- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1513
Menuju Persimpangan
Perjalanan gue menuju ke kampus sudah tinggal setengah jam lagi sampai. Gue membawa mobil ketika itu. Setelah gue susah payah untuk izin setengah hari, gue mendapatkannya. Catatannya adalah, minggu depan akan ada lembur banyak dan gue langsung menyanggupi tanpa harus dibayar insentif. Semua demi bisa liburan bareng Emi, sekalian praktikum lapang. Pagi-pagi gue juga sudah diingatkan oleh Ami tentang briefing hari ini.
Gue sadar kalau waktu gue disana pun nggak akan banyak mengingat posisi gue sebagai asisten dosen dan Emi sebagai peserta praktikum lapang. Profesionalisme selalu gue junjung dimanapun gue berada ketika ada kaitannya dengan pekerjaan atau urusan asisten dosen seperti ini.
Gapura masuk kota dimana kampus gue berada sudah terlihat dan kebetulan jalanan kala itu nggak terlalu macet, jadinya gue bisa lebih cepat memacu kendaraan gue. Rasa senang dalam hati pun semakin besar.
Gue menyetel musik metal kencang-kencang di mobil. Gue juga mendengar beberapa notifikasi masuk ke HP gue, tapi nggak gue baca karena gue sedang menyetir. Gue nggak pernah membiasakan membaca atau sekedar melihat HP saat sedang berkendara. Berbahaya.
Pintu gerbang kampus pun terlihat. Setelah gue melewati pintu gerbang dan mengambil karcis masuk, gue meminggirkan mobil dulu. Gue mau lihat beberapa notifikasi yang masuk. Toh juga acaranya masih sekitar 45 menitan lagi. Disitulah gue sangat kecewa dibuatnya.
Ami mengabari gue dengan sangat-sangat mendadak kalau ternyata posisi gue digantikan oleh junior gue sendiri yang sebenarnya nggak ada hubungannya dengan mata kuliah ini. Memang dia juga menjadi asisten dosen tapi bukan untuk bidang ini.
Dosennya pun Pak Ferdi yang mana telah mengenal gue baik dan gue sangat dipercaya oleh beliau, plus jadi pembimbing gue dan Ami dulu. Bahasan skripsi kami pun sangat sesuai dengan praktikum lapang ini dan sesuai bidang yang dibawahi Pak Ferdi. Pak Ferdi bahkan pernah memasukkan skripsi gue menjadi bahan ajar beliau dikelas angkatan Emi. Tapi kenapa harus gue yang diganti? Dan dadakan super ketika gue udah sampai didekat kampus (chat masuk sekitar 15 menit sebelum gue baca).
Gue mau banget untuk marah sama Ami kenapa ada pergantian sepihak kayak gini dan sangat dadakan. Bahkan pagi tadi Ami masih chat gue untuk mengingatkan briefing hari ini. Jadi semua yang gue perjuangkan percuma aja dong? Gue nggak dapat liburan sama Emi, tapi gue tetap harus lembur tanpa dibayar? Kayak anj*ng emang. Tapi ini bukan salah Ami karena keputusan mengganti ada ditangan Pak Ferdi.
Ami menyebut nama Irfanda yang menggantikan gue untuk berangkat. Gue tau kemampuan dia emang mumpuni, tapi untuk bidang ini? Gue lebih expert bangs*t! Dan gue yakin ini adalah ulah si anj*ng Debby teman si Emi. Bangs*t ini orang emang, terus aja ngeganggu urusan gue. Irfanda ini seperti bucinnya si Debby kalau menurut penuturan Emi. Ganteng-ganteng gobl*k kalau urusan cewek. Mana tytydnya leutik lagi anj*ng!
Sesampainya gue dikoridor jurusan, gue langsung chat Emi untuk segera keluar dan nggak usah ikutan briefing. Maksud gue, biar gue aja yang jelasin, gue juga bisa. Emosi gue sudah mulai nggak terkontrol ketika sampai disana. Gue mengingat beberapa peristiwa mulai dari urusan ospek sampai urusan fitnah-fitnahan. Semua terjadi ditempat itu.
Nggak lama setelah gue chat, Emi datang tergopoh-gopoh karena dia berlari. Mungkin dia takut gue udah ketemu orang dan bisa langsung ngamuk-ngamuk saking kesel dan sensinya gue waktu itu. Emi sudah hafal kebiasaan gue yang meledak-ledak ini.
“Udah kan briefing-nya? Nggak usah kelamaan. Ayo langsung balik!” kata gue tegas.
“Belom, Zy. Lagian tas gue masih di dalem.” Kata Emi sambil mengatur nafasnya.
“Gobl*k banget sih? Kenapa nggak dibawa sekalian? Tadi bisa keluar gimana?” gue mulai emosi lagi.
“Gue izin sama Kak Ami.” Katanya, kemudian duduk disebelah kanan gue.
“Dia ada bilang sesuatu sama lo?”
“Iya, dia cerita gimana si Bang Irfan bisa dapetin slot yang harusnya itu lo Zy.”
“Gimana ceritanya?” gue penasaran sekaligus sangat emosi.
