- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1449
Perjalanan Jauh
Cerita mengenai hubungan gue dengan Emi ini gue ceritakan kepada Benu pada satu kesempatan gue datang kekampus dan menunggu Emi. Gue menceritakan semuanya dan membandingkan dengan hubungan-hubungan gue terdahulu yang juga Benu tau.
“Keket ada yang ngalahin? Sadis juga tuh bocah kecil ya. hahaha.” Kata Benu, nada bicaranya terdengar takjub.
“Makanya itu ting. Luar biasa banget kan? Gue aja kaget. Diluar penampakannya yang kayak bocah gitu, dia punya semua yang gue perluin. Bahkan semua mantan gue nggak bisa menuhin semua kriteria yang gue bikin, eh tau-tau Emi diluar dugaan bisa loh. Gila kan? Haha.” Ujar gue bangga.
“Berarti mungkin dia emang yang lo cari selama ini Ja. Tapi beneran lo nggak incer cewek dari urusan fisiknya lagi Ja?”
“Gue nggak pernah ngincer cewek dari fisiknya kali ting. Kebetulan aja dulu gue ketemu duluan sama yang bening-bening. Tapi yaitu, nggak semuanya bisa menuhin kebutuhan dan keinginan gue Ting.”
“Haha, tapi nggak nyangka aja orang kayak Emi, si ratu stensilan, bocah yang clumsy banget kayak gitu malah bisa lo pilih.”
“Lah gue aja bingung apalagi lo. masalahnya dia ini bener-bener bisa mengakomodir semuanya Ting. Terlepas dari kelakuannya yang absurd itu. Hahaha.”
“Hebat lah ya si Emi. mana gue denger dia anak kelas percepatan ya waktu SMA? Terus termasuk juga di kelompok anak yang dapet kesempatan buat percepatan S2, tapi nggak diambil. Gokil sih otaknya. Yang gue heran itu, anak secerdas itu kok nggak kayak orang pinter kebanyakan disini ya? biasanya kan culun, belajar mulu, terus temennya dikit, pemikirannya kadang aneh. Lah dia mah temennya banyak, bisa gaul sama kakak kelas, bahkan sampai ke gue yang angkatannya 7 taun diatas dia aja dia bisa dan nyambung. Pemikirannya juga seru kok, nggak cupu sama sekali. mana jadi salah satu supplier bok*p gue juga kan. Hahaha.”
“Ya itulah si Emi. gokil kan? Mana dia demen musik metal sama jejepangan kayak gue juga Ting. Langka banget kan? Hahaha.”
“Oh iya? Gila ini mah sama aja kayak lo. Emang dulu sih sempet gue mikir, kalo Emi itu kelakuannya kayak lo, tapi versi perempuannya. Hahaha. Eh ternyata malah kalian jadian. Dua orang teman baik gue dengan kelakuan yang sama absurdnya, bersama-sama. hahaha. Turut bahagia lah gue Ja. gue seneng aja liat lo sekarang. Nggak banyak pikiran kayaknya. Udah bisa kebagi sama si Emi ye. Hehehe.
“Yoi Ting. Dia itu banyak banget bantu gue. Dia juga ngerti sedikit-sedikit soal kerjaan gue. Dia bisa tuh bantuin. Haha.”
“Yah, emang lengkap ya Ja menurut lo. Jadi yah mudah-mudahan aja lancar Ja.”
“Amin bro. hahaha.”
Ketukan dari luar pintu ruangan si Benu mengagetkan kami. Tapi gue yakin itu adalah Emi. walaupun gue nggak kasih tau gue ada dimana, gue selalu yakin kami bisa menemukan keberadaan satu sama lain. Dan itu emang selalu terjadi sih.
Hal seperti ini bagi sebagian orang mungkin biasa aja atau tidak spesial. Tapi bagi gue dan Emi, feeling so good dan chemistry itu sangat penting untuk membangun sebuah hubungan. Apalagi hubungan ini didasari atas banyaknya kesamaan yang kami punya.
--
Gue mengajak Emi untuk berkenalan dengan keluarga gue secara langsung. Dengan Mama dan Dania. Hal ini mungkin dirasa terlalu cepat. Tapi bagi gue, ini adalah sesuatu hal yang penting harus dilakukan secepatnya. Kenapa? Gue nggak mau terus menerus disangka main-main oleh banyak orang diluar sana.
“Sebelum berangkat ke pantai, aku pengen ibu sama adik aku kenal kamu lebih dekat.” Ujar gue menutup percakapan di telpon dengan Emi.
