- Beranda
- Stories from the Heart
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
...
TS
agusmulyanti
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
Spoiler for prolog:
*********
RULES
- Ikuti perarturan SFTH
- Agan2 dan Sista bebas berkomentar, memberikan kritik dan saran yang membangun.
- Selama Kisah ini Ditulis, mohon untuk berkomentar seputar cerita.
- Dilarang meng-copas atau meng copy segala bentuk di dalam cerita ini tanpa seizin penulis
index
Diubah oleh agusmulyanti 07-12-2022 06:16
theoscus dan 56 lainnya memberi reputasi
55
43.4K
590
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
agusmulyanti
#10
Part - 5
Gue gak tau sudah berapa lama gue tertidur, hingga rungu gue menangkap sebuah suara tangisan dan pukulan di dinding yang semakin lama semakin keras. Gue bergerak bangkit dan berharap ini cuma mimpi. Gue singkap tirai jendela, diluar cuaca begitu buruk dan hujan turun sangat deras diselingi suara petir yang bergemuruh. Suara tangisan dan pukulan tak lagi terdengar.
"Alhamdulillah, ternyata cuma mimpi," gumam gue sambil bernafas lega.
Rasa haus yang tiba-tiba menyerang tenggorokan gue, memaksa gue untuk berjalan ke luar kamar, dan melangkahkan kaki ke dapur. Untuk sampai ke dapur gue harus melewati kamar ayah dan mushala. Saat kaki gue melintas di depan mushala, netra gue menangkap bayangan sosok seorang gadis yang tengah menangis di kegelapan.
huhuhuhu...huhuhuhu....huhuhuhu
"Siapa gadis itu ?, kenapa malam-malam menangis di tempat yang gelap ?."
Dengan sedikit keberanian, gue melangkah kearah suara tangisan itu, dan perlahan gue mencoba menghidupkan lampu mushala, tapi enggak tau kenapa, lampu di ruangan itu gak mau menyala.
"Koq gak hidup ?, gimana sih mang Asep ini, lampu mati koq gak diganti," gumam gue.
Suara tangisan yang menyayat hati itu masih terdengar, dan tanpa sengaja karena gelap, tangan gue menyentuh vas bunga yang ada di atas buffet...pranggg....., vas bunga itu hancur berkeping-keping.
Suara vas bunga yang jatuh membangunkan seisi rumah. Mas Tono dan Parjo yang tidur di lantai dua, dengan cepat berlari sambil memegang tongkat, mereka mengira ada pencuri yang masuk ke dalam rumah. Tongkat itu nyaris saja menghantam badan gue, untunglah disaat bersamaan bi Inah menyalakan lampu ruang makan.
"Eits...ini aku mas Tono."
"Ya ampun mas Linggar, lagi apa disitu ?, hampir saja tongkat saya menghantam mas Linggar."
"Aku tadi haus mas, lalu aku mau ke dapur, tapi karena gelap, tanganku nyenggol vas bunga ini, hancur deh. Maaf ya, aku udah ganggu tidur kalian."
"Enggak koq den, bi Inah emang mau tahajud, hampir saja kelewat, untung aden bangun," ujar bi Inah sambil tangannya bergerak hendak menyapu lantai, membersihkan pecahan vas bunga.
Ternyata tangan bi Narti lebih cepat meraih gagang sapu dan mulai menyapu.
"Biar.. Narti saja yang bersihin bi. Bi Inah shalat saja."
Bi Inah mengangguk sambil terus melangkah mengambil air wudhu.
"Mas Linggar mau kopi ?, biar bibi buatin ya. Mas Tono sama Parjo mau juga ?." tanya bi Narti.
Gue, mas Tono dan Parjo serempak mengangguk, dan menunggu kopi panas di meja makan.
"Oh iya mas Tono, besok tolong lam....",
Belum selesai gue ngomong, tiba-tiba gue ngeliat bi Ijah menghidupkan lampu mushala, dan nyala.
"Loh..kenapa tadi gak nyala ya ?, koq sekarang bisa nyala."
Mas Tono yang mendengar gue gak melanjutkan ucapan gue, langsung bertanya.
"Tadi mas Linggar mau nyuruh apa ?, koq gak diterusin."
"Gak apa-apa mas, gak jadi, ternyata aku lupa, kalo jalan yang kearah pulang sedang longsor. Tadinya aku mau mas Tono bersihin mobil, sebelum berangkat."
"Oh gitu."
Bi Narti muncul dari dapur dengan kopi panas dan roti bakar.
"Hmm...kelihatannya enak nih bi."
"Ya enaklah mas, siapa dulu yang buat, istriku," goda mas Tono.
"Uhuyyyy, rayuan gombal..hehehehe," timpal Parjo.
Gue merasa bersyukur, karena gue dikelilingi oleh orang-orang baik, yang selalu ada, disaat gue lagi dalam masalah.
Hujan masih terus turun dalam gelap malam, dan deru angin terdengar berderak-derak menghembus pepohonan.