“Jadi, tadi kata Kak Ami, dia itu udah keruangan Pak Ferdi jelang briefing. Tapi tau-tau diruangan Pak Ferdi udah ada Bang Irfan. Bang Irfan bilang ke Kak Ami kalau jadinya dia yang ikut, bukan Firzy. Kak Ami disuruh ngabarin ke kamu tentang pergantian ini dan bilang nggak usah kekampus. Kak Ami juga bilang kamu udah sampai dikampus. Terus Pak Ferdi cuma bilang Irfan mengajukan diri dan menjamin bakalan lebih baik dari kamu performanya, karena dia masih berkecimpung dilingkungan kampus, sedangkan kamu udah lama nggak kekampus. Kak Ami juga memperjuangkan kamu lagi dengan mengingatkan Pak Ferdi kalau kamu itu orang kepercayaan beliau dimasa lalu. Tapi katanya Pak Ferdi malah nggak enak sama Irfanda. Gitu katanya Zy. Kak Ami juga nggak tau kenapa Pak Ferdi kayak gitu. Entah apa yang diomongin Bang Irfan ke Pak Ferdi, yang jelas Kak Ami pun kecewa sama keputusan dadakan Pak Ferdi ini.”
“ANJ*NG IRFANDA!!! GUE GAMPARIN JUGA NI ANAK ANJ*NG. NGGAK COWOK NGGAK CEWEK SAMA AJA KELAKUAN. KAYAK KONT*L SEMUA!!! BANGS*T!!!!” Gue berucap sangat kasar dan keras saat itu juga.
“Zy. Jangan teriak-teriak kayak gitu ah. Nggak enak didenger.”
“Lah udah jam berapa ini? Palingan juga orang-orang udah pada pulang.”
“Ya kan nggak enak, apalagi menggema. Gedung ini kan gede banget Zy.”
“Gue yakin, Irfan kepengen ikut ya karena permintaan Debby. Dan GUE NGGAK BISA IKUT praktikum lapang pun PASTI karena permintaan si Debby bangs*t itu! Dia udah jarang bareng-bareng kamu juga kan?”
“Iya sih. Tapi kan lo nggak bisa asal bikin kesimpulan begitu aja, Zy.”
“Loh kenapa nggak bisa? Dia BEBAS ngefitnah gue yang ngarang cerita seolah gue bikin kekacauan di Kampus, TANPA minta maaf sama sekali sampe detik ini. Terus gue MASIH HARUS mikir nggak boleh suudzon sama dia? T*i amat jadi orang! Lembek lo jadi orang Mi.”
“Ya bukan begitu. Mungkin emang kepinginnya Bang Irfan aja buat ikutan praktikum lapang, bonusnya ya bisa bareng pacarnya.”
“HALAH T*I ANJ*NG!” Emosi gue benar-benar keluar semua saat itu.
Sebagai pelampiasannya gue memukul meja besi yang ada didepan gue dengan sangat keras sampai suranya menggema kemana-mana.
“Sabar ah, t*i! Jangan berisik di sini!” kata Emi sambil menahan tangan gue untuk nggak memukul lagi, “Lu jadinya mau tetep ikut nggak besok?”
Gue menengok dan menatap tajam Emi, “Ngapain gue ikut kesana? Kesannya maksa dan ngarep banget gue ikutan praktikum lapang kalian? Mesti ngurusin kalian satu-satu saat ada konspirasi macem begini! Sekarang gue udah nggak mikirin bantuin praktikum lapang kalian, gue mikirin gimana ngurusin lo aja!”
“Gue aman, Zy. Gue bisa urus diri gue sendiri. Sabar ya jadinya nungguin gue balik 3 hari?”
“Nggak boleh lost contact, nggak ada alasan nggak ada sinyal!”
“Lha? Terus kalo emang beneran nggak ada sinyal gimana?”
“Ya gimana caranya kek, usaha dikit, cari sinyal.”
“Dih, gimana bisa?”
“Mending nggak berangkat atau cari cara nyari sinyal buat ngehubungin gue?”
“Yaudahlah gampang itu. Nanti gue beli nomor Telk*msel! Ah t*i.” sahut Emi, mukanya ditekuk.
“Yaudah buru ambil tas lo.”
“Gue masih briefing, Zy.”
“Elah, lama banget! Yaudah gue tungguin di sini. Kalo sampe 30 menit lagi lo belom keluar juga, gue seret lo dari dalem laboratorium. Biar orang-orang makin asumsi kalo gue cowok kasar! Rusak aja sekalian nama baik gue!”
Emi kembali ke laboratorium dan mengikuti briefing sampai selesai. Gue pun menunggu dikoridor itu sambil membaca buku yang gue bawa. Emosi gue sudah kembali stabil. Lama-lama kalau kebanyakan drama gini, bisa kena penyakit mental gue.
Terlintas ide gue untuk membelikan Emi HP. Tapi Emi nggak akan mau kalau dibelikan cuma-cuma kayak gitu. Jadi yaudah gue idekan untuk membongkar tabungan dia. Jumlahnya nanti dihitung ada berapa, sisanya gue tambahkan. Dia sudah perlu HP baru untuk mempermudah komunikasi dan juga menjadi lebih kreatif dengan perangkat yang lebih canggih.
Selama gue menunggu, lagi-lagi kejadian seperti dulu berulang. Banyak yang tersenyum ke gue, baik cowok maupun cewek. Gue nggak kenal siapa mereka. Gue hanya bisa senyum dan pasrah aja kalau ada omongan-omongan baru lagi nantinya. Bodo amat deh mau kejadiannya seperti apa nanti.
--
Keesokan harinya, gue menjemput Emi di rumah orangtuanya pada sore hari. Gue berencana untuk mengantar dia ke toko HP. Ternyata tabungan Emi banyak juga. Jadinya gue hanya menambahkan sedikit. Sesuai dugaan gue, dia nggak akan mau cuma-cuma.
