- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#21
ii.
Di balik jendela hitam yang mataku masih bisa menembus, melihat apa yang ada di luar sana. Mataku masih sayutp sayup berusaha untuk sadar dan cahaya mentari terik yag menembus masuk membantuku untuk bangun. Duduk di kursi yang empuk dengan udara yang dingin, ya aku baru ingat kalau sekarang aku sedang berada di dalam mobil. Dari kursi belakang aku melihat Nadya dan Dito yang berada di bagian depan dan di sampingku sekarang Ardi sedang duduk, aku tidak tahu apa dia sedang tidur atau terjaga dalam posisi tegapnya itu, walau sedikit terguncang mengikuti irama mobil yang sepertinya sedang melintasi jalan berlubang.
Suara mesin yang berdengung di telingaku membuatku merasa bosan dan ngantuk sampai aku kembali merhatikan pemandangan di balik layar kaca mobl yang dipenuhi dengan pepohonan, walaupun aku sudah biasa dengan pemandangan ini setiap harinya di rumah namun hidungku menyuruhku untuk membuka jeldela dan menghirup udara segar, dan ternyata aku dikecewakan saat jendela sudah terbuka penuh dan yang kudapat hanyalah udara panas dan penuh debu.
“Oh … kau sudah bangun ya? saya jadi agak kesepian daritadi,” ucap Dito.
Aku hanya bergumam dan kembali menutup jendela.
“Sulit mendapat udara segar di daerah sini, kebanyakan disini hanya pabrik dan tempat industri.”
“Memangnya kita sudah sampai mana sekarang?” tanyaku sambil mengingat ingat tujuan kami.
“Sekarang kita sudah di daerah banten, kita akan sampai ke tujuan kita sekitar satu jam lagi.”
Aku memangkukan daguku pada telapak tanganku,mengingat ingat kenapa kita ke daerah banten. Dan gambarannya akhirnya cukup jelas melintas di ingatanku saat mataku terpejam dan mendapati gambaran setelah Dito menyedot darahku dengan sebuah benda semacam tabung yang terdapat semacam jarum kecil kecil di bagian bawahnya yang memang gunanya untuk menyedot darah, dan aku kembali membuka mataku dan melihat bekas suntikannya. Sebuah bulatan hitam tertato di tangan kananku, tidak perih dan sakit namun yang kupikirkan saat ini adalah apakah jarum itu steril atau tidak.
Kemudian setelah Dito mengambil darahku, dia lalu mengatakan bahwa besok kita akan ke daerah Banten dan membuat pusakaku di sana, aku paham kelakuannya tidak suka banyak bercerita namun katanya kita akan menginap beberapa hari disana sampai pusakanya kelar dan setelah itu kami melakukan persiapan untuk menginap dan paginya kita semua berangkat. Aku membawa beberapa baju dan banyak celana untuk mungkin persiapan berenang, namun Dito mengatakan kalau disana kita tidak perlu bawa banyak pakaian dan akan membeli pakaian disana saja, ya entah kenapa aku langsung merasa miskin saat dia bilang begitu.
Pada dasarnya aku tidak begitu suka bertamasya, namun karena ini mungkin adalah jalan jalan yang jarang jarang bisa kulakukan, mungkin aku akan berusaha menikmatinya. Terlebih lagi sebelum pembicaraan malam itu berakhir, Dito memberitahuku bahwa sebenarnya aku dan Ardi mendapatkan 5 % dari seluruh uang Dito karena … ini memang harta keluarga, dan saat aku tahu jumlah uang yang sudah masuk di ATM ku … mungkin aku harus memberitahu Dewi kalau aku tidak perlu bekerja lagi seumur hidupku.
Musik musik keras masuk ke dalam telingaku yang sangat kontras dengan suasana yang kulihat di sepanjang jalan yang mulai memperlihatkan pantai berpasir putihnya dari jalan yang dipagari pepohonan kelapa yang menjulang tinggi. Sesekali pandanganku teralihkan oleh banyaknya bus bus dan villa yang memenuhi pantai, ini baru pertama kalinya aku ke pantai dan kalau tidak salah namanya Anyer, tapi aku yakin disetiap bagian pantai ini masing masing punya namanya sendiri sendiri, aku jadi merasa bodoh.
