- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1527
Harus Senang Atau Tidak
Rumah kakek Emi ternyata terletak di pusat kota. Luar biasa banget, jadi dekat kemana-mana. Rumah orang tua Emi desainnya mirip dengan rumah kakeknya ini. Hanya aja, bagi gue ini agak kurang enak karena plafonnya begitu dekat dengan kepala gue. entah guenya yang ketinggian apa merekanya yang lebih pendek dari gue jadi dulu membangun sesuai dengan tinggi badan keturunan mereka.
“Haloo….calonnya Emi ya?” sapa seorang perempuan, berumur sekitar mungkin menjelang 40 tahun, tapi masih kinclong banget.
“Saya pacarnya Emi tante. Didoakan aja semoga langgeng ya tante.” Kata gue sambil tersenyum dan kemudian salim.
Lalu kemudian datang tante-tantenya Emi yang lain dari bagian belakang rumah. Semuanya sudah pada datang. Sedangkan Bapak dan Ibunya Emi sedang berada dilantai dua, sementara gue dilantai satu. Gue hanya berpikir ini saatnya gue tebar pesona ke tante-tantenya, atau Emi biasa nyebutnya bibi dan uwa.
Hampir semua orang yang ada dirumah itu datang keruang tamu dan memfokuskan perhatian mereka ke gue. intinya sebenarnya mereka mau tau sejauh mana hubungan gue dan Emi. kemudian mereka menanyakan tentang latar belakang gue dan bagaimana ceritanya gue bisa ketemu Emi.
Semuanya senang dengan semua predikat gue dan terutama dengan personality gue. Menurut tante-tantenya Emi gue ini termasuk orang yang ramah dan mudah bergaul. Padahal kenyataannya gue dalam berteman itu agak memilih. Haha. Tapi ya nggak apa-apa juga kan.
Gue juga bercerita tentang background pendidikan gue yang sama dengan Emi, lalu tentang hobi gue yang juga sama dengan Emi serta kebiasaan-kebiasaan gue yang hampir sama dengan Emi. Lalu ada salah satu tantenya Emi yang nyeletuk bilang kalau itu namanya jodoh. Gue hanya bisa mengamini aja.
Selain itu ada juga yang memuji fisik gue yang cukup tinggi dibandingkan dengan keluarga mereka. Terus ada juga yang bilang pas banget kalau punya pasangan yang hidungnya mancung. Haha. Ini sangat fisikal banget tapi gue senang-senang aja. pokoknya selama mereka ngomong gue terus tersenyum sampai pegal.
Akhirnya sesi interogasi yang melelahkan dengan tantenya Emi selesai, saatnya gue berganti pakaian terlebih dahulu. Oh iya, semua orang yang ada dirumah itu kecuali, memanggil gue dengan panggilan “Pirji”. Yap P dan J, bukan F dan Z. Mantap sekali bukan?
Setelah bersih-bersih dari kamar mandi, gue sudah berganti pakaian dan merasa sangat kedinginan, soalnya udah malam dan memang suhu udara disana jauh lebih rendah. Pusat kota tapi suhunya kayak di Puncak, Jawa Barat. Airnya pun otomatis kayak air es.
Ada tamu yang datang. Seorang cewek muda, sepertinya seumuran dengan Emi, tapi entah kenapa gue melihat cewek manis ini seperti lebih tua karena dandananya. Cewek ini tinggi tapi badannya berisi, semok lah, hampir setinggi gue, dengan rambut digerai. Dalam hati gue berkata, ‘ini siapa? Kalau keluarga Emi, kenapa tinggi sendiri ini?’ Haha.
Setelah bersalaman dengan Emi, dia bersalaman dengan gue dan memperkenalkan diri dia. Namanya Ana, dan dia adalah sepupu Emi. kemudian dia duduk diruang tamu, sama kayak gue dan Emi. setelah gue perhatikan, ternyata Ana ini mirip sama Tasya Kamilla dengan wajah yang lebih tirus, dan itu juga diiyakan oleh Emi.
Obrolan dengan tante-tantenya nggak berhenti sampai disitu. kami melanjutkan obrolan yang berfokus kepada gue. Sampai pada akhirnya keluar juga pujian “Emi pinter ya cari pacar. Pacarnya ganteng banget soalnya.” Dan pada saat yang sama gue melirik ke arah Emi dengan tatapan menggoda dan senyum tipis minta dicipok. Hahahaha. Nggak apa-apa lo nggak pernah bilang gue ganteng, tapi mata orang lain kan nggak bisa bohong Mi. hahahaha.
