- Beranda
- Stories from the Heart
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
...
TS
agusmulyanti
RUMAH WARISAN ATAS BUKIT
Spoiler for prolog:
*********
RULES
- Ikuti perarturan SFTH
- Agan2 dan Sista bebas berkomentar, memberikan kritik dan saran yang membangun.
- Selama Kisah ini Ditulis, mohon untuk berkomentar seputar cerita.
- Dilarang meng-copas atau meng copy segala bentuk di dalam cerita ini tanpa seizin penulis
index
Diubah oleh agusmulyanti 07-12-2022 06:16
theoscus dan 56 lainnya memberi reputasi
55
43.4K
590
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
agusmulyanti
#4
Part - 2
Kokok ayam jantan dan ketukan di pintu, membangunkan tidur gue yang teramat lelap. Gue lihat jam weker di meja sebelah tempat tidur gue, jam 04 lewat 11 menit.
woahh, kuregangkan tubuh gue perlahan
"Mas...mas Linggar !, bangun mas !, diajak subuhan ke Masjid sama mas Tono."
"Iya bi Narti, tunggu sebentar aku mandi dulu."
"Iya mas."
Suara langkah kaki bi Narti terlihat menjauh dari kamar gue. Gue bergegas mandi dan mengambil air wudhu. Gue pakai baju terbaik yang gue punya dan tak lupa membubuhi tubuh gue dengan sedikit parfum. Gue langkahkan kaki gue keluar kamar dan gue dapati mas Tono dan Parjo yang dengan setia telah menunggu gue
"Lama ya mas nunggunya ?."
"Nggak apa-apa mas Linggar, wong subuhannya juga masih sepuluh menit lagi."
"Yuk kita berangkat," ajak gue sambil meminta bi Narti menutup pintu.
Angin pagi bertiup perlahan, dingin yang menusuk tak lagi gue hiraukan, karena gue ngerasa hari ini begitu istimewa, ya...tentu saja, karena hari ini gue akan melihat rumah baru gue, rumah yang nantinya akan gue tempati dengan keluarga kecil gue...hmm.
*******
Gue berjalan cepat saat melewati rumpun bambu. Mas Tono dan Parjo yang menguntit dibelakang gue, tergopoh gopoh mengikuti langkah gue. Entah mengapa, meski kematian Lidia telah disempurnakan, dikuburkan dan didoakan dengan layak, tapi jujur saja masih ada rasa was-was yang kerap kali muncul dalam benak gue.
Peristiwa demi peristiwa menakutkan yang telah menimpa gue, membuat gue gak bisa melupakan begitu saja peristiwa itu.
Tepat ketika adzan subuh berkumandang, gue, mas Tono dan Parjo, sampai di pelataran masjid.
"Alhamdulillah, kita tiba tepat waktu ya mas," ujar gue
Mas Tono dan Parjo yang masih terengah-engah mengangguk berbarengan, dan tanpa menunggu aba-aba dari gue, mereka langsung masuk, dan menyalami jamaah lain. Suasana begitu tenang dan damai buat gue, jika sudah berkumpul seperti ini.
Saat gue sedang merapikan sendal, tanpa sengaja gue melihat sosok di kejauhan yang sedang menatap gue dengan tajam, diantara pepohonan pisang, dan pekatnya pagi.
"Koq gue seperti kenal sama wajah itu ya."
Tapi tatkala netra gue melihat lebih jelas, sosok itu sudah menghilang dan hanya terlihat lembaran daun pisang yang bergoyang-goyang tertiup angin.
Kegalauan gue buyar oleh satu tepukan di pundak.
"Ada apa nak Linggar, ayo! kita jamaah," ujar pak Karyo tetangga sebelah rumahku.
"Baik pak."
Gue pun mengambil posisi di sebelah mas Tono.
******
Mas Tono tertawa kegelak-gelak saat melihat Parjo yang memakai sendal dengan jenis berbeda.
"Wes..gak usah tertawa terus mas, seneng ya liat aku menderita?," sungut Parjo.
"Engga Jo, kamu itu koq apes banget ya..hahahaha, bisa ketuker sendal butut kayak gitu. Makanya Jo, rajin-rajin sodakoh, ben berkah hidupmu," gurau mas Tono.
Parjo tak menghiraukan gurauan mas Tono, ia terus melangkah dengan muka cemberut. Tiba-tiba saat melintas di pepohonan bambu, entah darimana datangnya, sebuah motor melintas dengan kecepatan tinggi. Mas Tono yang sedang menggoda Parjo, tak kuasa menghindar, hingga ia masuk ke dalam parit, yang masih terisi air sisa hujan semalam.