Gue sudah mempelajari beberapa jenis HP yang menurut gue bagus speknya tapi harganya terjangkau. Saat itu belum ada Xia*mi, jadi ya merk lain masih jadi opsi selain BB atau Sams*ng yang kala itu sudah memperkenalkan android OS di Indonesia.
Demam android ini sangat terasa ketika itu. Mereka sukses menggeser dominasi BB yang dulu juga menggeser dominasi Nok*a. Bisnis memang sekejam itu. Apalagi di jaman milenial mulai beranjak makin dewasa dan bisa menghasilkan uang sendiri, kebutuhan akan inovasi teknologi sangatlah besar. Mereka yang resisten terhadap perubahan, niscaya akan hancur dengan sendirinya. Dan itu terjadi pada RIM (perusahaan pembuat BB) yang lambat berinovasi. Kalah dengan google dan apple yang telah lebih dulu berlomba mengeluarkan inovasi-inovasi terbaru mereka.
“Make the world a better place.” Jargon ini mulai lumrah terdengar pada saat itu. Berbarengan dengan meningkatnya kemajuan teknologi, berarti tingkat konsumsi akan barang tersier tersebut semakin besar. Dan ini mengundang ceruk baru untuk didalami. Makanya seiring dengan mudahnya berkomunikasi dan mendapatkan informasi dalam satu genggaman, muncul juga perusahaan-perusahaan rintisan yang memanfaatkan teknologi ini.
Gue nggak akan bahas masalah sejauh ini karena gue hanya akan mengantar Emi ke toko HP untuk mendapatkan HP yang dia butuhkan, bukan yang dia inginkan. Pilihan jatuh pada Smartfr*n Andromax V. Saat itu HP ini adalah HP dengan spesifikasi paling mumpuni keluaran Smartfr*n yang mana sebelumnya perusahaan ini berkonsentrasi pada jaringan selular CDMA.
Beruntunglah Emi. Karena perusahaan ini sedang mengembangkan gurita bisnisnya dibidang ponsel, yang daya saingnya sangat tinggi, maka otomatis untuk menggaet target pasar menengah kebawah (sesuai dengan target pasar CDMA mereka), mereka akan menjual ponsel yang lebih murah, tapi secara spesifikasi bisa menyamai ponsel-ponsel menengah keatas yang harganya lebih mahal. Tentunya hal ini akan berimbas pada kondisi fisik ponsel yang lebih rentan. Lebih murah, pasti akan ada yang dikorbankan. Bisnis kalau nggak cuan mana mau kan? Hahaha.
“Jangan minder kalo misalnya temen-temen kamu pada pamer handphone Sams*ng atau Blackb*rry yang dibeliin bokap nyokap mereka ya. Kamu harus bangga sama ini handphone karena ini handphone kamu beli make uang kamu sendiri! Aku tambahin dikit sih. Tapi jangan bilang dibeliin sama aku oke? Nggak apa-apa handphone-nya cuman Smartfr*n begini. Lagipula ini handphone bagus kok spesifikasinya. Oke?” kata gue.
Gue selalu percaya kepada Emi dalam mempelajari hal baru. Gue selalu yakin dia adalah seorang fast learner. Android adalah barang yang amat baru bagi dia. Tapi gue yakin, nggak butuh waktu lama untuk seorang Emi mengerti seluk beluknya.
--
Emi sudah sampai dilokasi tempat praktikum lapangnya. Untung banget sinyal provider merah cukup kuat disana. Jadinya bisa lah gue mendapatkan kabar dari dia. Tapi disaat itu pula Dee mengabari kalau dia akan ke ibukota untuk mengikuti diklat. Lagi-lagi dia datang disaat yang pas. Dia datang disaat gue sedang jauh dari Emi. Gue seperti merasakan ada sesuatu yang sudah diatur ya.
Selama Emi disana kami sempat telponan beberapa kali. Sinyal disana juga cukup baik sehingga suara yang terdengar juga cukup jelas. Sementara itu gue menunggu Dee yang baru selesai diklat. Gue berencana untuk menemani dia selama disini. Tentunya dengan permintaan dia.
Selama hampir sehari penuh gue menemani Dee selama di ibukota. Jalan kesana kemari pun gue jabanin. Hubungan ini terasa nggak berarti banget buat gue, tapi Dee malah merasa dia seperti kembali ke jaman-jaman masih pacaran dulu.
Kami makan siang, ke mall nyari-nyari baju buat keperluannya bekerja dan ke toko kosmetik untuk membeli beberapa jenis kosmetik. Gue nggak melihat Dee ini menjadi orang yang sangat licik. Dee yang gue liat itu seperti Dee yang gue kenal dulu. Inilah yang akhirnya membuat gue sempat lupa. Membuat gue sempat terlarut dengan hubungan yang dipaksakan ini.
Gue nggak mau buru-buru mengiyakan semua permintaan Dee. Dari mulai mau manggil pakai sayang-sayangan lagi dan telpon rutin lagi. Gue udah bilang ke Dee kalau gue udah ada Emi dan gue nggak mau sama sekali ninggalin dia. Hubungan gue dan Emi itu saling melengkapi.
Gue sempat bilang kalau Emi jauh lebih baik dan lebih menyempurnakan daripada seluruh mantan gue atau cewek yang pernah dekat dengan gue. Dee sempat sedih mendengar ini. Gue sengaja emang melukai hati dia. Tapi kemudian dia seperti berusaha tegar menghadapi ini semua.
