- Beranda
- Stories from the Heart
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
...
TS
agusmulyanti
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
Spoiler for prolog:
*********
RULES
- Ikuti perarturan SFTH
- Agan2 dan Sista bebas berkomentar, memberikan kritik dan saran yang membangun.
- Selama Kisah ini Ditulis, mohon untuk berkomentar seputar cerita.
- Dilarang meng-copas atau meng copy segala bentuk di dalam cerita ini tanpa seizin penulis
index
Diubah oleh agusmulyanti 07-12-2022 06:16
theoscus dan 56 lainnya memberi reputasi
55
43.4K
590
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
agusmulyanti
#6
Part - 3
Mas Tono, memacu mobilku dengan kecepatan sedang, karena gue melarangnya mengemudi dengan cepat. Udara dan pemandangan yang indah sangat sayang jika harus dilewatkan begitu saja. Gue ambil kamera dan mulai membidik semua tempat yang gue anggap indah dan bagus.
Ciiiiit.....ciiittttt, tiba-tiba mas Tono mengerem kendaraan dengan mendadak. Gue yang sedang fokus memoto hampir saja tersuruk ke kaca, untung saja gue memakai sabuk pengaman.
"Kenapa mas Tono ?, koq ngerem mendadak."
"Iya nih, kenapa to mas, wong gak ada apa-apa juga," ujar bi Narti sewot.
"Aku ngelihat ada perempuan melintas tadi mas, pake baju merah. Makanya aku langsung ngerem."
Gue turun dari mobil dan mulai memeriksa kedepan mobil. Gue perhatikan sekitar mobil, gak ada siapapun dan apapun itu. Hhhhh.... gue tarik nafas perlahan.
"Pertanda apa ini ?," gumam gue, sambil menghampiri mas Tono yang juga sedang mengawasi sekitar.
"Gak ada apa-apa mas, wes gantian, biar aku yang nyetir, mungkin mas Tono sedang ngantuk."
Mas Tono mengangguk, sambil menyerahkan kunci mobil ketangan gue. Lalu ia melangkah ke arah tempat duduk yang gue tempati tadi, tapi kulihat matanya terus memperhatikan sekeliling mobil. Gue tau apa yang dilihat mas Tono, pasti benar, tapi untuk menghalau rasa takut di diri gue, gue mengunci rapat-rapat fikiran negatif itu.
Gue setel lagu dari Scorpion, dan hentakannya membuat bi Inah yang sejak tadi tertidur, terbangun dan terlihat bingung.
"Udah sampe Ti ?," ujarnya sambil bertanya ke bi Narti.
"Belum bi Inah, masih jauh, tidur saja lagi."
Gue memandang wajah bi Inah yang sedang bingung kewat kaca spion, terlihat lucu dan membuat gue harus tersenyum.
********
Menjelang tengah hari, akhirnya perjalanan kami sampai di sebuah rumah besar dengan cat berwarna putih, dan pekarangan yang sangat luas. Bunga-bunga warna warni bermekaran menghiasi setiap sudut taman.
"Subhanallah...bagus banget bi Inah," jerit bi Narti.
"Iyo Ti, kayak yang ada di film-film ya," ujar bi Inah dengan tak kalah serunya.
Seorang lelaki paruh baya berlari membuka pintu.
Krakkkk.....krakkk
Suara pintu gerbang berderak dibuka olehnya. Lalu dengan tergopoh-gopoh ia menghampiri mobil.
"Ini pasti den Linggar ya. Saya Asep, den, yang ditugasi bapak untuk menjaga rumah ini," ujar mang Asep memperkenalkan diri.
Gue mengangguk. Tak lama kemudian mang Asep membawa gue berkeliling melihat lihat seluruh sudut rumah.
Gue terkejut saat melihat fhoto gue, ibu dan pak Ganjar menghiasi dinding ruang tamu.
"Itu dibuat bapak, empat bulan sebelum kematian bapak den," suara mang Asep membuyarkan lamunan gue.
