untuk lanjut ke Session 2
Enjoy the stories gaesss..
Jangan lupa cendol, subcribe dan shareee yaaaaa...
Ruli Amirullah
Diubah oleh abangruli 21-07-2024 16:25
pulaukapok dan 89 lainnya memberi reputasi
88
52.4K
945
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
abangruli
#175
Chapter 23 – Would you?
“Would you be my wife..?” tanyaku sambil menatap matanya yang indah
Vania tersedak mendengarnya.
Aku tersenyum.
Pelayan yang sedang dibelakangku ikut tersedak dan kemudian malah berhenti. Aku tak melihat tapi dari sudut mataku aku bisa merasakan cewek pelayan itu diam mematung sambil memandang ke Vania. Sepertinya sama seperti aku, menanti jawaban. Ini kok kepo banget sih, pikirku kesal.
Vania masih sibuk menstabilkan diri akibat sedakan tadi. Walau sudah berupa batuk kecil kecil tapi ia masih perlu beberapa detik lagi untuk bisa menguasai pernafasan agar kembali normal. kesempatan ini aku pergunakan untuk menoleh kepada cewek pelayan dan berkata ketus, “lagi nonton apa mbak? Seru ya?!”
“Eh maaf mas, maaf banget, tapi Aku beneran terharu mas... “
“Kenapa? Belum pernah dilamar ya?!” tanyaku sinis. Sebal acara romantisku ternoda dengan penonton dadakan ini.
“Belum mas.. pacar aja belum punya mas..” jawabnya sedih. Hayaaah... malah curcol.
“Bisa pergi dulu mbak?” pintaku tanpa tedeng aling-aling. Iyalah, ngapain dengan tedeng aling-aling, orang kepoan kayak gitu harus secepatnya diusir. Aku kembali memandang Vania, ia tampaknya sudah berhasil menguasai pernafasannya. Wajahnya tak lagi memerah, ia sudah kembali tenang. Mulutnya terbuka sedikit, tapi kemudian kembali menutup. Gak jadi bersuara. Anjrit, jadi makin tegang aku.
“Gimana Vania..?” desakku pada gadis didepanku. Aku gak nyangka dia ternyata perlu waktu untuk menjawab. Aku pikir hanya dalam hitungan detik setelah aku lamar dia langsung nangis sesenggukan bahagia sambil berkata iya aku mau, aku mau! Dugaanku salah.
“Apa ini gak terlalu cepat?” tanya Vania setelah beberapa detik diam tak bersuara.
“Gak mbak.. sepertinya masnya udah mantap kok lanjut ke jenjang berikutnya..” terdengar suara cewek dari belakangku. Ebused. Itu waitress masih ada juga. Kurang ajar pula ikut campur dalam acara sakral ini.
“Mbak! Kalo mbak gak mau pergi dari meja ini, saya secara resmi akan meminta manajer mbak untuk memecat mbak!” protesku sengit. Gayaku sudah seperti pengacara terdidik dan terhormat yang sedang beraksi menakuti lawannya.
“Eh iya maap mas..” ujarnya sambil mundur beberapa langkah. Dengan sebal aku pandangi ia untuk memastikan dia pergi menjauh, sejauh jauhnya. Kalau perlu sekalian pergi ke bandara dan terbang ke Wuhan. Saat ia memutar tubuhnya dan memunggungi aku barulah aku kembali menghadap pada Vania.
“Nunggu apa lagi sayang?” tanyaku pada Vania.
“Mungkin setengah atau satu tahun lagi?”
“Untuk apa?” tanyaku heran. Bukannya selama tujuh bulan ini dia begitu sabar mendampingiku? Kenapa setelah aku ajak untuk melangkah ke hubungan yang lebih tinggi dia malah begini?
“Untuk memastikan kamu beneran cinta aku...” jawabnya pelan
Aku yang tadi sempat bingung mendadak mengkeret mendengar jawaban itu. Anjay. Berasa di tampar, ditabok, ditempeleng oleh petugas satpol PP kolaborasi dengan pacarnya Euis. Bahkan lebih nyeri dari itu semua. Aku terdiam.
“Iya kan? Kamu masih butuh waktu kan? Santai aja mas. Kita jalani aja beberapa bulan lagi tanpa beban harus nikah. Enjoy aja mas. Nikmatin aja semuanya. setelah mas yakin, baru deh mas putuskan mau kemana hubungan kita..”
