- Beranda
- Stories from the Heart
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
...
TS
agusmulyanti
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
Spoiler for prolog:
*********
RULES
- Ikuti perarturan SFTH
- Agan2 dan Sista bebas berkomentar, memberikan kritik dan saran yang membangun.
- Selama Kisah ini Ditulis, mohon untuk berkomentar seputar cerita.
- Dilarang meng-copas atau meng copy segala bentuk di dalam cerita ini tanpa seizin penulis
index
Diubah oleh agusmulyanti 07-12-2022 06:16
theoscus dan 56 lainnya memberi reputasi
55
43.4K
590
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
agusmulyanti
#23
Part - 8
Kejadian demi kejadian aneh, membuat gue semakin yakin akan hadirnya sosok ghaib di rumah baru gue. Gue mencoba menyandarkan tubuh gue di shofa sambil menyaksikan pertunjukan musik di televisi, sheila on Seven group musik kesukaan gue. Mas Tono dan mas Parjo asik bermain catur di beranda, sementara bi Inah dan bi Narti, sedang membuat kudapan untuk teman minum kopi malam ini.
Ditengah keseruan gue menonton televisi, tiba-tiba..kreeekkkk, pintu kamar ayah Ganjar terbuka perlahan, dan sudut netra gue menangkap adanya bayang sosok laki-laki melintas, gue fikir itu mas Tono.
"Mas Tono...mas, ngapain masuk kamar ayah ?."
Tak ada jawaban, akhirnya gue melangkah ke kamar ayah, dan gue lihat kamar ayah memang terbuka, tapi gak ada siapa-siapa disana. Gue pencet saklar lampu...mati.
"Ya ampun, koq gue sampe lupa ya, nyuruh mas Tono, ganti lampu."
Dalam temaramnya ruang kamar ayah, gue melihat sosok wanita yang gak terlalu jelas wajahnya, wanita itu sepertinya sedang menyeringai kearah gue sambil memperdengarkan tertawanya yang menyeramkan hihihihi.....hihihihihi, gue mencoba berteriak, tapi suara gue seperti ketahan ditenggorokan dan wanita itu semakin lama semakin dekat, hingga akhirnya aaaarrrggkhhh
"Den....den Linggar !, bangun den. Aden bangun, sebuah tangan halus membangunkanku."
"Bi Inah ?," ujarku masih dengan nafas terengah-engah.
"Iya den, minum dulu den. Aden tadi mengigau, suara aden sampai ke dapur, bibi sampai kaget," ujar bi Inah.
Gue lihat juga ada bi Narti, mas Tono dan Parjo.
"Makanya jangan tidur sebelum shalat Isya den, pamali."
"Iya mas, aku ketiduran."
"Yasudah, ayo kita shalat jamaah dulu."
Gue melangkah mengikuti mas Tono. Kulayangkan pandangan ke arah kamar ayah, masih terkunci rapat.
"Alhamdulillah cuma mimpi."
"Kenapa mas Linggar," tanya mas Tono, yang mendengar gumaman gue.
"Enggak mas, gak apa-apa."
Gue shalat berjamaah, dan gue menyuruh mas Tono yang jadi imam. Mang Asep seperti biasa, gak pernah mau diajak shalat berjamaah, alasannya selalu saja ada, sudah shalat lah, atau nanti saja belakangan. Dan gue paling gak mau, maksa orang sampai berkali-kali.
********
Malam ini bi Inah kelihatan sangat gelisah, entah apa yang mengganggu fikirannya. Gue kenal betul dengan sikapnya, karena gue sudah tinggal satu atap dengannya sejak gue masih kecil. Ia terlihat mondar mandir, sambil mulutnya komat kamit, melafalkan ayat kursy.
"Bi Inah, ada apa ?," ujar gue sambil mendekati bi Inah.
"Entahlah den, perasaan bibi koq gak enak ya."
"Mungkin bibi kecapekan kali."
"Enggak den, bibi ngerasa di rumah ini seperti ada kekuatan ghaib."
"Kekuatan ghaib apa bi ?, bibi kebanyakan nonton sinetron nih," gurau gue, untuk mencairkan suasana.
Bi Inah memegang tangan gue dengan kuat.