Pikiranku yang sedang mengobrol denganku diganggu saat Ardi menepuk ku dan membuatku sedikit terlontar karena kaget, namun aku tidak berkata apa apa dan hanya menoleh ke arahnya.
“Apa kau pernah megang keris, Jaya?” tanya Ardi dengan posisi lurus menghadap bagian depan mobil, dan tentunya dia masih terpejam.
“Gak pernah, emangnya kenapa?”
Ardi bergumam sejenak. “Setiap keris yang asli selalu memiliki sesuatu yang mungkin kita bisa bilang jiwa di dalamnya.”
“Terus?” kataku.
“Jiwa keris itu akan terikat pada pemiliknya dan akan begitu sampai yang punyanya mati, itu akan melambangkan sifat dan karakteristikmu.” lanjut Ardi.
“Kenapa kau malah cerita hal yang aneh begini kepadaku, kita kan harusnya tidak percaya takhayul kan Ardi,” balasku begitu karena aku tahu Ardi dan aku sama sama muslim dan yang kupahami semestinya kita tidak percaya hal macam itu.
“Kalau masalah itu aku yakin kau jauh lebih pintar daripadaku, tapi aku hanya mengatakan hal yang memang intinya adalah kau dan kerismu itu bagaikan sebuah tubuh, itu saja,” balas Ardi setelah mendengar perkataanku padanya, aku masih belum paham juda saat itu.
“Saya tidak begitu tahu dan juga peduli masalah agama kalian, tapi Jaya … Ardi bilang begitu karena masalahnya hal itu benar benar nyata,” ucap Dito mengikuti percakapan kami.
“Maksudnya gimana dah, masa benda bisa mati gak bisa punya nyawa gitu?” tanyaku meledek sekaligus heran dan kembali mengalihkan pandanganku ke jendela, mataku melebar, tidak sadar pemandangan sudah berubah menjadi hutan yang cukup lebat hingga matahari tidak bisa menembus ke tanah dan jalan yang kami lewati semakin berliku liku.
“Intinya kau nanti akan paham sendiri saat pusakamu jadi, setelah itu kau bisa mendapatkan penjelasannya,” ungkap Ardi.
“Sudah Ardi, biarkan si empu matre saja yang cerita. Kita hampir sampai, sebaiknya kalian bersiap siap, tapi tidak usah rapih rapih juga,” ujar Dito.
Setelah Dito berkata seperti itu, mobil kami masuk ke sebuah jalan yang cukup sempit dan disekelilingnya di selimuti oleh pepohonan rindang dan tinggi, sampai akhirnya mobil kami berhenti. Aku menoleh ke kaca depan dan melihat sebuah rumah yang cukup besar dan terlihat sederhana dengan atap dari genteng tanah liat merah dengan rumah yang sepertinya keseluruhannya terbuat dari kayu dengan warna coklat, terlihat rumah ini sepertinya cukup tua namun terawat dan bersih.
Kami turun semua turun dari mobil dan dan mataku langsung melihat ke sekeliling, terlihat di bagian samping rumah ini banyak sekali motor yang terparkir dan juga aku bisa lihat ada asap mengepul dari bagian belakang rumah, namun aroma asapnya tidak begitu tercium karena mungkin pepohonan disini lebih cepat membersihkan udara kotor itu sebelum masuk ke hidungku. Aku melihat Dito yang sedang berusaha menelepon seseorang dan juga Nadya yang sedang sibuk mengucek ucek matanya setelah tertidur dari awal perjalanan hingga kita sampai tujuan dan juga Ardi yang membuka bagasi belakang mobil dan sedang mengambil sesuatu.
Hingga kami semua akhirnya menyatukan pandangan kami ke suara keras dari ketukan sebuah kayu yang seirama, suara langkah sendal bakiak, dan orang itu muncul dari pintu depan rumah.
“Kau ini ditelpon susah sekali, apa perlu disini dipasang tower?” raung Dito dengan suara beratnya.