Selama gue jalan dengan Dee, gue dengan terpaksa memblokir nomor Emi, setelah selesai baru gue buka blokirannya. Gue nggak mau ketika Dee dengan gue dan Dee mengetahui gue sedang berkomunikasi dengan Emi, nanti dia malah bertindak diluar dugaan. Mungkin ini hanya parnonya gue aja, tapi lebih baik begitu menurut gue, daripada nanti lagi komunikasi tau-tau direbut dan dia ngomong yang nggak-nggak. Satu, itu akan melukai perasaan Emi pastinya. Dua, Dee akan merasa jadi pemenang. Disinilah gue kalah sebagai seorang cowok. Gue nggak tegas untuk menentukan pilihan.
Setelah gue berpisah dengan Dee, malam hari gue telponan lagi dengan Emi. Melalui hari berat dan basi bareng Dee, tapi kemudian bisa dengar suara Emi dan ceritanya hari itu sangat menyenangkan gue. Emi selalu bisa membangkitkan mood gue. Tapi malah gue yang melukai hati Emi. Gue hanya bisa meminta maaf dan mengutuki diri sendiri.
Ketika gue malam-malam telponan dengan Emi yang intinya menceritakan kelakuan si Irfan dan Debby yang sangat membuat gue murka, Debby tiba-tiba menyambar HP Emi dan berbicara dengan gue. ini anak benar-benar nggak tau malu sekali rupanya. Menurut cerita Emi yang selalu gue percaya, anak ini malah banyak pacarannya dengan si Irfan. Bahkan kadangkala si Irfannya menjadi nggak fokus menjadi asisten lapang.
“Kak, aku agak kurang enak badan nih…” kata Debby, suaranya sok dimanja-manjakan.
“Lah terus ngaruh sama gue apaan.” Jawab gue ketus.
“Ih kok marah-marah mulu sih kak? Nanti cepet tua.”
“Yang tua gue ini. Kan nggak ada ngaruhnya sama lo Deb.”
“Harus kakak ikut kemarin ini. Jadi kan bisa ngobrol banyak langsung kita.”
“Kan lo yang ngegagalin gue ikutan di praktikum itu.”
“Kok nuduh ke aku sih kak?”
“Haha udahlah Deb. Muka lo aja yang cakep, hati lo busuk bangs*t! buruan balikin ini HP ke Emi.”
Debby terus aja menggoda dengan kalimat-kalimat yang aneh dan nggak bagus menurut gue. Untung dulu gue nggak tergoda sama sekali sama Debby ini. Cerita akan menjadi makin kacau kalau ternyata gue tergoda sama dia. Gue yakin banget kalau Debby ini pasti mau aja diapa-apain sama gue.
--
Dee di hari berikutnya mau minta dibelikan kado karena sebentar lagi hari ulang tahunnya. Sesuatu yang nggak pernah dia minta selama gue jadian dengan dia bertahun-tahun. Ini agak aneh, tapi yaudah gue iyain aja deh daripada lama. Dia juga minta diajak jalan ke museum bahari yang belum pernah dia kunjungi. Gue pun sama, belum pernah kesana.
Singkat cerita gue dan dia sudah sampai disana. Kala itu agak sepi karena masih pagi. Gue pun mengelilingi museum ini dan banyak mengambil foto menggunakan HP gue. Gue berencana untuk mengganti HP gue yang lama ini menjadi HP yang lebih baik dan lebih multifungsi. Tapi itu nanti aja deh. Minimal pakai HP yang sekarang juga udah lumayan banget.
Banyak momen yang gue dan Dee lewati bersama disana. Foto-foto pun banyak diambil. Jujur aja, Dee memang cocok untuk dijadikan objek foto. Perawakannya yang semampai dan cantik natural menjadikannya lebih enak dipandang. Entah kenapa, ketika bersama dia saat itu nggak ada kepikiran untuk kembali bersamanya. Jawabannya pasti udah tau semua kan? Emi.
Saat menjelang malam gue lupa untuk memblokir Emi. Dee menyadari ada notifikasi masuk. Gue pun mengambil HP gue dan langsung memblokir. Gue meminjam HP Dee dan juga melakukan hal yang sama, memblokir nomor Emi. mudah-mudahan ini bisa jadi pembatas Dee untuk menjangkau Emi. nggak tau bakal efektif atau nggak, setidaknya gue usahain aja dulu.
Hari terakhir gue mengantarkan Dee ke bandara. Bodohnya, gue check in di facebook gue udah ada dibandara. Dee sempat marah karena fokus gue terasa terbagi. Ya jelas memang terbagi. Gue sulit menghubungi Emi yang juga mungkin sedang ada ditengah laut perjalanan menuju pulang ke Muara angke.
Kesalahan lagi-lagi gue buat. Gue yang sulit menghubungi malah jadi bete nggak karuan. Gue lebih memilih untuk menikmati momen dengan Dee. Sebenarnya ketika di hotel pun dia sendiri, bisa aja gue langsung garap Dee, tapi itu semua nggak gue lakukan. Gue hanya mau menikmati hari-hari bersama Dee tapi nggak pakai aneh-aneh.