"Den !, aden gak bisa bohong sama bibi. Aden juga merasakan hal yang sama kan ?."
Gue diam, sepertinya bi Inah emang sangat mengenal gue. Akhirnya gue mengangguk, sambil meletakan telunjuk tangan gue ke bibir.
"Psttt....bi, jangan cerita ke siapa-siapa. Aku gak mau semua orang panik dan takut. Bibi mau berjanjikan ?."
Bi Inah mengangguk sambil menghela nafas.
"Baiklah den, tapi aden janji sama bibi, selalu hati-hati."
"Siap bi"
Gue melangkah ke beranda, disana mang Asep sedang bercengkrama dengan mas Tono dan Parjo. Tawa mereka terdengar begitu riuh, entah apa yang tengah mereka ceritakan.
Saat melihat gue, mang Asep menganggukan kepala.
"Wah..seru amat ngobrolnya nih, sampe kedengeran ke dalam."
"Iya mas, ini mang Asep lagi nyeritain masa lalunya."
Gue menatap mang Asep, tapi mang Asep seperti tak ingin gue menanyakan hal-hal lain, ia berdiri dan pamit hendak berkeliling.
"Loh koq pergi mang, mau kemana ngobrol dulu lah."
"Anu den, mamang mau keliling dulu, nanti kemalaman."
"Oh yasudah, hati-hati ya mang."
Gue lihat mang Asep berjalan menembus gelapnya malam. Gue gak tau seberapa besar nyalinya, hingga dia bisa tinggal di rumah ini, seorang diri.
*********
Saat gue tengah asik ngobrol dengan mas Tono dan parjo, terdengar ada panggilan masuk di gawai gue...bu gempal. Gue menandai bu Hanum dalam kontak gue, dengan sebutan bu gempal.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumusallam...nak Linggar, tadi ibu kerumah, koq sepi. Apa nak Linggar dan semuanya masih di rumah bukit ?."
"Iya bu, aku kejebak disini, tanah yang menuju bukit ini longsor, mungkin baru beberapa hari kedepan aku bisa pulang. Ada apa bu ?."
"Enggak, enggak ada apa-apa. Nanti saja kalau nak Linggar balik kesini ibu cerita."
"Oh..yasudah kalau begitu. Ibu, mbak Kirana dan Melati, sehat semua kan?."
"Iya nak..alhamdulillah, hanya saja..teet....teet...teet," tiba-tiba telfon terputus.
"Loh koq putus ?,"
Gue coba menghubungi bu Hanum lagi, tapi gak bisa, karena sinyal disini sangat buruk. Akhirnya gue putuskan buat nelfon dia besok pagi.
Ditengah keseruan gue menonton televisi, tiba-tiba..kreeekkkk, pintu kamar ayah Ganjar terbuka perlahan, dan sudut netra gue menangkap adanya bayang sosok laki-laki melintas, gue fikir itu mas Tono.
"Mas Tono...mas, ngapain masuk kamar ayah ?."
Tak ada jawaban, akhirnya gue melangkah ke kamar ayah, dan gue lihat kamar ayah memang terbuka, tapi gak ada siapa-siapa disana. Gue pencet saklar lampu...mati.
"Ya ampun, koq gue sampe lupa ya, nyuruh mas Tono, ganti lampu."
Dalam temaramnya ruang kamar ayah, gue melihat sosok wanita yang gak terlalu jelas wajahnya, wanita itu sepertinya sedang menyeringai kearah gue sambil memperdengarkan tertawanya yang menyeramkan hihihihi.....hihihihihi, gue mencoba berteriak, tapi suara gue seperti ketahan ditenggorokan dan wanita itu semakin lama semakin dekat, hingga akhirnya aaaarrrggkhhh
"Den....den Linggar !, bangun den. Aden bangun, sebuah tangan halus membangunkanku."
"Bi Inah ?," ujarku masih dengan nafas terengah-engah.
"Iya den, minum dulu den. Aden tadi mengigau, suara aden sampai ke dapur, bibi sampai kaget," ujar bi Inah.
Gue lihat juga ada bi Narti, mas Tono dan Parjo.
"Makanya jangan tidur sebelum shalat Isya den, pamali."
"Iya mas, aku ketiduran."
"Yasudah, ayo kita shalat jamaah dulu."
