- Beranda
- Stories from the Heart
INDIGO
...
TS
shirazy02
INDIGO

Hy, Guys! Jumpa lagi di thread terbaru. Kali ini, based on true story. Please, jangan nanya-nanya ini kisah siapa, jangan nebak-nebak apakah saya si anu, atau keppoin apapun itu. Semua demi kelancaran saya menulis, karena mood sangat mempengaruhi 😊 Terhitung sampai detik ini, saya masih suka menggantungkan cerita, karena begitu banyaknya ide cerita lain yang ingin saya tuangkan lewat aksara. By the way, ini tapi gak pake mikir, sih 😂 karena nulisnya ngalir gitu aja. Ada misterinya, ada sakit hatinya, ada asmaranya, banyak bakalan yang disajikan dalam ceritanya. Oh ya, saya sangat tidak menyukai silent reader, so ... beri react, rate, dan komentar, cendol-cendol jan lupa, karena saya tak akan mungkin melanjutkan cerita tanpa adanya respon atau peminat tulisan. Makasih sebelumnya!

----
Spoiler for Indeks:
Part 1:
Berawal dari tahun 1997 yang bertepatan dengan Hari Lebaran. Setiap menjelang hari H, kami sekeluarga, yang terdiri dari aku, adik, serta kedua orangtua, selalu mengunjungi rumah nenek --ibu dari ayah-- yang berada di luar kota. Tujuannya tak lain, bersilaturahmi sekaligus merayakan Hari Raya bersama-sama. Kebetulan keluarga dari ayah adalah keluarga besar, oleh karena itu pasti selalu ramai suasana di rumah sana. Pada saat itu, aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dan adikku kurang lebih berusia tiga tahun. Kita selalu menghabiskan waktu mudik sampai cutian ayah selesai, tentu juga ibu bisa bersantai memikirkan nasib sekolahku, sebab bertepatan juga dengan waktu liburan sekolah.
Tempat tinggal nenek ada di perbatasan salah satu profinsi Jawa. Dimana ketika kami berkendara dan sudah sampai di kotanya, maka kami masih harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk tiba di lokasi. Sebenarnya kampungnya tak terlalu pelosok, tapi bagiku sangat primitif. Bangunan yang rata-rata masih berdinding papan kayu, lantai yang masih berupa tanah, pintu dan atap yang pendek, serta lampu penerangan di tiap-tiap rumah yang kebanyakan memakai cemprong. Aku beruntung nenekku sendiri memakai lampu petromaks di beberapa ruangan meski lantai rumahnya hanya berupa plesteran. Di saat aku benar-benar merasa takut saat menatap jalan pedesaan yang suram, aku bisa menyesuaikan terangnya cahaya dari pompa pada tuas di bagian bawah lampu petromaks, hingga sirna pula lah perasaan takut itu karena merasa aman.
Sebenarnya, aku tak pernah menyukai berada di sana. Selain karena daerah yang minim penerangan, untuk beli apa-apa juga lumayan jauh. Satu lagi pengalaman yang dulu-dulu ... setiap malam tidurku tak pernah bisa nyenyak. Di belakang rumah nenek ada barongan (kebun luas yang terdapat banyak pohon bambu dan semak belukar), dan suara-suara hewan malam begitu mendebarkan kala merasuk membran telinga.
Dari perasaan gak betahnya berkunjung di rumah nenek, ada juga rasa senang yang paling kunanti-nanti saat berada di sini, yaitu bertemu dengan Mbah Narti. Mbah Narti adalah adik dari nenekku. Ia tak mempunyai keturunan. Menurut cerita yang kudengar, ayahku dulu pernah dibantu dibesarkan olehnya sehingga bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ya, Mbah Narti adalah dukun bayi tersohor pada zamannya. Ia bisa dibilang orang yang sangat kaya sekampung. Rumahnya berbeda sendiri dari yang lain. Sudah bangunan tembok, sudah berubin, pun memiliki sawah luas dan ternak yang banyak. Kenapa aku suka dengannya? Karena ia paling antusias menyambut kedatanganku. Royal, dan doyan memijat. Setiap aku bertandang ke rumahnya, Mbah Narti selalu menyediakan alas untukku berbaring. Memijatnya juga lama sekali, dan selalu membuat ketagihan. Selain kerap memberi uang, jajanan satu kresek penuh selalu dibelikannya. Terkadang, jiwa tak bisa membohongi bila sayangku lebih besar terhadap Mbah Narti daripada nenek sendiri.