Dee terbang kembali ke Padang. Dan gue merasa seperti dulu. Gue berat untuk berpisah dengan dia. Nggak tau kenapa. Nggak tau juga apa yang Dee rasakan, apakah sama dengan gue atau nggak. Ini udah nggak bener. Gue nggak boleh plin plan begini. Tapi ternyata, gue plin plan. Kebodohan yang gue buat sendiri malah membuat gue makin kacau dan menyakiti hati Emi.
Gue sadar kalau waktu gue disana pun nggak akan banyak mengingat posisi gue sebagai asisten dosen dan Emi sebagai peserta praktikum lapang. Profesionalisme selalu gue junjung dimanapun gue berada ketika ada kaitannya dengan pekerjaan atau urusan asisten dosen seperti ini.
Gapura masuk kota dimana kampus gue berada sudah terlihat dan kebetulan jalanan kala itu nggak terlalu macet, jadinya gue bisa lebih cepat memacu kendaraan gue. Rasa senang dalam hati pun semakin besar.
Gue menyetel musik metal kencang-kencang di mobil. Gue juga mendengar beberapa notifikasi masuk ke HP gue, tapi nggak gue baca karena gue sedang menyetir. Gue nggak pernah membiasakan membaca atau sekedar melihat HP saat sedang berkendara. Berbahaya.
Pintu gerbang kampus pun terlihat. Setelah gue melewati pintu gerbang dan mengambil karcis masuk, gue meminggirkan mobil dulu. Gue mau lihat beberapa notifikasi yang masuk. Toh juga acaranya masih sekitar 45 menitan lagi. Disitulah gue sangat kecewa dibuatnya.
Ami mengabari gue dengan sangat-sangat mendadak kalau ternyata posisi gue digantikan oleh junior gue sendiri yang sebenarnya nggak ada hubungannya dengan mata kuliah ini. Memang dia juga menjadi asisten dosen tapi bukan untuk bidang ini.
Dosennya pun Pak Ferdi yang mana telah mengenal gue baik dan gue sangat dipercaya oleh beliau, plus jadi pembimbing gue dan Ami dulu. Bahasan skripsi kami pun sangat sesuai dengan praktikum lapang ini dan sesuai bidang yang dibawahi Pak Ferdi. Pak Ferdi bahkan pernah memasukkan skripsi gue menjadi bahan ajar beliau dikelas angkatan Emi. Tapi kenapa harus gue yang diganti? Dan dadakan super ketika gue udah sampai didekat kampus (chat masuk sekitar 15 menit sebelum gue baca).
Gue mau banget untuk marah sama Ami kenapa ada pergantian sepihak kayak gini dan sangat dadakan. Bahkan pagi tadi Ami masih chat gue untuk mengingatkan briefing hari ini. Jadi semua yang gue perjuangkan percuma aja dong? Gue nggak dapat liburan sama Emi, tapi gue tetap harus lembur tanpa dibayar? Kayak anj*ng emang. Tapi ini bukan salah Ami karena keputusan mengganti ada ditangan Pak Ferdi.
Ami menyebut nama Irfanda yang menggantikan gue untuk berangkat. Gue tau kemampuan dia emang mumpuni, tapi untuk bidang ini? Gue lebih expert bangs*t! Dan gue yakin ini adalah ulah si anj*ng Debby teman si Emi. Bangs*t ini orang emang, terus aja ngeganggu urusan gue. Irfanda ini seperti bucinnya si Debby kalau menurut penuturan Emi. Ganteng-ganteng gobl*k kalau urusan cewek. Mana tytydnya leutik lagi anj*ng!
Sesampainya gue dikoridor jurusan, gue langsung chat Emi untuk segera keluar dan nggak usah ikutan briefing. Maksud gue, biar gue aja yang jelasin, gue juga bisa. Emosi gue sudah mulai nggak terkontrol ketika sampai disana. Gue mengingat beberapa peristiwa mulai dari urusan ospek sampai urusan fitnah-fitnahan. Semua terjadi ditempat itu.
Nggak lama setelah gue chat, Emi datang tergopoh-gopoh karena dia berlari. Mungkin dia takut gue udah ketemu orang dan bisa langsung ngamuk-ngamuk saking kesel dan sensinya gue waktu itu. Emi sudah hafal kebiasaan gue yang meledak-ledak ini.
“Udah kan briefing-nya? Nggak usah kelamaan. Ayo langsung balik!” kata gue tegas.
“Belom, Zy. Lagian tas gue masih di dalem.” Kata Emi sambil mengatur nafasnya.
“Gobl*k banget sih? Kenapa nggak dibawa sekalian? Tadi bisa keluar gimana?” gue mulai emosi lagi.
“Gue izin sama Kak Ami.” Katanya, kemudian duduk disebelah kanan gue.
“Dia ada bilang sesuatu sama lo?”
“Iya, dia cerita gimana si Bang Irfan bisa dapetin slot yang harusnya itu lo Zy.”
“Gimana ceritanya?” gue penasaran sekaligus sangat emosi.
“Jadi, tadi kata Kak Ami, dia itu udah keruangan Pak Ferdi jelang briefing. Tapi tau-tau diruangan Pak Ferdi udah ada Bang Irfan. Bang Irfan bilang ke Kak Ami kalau jadinya dia yang ikut, bukan Firzy. Kak Ami disuruh ngabarin ke kamu tentang pergantian ini dan bilang nggak usah kekampus. Kak Ami juga bilang kamu udah sampai dikampus. Terus Pak Ferdi cuma bilang Irfan mengajukan diri dan menjamin bakalan lebih baik dari kamu performanya, karena dia masih berkecimpung dilingkungan kampus, sedangkan kamu udah lama nggak kekampus. Kak Ami juga memperjuangkan kamu lagi dengan mengingatkan Pak Ferdi kalau kamu itu orang kepercayaan beliau dimasa lalu. Tapi katanya Pak Ferdi malah nggak enak sama Irfanda. Gitu katanya Zy. Kak Ami juga nggak tau kenapa Pak Ferdi kayak gitu. Entah apa yang diomongin Bang Irfan ke Pak Ferdi, yang jelas Kak Ami pun kecewa sama keputusan dadakan Pak Ferdi ini.”