“Boleh saja Dito … kau bahkan boleh merenovasi rumah ini sekalian,” ucap orang itu dengan nada lembutnya dengan lidah seperti tertahan. Kulihat dari penampilannya sepertinya dia berumur 50 tahunan dengan rambut yang terlihat di beberapa bagian sudah memutih, wajahnya kotak berbadan kurus menggunakan kacamata bundar, pakaiannya hanya mengenakan kaos dan celana pendek serta sendal bakiaknya itu yang cukup tinggi. Sepertinya dia sudah akrab sekali dengan Dito.
“Heh, rumahmu ini sudah terlalu bagus untukmu dan sebentar lagi kau juga bakal mati, buat apa ku renovasi lagi.” jawab Dito dengan pedas.
“Mati? padahal kau sendiri yang selalu dekat dengan kematian kan,” balasnya.
“Sudah cukup engkong, sekarang waktunya berbisnis.”
“Yah … aku suka bisnis.”
iii.
Kami pun masuk ke dalam rumah, Dito bilang kami akan kita akan disini sebentar saja dan pindah ke penginapan nanti malam. Kami berbincang bincang dengan bapak tua ini dengan ditemani teh hangat dan sepiring singkong rebus, sambil mendengarkan Dito dan bapak tua itu mengobrol.
Dari obrolan mereka aku bisa mengetahui bapak tua itu bernama Saman, aku tidak tahu nama lengkapnya namun dia sepertinya orang yang baik dan sederhana. Tapi dari ceritanya sepertinya dia banyak sekali mengeluh pada Dito masalah uang dan sebagainya, seperti anak mengeluh pada pada orang tua, namun Dito hanay menanggapinya dengan menyudutkan matanya dan menatap ke Ardi seolah olah tidak mendengarkan bapak tua itu.
“Cukup obrolan ngelanturnya kong,” sela Dito. “Kami kesini mau membuatkan bocah ini kerisnya, dia adalah anak terakhir,” ucapnya.
“Oh … jadi ini anaknya si Bagus ya … aku masih inget saat bapak kamu muda, saat bapakku membuatkan keris untuknya … benar benar waktu cepat sekali ya, namamu siapa?” tanya bapak itu padaku.
“Namaku Jaya … Jaya Tulus kimpoidra,” jawabku dengan gugup.
“Jaya ya …,“ gumam Pak Saman sambil ujung ujung jemarinya mengelus dagunya dan matanya mengarah ke langit langit. “Sepertinya kita langsung saja mulai ya.”
“Hah … mulai apa?” mataku melesat, tanyaku heran.
“Dito kenapa kamu kau malas sekali cerita,” cetus Pak Saman.
“Ah … iya lupa lupa … tapi terlanjur juga sih ... ,” Dito menoleh kearahku. “Kau sekarang ikutin engkong sana, kita nunggu sebentar disini.”
“Eh maksudnya apaan dah kebiasaan banget jelasin dah,” jawabku resah, aku memicingkan pandanganku ke Dito, karena kebiasaannya ini.
“Sudah sudah … ayo ikut saya Jaya ke belakang sebentar nanti sambil kuceritakan,” imbuh Pak Saman berusaha menenagkanku, ia pun sambil berdiri dan berjalan perlahan ke arah sebuah pintu.
“Aku sarankan sebelum itu kau pemanasan dulu Jaya,” ujar Ardi yang masin membuatku bingung.
Aku sejenak memperhatikan Ardi dengan mata menusuk dan melihatnya duduk terpejam dengan tenang dan disampingnya Nadya sibuk memainkan hpnya, aku menoleh ke Dito yang duduk santai sofa sambil menyantap singkong rebusnya dan asap masih mengepul di mulutnya saat dia mengunyahnya, lalu Dito melihat kearahku dan mendorongkan punggung tangannya ke arah Pak Saman, menyuruhku mengikutinya. Aku tidak bisa berkata apa apa lagi dan mengambil nafas dalam dan langsung mengeluarkannya, aku mengangkat langkahku kearah Pak Saman.