Karena keluarga besar dari berbagai kota bersamaan datang dan berkumpul di rumah nenek, keluargaku pun diminta Mbah Narti tidur di rumahnya. Tentu kami juga sudah biasa, karena ayah memang dari dulu dekat sekali padanya. Jadi, setiap malam kami bermalam di rumah Mbah Narti, paginya kami kembali ke rumah nenek. Kebetulan rumah mereka bersebelahan.
Ada sesuatu yang janggal kurasakan pada saat pertama kalinya aku bermalam. Entah kenapa, malam itu aku tak bisa tidur. Beruntung aku melihat Mbah Narti masih terjaga di depan TV, sedang menikmati teh dalam wadah besar. Oh, ya ... teh di daerah sana kalau bikin, asli pait. Tehnya langsung dimasukkan di wadah, diseduh bersamaan tanpa disaring. Jadi, banyak bulir yang ngambang gitu di atasnya. Kadang bisa tertelan juga kalau gak hati-hati minum.
Oke, lanjut! Malam itu, ketika hendak menemui Mbah Narti di depan, aku begitu syok menatap di kursi yang ada di sebelah siMbah. Ada seorang perempuan duduk di sana. Berkebaya merah, memakai jarik, dengan tudung transparan warna senada di kepala. Masih muda sepertinya, terlihat dari kulitnya yang sekilas kutatap masih kencang. Tatapan kami bertemu, dan dia langsung menyingkir dari tempat. Anehnya, menyingkirnya nggak keluar rumah, tapi masuk ke ruang tengah, dan tak pernah keluar lagi hingga tengah malam. Kebetulan aku begadang saat itu dengan Mbah Narti.
Perempuan itu pun sering kujumpai wara-wiri di kamar Mbah Narti pada malam-malam berikutnya. Terkadang ada anak perempuan, usianya sepertinya lebih dewasa dariku, suka mengintip dari balik gebyok (sebuah papan penyekat besar dan tinggi yang terbuat dari kayu jati, dulu digunakan sebagai pemisah antara ruang tamu dengan ruang tengah). Senyum-senyum menampakkan separuh wajahnya melihatku. Kukira mereka itu tetangga yang sering bertandang ke rumah, tapi setelah kutanyakan pada Mbah Narti, beliau menjawab, "Kuwi dulurmu! Cah wedok kuwi puterine." (itu saudaramu. Bocah perempuan itu anaknya)
Agak aneh, sih! Karena baru kali ini aku melihat saudara yang wajahnya seperti itu. Belum pernah kujumpai sebelumnya. Namun, aku teringat, ayah pernah bercerita jika punya saudara yang merantau di Kalimantan sana, dan jarang pulang. Mungkin saja itu saudara dari Kalimantan! Anehnya, saat aku bercerita pada ayah dan ibu, ayah menampik jika saudaranya di Kalimantan itu pulang. "Mungkin tetangga," ujar ayah datar. Nenekku pun menimpali, "Mbah Narti sekarang banyak ngelanturnya kalau ngomong, Nduk. Benar ayahmu, mungkin tetangga sedang main itu."
Aku yang memang masih polos, percaya-percaya saja dan tak pernah berpikiran jauh ....
Di suatu siang, saat aku bermain di rumah Mbah Narti seorang diri, entah kenapa tiba-tiba saja ia bicara ngelantur, "Mbah nelangsa, Nduk. Hidup seperti begini-begini saja. Punya apa-apa juga tak bahagia. Apalagi semenjak ditinggal Mbah kung, rasanya sudah malas hidup."
Kurang lebih seperti itu yang bisa kucerna perkataannya. Maklum, bahasa jawanya terlalu halus, kadang susah dimengerti. Apalagi pada saat itu aku masih kecil dan belum seberapa mengerti.
Lalu, setelah berkata begitu, ia membelai rambutku berkali-kali. Mencium juga. Ini yang paling malas saat bertemu Mbah Narti. Aku melihat susur di mulutnya saja sudah bergidik geli, apalagi di dekatkan ke wajah seperti itu.