Spechless. Tapi... aku harus bertindak, Aku harus bulatkan tekad, dengan mencondongkan tubuhku mendekati Vania, aku menatapnya dan berkata,“aku melamar kamu karena aku cinta kamu Vania..”
Mata Vania dengan lembut balas menatap mataku, tapi walau begitu aku bisa merasakan bagaimana mata itu menyelinap ke balik benakku dan menjalar masuk ke dalam hatiku. Seolah sedang mencari cinta yang tadi aku ucapkan.
“Iyaaaa... guys and girls! Ternyata malam ini adalah moment special bagi teman kita yang ada di meja 15!” teriak penyanyi band tiba-tiba.
Aku kaget dan melirik nomer meja tempat aku duduk. Nomer 15! Anjrit! Apa pula ini?! Mataku protes pada penyanyi itu, aku melihat pelayan wanita tadi sedang berada dekat panggung sambil tersenyum girang. Pasti dia yang ngasih tau! Ah gila! Beneran minta dicabik-cabik itu orang!
“Teman kita tersebut sedang melamar kekasihnya yang cantik ituuu!” lanjut penyanyi tersebut. Lampu sorot panggung tiba-tiba saja berbalik arah dan fokus pada meja kami. Semua orang menjadi tahu kearah mana harus memandang.
Sh*t! Suasana sontak ramai. Antara siulan dan tepuk tangan menggema dari para pengunjung cafe. Riuh. Beberapa malah sudah mulai berteriak... terima! Terima! Terima!
“Sudah dijawab belum bro? Apa jawabannya bro?” tanyanya padaku. Bra bro bra bro! Menyebalkan!
Kepalang basah jadi tontonan, akhirnya aku putuskan untuk berdiri dan berkata dengan lantang, “Belum! Oiya apa saya bisa pinjam mike nya?”
“Mas.. kamu mau ngapain sih?!” desis Vania panik.
Mendengar permintaanku dengan sigap penyanyi itu setengah berlari mendekat dan kemudian menyerahkan mike pada diriku. Aku memegang mikenya dengan satu tangan. Kemudian berlutut di hadapan Vania sambil mengenggam jemari Vania. Kini Vania tampak begitu salah tingkah, “Vania...”
Suasana mendadak hening luar biasa. Menanti yang aku ucapkan. Sialan! Aku beneran jadi tontonan malam ini. Harus ada fee dari manajemen restoran untuk hiburan gratis ini.
“Maukah kamu jadi istriku? Menjadi teman hidupku hingga sepanjang hidup kita?” tanyaku dengan menggunakan mike. Kali ini lamaranku menggema ke semua sudut ruangan. Terdengar oleh semua pengunjung. Beberapa orang bahkan mulai mengacungkan ponselnya dan merekam moment itu atau mungkin menyiarkan secara live? Huhuhu...
Vania terlihat sungguh salah tingkah menanggapi situasi ini. Aku berharap semoga suasana ini mampu melelehkan dan meluluhkan hati Vania hingga akhirnya ia berkenan untuk menjawab iya, atau paling tidak menganggukkan kepalanya. Beberapa kali mulutnya terbuka tapi kemudian kembali tertutup, sesekali sibuk menahan senyum yang penuh dengan rasa malu.
Grogi luar biasa. Gelisah.
Hingga akhirnya Vania menarik nafas panjang-panjang untuk mengumpulkan kembali ketenangannya yang tadi mendadak buyar dihajar lampu sorot. Setelah berhasil tenang, Vania mulai membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu..
“Aku.....”
Semua terdiam. Aku. Pelayan cewek biang kerok. Penyanyi dan segenap musisi band dan ratusan pengunjung cafe. Semua terdiam untuk mendengarkan jawaban yang harusnya sederhana. Mau atau tidak. Pemain band mendadak membunyikan alat musik drum. Seperti sedang mengiringi juri saat sedang mengumumkan hasil lomba. Jeng jeng jeng jeng jeng. Suaranya balapan dengan suara detak jantungku yang kini mulai menggila. Mbok ya diiringi dengan lantunan lagu romantis.
“Akuu.....”
Hayoo jawablah Vania!
Akhirnya beberapa penonton mulai inisiatif lagi menolongku, terdengar suara-suara yang mengatakan ‘terima...terima... terimaa....’
Mata Vania tampak berkaca-kaca. Tapi kali ini aku tak berani memastikan, itu berkaca karena terharu bangga mau menjawab iya atau mau nangis karena ingin mengatakan ‘aku masih butuh waktu mas..’