Hari berikutnya gue menikmati banget acara bareng keluarganya Emi. keluarganya ini keadaanya mirip dengan keluarga gue. jumlah saudara kandung bapaknya sama dengan saudara kandung bapak gue. keakraban keluarganya sangat terasa dan mereka sangat welcome terhadap orang baru. Atau mungkin karena gue termasuk orang yang sopan menurut mereka jadinya ya nggak masalah dimereka.
Gue dan Emi juga banyak jalan-jalan keliling kota. Ke alun-alun juga tinggal jalan kaki aja. Kami banyak jajan makanan yang unik-unik disana. Pengalaman gue jadi nambah lagi dengan adanya perjalanan kesini.
“Kumpul sama keluarga besar lo ini rasanya kayak kumpul sama keluarga besar gue sendiri. Nyamannya sama. Tapi entah kenapa, gue ngerasa lebih nyaman sama keluarga lo ini. Keluarga gue kadang agak high class bahasan-nya walopun ya tetep bikin nyaman. Kadang ngebahasnya ngarah ke karir atau ya bisnis. Tapi kalo di keluarga lo beda, Mi. Lebih ngebahas ke masing-masing personal dan bahkan sama sekali nggak ngebahas urusan kerjaan.” Kata gue sambil berjalan dipematang sawah.
“Ya saudara gue kan tinggalnya di kampung, Zy. Palingan juga kerjanya kalo nggak jadi PNS ya jadi guru atau di bank yang ada disini. Sisanya keluarga gue kerjaanya di bidang perhotelan soalnya.” Sahut Emi dari gubuk yang ada disekitar sawah.
“Eh iya, tadi urusan perhotelan, kenapa jadi ngebahas Bali sih? Gue nggak begitu ngerti bahasannya soalnya. Abis full make bahasa sunda. Gue kan wong jowo, Mi! Hahaha.” Gue menyahut dan duduk disamping Emi.
“Dari gue kecil, ada kebiasaan di keluarga gue buat pulang kampung gede-gedean tiap tiga tahun sekali ke sini. Ke rumah kakek gue. Tapi karena anak-anaknya kakek gue, bokap dan paman bibi gue, udah pada nyebar di seluruh Pulau Jawa dan anak-anaknya udah pada kuliah bahkan ada yang udah berkeluarga, sepupu gue paling tua punya usul buat merubah tradisi keluarga itu. Dia ingin merubah tujuan tradisi pulang kampungnya. Dia punya usul, yang sebelumnya tujuannya kesini diubah jadi tujuannya ke Bali. Soalnya sepupu gue yang udah kerja dan kebetulan di bidang perhotelan kan di angkut sama dia ke Bali buat kerjanya di hotel di Bali. Orang tua mereka sendirian di Pulau Jawa, kan kasian. Jadi dia inisiatif kepengen seluruh keluarga gue pindah ke Bali aja sekalian biar nggak jauh-jauhan sama anak." Jelas Emi panjang lebar.
“Apa? Bali? Lo juga berarti harus pindah dong?” nada bicara gue sedikit cemas.
“Actually, kelulusan gue itu yang paling ditunggu sama sepupu gue yang idein itu, si A Budi. Gue biasa manggil dia A Ibud. Seharusnya dari gue SMA, gue seharusnya udah pindah ke Bali buat ngelanjutin kuliah di bidang perhotelan yang dibiayain sama dia. Tapi gue nggak mau, soalnya gue nggak passion ngurus hotel begitu, walaupun rencananya dia mau ngajak seluruh saudara gue ke Bali itu mau jadiin bidang perhotelan ini sebagai bisnis keluarga gue nantinya. Akhirnya karena gue milih kampus kita, dia bilang sih dia mau nunggu gue lulus kuliah aja. Gue disuruh ngehubungin dia saat gue udah siap kerja dan ikut pindah kesana buat kuliah sampe kerja.”
“Mi, Gue nggak mau kita LDR.”
“Iya gue tau, Zy. Tapi kalo misalnya beneran jadi keluarga besar gue semuanya termasuk orang tua gue pindah ke Bali, buat apa gue stay di Pulau Jawa ini?”
“Lo masih bisa kerja di sini, Mi. Nggak harus ikut keluarga lo. Lo udah gede,” gue menggenggam tangan Emi, “Mi, gue terakhir putus karena LDR. Dan alasannya begini, nggak mau jauh dari orang tua. Gue nggak mau ada LDR lagi setelah kejadian itu. Apalagi kalau gue harus pisahnya sama lo. Cukup gue kehilangan Dee dulu, gue nggak akan pernah mau kehilangan lo.”