Setelah puas melayangkan ciuman bertubi-tubi, Mbah Narti lalu masuk ke dalam, berpesan menyuruhku menunggu. Aku sendiri sedang asyik menonton TV. Oh ya, di rumah nenek tak ada TV, jadi aku selalu mainnya kemari jika ingin nonton. Terkadang, bisa bersamaan dengan Budhe dan keluarga ayah yang lainnya. Namun, kali ini aku nonton sendiri, karena keluarga sedang sibuk masak-masak besar.
Beberapa menit kemudian, Mbah Narti muncul sambil membawa sesuatu dalam bungkusan. Setelah dibuka, ternyata sebuah gelang dari tali yang ada jahitan kain kotak kecil warna hitam di tengahnya. Ia menyodorkannya padaku. Ingin menolak karena tak suka, tapi tangan tua itu terburu melingkarkan gelang itu ke tanganku. Kucoba pegang kain kotak hitam itu. Seperti ada batu kecil di dalamnya. Mbah Narti berpesan, agar jangan sampai aku membuka kain kotak hitam itu. Aku pun mengangguk saja.
"Iki gawe kenang-kenangan yo, Nduk? Sesuk yen simbah ra ono, kowe ben kelingan simbah terus," ujarnya lagi. Aku pun terdiam melihat gelang yang dikenakannya di tanganku. Aduh, benar-benar tak suka sekali!
Setelah berpamitan pulang, diam-diam kulepas gelang itu dari tanganku, menyimpannya dalam saku celana. Niat hati ingin kubuang, tapi takut Mbah Narti tahu. Aku khawatir kecewa, jadi kubawa saja. Mengingat, besok aku sekeluarga akan pulang. Rencananya akan kubuang gelang itu di tengah perjalanan.
Malamnya, entah kenapa, ibu melarangku tidur di rumah Mbah Narti. Rupanya, para keluarga besar sedang rame mengobrolkannya yang memang belakangan sering ngelantur. Kata mereka, Mbah Narti tengah pusing membagi hartanya pada sepupu-sepupu lain. "Aku ditawari sama Mbah Ti, kamu mau gak merawat sapi dan kambingku? Kalau mau rawat, ambil saja bawa pulang," tukas Budhe Rusni pada kami.
"Lalu, samean jawab apa?" tanya ayah penasaran.
"Ya kujawab, 'nggak ah. Nanti yang lain ngiri' ... trus dia jawab lagi, 'semua sudah kubagi. Hartaku masih banyak. Aku juga gak punya anak, aku khawatir besok kalau mati, semuanya ini gimana' ... gitu bilangnya."
"Nah, yang diomong mati-mati terus, sih!" seloroh Om Anang.
"Lah, kan? Tadi malah bilang, 'sesuk aku yen mati, omah iki openono, yo?" (besok kalau aku meninggal, rumah ini kamu rawat, ya!) Mbak Nanik membalas.
"Masa' bilang begitu?"
"Iya. Malah berkata, 'jatahku urip gari sedilut' ... gitu," sahut Mbak Nanik lagi.
Gara-gara obrolan malam yang unfaedah, kami semua saling takut, hingga tak pernah berani ketemu Mbah Narti keesokan harinya. Mungkin memang Mbah Narti sudah merasa. dan semua itu adalah pertanda ia mau pamit. Wallahu'alam, keesokan harinya, ketika fajar baru menyingsing, tetangga depan rumah yang biasanya disuruh mencarikan rumput Mbah Narti, berteriak-teriak menemui kami dengan wajah gugup.
"Mbah Narti terpeleset di kamr mandi! Mbah Narti terpeleset di kamar mandi!"
Sontak, kami semua kaget dan segera berhamburan melihat ke lokasi.
Oke, skip!
Di sini, aku akan mulai menceritakan keanehan yang terjadi semenjak pulang dari rumah nenek. Oh, ya ... aku lupa membuang gelang dari Mbah Narti saat perjalanan pulang. Aku juga nggak paham arti 'sikep' dalam istilah jawa pada saat itu. Sepeninggal Mbah Narti, semua keluarga saling ramai mencari sikep yang dimaksud. Katanya harus dibuang, paling tidak dibakar. Semua almari, kasur, dilingkap satu persatu demi mencari benda yang dimaksud. Tak pelak, mereka di antaranya saling menuduh satu sama lain karena tak ada yang mengaku. Mbah Narti memang pernah berpesan, bahwa 'jimat'-nya akan diberikan pada salah satu keturunan nenek. Banyak yang menuding ayah, karena ayah adalah satu-satunya kesayangan Mbah Narti. Oh ya, akibat dari semua ini, keluargaku pernah lama lost komunikasi sama keluarga yang lain. Sebenarnya mereka biasa-biasa saja, tapi yang paling menyebalkan dan tak terima adalah Pakdhe Kurdi.