Gue diam dan terus berkeliling. Hingga tiba disebuah kamar besar yang terkunci.
"Ini kamar siapa mang, koq dikunci." Itu kamar bapak den, saya gak berani buka, karena waktu bapak masih ada, bapak melarang saya untuk masuk ke kamar itu."
"Kuncinya ada mang ?," tanya gue setengah memaksa.
Mang Asep berlari meninggalkan gue dan kembali dengan sebuah kunci ditangannya.
Cepat-cepat kunci gue masukan dalam rumahnya, dan mulai membuka..
Kreatttt...kreatttt, suara pintu yang lama tak terbuka terdengar berderit. Udara di dalam kamar itu sangat pengap. Gue coba menghidupkan lampu lewat saklar, tapi ternyata lampunya putus. Sebuah tempat tidur besar terlihat bertengger ditengah-tengah kamar, dan sebuah lemari terbuat dari jati menghiasi sudut ruangan. Pandangan gue tertuju pada sebuah kursi dengan laci besar dibawahnya. Gue coba untuk membuka laci itu..
"Gak ada kuncinya den, dan itu cuma hiasan saja," ujar mang Asep dengan nada yang sedikit aneh di telinga gue.
"Oh...," gumam gue.
Aku meninggalkan ruangan itu, dan beralih ke ruangan lain.
"Mang Asep merapikan rumah ini sendiri ?," tanya gue
"Enggak den, ada beberapa orang yang datang membantu, tapi mereka kalau sore pulang."
"Trus mamang tinggal dimana?,"
"Saya di paviliun kecil itu den."
"Gak takut mang sendiri ?."
"Nggak den, udah biasa."
Gue gak melanjutkan pertanyaan gue, karena bi Inah dan bi Narti sudah menyiapkan makan siang, dan menyuruh gue untuk segera makan.
"Den Linggar, makan dulu, sudah siang. Ayo mang Asep kita makan sama-sama," ajak bi Inah.
Gue duduk di meja yang sangat besar seorang diri, sementara mas Tono, bi Narti, bi Inah, Parjo dan mang Asep makan ngeriung di lantai. Meski gue memaksa mereka untuk duduk di meja makan, dan makan sama-sama gue, mereka menolak dengan berbagai alasan, jadi terpaksa gue yang mengalah dan ikut bergabung dengan mereka. Menikmati kebersamaan dengan mereka adalah sesuatu yang gak bisa, gue ceritain dengan kata-kata.
Ciiiiit.....ciiittttt, tiba-tiba mas Tono mengerem kendaraan dengan mendadak. Gue yang sedang fokus memoto hampir saja tersuruk ke kaca, untung saja gue memakai sabuk pengaman.
"Kenapa mas Tono ?, koq ngerem mendadak."
"Iya nih, kenapa to mas, wong gak ada apa-apa juga," ujar bi Narti sewot.
"Aku ngelihat ada perempuan melintas tadi mas, pake baju merah. Makanya aku langsung ngerem."
Gue turun dari mobil dan mulai memeriksa kedepan mobil. Gue perhatikan sekitar mobil, gak ada siapapun dan apapun itu. Hhhhh.... gue tarik nafas perlahan.
"Pertanda apa ini ?," gumam gue, sambil menghampiri mas Tono yang juga sedang mengawasi sekitar.
"Gak ada apa-apa mas, wes gantian, biar aku yang nyetir, mungkin mas Tono sedang ngantuk."
Mas Tono mengangguk, sambil menyerahkan kunci mobil ketangan gue. Lalu ia melangkah ke arah tempat duduk yang gue tempati tadi, tapi kulihat matanya terus memperhatikan sekeliling mobil. Gue tau apa yang dilihat mas Tono, pasti benar, tapi untuk menghalau rasa takut di diri gue, gue mengunci rapat-rapat fikiran negatif itu.
Gue setel lagu dari Scorpion, dan hentakannya membuat bi Inah yang sejak tadi tertidur, terbangun dan terlihat bingung.
"Udah sampe Ti ?," ujarnya sambil bertanya ke bi Narti.