"Hujannya besar banget ya mas ?."
"Iya mas Linggar, sampe-sampe saya seperti ngedenger ada orang yang memukul-mukul tembok."
"Maksud mas Tono apa ?," tanya gue menyelidik.
"Tadi waktu saya tidur, saya seperti mendengar pukulan di tembok, tapi setelah saya dengarkan ternyata, itu hanya suara angin yang meniup pohon-pohon, bikin horor aja," ujar mas Tono sambil tersenyum.
"Alhamdulillah, ternyata cuma mimpi," gumam gue sambil bernafas lega.
Rasa haus yang tiba-tiba menyerang tenggorokan gue, memaksa gue untuk berjalan ke luar kamar, dan melangkahkan kaki ke dapur. Untuk sampai ke dapur gue harus melewati kamar ayah dan mushala. Saat kaki gue melintas di depan mushala, netra gue menangkap bayangan sosok seorang gadis yang tengah menangis di kegelapan.
huhuhuhu...huhuhuhu....huhuhuhu
"Siapa gadis itu ?, kenapa malam-malam menangis di tempat yang gelap ?."
Dengan sedikit keberanian, gue melangkah kearah suara tangisan itu, dan perlahan gue mencoba menghidupkan lampu mushala, tapi enggak tau kenapa, lampu di ruangan itu gak mau menyala.
"Koq gak hidup ?, gimana sih mang Asep ini, lampu mati koq gak diganti," gumam gue.
Suara tangisan yang menyayat hati itu masih terdengar, dan tanpa sengaja karena gelap, tangan gue menyentuh vas bunga yang ada di atas buffet...pranggg....., vas bunga itu hancur berkeping-keping.
Suara vas bunga yang jatuh membangunkan seisi rumah. Mas Tono dan Parjo yang tidur di lantai dua, dengan cepat berlari sambil memegang tongkat, mereka mengira ada pencuri yang masuk ke dalam rumah. Tongkat itu nyaris saja menghantam badan gue, untunglah disaat bersamaan bi Inah menyalakan lampu ruang makan.
"Eits...ini aku mas Tono."
"Ya ampun mas Linggar, lagi apa disitu ?, hampir saja tongkat saya menghantam mas Linggar."
"Aku tadi haus mas, lalu aku mau ke dapur, tapi karena gelap, tanganku nyenggol vas bunga ini, hancur deh. Maaf ya, aku udah ganggu tidur kalian."
"Enggak koq den, bi Inah emang mau tahajud, hampir saja kelewat, untung aden bangun," ujar bi Inah sambil tangannya bergerak hendak menyapu lantai, membersihkan pecahan vas bunga.
Ternyata tangan bi Narti lebih cepat meraih gagang sapu dan mulai menyapu.
"Biar.. Narti saja yang bersihin bi. Bi Inah shalat saja."
Bi Inah mengangguk sambil terus melangkah mengambil air wudhu.
"Mas Linggar mau kopi ?, biar bibi buatin ya. Mas Tono sama Parjo mau juga ?." tanya bi Narti.
Gue, mas Tono dan Parjo serempak mengangguk, dan menunggu kopi panas di meja makan.
"Oh iya mas Tono, besok tolong lam....",
Belum selesai gue ngomong, tiba-tiba gue ngeliat bi Ijah menghidupkan lampu mushala, dan nyala.
"Loh..kenapa tadi gak nyala ya ?, koq sekarang bisa nyala."
Mas Tono yang mendengar gue gak melanjutkan ucapan gue, langsung bertanya.
"Tadi mas Linggar mau nyuruh apa ?, koq gak diterusin."
"Gak apa-apa mas, gak jadi, ternyata aku lupa, kalo jalan yang kearah pulang sedang longsor. Tadinya aku mau mas Tono bersihin mobil, sebelum berangkat."
"Oh gitu."
Bi Narti muncul dari dapur dengan kopi panas dan roti bakar.
"Hmm...kelihatannya enak nih bi."
"Ya enaklah mas, siapa dulu yang buat, istriku," goda mas Tono.
"Uhuyyyy, rayuan gombal..hehehehe," timpal Parjo.
Gue merasa bersyukur, karena gue dikelilingi oleh orang-orang baik, yang selalu ada, disaat gue lagi dalam masalah.
Hujan masih terus turun dalam gelap malam, dan deru angin terdengar berderak-derak menghembus pepohonan.
"Hujannya besar banget ya mas ?."
"Iya mas Linggar, sampe-sampe saya seperti ngedenger ada orang yang memukul-mukul tembok."
"Maksud mas Tono apa ?," tanya gue menyelidik.
"Tadi waktu saya tidur, saya seperti mendengar pukulan di tembok, tapi setelah saya dengarkan ternyata, itu hanya suara angin yang meniup pohon-pohon, bikin horor aja," ujar mas Tono sambil tersenyum.
anwaranwar93 dan 17 lainnya memberi reputasi
18