“Iya gue ngerti, Zy.”
“Nggak masalah kalau nanti lo harus pulang kampung ke Bali! Gue bisa ikut kesana. Gue anterin kesana! Tapi nggak untuk menetap di sana! Gue nggak setuju!”
“Kan ini baru wacana. Kakek sama seluruh paman bibi gue juga mau survey kesana dulu buat liat lingkungan di sana. Pindahannya kan ribet kalopun jadi, nggak secepat itu juga buat pindah. Masih wacana, Zy. Ingat!”
“Gue khawatir. Gue nggak mau LDR lagi. Nightmare buat gue.”
“Pantesan lo tadi nggak komen, maen nyengar-nyengir aja. Gue kira lo ada senengnya tau bakalan liburan di Bali gratis. Eh taunya lo kagak ngarti bahasan tadi? Bloon!”
Gue tau Emi sedang berusaha untuk mencairkan suasana, tapi gue nggak minat dengan situasi tersebut makanya gue diam aja.
“Kita jangan pernah sampai pisah ya.” kata gue, sambil merangkul dia.
Keindahan alam daerah rumah kakek Emi ini benar-benar membuat gue untuk selalu ingin kembali ketempat tersebut. Suasananya yang damai dengan cuaca yang sejuk membuat hati dan pikiran menjadi lebih tenang dan lebih mudah untuk berpikir, menurut gue.
Gue dan Emi berpamitan dengan seluruh keluarga Emi. Bapak dan Ibunya masih tetap berada disana. Mereka katanya mau pulang dihari kerja aja biar nggak ramai. Kami pun duluan jadinya. Bapaknya Emi menitipkan Emi ke gue untuk dijaga. Itu tanpa diminta pun pasti gue lakukan kok. hehehe.
--
Pekerjaan gue saat ini semakin banyak tapi anehnya gue mendengar desas desus nggak enak tentang kantor ini. Sepertinya sih ada permainan kotor yang melibatkan para petinggi kantor ini. Gue pada dasarnya nggak terlalu memikirkan hal ini dan lebih memilih fokus untuk bekerja aja. Tapi semakin lama kabar yang gue dengar semakin nggak enak.
Gue sempat menanyakan ke Mas Sigit apa yang terjadi, tapi katanya dia sih masih dalam tahap normal kok. Nggak ada yang perlu dikhawatirin. Gue malah jadi curiga sama salah satu saudara bos itu. Walaupun anaknya baik, tapi kinerjanya sangat nggak baik. Gue nggak iri dengan dia, hanya aja seharusnya walaupun dia keluarga, lebih bijak aja kalau memberi dia tanggung jawab karena orangnya belum semumpuni itu kemampuannya dan nggak jarang bikin blunder yang merugikan perusahaan.
Friksi dikantor ini terus berlanjut. Mau nggak mau akhirnya gue mencari tau kebenaran tentang berita ini. Disela-sela pikiran gue seperti ini, Dee lagi-lagi bisa menemukan timing yang tepat untuk masuk kedalam pikiran gue lagi. Gue padahal nggak pernah mengeluhkan apapun di sosmed gue.
Hiburan gue adalah mendengar kabar bahwa Emi akan berangkat ke Meksiko dalam waktu dekat terkait dengan penelitiannya. Awalnya gue senang sekali dengan berita ini. Tapi gue berpikir, dengan adanya dosen pembimbingnya yang juga ikut kesana, apa iya nanti Emi bakal benar-benar dikasih peran yang sentral? Atau jangan-jangan ini cuma akal-akalan dosen aja biar dia dapat nama, royalti dan sebagainya, sementara mahasiswanya cuma dapat nilai A yang kedepannya nggak mendapatkan manfaat apapun dari tulisannya? Sial amat. Mindset negatif tentang proyek dosen untuk skripsi muncul kembali.
EMI CHAT
Gue sangat tidak terima dengan hal-hal seperti ini. Mengklaim karya orang tanpa izin itu sebenernya kan bisa dikategorikan pencurian dan bisa dipidana. Gue cuma nggak mau buah pemikiran Emi yang susah payah itu akhirnya malah jadi jatuh ke tangan orang lain, dan keuntungan dari karya tersebut malah dinikmati orang lain.