Sebenarnya, apa alasan Pakdhe Kurdi begitu berambisi menanyakan barang tersebut?
Diubah oleh shirazy02 29-02-2020 14:20
husnamutia dan 42 lainnya memberi reputasi
39
29.5K
238
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#113
Part 9
"Nyapo iki mlirik-mlirik?" Pakdhe Tarjo mendekati Willy yang sedang duduk di samping ibunya. Memang tak bergelagat seperti biasanya. Terkesan aneh. Mata menghadap atas, seperti juling. Senyumnya mengembang, menampakkan deretan gigi susu yang bagian atasnya mulai keropos, tapi tak sedikit pun mengeluarkan tawa. Kedua kakinya diayun-ayunkan terus.
"Wah, jelas ada makhluk halus yang mengikuti kita pulang ini tadi." Ayah mulai menebak-nebak. Tentu saja mendengar itu, ibunya jadi semakin khawatir.
"Lah, trus ... piye iki, Paman?" Mbak Nanik hampir menangis melihat anaknya.
"Rapopo. Tinggal di-gini-kan, lho!" Dengan penuh percaya diri, Pakdhe mulai menekan jempol kaki Willy. Bocah berumur empat tahun itu spontan mengerang.
"Pakdhe, nggak papa tah itu?" Suami Mbak Nanik berseru tak tega saat anaknya meronta tanpa jeda. Sayang, pertanyaan itu tak dijawab oleh Pakdhe, beliau masih saja fokus dengan pencetan tangannya. Sementara ayah menggiringku ke tepi, dengan sedikit bisikan yang terlontar, "Sinan, Willy itu dirasuki, ya?"
Aku menggeleng. Maksudnya bukan 'tidak', melainkan 'tak tahu'.
"Trus, kenapa, lho? Kok, seperti ketempelan?"
Aku diam sejenak, mengalihkan pandang ke mereka. Willy tampak meringis dalam sakitnya. Tiba-tiba, pemandangan tak kasat mata baru nampak olehku. Seperti asap putih keluar dari tubuh Willy, menggumpal, lalu membentuk menjadi sosok wanita bergaun putih dengan rambut terurai panjang yang mengembang. Sosok itu kemudian melayang, menempel pada lemari kaca di sudut ruang. Cepat-cepat aku berlari menghampiri dan berteriak memberhentikan Pakdhe. "Stop, Pakdhe! Stop!! Setannya sudah keluar."
Seluruh mata langsung tertuju padaku. Budhe Rusni, yang saat itu sudah diceritai banyak tentangku oleh ibu, turut berkata, "Sinan kuwi cah ngerti. Rak setane wis ngalih, yo wis raono (Sinan ini bocah ngerti. Kalau setannya sudah pergi, ya sudah gak ada)."
Tampak beberapa pasang mata saling berkerut dahi. Mungkin merasa kaget, atau mungkin saja tak percaya.
"Benar, Sinan, sudah keluar?" Ayah mencoba menegaskan, yang kemudian kubalas dengan anggukan pelan.
"Alhamdulillah." Beberapa suara mulai mengucap syukur. Mbak Nanik langsung menggendong putranya, seraya menghapus linangan air mata yang menggenang pada pipi sang anak. Mungkin mereka semua bisa bernapas lega, tapi tidak padaku. Kutengok, sosok bergaun putih itu meringis padaku. Perlahan lehernya memanjang, membuat bulu kuduk sontak meremang. Benar yang ayah bilang, kita pulang ternyata diikuti sosok lain. Makhluk tak kasat mata yang kujumpai ba'da magrib di atap rumah makan.
"Sinan bisa melihat begituan, tho? Sejak kapan memang, Sinan bisa melihat?" tanya Pakdhe Tarjo kemudian.
"Sejak Mbah Narti meninggal. Ya 'kan, Yah?" Seusai menjawab Pakdhe, ibu berganti menatap ayah.