Damn! Menanti jawaban dia ditengah sorotan ratusan mata ini benar-benar menyiksaku!
[Bersambung]
“Would you be my wife..?” tanyaku sambil menatap matanya yang indah
Vania tersedak mendengarnya.
Aku tersenyum.
Pelayan yang sedang dibelakangku ikut tersedak dan kemudian malah berhenti. Aku tak melihat tapi dari sudut mataku aku bisa merasakan cewek pelayan itu diam mematung sambil memandang ke Vania. Sepertinya sama seperti aku, menanti jawaban. Ini kok kepo banget sih, pikirku kesal.
Vania masih sibuk menstabilkan diri akibat sedakan tadi. Walau sudah berupa batuk kecil kecil tapi ia masih perlu beberapa detik lagi untuk bisa menguasai pernafasan agar kembali normal. kesempatan ini aku pergunakan untuk menoleh kepada cewek pelayan dan berkata ketus, “lagi nonton apa mbak? Seru ya?!”
“Eh maaf mas, maaf banget, tapi Aku beneran terharu mas... “
“Kenapa? Belum pernah dilamar ya?!” tanyaku sinis. Sebal acara romantisku ternoda dengan penonton dadakan ini.
“Belum mas.. pacar aja belum punya mas..” jawabnya sedih. Hayaaah... malah curcol.
“Bisa pergi dulu mbak?” pintaku tanpa tedeng aling-aling. Iyalah, ngapain dengan tedeng aling-aling, orang kepoan kayak gitu harus secepatnya diusir. Aku kembali memandang Vania, ia tampaknya sudah berhasil menguasai pernafasannya. Wajahnya tak lagi memerah, ia sudah kembali tenang. Mulutnya terbuka sedikit, tapi kemudian kembali menutup. Gak jadi bersuara. Anjrit, jadi makin tegang aku.
“Gimana Vania..?” desakku pada gadis didepanku. Aku gak nyangka dia ternyata perlu waktu untuk menjawab. Aku pikir hanya dalam hitungan detik setelah aku lamar dia langsung nangis sesenggukan bahagia sambil berkata iya aku mau, aku mau! Dugaanku salah.
“Apa ini gak terlalu cepat?” tanya Vania setelah beberapa detik diam tak bersuara.
“Gak mbak.. sepertinya masnya udah mantap kok lanjut ke jenjang berikutnya..” terdengar suara cewek dari belakangku. Ebused. Itu waitress masih ada juga. Kurang ajar pula ikut campur dalam acara sakral ini.
“Mbak! Kalo mbak gak mau pergi dari meja ini, saya secara resmi akan meminta manajer mbak untuk memecat mbak!” protesku sengit. Gayaku sudah seperti pengacara terdidik dan terhormat yang sedang beraksi menakuti lawannya.
“Eh iya maap mas..” ujarnya sambil mundur beberapa langkah. Dengan sebal aku pandangi ia untuk memastikan dia pergi menjauh, sejauh jauhnya. Kalau perlu sekalian pergi ke bandara dan terbang ke Wuhan. Saat ia memutar tubuhnya dan memunggungi aku barulah aku kembali menghadap pada Vania.
“Nunggu apa lagi sayang?” tanyaku pada Vania.
“Mungkin setengah atau satu tahun lagi?”
“Untuk apa?” tanyaku heran. Bukannya selama tujuh bulan ini dia begitu sabar mendampingiku? Kenapa setelah aku ajak untuk melangkah ke hubungan yang lebih tinggi dia malah begini?
“Untuk memastikan kamu beneran cinta aku...” jawabnya pelan
Aku yang tadi sempat bingung mendadak mengkeret mendengar jawaban itu. Anjay. Berasa di tampar, ditabok, ditempeleng oleh petugas satpol PP kolaborasi dengan pacarnya Euis. Bahkan lebih nyeri dari itu semua. Aku terdiam.
“Iya kan? Kamu masih butuh waktu kan? Santai aja mas. Kita jalani aja beberapa bulan lagi tanpa beban harus nikah. Enjoy aja mas. Nikmatin aja semuanya. setelah mas yakin, baru deh mas putuskan mau kemana hubungan kita..”
Spechless. Tapi... aku harus bertindak, Aku harus bulatkan tekad, dengan mencondongkan tubuhku mendekati Vania, aku menatapnya dan berkata,“aku melamar kamu karena aku cinta kamu Vania..”