Ja**uk, aseeem, muo**r kon !," maki mas Tono dengan baju basah kuyup.
Cepat cepat gue bantu mas Tono naik dari parit. Perasaan gue sontak mengaitkannya dengan apa yang gue lihat subuh tadi di masjid. Sementara Parjo yang tadi cemberut, sekarang terlihat tertawa terpingkal-pingkal.
huahahahahaha...hahahahaha...hahahahahaha
"Mas Tono, kowe kayak tikus kecebur, uweleek tenan. Makane ojo ngerasani uwong, nah!!, ketulah kan...karma iku jenenge...hehehehehe...hehehehehe," ujar Parjo sambil terus tertawa.
Gue tak menghiraukan perseteruan mereka, gue masih mengaitkan wajah yang gue lihat di rerimbunan pohon pisang dengan pengendara motor yang hadir dan hilang secara tiba-tiba.
"Siapa ya orang itu ?, kenapa wajahnya seperti gak asing buat gue ya."
Tiba-tiba mas Tono nyeletuk sambil mengumpat.
"Tuh orang kayak si Dika aja, naik motor seenaknya. Awas aja ntar kalau ketemu tak gebukin."
"Wush...jangan ngomong sembarangan mas, tar kalau kedengeran rohnya si Dika, bisa berabe," ujar Parjo sambil berjalan cepat. Mas Tono yang tadi bersungut-sungut, menutup mulutnya rapat-rapat dan bergegas mengikuti langkah Parjo.
Gue sendiri terhenyak saat mas Tono, menyebut nama Dika.
"Iya benar, sosok itu mirip Dika. Mungkinkah roh Dika gentayangan ?," gumam gue.
"Kenapa mas Linggar ?," tanya mas Tono.
"Ah enggak, enggak apa-apa mas," ujar gue cepat, tidak mau membuat mas Tono dan Parjo bertambah takut.
*******
Dihalaman rumah terlihat bi Narti sedang menjemur baju. Ia terkejut saat melihat tubuh suaminya basah kuyup.
"Loh mas kenapa ?, koq basah semua ?, ada apa toh ?," ujarnya sambil membantu suaminya membuka baju koko.
"Nanti saja aku ceritain bu, aku mau mandi dulu, gatel nih."
"Yo wes, tak siapin baju ganti kalo gitu."
Lalu ia melangkah kearah gue.
"Mas ! Sarapan dulu, sudah disiapkan bi Inah."
"Iya bi..terimakasih."
Gue terus menuju ruang makan, harum sayur asem dan tempe goreng sudah membuat cacing-cacing di perut gue bernyanyi-nyanyi.
woahh, kuregangkan tubuh gue perlahan
"Mas...mas Linggar !, bangun mas !, diajak subuhan ke Masjid sama mas Tono."
"Iya bi Narti, tunggu sebentar aku mandi dulu."
"Iya mas."
Suara langkah kaki bi Narti terlihat menjauh dari kamar gue. Gue bergegas mandi dan mengambil air wudhu. Gue pakai baju terbaik yang gue punya dan tak lupa membubuhi tubuh gue dengan sedikit parfum. Gue langkahkan kaki gue keluar kamar dan gue dapati mas Tono dan Parjo yang dengan setia telah menunggu gue
"Lama ya mas nunggunya ?."
"Nggak apa-apa mas Linggar, wong subuhannya juga masih sepuluh menit lagi."
"Yuk kita berangkat," ajak gue sambil meminta bi Narti menutup pintu.
Angin pagi bertiup perlahan, dingin yang menusuk tak lagi gue hiraukan, karena gue ngerasa hari ini begitu istimewa, ya...tentu saja, karena hari ini gue akan melihat rumah baru gue, rumah yang nantinya akan gue tempati dengan keluarga kecil gue...hmm.
*******
Gue berjalan cepat saat melewati rumpun bambu. Mas Tono dan Parjo yang menguntit dibelakang gue, tergopoh gopoh mengikuti langkah gue. Entah mengapa, meski kematian Lidia telah disempurnakan, dikuburkan dan didoakan dengan layak, tapi jujur saja masih ada rasa was-was yang kerap kali muncul dalam benak gue.
Peristiwa demi peristiwa menakutkan yang telah menimpa gue, membuat gue gak bisa melupakan begitu saja peristiwa itu.
Tepat ketika adzan subuh berkumandang, gue, mas Tono dan Parjo, sampai di pelataran masjid.