"Lah, itu ... Pakdhe Kurdi, kan, pernah ribut nanyain sikep. Itu ternyata yang dibawa Sinan bukan sikep, seperti gelang ada jimatnya, batu kecil," papar ayah.
"Lho, jadi Sinan diwarisi sama Mbah Ti?" Mas Ipan melotot kaget mendengar penuturan ayah.
"Ya bukan diwarisi itu. Kalo diwarisi 'kan, koyok awakmu mbek liyane, oleh sapi, oleh wedhus, oleh sawah." Omongan ayah spontan membungkam omongan semua keluarga. Dikira menyindir, padahal ayah asal ceplos. Bicaranya pun dengan tertawa.
Ya, akibat hasutan dari Pakdhe Kurdi, hanya ayahku lah yang tak diberi bagi warisan apa-apa. Ayah sih, tak masalah. Memang ia merasa bukan siapa-siapanya. Terlebih saat Pakdhe Kurdi berkata sama yang lain, ayah hidupnya sudah enak berkat disekolahkan tinggi oleh Mbah Narti. Ah, mereka tak tahu saja bagaimana susahnya ayah merintis pekerjaan. Beruntung, hubungan kami kini dengan kerabat jauh masih bisa harmonis, meski hanya Pakdhe Kurdi lah yang sepertinya enggan menganggap saudara.
Cerita demi cerita bergulir, hingga sampai aku memaparkan ucapan Pak Har yang menginginkan batu tersebut.
"Lho, sejak kapan, Sinan? Kenapa baru ngomong sekarang?" pekik ibu.
"Pantes, nanya-nanya alamat Pak Ustadz waktu itu. Trus, kamu sudah diajak ke sana sama Pak Har?" Berganti ayah yang bertanya.
"Belum." Aku menjawab singkat sambil menggeleng.
"Biar aku besok yang bicara. Haduh, aneh-aneh saja, penyakit dibuang kok kembali diundang!" Ibu tampak bersungut saat itu. Sedangkan aku memilih terdiam di tempat. Sesekali menatap sudut ruang yang masih berpenghuni makhluk mengerikan itu. Eh, bukan ngeri, geli mungkin ya. Entah apa maksudnya, setelah memanjangkan leher, lalu menariknya kembali. Begitu terus, ditarik ulur sampai aku pusing melihatnya.
Di saat suasana menjadi hening, tiba-tiba, Pakdhe Tarjo nyeletuk menatapku, "Lah, trus ... kamu ngerti penghuni lain rumahmu ini?"
Aku diam.
"Setiap rumah pasti ada penghuninya, tho? Kamu liat hantu nggak di rumahmu ini?" lanjutnya.
"Sssttt! Samean ini nanya aneh-aneh, bikin kita nggak bisa tidur nanti." Setelah berkata begitu, Budhe Rusni mencoba menghalauku agar tak menghiraukan ucapan dari suaminya. Namun, Pakdhe terus saja bertanya seakan-akan penasaran dengan apa yang akan kujawab.
"Di sumur belakang itu, ada. Pohon sawo sama jambu mete depan situ, ada. Di garasi ada kakek-kakek." Aku menjawab setahuku. Seperti yang pernah kulihat selama ini.
"Lho? Lah, yang di dalem rumah sini, nggak ada apa-apa? Masak hanya di luar saja." Seakan tak percaya, Pakdhe terus saja mencercaku.
"Ada, kalau kuntilanak."
"Lho, kamu tahu itu namanya kuntilanak, darimana? Sering lihat di TV, ya?"
Hampir capek rasanya aku disudutkan seperti ini. Seolah tak dikasih napas untuk diam dan pergi. Sejenak aku menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. "Itu, kuntilanak yang tadi masuk di badan Willy. Masih ada tuh, di situ." jelasku sambil menuding sudut ruang.
Spontan, semua melongok dengan iringan beberapa jeritan.