Di balik jendela hitam yang mataku masih bisa menembus, melihat apa yang ada di luar sana. Mataku masih sayutp sayup berusaha untuk sadar dan cahaya mentari terik yag menembus masuk membantuku untuk bangun. Duduk di kursi yang empuk dengan udara yang dingin, ya aku baru ingat kalau sekarang aku sedang berada di dalam mobil. Dari kursi belakang aku melihat Nadya dan Dito yang berada di bagian depan dan di sampingku sekarang Ardi sedang duduk, aku tidak tahu apa dia sedang tidur atau terjaga dalam posisi tegapnya itu, walau sedikit terguncang mengikuti irama mobil yang sepertinya sedang melintasi jalan berlubang.
Suara mesin yang berdengung di telingaku membuatku merasa bosan dan ngantuk sampai aku kembali merhatikan pemandangan di balik layar kaca mobl yang dipenuhi dengan pepohonan, walaupun aku sudah biasa dengan pemandangan ini setiap harinya di rumah namun hidungku menyuruhku untuk membuka jeldela dan menghirup udara segar, dan ternyata aku dikecewakan saat jendela sudah terbuka penuh dan yang kudapat hanyalah udara panas dan penuh debu.
“Oh … kau sudah bangun ya? saya jadi agak kesepian daritadi,” ucap Dito.
Aku hanya bergumam dan kembali menutup jendela.
“Sulit mendapat udara segar di daerah sini, kebanyakan disini hanya pabrik dan tempat industri.”
“Memangnya kita sudah sampai mana sekarang?” tanyaku sambil mengingat ingat tujuan kami.
“Sekarang kita sudah di daerah banten, kita akan sampai ke tujuan kita sekitar satu jam lagi.”
Aku memangkukan daguku pada telapak tanganku,mengingat ingat kenapa kita ke daerah banten. Dan gambarannya akhirnya cukup jelas melintas di ingatanku saat mataku terpejam dan mendapati gambaran setelah Dito menyedot darahku dengan sebuah benda semacam tabung yang terdapat semacam jarum kecil kecil di bagian bawahnya yang memang gunanya untuk menyedot darah, dan aku kembali membuka mataku dan melihat bekas suntikannya. Sebuah bulatan hitam tertato di tangan kananku, tidak perih dan sakit namun yang kupikirkan saat ini adalah apakah jarum itu steril atau tidak.
Kemudian setelah Dito mengambil darahku, dia lalu mengatakan bahwa besok kita akan ke daerah Banten dan membuat pusakaku di sana, aku paham kelakuannya tidak suka banyak bercerita namun katanya kita akan menginap beberapa hari disana sampai pusakanya kelar dan setelah itu kami melakukan persiapan untuk menginap dan paginya kita semua berangkat. Aku membawa beberapa baju dan banyak celana untuk mungkin persiapan berenang, namun Dito mengatakan kalau disana kita tidak perlu bawa banyak pakaian dan akan membeli pakaian disana saja, ya entah kenapa aku langsung merasa miskin saat dia bilang begitu.
Pada dasarnya aku tidak begitu suka bertamasya, namun karena ini mungkin adalah jalan jalan yang jarang jarang bisa kulakukan, mungkin aku akan berusaha menikmatinya. Terlebih lagi sebelum pembicaraan malam itu berakhir, Dito memberitahuku bahwa sebenarnya aku dan Ardi mendapatkan 5 % dari seluruh uang Dito karena … ini memang harta keluarga, dan saat aku tahu jumlah uang yang sudah masuk di ATM ku … mungkin aku harus memberitahu Dewi kalau aku tidak perlu bekerja lagi seumur hidupku.
Musik musik keras masuk ke dalam telingaku yang sangat kontras dengan suasana yang kulihat di sepanjang jalan yang mulai memperlihatkan pantai berpasir putihnya dari jalan yang dipagari pepohonan kelapa yang menjulang tinggi. Sesekali pandanganku teralihkan oleh banyaknya bus bus dan villa yang memenuhi pantai, ini baru pertama kalinya aku ke pantai dan kalau tidak salah namanya Anyer, tapi aku yakin disetiap bagian pantai ini masing masing punya namanya sendiri sendiri, aku jadi merasa bodoh.