"Belum bi Inah, masih jauh, tidur saja lagi."
Gue memandang wajah bi Inah yang sedang bingung kewat kaca spion, terlihat lucu dan membuat gue harus tersenyum.
********
Menjelang tengah hari, akhirnya perjalanan kami sampai di sebuah rumah besar dengan cat berwarna putih, dan pekarangan yang sangat luas. Bunga-bunga warna warni bermekaran menghiasi setiap sudut taman.
"Subhanallah...bagus banget bi Inah," jerit bi Narti.
"Iyo Ti, kayak yang ada di film-film ya," ujar bi Inah dengan tak kalah serunya.
Seorang lelaki paruh baya berlari membuka pintu.
Krakkkk.....krakkk
Suara pintu gerbang berderak dibuka olehnya. Lalu dengan tergopoh-gopoh ia menghampiri mobil.
"Ini pasti den Linggar ya. Saya Asep, den, yang ditugasi bapak untuk menjaga rumah ini," ujar mang Asep memperkenalkan diri.
Gue mengangguk. Tak lama kemudian mang Asep membawa gue berkeliling melihat lihat seluruh sudut rumah.
Gue terkejut saat melihat fhoto gue, ibu dan pak Ganjar menghiasi dinding ruang tamu.
"Itu dibuat bapak, empat bulan sebelum kematian bapak den," suara mang Asep membuyarkan lamunan gue.
Gue diam dan terus berkeliling. Hingga tiba disebuah kamar besar yang terkunci.
"Ini kamar siapa mang, koq dikunci." Itu kamar bapak den, saya gak berani buka, karena waktu bapak masih ada, bapak melarang saya untuk masuk ke kamar itu."
"Kuncinya ada mang ?," tanya gue setengah memaksa.
Mang Asep berlari meninggalkan gue dan kembali dengan sebuah kunci ditangannya.
Cepat-cepat kunci gue masukan dalam rumahnya, dan mulai membuka..
Kreatttt...kreatttt, suara pintu yang lama tak terbuka terdengar berderit. Udara di dalam kamar itu sangat pengap. Gue coba menghidupkan lampu lewat saklar, tapi ternyata lampunya putus. Sebuah tempat tidur besar terlihat bertengger ditengah-tengah kamar, dan sebuah lemari terbuat dari jati menghiasi sudut ruangan. Pandangan gue tertuju pada sebuah kursi dengan laci besar dibawahnya. Gue coba untuk membuka laci itu..
"Gak ada kuncinya den, dan itu cuma hiasan saja," ujar mang Asep dengan nada yang sedikit aneh di telinga gue.
"Oh...," gumam gue.
Aku meninggalkan ruangan itu, dan beralih ke ruangan lain.
"Mang Asep merapikan rumah ini sendiri ?," tanya gue
"Enggak den, ada beberapa orang yang datang membantu, tapi mereka kalau sore pulang."
"Trus mamang tinggal dimana?,"
"Saya di paviliun kecil itu den."
"Gak takut mang sendiri ?."
"Nggak den, udah biasa."
Gue gak melanjutkan pertanyaan gue, karena bi Inah dan bi Narti sudah menyiapkan makan siang, dan menyuruh gue untuk segera makan.
"Den Linggar, makan dulu, sudah siang. Ayo mang Asep kita makan sama-sama," ajak bi Inah.
Gue duduk di meja yang sangat besar seorang diri, sementara mas Tono, bi Narti, bi Inah, Parjo dan mang Asep makan ngeriung di lantai. Meski gue memaksa mereka untuk duduk di meja makan, dan makan sama-sama gue, mereka menolak dengan berbagai alasan, jadi terpaksa gue yang mengalah dan ikut bergabung dengan mereka. Menikmati kebersamaan dengan mereka adalah sesuatu yang gak bisa, gue ceritain dengan kata-kata.
Diubah oleh agusmulyanti 31-01-2020 14:33
anwaranwar93 dan 16 lainnya memberi reputasi
17