****
Itu salah satu penghuni baru rumahku, Gaeeess. Namanya Minarni, dia dulunya agak nganu. Seperti menjual diri (bukan di lokalisasi, ya, melainkan terbuka di rumahnya sendiri) tapi gak pernah dapat imbalan duit kayak orang jual diri gitu. Aduh, apa sih namanya, ya? Yang pasti, dia membuka dirinya untuk siapa saja lah (miris saya menuliskan ini). Namun, dari situlah ia memperoleh kekuatan. Tak ada warga yang bisa mengusirnya, karena banyak pria hidung belang yang berani membelanya. Masalah keseharian, ia tergolong wanita yang hanya ongkang-ongkang kaki saja, tapi masih bisa makan. Beras sudah ada yang kirim, sayur-sayuran maupun ikan, ia tak pernah repot-repot mencari. Paling yang ia sibukkan hanyalah membuat bedak dingin untuknya pribadi. Ia sangat memuja kecantikan, dan sangat membangga-banggakan wajah yang ia miliki tersebut.
Entah apa yang terjadi di kemudian hari, yang kutangkap dari gambaran yang ia beri, ia meninggal setelah meminum sebuah jamu yang diberikan seorang tetangganya. Seperti memang sengaja diracun.
Sejak Minarni kuizinkan tinggal bersama kami, ia kerap menampakkan kecentilannya. Sering ibu kehilangan lipstik. Tahu-tahu ketemunya di dapur. Banyak teman ayah yang datang, dibuatnya tak kembali lagi karena takut saat dihantui dalam mimpi. Setiap malam --bisa jam 1 atau jam 2-- kamar mandi selalu dibuatnya mandi. Tak pelak, ibu sering ketakutan saat mendengar suara byar-byur, mengingat kamar ibu ada di belakang, dekat ruang dapur. Pernah saat ayah masuk kamar mandi, aku memergokinya menguntit di belakang. Masih banyak lagi kejadian menjengkelkan yang lain, yang benar-benar menguras emosi. Sudah sering aku marah-marah padanya, tapi memang dasarnya dia agak nganu.
"Minarni!! Kamu mau saya pulangkan?"
"Lapo, sih? Kan, aku gak nakal."
"Gak boleh kamu masuk rumah ini. Kamu tinggal di luar saja! Dasar kamu itu usil, ganjen."
"Enggak, kok. Nakalku biasa, cuma ambil sisir kamu buat ngaca."
"Mbelgedez!! Welek yo welek. Gak usah kemenyek."
"Iriiiii, iriiiii ...."
Entahlah, aku tak bisa berkata lagi dengan sosok satu ini. Sudah sulit diatur, jahil lagi.
Kini, aku menginjak kelas 3 SMA, dengan usia belum genap 17 tahun. Makhluk halus sudah kuanggap makhluk biasa saja, sama seperti manusia yang lain, memang nyata ada meski beda alam. Sudah tak ada rasa takut sama sekali. Kadang jika berjumpa sosok baru, mungkin kaget kalau tiba-tiba menampakkan diri.
Mendung sudah tersusun di cakrawala sore itu. Cepat-cepat kukemasi buku-buku, saat bel pulang sekolah berbunyi. Sekaramg musim hujan. Aku khawatir terjebak saat hujan angin, seperti kemarin-kemarin. Mana jarak sekolah dan rumah lumayan jauh.
Satu persatu teman mulai meninggalkan ruang kelas. Aku masih sibuk mencari kontak motor yang terjatuh. Ah, akhirnya ketemu. Baru saja melangkahkan kaki, suara dari samping pojok berseru, "Hei, Sinan! Mau ke mana? Kamu piket tau!!"
Suara itu, milik Gista, perempuan yang terkenal paling mengatur di kelas. Setelah menegur begitu, ia berkata keras membacakan nama-nama yang tertera di jadwal piket besok. Dulu aku berharap tak akan satu kelas dengannya, setelah kelas di rolling. Namun kenyataannya, dirolling berkali-kali pun, masih saja aku satu kelas dengan gadis ini. Sejak kelas satu dia sangat menyebalkan. Selalu sok berkuasa dan ingin menjadi satu-satunya pemimpin. Mungkin di sini tak hanya aku, tapi semua teman juga eneg lihat dia.
"Ini mau hujan. Cuaca akhir-akhir buruk. Rumahku jauh. Sekarang piket, percuma saja. Besok juga balik rusuh. Ntar jelas piket lagi," tolakku.
"Heeeh, semua anak juga piketnya dua kali, keleeeuuss! Males amat, sih, jadi orang. Kamu gak sendirian 'kan, ada Nina sama Susi, kan?"
"Okelah. Besok biar aku yang piket sendiri. Sekarang, biar aku diwakilkan. Rumahku jauh. Tahu, kan, cuaca buruk belakngan."