Pikiranku yang sedang mengobrol denganku diganggu saat Ardi menepuk ku dan membuatku sedikit terlontar karena kaget, namun aku tidak berkata apa apa dan hanya menoleh ke arahnya.
“Apa kau pernah megang keris, Jaya?” tanya Ardi dengan posisi lurus menghadap bagian depan mobil, dan tentunya dia masih terpejam.
“Gak pernah, emangnya kenapa?”
Ardi bergumam sejenak. “Setiap keris yang asli selalu memiliki sesuatu yang mungkin kita bisa bilang jiwa di dalamnya.”
“Terus?” kataku.
“Jiwa keris itu akan terikat pada pemiliknya dan akan begitu sampai yang punyanya mati, itu akan melambangkan sifat dan karakteristikmu.” lanjut Ardi.
“Kenapa kau malah cerita hal yang aneh begini kepadaku, kita kan harusnya tidak percaya takhayul kan Ardi,” balasku begitu karena aku tahu Ardi dan aku sama sama muslim dan yang kupahami semestinya kita tidak percaya hal macam itu.
“Kalau masalah itu aku yakin kau jauh lebih pintar daripadaku, tapi aku hanya mengatakan hal yang memang intinya adalah kau dan kerismu itu bagaikan sebuah tubuh, itu saja,” balas Ardi setelah mendengar perkataanku padanya, aku masih belum paham juda saat itu.
“Saya tidak begitu tahu dan juga peduli masalah agama kalian, tapi Jaya … Ardi bilang begitu karena masalahnya hal itu benar benar nyata,” ucap Dito mengikuti percakapan kami.
“Maksudnya gimana dah, masa benda bisa mati gak bisa punya nyawa gitu?” tanyaku meledek sekaligus heran dan kembali mengalihkan pandanganku ke jendela, mataku melebar, tidak sadar pemandangan sudah berubah menjadi hutan yang cukup lebat hingga matahari tidak bisa menembus ke tanah dan jalan yang kami lewati semakin berliku liku.
“Intinya kau nanti akan paham sendiri saat pusakamu jadi, setelah itu kau bisa mendapatkan penjelasannya,” ungkap Ardi.
“Sudah Ardi, biarkan si empu matre saja yang cerita. Kita hampir sampai, sebaiknya kalian bersiap siap, tapi tidak usah rapih rapih juga,” ujar Dito.
Setelah Dito berkata seperti itu, mobil kami masuk ke sebuah jalan yang cukup sempit dan disekelilingnya di selimuti oleh pepohonan rindang dan tinggi, sampai akhirnya mobil kami berhenti. Aku menoleh ke kaca depan dan melihat sebuah rumah yang cukup besar dan terlihat sederhana dengan atap dari genteng tanah liat merah dengan rumah yang sepertinya keseluruhannya terbuat dari kayu dengan warna coklat, terlihat rumah ini sepertinya cukup tua namun terawat dan bersih.
Kami turun semua turun dari mobil dan dan mataku langsung melihat ke sekeliling, terlihat di bagian samping rumah ini banyak sekali motor yang terparkir dan juga aku bisa lihat ada asap mengepul dari bagian belakang rumah, namun aroma asapnya tidak begitu tercium karena mungkin pepohonan disini lebih cepat membersihkan udara kotor itu sebelum masuk ke hidungku. Aku melihat Dito yang sedang berusaha menelepon seseorang dan juga Nadya yang sedang sibuk mengucek ucek matanya setelah tertidur dari awal perjalanan hingga kita sampai tujuan dan juga Ardi yang membuka bagasi belakang mobil dan sedang mengambil sesuatu.
Hingga kami semua akhirnya menyatukan pandangan kami ke suara keras dari ketukan sebuah kayu yang seirama, suara langkah sendal bakiak, dan orang itu muncul dari pintu depan rumah.
“Kau ini ditelpon susah sekali, apa perlu disini dipasang tower?” raung Dito dengan suara beratnya.
