Ada pihak yang tidak terima ane publish cerita ini ke media sosial/forum/publik. Temen ane yg dalam cerita ini ane namain Moses (yg juga merupakan sumber utama cerita ini) juga terkena imbasnya. Bapaknya Moses sampai ngamuk-ngamuk kenapa hal seperti itu pake diumbar-umbar segala.

Nah, setelah ane telusuri akar permasalahannya, ternyata pihak yang berkeberatan tadi adalah salah satu pemuda desa Srigati yang kebetulan merantau keluar kota dan emang orangnya merasa sebagai orang paling pentingdi Srigati (mungkin agan-agan paham betul banyak tipe orang kayak gitu di setiap lingkungan). Dan masalahnya adalah: Pemuda ini mengira kalau ane adalah wartawan dan berusaha mengekspos legenda yang sebenernya tabu untuk diumbar-umbar ini.

Lalu kemarin ane, Moses, bapaknya Moses dan si pemuda ini ketemu dan duduk bersama. Ane jelasin bahwa ane bukan wartawan, dan walaupun ane ceritain kisah ini semua nama orang dan tempatnya ane samarkan. Dan dari cerita si pemuda, barulah ane mengetahui bahwa apa yang dia khawatirkan adalah sebuah cerita di masa lalu yang AGAK BERBAU SARA. Dia takut kalau desa tanah kelahirannya akan mendapat masalah khusu atas bagian cerita itu.

Nah, di sini ane menjadi agak ragu. Ane akuin emang ada bagian cerita yang sedikit berbau SARA walaupun kejadiannya sudah terjadi di tahun 80-an lampau. Ane sedikit sadar kalau bagian itu juga mengandung resiko tersendiri. Tapi di sisi lain, bagian itu juga gak bisa dilepaskan dari keseluruhan cerita.

(Sedikit catatan; metode penulisan cerita ane nanti adalah menceritakan ulang penuturan dari narasumber2 terkait, dan setiap cerita akan ane bikin dalam chapter yang berbeda.)

Jadi, ane memutuskan untuk terus menulis bagian-bagian yang aman dulu mulai hari ini, mengingat juga tampaknya agan-agan semua punya atensi yang cukup tinggi di thread ini. Sembari itu, ane minta pendapat agan-agan semua...


Sekali lagi ane mohon maaf...

Ane akan segera publish part kedua dari penuturan Moses, dan ane tunggu saran dari agan-agan semua.