“ANJ*NG IRFANDA!!! GUE GAMPARIN JUGA NI ANAK ANJ*NG. NGGAK COWOK NGGAK CEWEK SAMA AJA KELAKUAN. KAYAK KONT*L SEMUA!!! BANGS*T!!!!” Gue berucap sangat kasar dan keras saat itu juga.
“Zy. Jangan teriak-teriak kayak gitu ah. Nggak enak didenger.”
“Lah udah jam berapa ini? Palingan juga orang-orang udah pada pulang.”
“Ya kan nggak enak, apalagi menggema. Gedung ini kan gede banget Zy.”
“Gue yakin, Irfan kepengen ikut ya karena permintaan Debby. Dan GUE NGGAK BISA IKUT praktikum lapang pun PASTI karena permintaan si Debby bangs*t itu! Dia udah jarang bareng-bareng kamu juga kan?”
“Iya sih. Tapi kan lo nggak bisa asal bikin kesimpulan begitu aja, Zy.”
“Loh kenapa nggak bisa? Dia BEBAS ngefitnah gue yang ngarang cerita seolah gue bikin kekacauan di Kampus, TANPA minta maaf sama sekali sampe detik ini. Terus gue MASIH HARUS mikir nggak boleh suudzon sama dia? T*i amat jadi orang! Lembek lo jadi orang Mi.”
“Ya bukan begitu. Mungkin emang kepinginnya Bang Irfan aja buat ikutan praktikum lapang, bonusnya ya bisa bareng pacarnya.”
“HALAH T*I ANJ*NG!” Emosi gue benar-benar keluar semua saat itu.
Sebagai pelampiasannya gue memukul meja besi yang ada didepan gue dengan sangat keras sampai suranya menggema kemana-mana.
“Sabar ah, t*i! Jangan berisik di sini!” kata Emi sambil menahan tangan gue untuk nggak memukul lagi, “Lu jadinya mau tetep ikut nggak besok?”
Gue menengok dan menatap tajam Emi, “Ngapain gue ikut kesana? Kesannya maksa dan ngarep banget gue ikutan praktikum lapang kalian? Mesti ngurusin kalian satu-satu saat ada konspirasi macem begini! Sekarang gue udah nggak mikirin bantuin praktikum lapang kalian, gue mikirin gimana ngurusin lo aja!”
“Gue aman, Zy. Gue bisa urus diri gue sendiri. Sabar ya jadinya nungguin gue balik 3 hari?”
“Nggak boleh lost contact, nggak ada alasan nggak ada sinyal!”
“Lha? Terus kalo emang beneran nggak ada sinyal gimana?”
“Ya gimana caranya kek, usaha dikit, cari sinyal.”
“Dih, gimana bisa?”
“Mending nggak berangkat atau cari cara nyari sinyal buat ngehubungin gue?”
“Yaudahlah gampang itu. Nanti gue beli nomor Telk*msel! Ah t*i.” sahut Emi, mukanya ditekuk.
“Yaudah buru ambil tas lo.”
“Gue masih briefing, Zy.”
“Elah, lama banget! Yaudah gue tungguin di sini. Kalo sampe 30 menit lagi lo belom keluar juga, gue seret lo dari dalem laboratorium. Biar orang-orang makin asumsi kalo gue cowok kasar! Rusak aja sekalian nama baik gue!”
Emi kembali ke laboratorium dan mengikuti briefing sampai selesai. Gue pun menunggu dikoridor itu sambil membaca buku yang gue bawa. Emosi gue sudah kembali stabil. Lama-lama kalau kebanyakan drama gini, bisa kena penyakit mental gue.
Terlintas ide gue untuk membelikan Emi HP. Tapi Emi nggak akan mau kalau dibelikan cuma-cuma kayak gitu. Jadi yaudah gue idekan untuk membongkar tabungan dia. Jumlahnya nanti dihitung ada berapa, sisanya gue tambahkan. Dia sudah perlu HP baru untuk mempermudah komunikasi dan juga menjadi lebih kreatif dengan perangkat yang lebih canggih.
Selama gue menunggu, lagi-lagi kejadian seperti dulu berulang. Banyak yang tersenyum ke gue, baik cowok maupun cewek. Gue nggak kenal siapa mereka. Gue hanya bisa senyum dan pasrah aja kalau ada omongan-omongan baru lagi nantinya. Bodo amat deh mau kejadiannya seperti apa nanti.
--
Keesokan harinya, gue menjemput Emi di rumah orangtuanya pada sore hari. Gue berencana untuk mengantar dia ke toko HP. Ternyata tabungan Emi banyak juga. Jadinya gue hanya menambahkan sedikit. Sesuai dugaan gue, dia nggak akan mau cuma-cuma.
Gue sudah mempelajari beberapa jenis HP yang menurut gue bagus speknya tapi harganya terjangkau. Saat itu belum ada Xia*mi, jadi ya merk lain masih jadi opsi selain BB atau Sams*ng yang kala itu sudah memperkenalkan android OS di Indonesia.
