- Beranda
- Stories from the Heart
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
...
TS
agusmulyanti
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
Spoiler for prolog:
*********
RULES
- Ikuti perarturan SFTH
- Agan2 dan Sista bebas berkomentar, memberikan kritik dan saran yang membangun.
- Selama Kisah ini Ditulis, mohon untuk berkomentar seputar cerita.
- Dilarang meng-copas atau meng copy segala bentuk di dalam cerita ini tanpa seizin penulis
index
Diubah oleh agusmulyanti 07-12-2022 06:16
theoscus dan 56 lainnya memberi reputasi
55
43.4K
590
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
agusmulyanti
#38
Part - 10
Seusai shalat subuh, gue datang ke paviliun mang Asep. Kuketuk pintu depan, tok...tok..tok.., sepi.
"Mang....mang Asep. Kemana sih si mamang, sepagi ini sudah gak ada."
Gue berjalan memutar ke samping. Saat gue melewati jendela kamarnya, gue mencium bau kemenyan. Gue mencoba mengintip lewat celah gorden yang tersingkap sedikit..
aakkhh !!, gue kaget setengah mati, saat sebuah tangan menyentuh bahu gue, untung suara gue gak terlalu keras, ternyata mas Tono.
"Lagi apa mas," tanya mas Tono berbisik.
Suara percikan air terdengar dari kamar mandi, sepertinya mang Asep sedang mandi.
"Aku lagi nyari mang Asep mas, tapi sepertinya dia sedang mandi. Eh mas, mas nyium bau dupa gak sih ?."
"Maksud mas Linggar kemenyan sesaji."
"Tepat banget mas, nyium gak," tanya gue.
Mas Tono mengangguk. Lalu gue denger suara mang Asep keluar dari kamar mandi, buru-buru gue tarik tangan mas Tono, kembali ke depan.
"Maksud mas Linggar apa ya tadi?, dupa...mang Asep, ah..aku koq bingung mas," tanya mas Tono sambil menggaruk-garukan kepalanya.
pstttt, gue meletakan jari telunjuk ke bibir gue, mengisyaratkan mas Tono, agar berhenti bertanya.
Mas Tono mengerti kemauan gue, dia diam dan tak banyak bertanya hingga mang Asep ke luar.
cklek ..krekk, suara handle pintu dibuka dari dalam, tak lama kemudian sosok mang Asep muncul dengan raut wajah terkejut.
"Loh den Linggar, ada apa ?, sudah lama ?, maaf saya sedang mandi tadi."
"Gak apa-apa mang, saya juga enggak buru-buru."
Lalu gue utarakan maksud gue datang sepagi ini. Terlihat raut wajah mang Asep menunjukan rasa ketidaksukaan.
"Memang ada apa den di rumah itu ?, selama mamang ikut den Ganjar, hingga sekarang, belum pernah ada gangguan ghaib, aman-aman saja."
"Ya itulah mang, saya juga enggak ngerti kenapa tiba-tiba banyak kejadian aneh. Tadinya saya fikir, itu cuma halusinansi saya aja, tapi puncaknya tadi malam mang, dia hampir saja melukai bi Inah, dan itu sangat menakutkan."
Mang Asep diam, pandangan matanya menerawang, lalu perlahan ia menjawab
"Saya tidak begitu tau kyai disini den, karena saya jarang ikut pengajian. Saya setiap hari hanya mengawasi rumah ini den."
"Oh gitu mang. Terus istri mamang yang ada di fhoto itu dimana ?."
Mang Asep terlihat tersenyum kecut.
"Saya belum berkeluarga den, itu pacar saya."
Gue hanya mengangguk, dan tidak ada selera untuk bertanya lebih jauh. Gue lalu mengajak mas Tono untuk mencari kyai ke kampung sebelah. Letaknya agak jauh, karena harus menuruni bukit yang longsor. Sementara itu Parjo, gue suruh ngejaga bi Inah dan bi Narti.
********
Matahari sudah mulai terlihat sinarnya, saat gue dan mas Tono berangkat ke kampung sebelah. Bi Inah membekali gue dengan doa dan air mata.
"Den..hati-hati ya, banyak-banyak baca shalawat dan berdoa. Jangan lupa shalat !!."
"Iya bi. Bibi tenang ya, aku nih cuma ke kampung sebelah, bukan mau perang," gurau gue.
Bi Inah tersenyum meski air mata terlihat di sudut matanya.