Tipikal dosen seperti Pak Adam ini gue sudah tau, suka begini dia emang orangnya. Menjadi oportunis emang gampang ya. Nggak perlu pintar, tapi pegang aja kendali atas orang pintar lainnya, nanti lo bakal untung besar. Yang diperlukan adalah kecerdikan, dan sedikit kelicikan.
“Haloo….calonnya Emi ya?” sapa seorang perempuan, berumur sekitar mungkin menjelang 40 tahun, tapi masih kinclong banget.
“Saya pacarnya Emi tante. Didoakan aja semoga langgeng ya tante.” Kata gue sambil tersenyum dan kemudian salim.
Lalu kemudian datang tante-tantenya Emi yang lain dari bagian belakang rumah. Semuanya sudah pada datang. Sedangkan Bapak dan Ibunya Emi sedang berada dilantai dua, sementara gue dilantai satu. Gue hanya berpikir ini saatnya gue tebar pesona ke tante-tantenya, atau Emi biasa nyebutnya bibi dan uwa.
Hampir semua orang yang ada dirumah itu datang keruang tamu dan memfokuskan perhatian mereka ke gue. intinya sebenarnya mereka mau tau sejauh mana hubungan gue dan Emi. kemudian mereka menanyakan tentang latar belakang gue dan bagaimana ceritanya gue bisa ketemu Emi.
Semuanya senang dengan semua predikat gue dan terutama dengan personality gue. Menurut tante-tantenya Emi gue ini termasuk orang yang ramah dan mudah bergaul. Padahal kenyataannya gue dalam berteman itu agak memilih. Haha. Tapi ya nggak apa-apa juga kan.
Gue juga bercerita tentang background pendidikan gue yang sama dengan Emi, lalu tentang hobi gue yang juga sama dengan Emi serta kebiasaan-kebiasaan gue yang hampir sama dengan Emi. Lalu ada salah satu tantenya Emi yang nyeletuk bilang kalau itu namanya jodoh. Gue hanya bisa mengamini aja.
Selain itu ada juga yang memuji fisik gue yang cukup tinggi dibandingkan dengan keluarga mereka. Terus ada juga yang bilang pas banget kalau punya pasangan yang hidungnya mancung. Haha. Ini sangat fisikal banget tapi gue senang-senang aja. pokoknya selama mereka ngomong gue terus tersenyum sampai pegal.
Akhirnya sesi interogasi yang melelahkan dengan tantenya Emi selesai, saatnya gue berganti pakaian terlebih dahulu. Oh iya, semua orang yang ada dirumah itu kecuali, memanggil gue dengan panggilan “Pirji”. Yap P dan J, bukan F dan Z. Mantap sekali bukan?
Setelah bersih-bersih dari kamar mandi, gue sudah berganti pakaian dan merasa sangat kedinginan, soalnya udah malam dan memang suhu udara disana jauh lebih rendah. Pusat kota tapi suhunya kayak di Puncak, Jawa Barat. Airnya pun otomatis kayak air es.
Ada tamu yang datang. Seorang cewek muda, sepertinya seumuran dengan Emi, tapi entah kenapa gue melihat cewek manis ini seperti lebih tua karena dandananya. Cewek ini tinggi tapi badannya berisi, semok lah, hampir setinggi gue, dengan rambut digerai. Dalam hati gue berkata, ‘ini siapa? Kalau keluarga Emi, kenapa tinggi sendiri ini?’ Haha.
Setelah bersalaman dengan Emi, dia bersalaman dengan gue dan memperkenalkan diri dia. Namanya Ana, dan dia adalah sepupu Emi. kemudian dia duduk diruang tamu, sama kayak gue dan Emi. setelah gue perhatikan, ternyata Ana ini mirip sama Tasya Kamilla dengan wajah yang lebih tirus, dan itu juga diiyakan oleh Emi.
Obrolan dengan tante-tantenya nggak berhenti sampai disitu. kami melanjutkan obrolan yang berfokus kepada gue. Sampai pada akhirnya keluar juga pujian “Emi pinter ya cari pacar. Pacarnya ganteng banget soalnya.” Dan pada saat yang sama gue melirik ke arah Emi dengan tatapan menggoda dan senyum tipis minta dicipok. Hahahaha. Nggak apa-apa lo nggak pernah bilang gue ganteng, tapi mata orang lain kan nggak bisa bohong Mi. hahahaha.
Hari berikutnya gue menikmati banget acara bareng keluarganya Emi. keluarganya ini keadaanya mirip dengan keluarga gue. jumlah saudara kandung bapaknya sama dengan saudara kandung bapak gue. keakraban keluarganya sangat terasa dan mereka sangat welcome terhadap orang baru. Atau mungkin karena gue termasuk orang yang sopan menurut mereka jadinya ya nggak masalah dimereka.