Demam android ini sangat terasa ketika itu. Mereka sukses menggeser dominasi BB yang dulu juga menggeser dominasi Nok*a. Bisnis memang sekejam itu. Apalagi di jaman milenial mulai beranjak makin dewasa dan bisa menghasilkan uang sendiri, kebutuhan akan inovasi teknologi sangatlah besar. Mereka yang resisten terhadap perubahan, niscaya akan hancur dengan sendirinya. Dan itu terjadi pada RIM (perusahaan pembuat BB) yang lambat berinovasi. Kalah dengan google dan apple yang telah lebih dulu berlomba mengeluarkan inovasi-inovasi terbaru mereka.
“Make the world a better place.” Jargon ini mulai lumrah terdengar pada saat itu. Berbarengan dengan meningkatnya kemajuan teknologi, berarti tingkat konsumsi akan barang tersier tersebut semakin besar. Dan ini mengundang ceruk baru untuk didalami. Makanya seiring dengan mudahnya berkomunikasi dan mendapatkan informasi dalam satu genggaman, muncul juga perusahaan-perusahaan rintisan yang memanfaatkan teknologi ini.
Gue nggak akan bahas masalah sejauh ini karena gue hanya akan mengantar Emi ke toko HP untuk mendapatkan HP yang dia butuhkan, bukan yang dia inginkan. Pilihan jatuh pada Smartfr*n Andromax V. Saat itu HP ini adalah HP dengan spesifikasi paling mumpuni keluaran Smartfr*n yang mana sebelumnya perusahaan ini berkonsentrasi pada jaringan selular CDMA.
Beruntunglah Emi. Karena perusahaan ini sedang mengembangkan gurita bisnisnya dibidang ponsel, yang daya saingnya sangat tinggi, maka otomatis untuk menggaet target pasar menengah kebawah (sesuai dengan target pasar CDMA mereka), mereka akan menjual ponsel yang lebih murah, tapi secara spesifikasi bisa menyamai ponsel-ponsel menengah keatas yang harganya lebih mahal. Tentunya hal ini akan berimbas pada kondisi fisik ponsel yang lebih rentan. Lebih murah, pasti akan ada yang dikorbankan. Bisnis kalau nggak cuan mana mau kan? Hahaha.
“Jangan minder kalo misalnya temen-temen kamu pada pamer handphone Sams*ng atau Blackb*rry yang dibeliin bokap nyokap mereka ya. Kamu harus bangga sama ini handphone karena ini handphone kamu beli make uang kamu sendiri! Aku tambahin dikit sih. Tapi jangan bilang dibeliin sama aku oke? Nggak apa-apa handphone-nya cuman Smartfr*n begini. Lagipula ini handphone bagus kok spesifikasinya. Oke?” kata gue.
Gue selalu percaya kepada Emi dalam mempelajari hal baru. Gue selalu yakin dia adalah seorang fast learner. Android adalah barang yang amat baru bagi dia. Tapi gue yakin, nggak butuh waktu lama untuk seorang Emi mengerti seluk beluknya.
--
Emi sudah sampai dilokasi tempat praktikum lapangnya. Untung banget sinyal provider merah cukup kuat disana. Jadinya bisa lah gue mendapatkan kabar dari dia. Tapi disaat itu pula Dee mengabari kalau dia akan ke ibukota untuk mengikuti diklat. Lagi-lagi dia datang disaat yang pas. Dia datang disaat gue sedang jauh dari Emi. Gue seperti merasakan ada sesuatu yang sudah diatur ya.
Selama Emi disana kami sempat telponan beberapa kali. Sinyal disana juga cukup baik sehingga suara yang terdengar juga cukup jelas. Sementara itu gue menunggu Dee yang baru selesai diklat. Gue berencana untuk menemani dia selama disini. Tentunya dengan permintaan dia.
Selama hampir sehari penuh gue menemani Dee selama di ibukota. Jalan kesana kemari pun gue jabanin. Hubungan ini terasa nggak berarti banget buat gue, tapi Dee malah merasa dia seperti kembali ke jaman-jaman masih pacaran dulu.
Kami makan siang, ke mall nyari-nyari baju buat keperluannya bekerja dan ke toko kosmetik untuk membeli beberapa jenis kosmetik. Gue nggak melihat Dee ini menjadi orang yang sangat licik. Dee yang gue liat itu seperti Dee yang gue kenal dulu. Inilah yang akhirnya membuat gue sempat lupa. Membuat gue sempat terlarut dengan hubungan yang dipaksakan ini.
Gue nggak mau buru-buru mengiyakan semua permintaan Dee. Dari mulai mau manggil pakai sayang-sayangan lagi dan telpon rutin lagi. Gue udah bilang ke Dee kalau gue udah ada Emi dan gue nggak mau sama sekali ninggalin dia. Hubungan gue dan Emi itu saling melengkapi.
Gue sempat bilang kalau Emi jauh lebih baik dan lebih menyempurnakan daripada seluruh mantan gue atau cewek yang pernah dekat dengan gue. Dee sempat sedih mendengar ini. Gue sengaja emang melukai hati dia. Tapi kemudian dia seperti berusaha tegar menghadapi ini semua.