********
Gue berjalan menyusuri lereng bukit. Sepanjang jalan, gue melihat pemandangan yang membuat gue berdecak kagum. Semburat sinar mentari yang muncul dibalik bukit, terlihat begitu indah, membuat rasa syukurku semakin dalam.
"MasyaAllah, indah banget ya mas," ujar gue, sambil menunjuk pemandangan perkebunan teh yang luas menghijau.
Menjelang tengah hari, kami baru sampai di batas desa. Buruh-buruh perkebunan teh, mulai terlihat lalu lalang. Hingga akhirnya kami bertemu dengan seorang gadis bercaping sedang beristirahat.
"Assalamualaikum. Maaf teh mengganggu, mau tanya, rumah kiyai disini dimana ya ?."
Gadis itu mengangkat wajahnya, lalu dibuka caping yang menutupi rambutnya dan dessss, darah gue berdesir, saat menatap wajahnya..
"MasyaAllah..cantik banget," batin gue.
Gadis itu tersenyum, senyum yang menurut gue sangat sempurna, kalau diambil nilai dari 1 sampai 10, senyumnya itu, menurut gue ada di angka 9,5...wah.
"Rumahnya gak jauh dari sini kang, mari saya antar," ujarnya lembut.
Tubuhnya yang semampai berjalan perlahan. Dia berhijab dan memakai baju muslim, tapi itu tambah membuat ia terlihat cantik.
"Lewat sini kang," ujarnya saat melewati pertigaan, hingga akhirnya kami sampai di rumah besar bercat putih.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumusallam."
Seorang laki-laki, berkopiah putih keluar dari rumah. Gadis itu mencium tangannya sambil memperkenalkan kami.
"Abi, akang-akang ini, mencari abi, makanya eneng antar, katanya ada perlu."
Lelaki paruh baya, yang masih terlihat gagah itu, tersenyum dan mempersilahkan kami masuk.
"Mari masuk..silahkan duduk !."
"Neng, tolong buatkan minum dan siapkan makan."
"Baik abi."
"Itu putri saya, Fatimah namanya."
Gue mengangguk. Lalu tanpa basa basi, gue menceritakan maksud dan tujuan gue datang ke kampung ini, mencari kyai.
"Maaf kyai, nama saya Linggar, dan ini teman saya, mas Tono," ujar gue memperkenalkan diri.
"Saya Hasan, orang biasa memanggil saya kyai Hasan, istri saya sudah lama meninggal, jadi saya tinggal hanya berdua dengan putri saya Fatimah."
Kami lalu terlibat pembicaraan hingga waktu menjelang shalat dzuhur, kyai Hasan mengajak kami ke masjid, untuk mengerjakan shalat berjamaah.
"Mang....mang Asep. Kemana sih si mamang, sepagi ini sudah gak ada."
Gue berjalan memutar ke samping. Saat gue melewati jendela kamarnya, gue mencium bau kemenyan. Gue mencoba mengintip lewat celah gorden yang tersingkap sedikit..
aakkhh !!, gue kaget setengah mati, saat sebuah tangan menyentuh bahu gue, untung suara gue gak terlalu keras, ternyata mas Tono.
"Lagi apa mas," tanya mas Tono berbisik.
Suara percikan air terdengar dari kamar mandi, sepertinya mang Asep sedang mandi.
"Aku lagi nyari mang Asep mas, tapi sepertinya dia sedang mandi. Eh mas, mas nyium bau dupa gak sih ?."
"Maksud mas Linggar kemenyan sesaji."
"Tepat banget mas, nyium gak," tanya gue.
Mas Tono mengangguk. Lalu gue denger suara mang Asep keluar dari kamar mandi, buru-buru gue tarik tangan mas Tono, kembali ke depan.
"Maksud mas Linggar apa ya tadi?, dupa...mang Asep, ah..aku koq bingung mas," tanya mas Tono sambil menggaruk-garukan kepalanya.
pstttt, gue meletakan jari telunjuk ke bibir gue, mengisyaratkan mas Tono, agar berhenti bertanya.
Mas Tono mengerti kemauan gue, dia diam dan tak banyak bertanya hingga mang Asep ke luar.
cklek ..krekk, suara handle pintu dibuka dari dalam, tak lama kemudian sosok mang Asep muncul dengan raut wajah terkejut.
"Loh den Linggar, ada apa ?, sudah lama ?, maaf saya sedang mandi tadi."
"Gak apa-apa mang, saya juga enggak buru-buru."
Lalu gue utarakan maksud gue datang sepagi ini. Terlihat raut wajah mang Asep menunjukan rasa ketidaksukaan.