Gue dan Emi juga banyak jalan-jalan keliling kota. Ke alun-alun juga tinggal jalan kaki aja. Kami banyak jajan makanan yang unik-unik disana. Pengalaman gue jadi nambah lagi dengan adanya perjalanan kesini.
“Kumpul sama keluarga besar lo ini rasanya kayak kumpul sama keluarga besar gue sendiri. Nyamannya sama. Tapi entah kenapa, gue ngerasa lebih nyaman sama keluarga lo ini. Keluarga gue kadang agak high class bahasan-nya walopun ya tetep bikin nyaman. Kadang ngebahasnya ngarah ke karir atau ya bisnis. Tapi kalo di keluarga lo beda, Mi. Lebih ngebahas ke masing-masing personal dan bahkan sama sekali nggak ngebahas urusan kerjaan.” Kata gue sambil berjalan dipematang sawah.
“Ya saudara gue kan tinggalnya di kampung, Zy. Palingan juga kerjanya kalo nggak jadi PNS ya jadi guru atau di bank yang ada disini. Sisanya keluarga gue kerjaanya di bidang perhotelan soalnya.” Sahut Emi dari gubuk yang ada disekitar sawah.
“Eh iya, tadi urusan perhotelan, kenapa jadi ngebahas Bali sih? Gue nggak begitu ngerti bahasannya soalnya. Abis full make bahasa sunda. Gue kan wong jowo, Mi! Hahaha.” Gue menyahut dan duduk disamping Emi.
“Dari gue kecil, ada kebiasaan di keluarga gue buat pulang kampung gede-gedean tiap tiga tahun sekali ke sini. Ke rumah kakek gue. Tapi karena anak-anaknya kakek gue, bokap dan paman bibi gue, udah pada nyebar di seluruh Pulau Jawa dan anak-anaknya udah pada kuliah bahkan ada yang udah berkeluarga, sepupu gue paling tua punya usul buat merubah tradisi keluarga itu. Dia ingin merubah tujuan tradisi pulang kampungnya. Dia punya usul, yang sebelumnya tujuannya kesini diubah jadi tujuannya ke Bali. Soalnya sepupu gue yang udah kerja dan kebetulan di bidang perhotelan kan di angkut sama dia ke Bali buat kerjanya di hotel di Bali. Orang tua mereka sendirian di Pulau Jawa, kan kasian. Jadi dia inisiatif kepengen seluruh keluarga gue pindah ke Bali aja sekalian biar nggak jauh-jauhan sama anak." Jelas Emi panjang lebar.
“Apa? Bali? Lo juga berarti harus pindah dong?” nada bicara gue sedikit cemas.
“Actually, kelulusan gue itu yang paling ditunggu sama sepupu gue yang idein itu, si A Budi. Gue biasa manggil dia A Ibud. Seharusnya dari gue SMA, gue seharusnya udah pindah ke Bali buat ngelanjutin kuliah di bidang perhotelan yang dibiayain sama dia. Tapi gue nggak mau, soalnya gue nggak passion ngurus hotel begitu, walaupun rencananya dia mau ngajak seluruh saudara gue ke Bali itu mau jadiin bidang perhotelan ini sebagai bisnis keluarga gue nantinya. Akhirnya karena gue milih kampus kita, dia bilang sih dia mau nunggu gue lulus kuliah aja. Gue disuruh ngehubungin dia saat gue udah siap kerja dan ikut pindah kesana buat kuliah sampe kerja.”
“Mi, Gue nggak mau kita LDR.”
“Iya gue tau, Zy. Tapi kalo misalnya beneran jadi keluarga besar gue semuanya termasuk orang tua gue pindah ke Bali, buat apa gue stay di Pulau Jawa ini?”
“Lo masih bisa kerja di sini, Mi. Nggak harus ikut keluarga lo. Lo udah gede,” gue menggenggam tangan Emi, “Mi, gue terakhir putus karena LDR. Dan alasannya begini, nggak mau jauh dari orang tua. Gue nggak mau ada LDR lagi setelah kejadian itu. Apalagi kalau gue harus pisahnya sama lo. Cukup gue kehilangan Dee dulu, gue nggak akan pernah mau kehilangan lo.”
“Iya gue ngerti, Zy.”