Selama gue jalan dengan Dee, gue dengan terpaksa memblokir nomor Emi, setelah selesai baru gue buka blokirannya. Gue nggak mau ketika Dee dengan gue dan Dee mengetahui gue sedang berkomunikasi dengan Emi, nanti dia malah bertindak diluar dugaan. Mungkin ini hanya parnonya gue aja, tapi lebih baik begitu menurut gue, daripada nanti lagi komunikasi tau-tau direbut dan dia ngomong yang nggak-nggak. Satu, itu akan melukai perasaan Emi pastinya. Dua, Dee akan merasa jadi pemenang. Disinilah gue kalah sebagai seorang cowok. Gue nggak tegas untuk menentukan pilihan.
Setelah gue berpisah dengan Dee, malam hari gue telponan lagi dengan Emi. Melalui hari berat dan basi bareng Dee, tapi kemudian bisa dengar suara Emi dan ceritanya hari itu sangat menyenangkan gue. Emi selalu bisa membangkitkan mood gue. Tapi malah gue yang melukai hati Emi. Gue hanya bisa meminta maaf dan mengutuki diri sendiri.
Ketika gue malam-malam telponan dengan Emi yang intinya menceritakan kelakuan si Irfan dan Debby yang sangat membuat gue murka, Debby tiba-tiba menyambar HP Emi dan berbicara dengan gue. ini anak benar-benar nggak tau malu sekali rupanya. Menurut cerita Emi yang selalu gue percaya, anak ini malah banyak pacarannya dengan si Irfan. Bahkan kadangkala si Irfannya menjadi nggak fokus menjadi asisten lapang.
“Kak, aku agak kurang enak badan nih…” kata Debby, suaranya sok dimanja-manjakan.
“Lah terus ngaruh sama gue apaan.” Jawab gue ketus.
“Ih kok marah-marah mulu sih kak? Nanti cepet tua.”
“Yang tua gue ini. Kan nggak ada ngaruhnya sama lo Deb.”
“Harus kakak ikut kemarin ini. Jadi kan bisa ngobrol banyak langsung kita.”
“Kan lo yang ngegagalin gue ikutan di praktikum itu.”
“Kok nuduh ke aku sih kak?”
“Haha udahlah Deb. Muka lo aja yang cakep, hati lo busuk bangs*t! buruan balikin ini HP ke Emi.”
Debby terus aja menggoda dengan kalimat-kalimat yang aneh dan nggak bagus menurut gue. Untung dulu gue nggak tergoda sama sekali sama Debby ini. Cerita akan menjadi makin kacau kalau ternyata gue tergoda sama dia. Gue yakin banget kalau Debby ini pasti mau aja diapa-apain sama gue.
--
Dee di hari berikutnya mau minta dibelikan kado karena sebentar lagi hari ulang tahunnya. Sesuatu yang nggak pernah dia minta selama gue jadian dengan dia bertahun-tahun. Ini agak aneh, tapi yaudah gue iyain aja deh daripada lama. Dia juga minta diajak jalan ke museum bahari yang belum pernah dia kunjungi. Gue pun sama, belum pernah kesana.
Singkat cerita gue dan dia sudah sampai disana. Kala itu agak sepi karena masih pagi. Gue pun mengelilingi museum ini dan banyak mengambil foto menggunakan HP gue. Gue berencana untuk mengganti HP gue yang lama ini menjadi HP yang lebih baik dan lebih multifungsi. Tapi itu nanti aja deh. Minimal pakai HP yang sekarang juga udah lumayan banget.
Banyak momen yang gue dan Dee lewati bersama disana. Foto-foto pun banyak diambil. Jujur aja, Dee memang cocok untuk dijadikan objek foto. Perawakannya yang semampai dan cantik natural menjadikannya lebih enak dipandang. Entah kenapa, ketika bersama dia saat itu nggak ada kepikiran untuk kembali bersamanya. Jawabannya pasti udah tau semua kan? Emi.
Saat menjelang malam gue lupa untuk memblokir Emi. Dee menyadari ada notifikasi masuk. Gue pun mengambil HP gue dan langsung memblokir. Gue meminjam HP Dee dan juga melakukan hal yang sama, memblokir nomor Emi. mudah-mudahan ini bisa jadi pembatas Dee untuk menjangkau Emi. nggak tau bakal efektif atau nggak, setidaknya gue usahain aja dulu.
Hari terakhir gue mengantarkan Dee ke bandara. Bodohnya, gue check in di facebook gue udah ada dibandara. Dee sempat marah karena fokus gue terasa terbagi. Ya jelas memang terbagi. Gue sulit menghubungi Emi yang juga mungkin sedang ada ditengah laut perjalanan menuju pulang ke Muara angke.
Kesalahan lagi-lagi gue buat. Gue yang sulit menghubungi malah jadi bete nggak karuan. Gue lebih memilih untuk menikmati momen dengan Dee. Sebenarnya ketika di hotel pun dia sendiri, bisa aja gue langsung garap Dee, tapi itu semua nggak gue lakukan. Gue hanya mau menikmati hari-hari bersama Dee tapi nggak pakai aneh-aneh.
Dee terbang kembali ke Padang. Dan gue merasa seperti dulu. Gue berat untuk berpisah dengan dia. Nggak tau kenapa. Nggak tau juga apa yang Dee rasakan, apakah sama dengan gue atau nggak. Ini udah nggak bener. Gue nggak boleh plin plan begini. Tapi ternyata, gue plin plan. Kebodohan yang gue buat sendiri malah membuat gue makin kacau dan menyakiti hati Emi.
itkgid dan 22 lainnya memberi reputasi
23
Tutup