Mata Vania dengan lembut balas menatap mataku, tapi walau begitu aku bisa merasakan bagaimana mata itu menyelinap ke balik benakku dan menjalar masuk ke dalam hatiku. Seolah sedang mencari cinta yang tadi aku ucapkan.
“Iyaaaa... guys and girls! Ternyata malam ini adalah moment special bagi teman kita yang ada di meja 15!” teriak penyanyi band tiba-tiba.
Aku kaget dan melirik nomer meja tempat aku duduk. Nomer 15! Anjrit! Apa pula ini?! Mataku protes pada penyanyi itu, aku melihat pelayan wanita tadi sedang berada dekat panggung sambil tersenyum girang. Pasti dia yang ngasih tau! Ah gila! Beneran minta dicabik-cabik itu orang!
“Teman kita tersebut sedang melamar kekasihnya yang cantik ituuu!” lanjut penyanyi tersebut. Lampu sorot panggung tiba-tiba saja berbalik arah dan fokus pada meja kami. Semua orang menjadi tahu kearah mana harus memandang.
Sh*t! Suasana sontak ramai. Antara siulan dan tepuk tangan menggema dari para pengunjung cafe. Riuh. Beberapa malah sudah mulai berteriak... terima! Terima! Terima!
“Sudah dijawab belum bro? Apa jawabannya bro?” tanyanya padaku. Bra bro bra bro! Menyebalkan!
Kepalang basah jadi tontonan, akhirnya aku putuskan untuk berdiri dan berkata dengan lantang, “Belum! Oiya apa saya bisa pinjam mike nya?”
“Mas.. kamu mau ngapain sih?!” desis Vania panik.
Mendengar permintaanku dengan sigap penyanyi itu setengah berlari mendekat dan kemudian menyerahkan mike pada diriku. Aku memegang mikenya dengan satu tangan. Kemudian berlutut di hadapan Vania sambil mengenggam jemari Vania. Kini Vania tampak begitu salah tingkah, “Vania...”
Suasana mendadak hening luar biasa. Menanti yang aku ucapkan. Sialan! Aku beneran jadi tontonan malam ini. Harus ada fee dari manajemen restoran untuk hiburan gratis ini.
“Maukah kamu jadi istriku? Menjadi teman hidupku hingga sepanjang hidup kita?” tanyaku dengan menggunakan mike. Kali ini lamaranku menggema ke semua sudut ruangan. Terdengar oleh semua pengunjung. Beberapa orang bahkan mulai mengacungkan ponselnya dan merekam moment itu atau mungkin menyiarkan secara live? Huhuhu...
Vania terlihat sungguh salah tingkah menanggapi situasi ini. Aku berharap semoga suasana ini mampu melelehkan dan meluluhkan hati Vania hingga akhirnya ia berkenan untuk menjawab iya, atau paling tidak menganggukkan kepalanya. Beberapa kali mulutnya terbuka tapi kemudian kembali tertutup, sesekali sibuk menahan senyum yang penuh dengan rasa malu.
Grogi luar biasa. Gelisah.
Hingga akhirnya Vania menarik nafas panjang-panjang untuk mengumpulkan kembali ketenangannya yang tadi mendadak buyar dihajar lampu sorot. Setelah berhasil tenang, Vania mulai membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu..
“Aku.....”
Semua terdiam. Aku. Pelayan cewek biang kerok. Penyanyi dan segenap musisi band dan ratusan pengunjung cafe. Semua terdiam untuk mendengarkan jawaban yang harusnya sederhana. Mau atau tidak. Pemain band mendadak membunyikan alat musik drum. Seperti sedang mengiringi juri saat sedang mengumumkan hasil lomba. Jeng jeng jeng jeng jeng. Suaranya balapan dengan suara detak jantungku yang kini mulai menggila. Mbok ya diiringi dengan lantunan lagu romantis.
“Akuu.....”
Hayoo jawablah Vania!
Akhirnya beberapa penonton mulai inisiatif lagi menolongku, terdengar suara-suara yang mengatakan ‘terima...terima... terimaa....’
Mata Vania tampak berkaca-kaca. Tapi kali ini aku tak berani memastikan, itu berkaca karena terharu bangga mau menjawab iya atau mau nangis karena ingin mengatakan ‘aku masih butuh waktu mas..’
Damn! Menanti jawaban dia ditengah sorotan ratusan mata ini benar-benar menyiksaku!
[Bersambung]
lsenseyel dan 18 lainnya memberi reputasi
19