“Boleh saja Dito … kau bahkan boleh merenovasi rumah ini sekalian,” ucap orang itu dengan nada lembutnya dengan lidah seperti tertahan. Kulihat dari penampilannya sepertinya dia berumur 50 tahunan dengan rambut yang terlihat di beberapa bagian sudah memutih, wajahnya kotak berbadan kurus menggunakan kacamata bundar, pakaiannya hanya mengenakan kaos dan celana pendek serta sendal bakiaknya itu yang cukup tinggi. Sepertinya dia sudah akrab sekali dengan Dito.
“Heh, rumahmu ini sudah terlalu bagus untukmu dan sebentar lagi kau juga bakal mati, buat apa ku renovasi lagi.” jawab Dito dengan pedas.
“Mati? padahal kau sendiri yang selalu dekat dengan kematian kan,” balasnya.
“Sudah cukup engkong, sekarang waktunya berbisnis.”
“Yah … aku suka bisnis.”
iii.
Kami pun masuk ke dalam rumah, Dito bilang kami akan kita akan disini sebentar saja dan pindah ke penginapan nanti malam. Kami berbincang bincang dengan bapak tua ini dengan ditemani teh hangat dan sepiring singkong rebus, sambil mendengarkan Dito dan bapak tua itu mengobrol.
Dari obrolan mereka aku bisa mengetahui bapak tua itu bernama Saman, aku tidak tahu nama lengkapnya namun dia sepertinya orang yang baik dan sederhana. Tapi dari ceritanya sepertinya dia banyak sekali mengeluh pada Dito masalah uang dan sebagainya, seperti anak mengeluh pada pada orang tua, namun Dito hanay menanggapinya dengan menyudutkan matanya dan menatap ke Ardi seolah olah tidak mendengarkan bapak tua itu.
“Cukup obrolan ngelanturnya kong,” sela Dito. “Kami kesini mau membuatkan bocah ini kerisnya, dia adalah anak terakhir,” ucapnya.
“Oh … jadi ini anaknya si Bagus ya … aku masih inget saat bapak kamu muda, saat bapakku membuatkan keris untuknya … benar benar waktu cepat sekali ya, namamu siapa?” tanya bapak itu padaku.
“Namaku Jaya … Jaya Tulus kimpoidra,” jawabku dengan gugup.
“Jaya ya …,“ gumam Pak Saman sambil ujung ujung jemarinya mengelus dagunya dan matanya mengarah ke langit langit. “Sepertinya kita langsung saja mulai ya.”
“Hah … mulai apa?” mataku melesat, tanyaku heran.
“Dito kenapa kamu kau malas sekali cerita,” cetus Pak Saman.
“Ah … iya lupa lupa … tapi terlanjur juga sih ... ,” Dito menoleh kearahku. “Kau sekarang ikutin engkong sana, kita nunggu sebentar disini.”
“Eh maksudnya apaan dah kebiasaan banget jelasin dah,” jawabku resah, aku memicingkan pandanganku ke Dito, karena kebiasaannya ini.
“Sudah sudah … ayo ikut saya Jaya ke belakang sebentar nanti sambil kuceritakan,” imbuh Pak Saman berusaha menenagkanku, ia pun sambil berdiri dan berjalan perlahan ke arah sebuah pintu.
“Aku sarankan sebelum itu kau pemanasan dulu Jaya,” ujar Ardi yang masin membuatku bingung.
Aku sejenak memperhatikan Ardi dengan mata menusuk dan melihatnya duduk terpejam dengan tenang dan disampingnya Nadya sibuk memainkan hpnya, aku menoleh ke Dito yang duduk santai sofa sambil menyantap singkong rebusnya dan asap masih mengepul di mulutnya saat dia mengunyahnya, lalu Dito melihat kearahku dan mendorongkan punggung tangannya ke arah Pak Saman, menyuruhku mengikutinya. Aku tidak bisa berkata apa apa lagi dan mengambil nafas dalam dan langsung mengeluarkannya, aku mengangkat langkahku kearah Pak Saman.
Diubah oleh amriakhsan 02-02-2020 02:47
aripinastiko612 dan krisnafebriyant memberi reputasi
2