"Alhamdulillah, kita tiba tepat waktu ya mas," ujar gue
Mas Tono dan Parjo yang masih terengah-engah mengangguk berbarengan, dan tanpa menunggu aba-aba dari gue, mereka langsung masuk, dan menyalami jamaah lain. Suasana begitu tenang dan damai buat gue, jika sudah berkumpul seperti ini.
Saat gue sedang merapikan sendal, tanpa sengaja gue melihat sosok di kejauhan yang sedang menatap gue dengan tajam, diantara pepohonan pisang, dan pekatnya pagi.
"Koq gue seperti kenal sama wajah itu ya."
Tapi tatkala netra gue melihat lebih jelas, sosok itu sudah menghilang dan hanya terlihat lembaran daun pisang yang bergoyang-goyang tertiup angin.
Kegalauan gue buyar oleh satu tepukan di pundak.
"Ada apa nak Linggar, ayo! kita jamaah," ujar pak Karyo tetangga sebelah rumahku.
"Baik pak."
Gue pun mengambil posisi di sebelah mas Tono.
******
Mas Tono tertawa kegelak-gelak saat melihat Parjo yang memakai sendal dengan jenis berbeda.
"Wes..gak usah tertawa terus mas, seneng ya liat aku menderita?," sungut Parjo.
"Engga Jo, kamu itu koq apes banget ya..hahahaha, bisa ketuker sendal butut kayak gitu. Makanya Jo, rajin-rajin sodakoh, ben berkah hidupmu," gurau mas Tono.
Parjo tak menghiraukan gurauan mas Tono, ia terus melangkah dengan muka cemberut. Tiba-tiba saat melintas di pepohonan bambu, entah darimana datangnya, sebuah motor melintas dengan kecepatan tinggi. Mas Tono yang sedang menggoda Parjo, tak kuasa menghindar, hingga ia masuk ke dalam parit, yang masih terisi air sisa hujan semalam.
Ja**uk, aseeem, muo**r kon !," maki mas Tono dengan baju basah kuyup.
Cepat cepat gue bantu mas Tono naik dari parit. Perasaan gue sontak mengaitkannya dengan apa yang gue lihat subuh tadi di masjid. Sementara Parjo yang tadi cemberut, sekarang terlihat tertawa terpingkal-pingkal.
huahahahahaha...hahahahaha...hahahahahaha
"Mas Tono, kowe kayak tikus kecebur, uweleek tenan. Makane ojo ngerasani uwong, nah!!, ketulah kan...karma iku jenenge...hehehehehe...hehehehehe," ujar Parjo sambil terus tertawa.
Gue tak menghiraukan perseteruan mereka, gue masih mengaitkan wajah yang gue lihat di rerimbunan pohon pisang dengan pengendara motor yang hadir dan hilang secara tiba-tiba.
"Siapa ya orang itu ?, kenapa wajahnya seperti gak asing buat gue ya."
Tiba-tiba mas Tono nyeletuk sambil mengumpat.
"Tuh orang kayak si Dika aja, naik motor seenaknya. Awas aja ntar kalau ketemu tak gebukin."
"Wush...jangan ngomong sembarangan mas, tar kalau kedengeran rohnya si Dika, bisa berabe," ujar Parjo sambil berjalan cepat. Mas Tono yang tadi bersungut-sungut, menutup mulutnya rapat-rapat dan bergegas mengikuti langkah Parjo.
Gue sendiri terhenyak saat mas Tono, menyebut nama Dika.
"Iya benar, sosok itu mirip Dika. Mungkinkah roh Dika gentayangan ?," gumam gue.
"Kenapa mas Linggar ?," tanya mas Tono.
"Ah enggak, enggak apa-apa mas," ujar gue cepat, tidak mau membuat mas Tono dan Parjo bertambah takut.
*******
Dihalaman rumah terlihat bi Narti sedang menjemur baju. Ia terkejut saat melihat tubuh suaminya basah kuyup.
"Loh mas kenapa ?, koq basah semua ?, ada apa toh ?," ujarnya sambil membantu suaminya membuka baju koko.
"Nanti saja aku ceritain bu, aku mau mandi dulu, gatel nih."
"Yo wes, tak siapin baju ganti kalo gitu."
Lalu ia melangkah kearah gue.
"Mas ! Sarapan dulu, sudah disiapkan bi Inah."
"Iya bi..terimakasih."
Gue terus menuju ruang makan, harum sayur asem dan tempe goreng sudah membuat cacing-cacing di perut gue bernyanyi-nyanyi.
Diubah oleh agusmulyanti 31-01-2020 13:27
black392 dan 15 lainnya memberi reputasi
16