“Nggak masalah kalau nanti lo harus pulang kampung ke Bali! Gue bisa ikut kesana. Gue anterin kesana! Tapi nggak untuk menetap di sana! Gue nggak setuju!”
“Kan ini baru wacana. Kakek sama seluruh paman bibi gue juga mau survey kesana dulu buat liat lingkungan di sana. Pindahannya kan ribet kalopun jadi, nggak secepat itu juga buat pindah. Masih wacana, Zy. Ingat!”
“Gue khawatir. Gue nggak mau LDR lagi. Nightmare buat gue.”
“Pantesan lo tadi nggak komen, maen nyengar-nyengir aja. Gue kira lo ada senengnya tau bakalan liburan di Bali gratis. Eh taunya lo kagak ngarti bahasan tadi? Bloon!”
Gue tau Emi sedang berusaha untuk mencairkan suasana, tapi gue nggak minat dengan situasi tersebut makanya gue diam aja.
“Kita jangan pernah sampai pisah ya.” kata gue, sambil merangkul dia.
Keindahan alam daerah rumah kakek Emi ini benar-benar membuat gue untuk selalu ingin kembali ketempat tersebut. Suasananya yang damai dengan cuaca yang sejuk membuat hati dan pikiran menjadi lebih tenang dan lebih mudah untuk berpikir, menurut gue.
Gue dan Emi berpamitan dengan seluruh keluarga Emi. Bapak dan Ibunya masih tetap berada disana. Mereka katanya mau pulang dihari kerja aja biar nggak ramai. Kami pun duluan jadinya. Bapaknya Emi menitipkan Emi ke gue untuk dijaga. Itu tanpa diminta pun pasti gue lakukan kok. hehehe.
--
Pekerjaan gue saat ini semakin banyak tapi anehnya gue mendengar desas desus nggak enak tentang kantor ini. Sepertinya sih ada permainan kotor yang melibatkan para petinggi kantor ini. Gue pada dasarnya nggak terlalu memikirkan hal ini dan lebih memilih fokus untuk bekerja aja. Tapi semakin lama kabar yang gue dengar semakin nggak enak.
Gue sempat menanyakan ke Mas Sigit apa yang terjadi, tapi katanya dia sih masih dalam tahap normal kok. Nggak ada yang perlu dikhawatirin. Gue malah jadi curiga sama salah satu saudara bos itu. Walaupun anaknya baik, tapi kinerjanya sangat nggak baik. Gue nggak iri dengan dia, hanya aja seharusnya walaupun dia keluarga, lebih bijak aja kalau memberi dia tanggung jawab karena orangnya belum semumpuni itu kemampuannya dan nggak jarang bikin blunder yang merugikan perusahaan.
Friksi dikantor ini terus berlanjut. Mau nggak mau akhirnya gue mencari tau kebenaran tentang berita ini. Disela-sela pikiran gue seperti ini, Dee lagi-lagi bisa menemukan timing yang tepat untuk masuk kedalam pikiran gue lagi. Gue padahal nggak pernah mengeluhkan apapun di sosmed gue.
Hiburan gue adalah mendengar kabar bahwa Emi akan berangkat ke Meksiko dalam waktu dekat terkait dengan penelitiannya. Awalnya gue senang sekali dengan berita ini. Tapi gue berpikir, dengan adanya dosen pembimbingnya yang juga ikut kesana, apa iya nanti Emi bakal benar-benar dikasih peran yang sentral? Atau jangan-jangan ini cuma akal-akalan dosen aja biar dia dapat nama, royalti dan sebagainya, sementara mahasiswanya cuma dapat nilai A yang kedepannya nggak mendapatkan manfaat apapun dari tulisannya? Sial amat. Mindset negatif tentang proyek dosen untuk skripsi muncul kembali.
EMI CHAT
Quote:
Gue sangat tidak terima dengan hal-hal seperti ini. Mengklaim karya orang tanpa izin itu sebenernya kan bisa dikategorikan pencurian dan bisa dipidana. Gue cuma nggak mau buah pemikiran Emi yang susah payah itu akhirnya malah jadi jatuh ke tangan orang lain, dan keuntungan dari karya tersebut malah dinikmati orang lain.
Tipikal dosen seperti Pak Adam ini gue sudah tau, suka begini dia emang orangnya. Menjadi oportunis emang gampang ya. Nggak perlu pintar, tapi pegang aja kendali atas orang pintar lainnya, nanti lo bakal untung besar. Yang diperlukan adalah kecerdikan, dan sedikit kelicikan.
itkgid dan 29 lainnya memberi reputasi
30
Tutup