"Memang ada apa den di rumah itu ?, selama mamang ikut den Ganjar, hingga sekarang, belum pernah ada gangguan ghaib, aman-aman saja."
"Ya itulah mang, saya juga enggak ngerti kenapa tiba-tiba banyak kejadian aneh. Tadinya saya fikir, itu cuma halusinansi saya aja, tapi puncaknya tadi malam mang, dia hampir saja melukai bi Inah, dan itu sangat menakutkan."
Mang Asep diam, pandangan matanya menerawang, lalu perlahan ia menjawab
"Saya tidak begitu tau kyai disini den, karena saya jarang ikut pengajian. Saya setiap hari hanya mengawasi rumah ini den."
"Oh gitu mang. Terus istri mamang yang ada di fhoto itu dimana ?."
Mang Asep terlihat tersenyum kecut.
"Saya belum berkeluarga den, itu pacar saya."
Gue hanya mengangguk, dan tidak ada selera untuk bertanya lebih jauh. Gue lalu mengajak mas Tono untuk mencari kyai ke kampung sebelah. Letaknya agak jauh, karena harus menuruni bukit yang longsor. Sementara itu Parjo, gue suruh ngejaga bi Inah dan bi Narti.
********
Matahari sudah mulai terlihat sinarnya, saat gue dan mas Tono berangkat ke kampung sebelah. Bi Inah membekali gue dengan doa dan air mata.
"Den..hati-hati ya, banyak-banyak baca shalawat dan berdoa. Jangan lupa shalat !!."
"Iya bi. Bibi tenang ya, aku nih cuma ke kampung sebelah, bukan mau perang," gurau gue.
Bi Inah tersenyum meski air mata terlihat di sudut matanya.
********
Gue berjalan menyusuri lereng bukit. Sepanjang jalan, gue melihat pemandangan yang membuat gue berdecak kagum. Semburat sinar mentari yang muncul dibalik bukit, terlihat begitu indah, membuat rasa syukurku semakin dalam.
"MasyaAllah, indah banget ya mas," ujar gue, sambil menunjuk pemandangan perkebunan teh yang luas menghijau.
Menjelang tengah hari, kami baru sampai di batas desa. Buruh-buruh perkebunan teh, mulai terlihat lalu lalang. Hingga akhirnya kami bertemu dengan seorang gadis bercaping sedang beristirahat.
"Assalamualaikum. Maaf teh mengganggu, mau tanya, rumah kiyai disini dimana ya ?."
Gadis itu mengangkat wajahnya, lalu dibuka caping yang menutupi rambutnya dan dessss, darah gue berdesir, saat menatap wajahnya..
"MasyaAllah..cantik banget," batin gue.
Gadis itu tersenyum, senyum yang menurut gue sangat sempurna, kalau diambil nilai dari 1 sampai 10, senyumnya itu, menurut gue ada di angka 9,5...wah.
"Rumahnya gak jauh dari sini kang, mari saya antar," ujarnya lembut.
Tubuhnya yang semampai berjalan perlahan. Dia berhijab dan memakai baju muslim, tapi itu tambah membuat ia terlihat cantik.
"Lewat sini kang," ujarnya saat melewati pertigaan, hingga akhirnya kami sampai di rumah besar bercat putih.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumusallam."
Seorang laki-laki, berkopiah putih keluar dari rumah. Gadis itu mencium tangannya sambil memperkenalkan kami.
"Abi, akang-akang ini, mencari abi, makanya eneng antar, katanya ada perlu."
Lelaki paruh baya, yang masih terlihat gagah itu, tersenyum dan mempersilahkan kami masuk.
"Mari masuk..silahkan duduk !."
"Neng, tolong buatkan minum dan siapkan makan."
"Baik abi."
"Itu putri saya, Fatimah namanya."
Gue mengangguk. Lalu tanpa basa basi, gue menceritakan maksud dan tujuan gue datang ke kampung ini, mencari kyai.
"Maaf kyai, nama saya Linggar, dan ini teman saya, mas Tono," ujar gue memperkenalkan diri.
"Saya Hasan, orang biasa memanggil saya kyai Hasan, istri saya sudah lama meninggal, jadi saya tinggal hanya berdua dengan putri saya Fatimah."
Kami lalu terlibat pembicaraan hingga waktu menjelang shalat dzuhur, kyai Hasan mengajak kami ke masjid, untuk mengerjakan shalat berjamaah.
anwaranwar93 dan 17 lainnya memberi reputasi
16