Gue melangkah mengikuti mas Tono. Kulayangkan pandangan ke arah kamar ayah, masih terkunci rapat.
"Alhamdulillah cuma mimpi."
"Kenapa mas Linggar," tanya mas Tono, yang mendengar gumaman gue.
"Enggak mas, gak apa-apa."
Gue shalat berjamaah, dan gue menyuruh mas Tono yang jadi imam. Mang Asep seperti biasa, gak pernah mau diajak shalat berjamaah, alasannya selalu saja ada, sudah shalat lah, atau nanti saja belakangan. Dan gue paling gak mau, maksa orang sampai berkali-kali.
********
Malam ini bi Inah kelihatan sangat gelisah, entah apa yang mengganggu fikirannya. Gue kenal betul dengan sikapnya, karena gue sudah tinggal satu atap dengannya sejak gue masih kecil. Ia terlihat mondar mandir, sambil mulutnya komat kamit, melafalkan ayat kursy.
"Bi Inah, ada apa ?," ujar gue sambil mendekati bi Inah.
"Entahlah den, perasaan bibi koq gak enak ya."
"Mungkin bibi kecapekan kali."
"Enggak den, bibi ngerasa di rumah ini seperti ada kekuatan ghaib."
"Kekuatan ghaib apa bi ?, bibi kebanyakan nonton sinetron nih," gurau gue, untuk mencairkan suasana.
Bi Inah memegang tangan gue dengan kuat.
"Den !, aden gak bisa bohong sama bibi. Aden juga merasakan hal yang sama kan ?."
Gue diam, sepertinya bi Inah emang sangat mengenal gue. Akhirnya gue mengangguk, sambil meletakan telunjuk tangan gue ke bibir.
"Psttt....bi, jangan cerita ke siapa-siapa. Aku gak mau semua orang panik dan takut. Bibi mau berjanjikan ?."
Bi Inah mengangguk sambil menghela nafas.
"Baiklah den, tapi aden janji sama bibi, selalu hati-hati."
"Siap bi"
Gue melangkah ke beranda, disana mang Asep sedang bercengkrama dengan mas Tono dan Parjo. Tawa mereka terdengar begitu riuh, entah apa yang tengah mereka ceritakan.
Saat melihat gue, mang Asep menganggukan kepala.
"Wah..seru amat ngobrolnya nih, sampe kedengeran ke dalam."
"Iya mas, ini mang Asep lagi nyeritain masa lalunya."
Gue menatap mang Asep, tapi mang Asep seperti tak ingin gue menanyakan hal-hal lain, ia berdiri dan pamit hendak berkeliling.
"Loh koq pergi mang, mau kemana ngobrol dulu lah."
"Anu den, mamang mau keliling dulu, nanti kemalaman."
"Oh yasudah, hati-hati ya mang."
Gue lihat mang Asep berjalan menembus gelapnya malam. Gue gak tau seberapa besar nyalinya, hingga dia bisa tinggal di rumah ini, seorang diri.
*********
Saat gue tengah asik ngobrol dengan mas Tono dan parjo, terdengar ada panggilan masuk di gawai gue...bu gempal. Gue menandai bu Hanum dalam kontak gue, dengan sebutan bu gempal.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumusallam...nak Linggar, tadi ibu kerumah, koq sepi. Apa nak Linggar dan semuanya masih di rumah bukit ?."
"Iya bu, aku kejebak disini, tanah yang menuju bukit ini longsor, mungkin baru beberapa hari kedepan aku bisa pulang. Ada apa bu ?."
"Enggak, enggak ada apa-apa. Nanti saja kalau nak Linggar balik kesini ibu cerita."
"Oh..yasudah kalau begitu. Ibu, mbak Kirana dan Melati, sehat semua kan?."
"Iya nak..alhamdulillah, hanya saja..teet....teet...teet," tiba-tiba telfon terputus.
"Loh koq putus ?,"
Gue coba menghubungi bu Hanum lagi, tapi gak bisa, karena sinyal disini sangat buruk. Akhirnya gue putuskan buat nelfon dia besok pagi.
Diubah oleh agusmulyanti 02-02-2020 05:19
anwaranwar93 dan 17 lainnya memberi reputasi
18