"Tak ada alasan!! Piket, ya piket!!!"
Bluk!
Kulempar kembali tasku ke meja, setelah mendengar bentakan itu. Lalu, berjalan menuju sapu yang ada di gantungan belakang. Nina dan Susi lebih dulu menyapu, aku memilih bagian paling ujung. Malas sekali berdebat dengan mulut satu itu. Suaranya yang begitu keras jika bicara, benar-benar membuatku muak.
"Maklum, ya, katanya anak orang kaya. Mungkin kerjaannya di rumah hanya duduk manis, nonton TV sambil disuapin, jadi ogah memenuhi kewajibannya sebagai seorang murid."
Aku mencoba tak menghiraukan bicaranya dengan terus menggerakkan sapu melewati beberapa bangku. Lebih cepat selesai, lebih baik. Begitu lah ia, suka sekali mengawasi orang piket. Sok mengatur, dan sok berkuasa. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas, tapi tak ada yang memilihnya. Kini, ia sibuk mencari-cari kesalahan ketua kelas, dengan menghasut banyak orang, termasuk guru.
"Kayak Sinan begini jangan dicontoh, ya, teman-teman! Orang seperti ini, nih, yang masa depannya bakal suram, karena susah diatur. Type-type pembangkang," teriaknya lagi. Lantang.
Kali ini, kuhentikan sapuanku, beralih menatapnya. Ia bersidekap menatap dengan wajah yang diangkat tinggi. Di saat aku menghampiri, ia malah mundur pelan-pelan. Namun, masih bisa saja berkata songong.
"Kamu bilang masa depanku suram?? Oke, kita lihat siapa yang masa depannya suram. Jangankan untuk besok, sekarang saja hidupmu sudah sangat suram," ucapku datar.
"Suram? Cih, tau apa kau?"
"Aku tahu, kau tak bahagia mempunyai orangtua yang menyayangimu dan selalu berusaha menyenangkan hatimu. Yang kau tatap hanyalah kehidupan kanan-kirimu yang lebih beruntung. Kau selalu memandang kebahagiaan rang lain, sehingga isi hatimu hanyalah dengki yang berlebih karena kau tak bisa seperti mereka. Rezeki itu sudah tertakar dan tak mungkin tertukar. Lain kali, jika ingin melihat, lihatlah yang di bawah. Jangan selalu melihat yang atas!"
Ia melotot, seakan tak percaya dengan apa yang kuucap barusan.
"Sikapmu yang sok seperti ini pada teman-teman, kita tak ada masalah sama sekali, Gista. Asal jangan sampai kau terus-terusan menuntut orangtuamu hingga mereka tertekan, atau kau akan menyesali suatu saat nanti," lanjutku. Kali ini, kupanggil Nina dan Susi agar menghadapku.
"Kalian berdua saksinya, ya, jika aku berkata begini. Kalian lihat, masa depan Gista akan seperti apa." Setelah berkata begitu, kulempar sapu itu pada Gista. Melempar senyum termanis, sebelum akhirnya mengambil tasku, dan pergi.
Sial dirasa! Niat hati ingin segera pulang, malah hujan tiba-tiba turun langsung dengan derasnya. Kini, aku terjebak hujan di sekolahan. Ah, lagi-lagi bakal perang mulut sama gadis sok tadi saat bertemu.
Entah kenapa, aku tiba-tiba teringat tentang Farida. Tentu ketika hujan-hujan begini awal bertemu dengannya, di rumah Mbah Ti dulu. Kita padahal sangat akrab, bahkan dengan ibunya saja belum pernah sekalipun berbicara.
"Ah, Mbak Farida. Bagaimana kabarmu, ya? Lama tak bertemu. Apa karena batu itu sudah tak lagi milikku, ya?" Aku membatin dengan penuh harap.
"Aku baik-baik saja, kok." Tiba-tiba, suara mirip Farida berbisik ke telinga. Spontan, aku menolehkan pandang ke sana-ke mari. Tak ada siapapun.
"Mbak, kamu di mana?" tanyaku. Bukannya dia lagi yang menjawab, malah suara laki-laki yang kini menegur.
"Ngomong sama siapa, Mbak?"
(bersambung)
kicquck dan 23 lainnya memberi reputasi
24
Tutup