Singkat cerita, Emi sudah sampai dirumah gue dengan menaiki angkutan umum. Sesuatu hal yang nggak pernah dilakukan mantan-mantan gue. Dee pernah gue ajak dan gue tes untuk datang kerumah gue tanpa gue jemput, tapi ternyata dia nggak pernah datang. Pun sama Keket.
Perkenalan dengan Mama pun berjalan dengan sangat lancar. Bahkan Mama juga sempat menawarkan kopi hitam yang juga disukai oleh Emi. perbincangan dilanjutkan sementara gue mempersiapkan barang-barang keperluan untuk perjalanan dan ditujuan nanti. Kami akan pergi ke Ujung Genteng, Sukabumi.
Izin yang gue bilang ke Mama adalah jalan bersama teman-teman kampus gue. Kalau gue cuma jalan berdua doang ya nggak akan diizinkan pasti. Makanya demi menguatkan izin tersebut, Emi sekalian aja gue ajak untuk kenalan dengan keluarga gue. Sayangnya Dania nggak sempat kenalan dengan Emi secara langsung.
Semua barang keperluan sudah selesai dipersiapkan. Gue bekerjasama dengan Emi untuk merapikan dan menyusun seluruh barang keperluan sedemikian rupa agar lebih mudah dijangkau. Untuk barang berharga seperti domper, charger ataupun obat-obatan, gue menyimpan disebuah tas kecil. Sementara untuk baju ganti dan lainnya ada diransel.
Perjalanan jauh sudah didepan mata. Ini adalah kali pertama gue dan Emi melakukan perjalanan yang sangat jauh dari rumah kami berdua. Sudah begitu perjalanan ini tidak menggunakan kendaraan roda empat, melainkan roda dua.
Kami sangat mengandalkan google maps dalam memandu perjalanan kami. Secara keseluruhan kami sebenarnya nggak selalu pakai google maps, tapi memakai intuisi gue dan logika gue yang terasah dari pekerjaan gue juga.
Perjalanan menuju kesana dari mulai jalan raya sukabumi menuju ke arah Palabuhan Ratu dijalani dengan beragam jenis jalanan. Dari mulai jalan lurus, belok belok, naik turun, landai curam dan lain sebagainya. Seru banget dan ini juga merupakan perjalanan pertama gue dengan menggunakan sepeda motor, plus ngeboncengin anak orang. Haha.
Sesampainya di Palabuhan Ratu kami sempat beristirahat dan ngebakso dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Ujung Genteng yang waktu tempuhnya masih sekitar 2 jam lagi dari Palabuhan Ratu. Kami makan bakso ikan dengan rasa bakso sapi biasa. Nggak ada amis-amisnya sama sekali. Bakso ini berada di pasar Palabuhan Ratu. Luar biasa banget asli. Yang jualan bukan orang sana asli, melainkan mas-mas jawa yang merantau.
Selesai makan bakso, kami sempatkan untuk menunaikan ibadah terlebih dulu, baru lanjut lagi. Perjalanan selanjutnya dari Palabuhan Ratu ke Ujung Genteng ini medannya lebih sulit daripada sebelumnya. Lebih banyak kelokan dan tanjakan turunan yang curam. Tetapi gue sangat menikmati perjalanan ini, begitu juga dengan Emi.
Sore hari kami udah sampai di Ujung Genteng. Sebuah desa yang penuh kenangan dimana dulu gue pernah melakukan praktikum lapang didesa ini. Gue sempat pangling juga dengan pembangunan didesa ini. Mulai banyak penginapan disini. Tapi yang gue agak aneh, kenapa penginapan ini dekat sekali dengan pantai. Apa mereka nggak tau masalah Garis Sempadan Pantai? Sudah begitu kok bisa keluar izin mendirikan bangunan ditempat yang seharusnya steril? Ini yang jadi pertanyaan gue, dan juga Emi.
Kekagetan gue bertambah ketika gue ditagih untuk tiket masuk. Masuk desa itu biasanya gapura perbatasan aja, tapi ini ada tiketnya juga. Memang sih ini desa wisata, tapi apa mereka bisa membedakan mana warga mana wisatawan? Terus juga ini katanya dari Dinas Pariwisata setempat. Tapi gue masih tetap ragu dengan embel-embel “Dinas” ini.
Dulu ketika gue datang kesini, bis tidak bisa masuk lebih jauh kedalam desa. Tapi kalau sekarang karena akses jalan sudah dibuka, walaupun aspalnya asal-asalan, setidaknya bis sudah bisa masuk jadinya lebih memudahkan wisatawan.
Kami menyusuri Desa Ujung Genteng ini dengan santai sambil menikmati suasana pantai yang kebetulan udah lama nggak kami lihat. Suasana khas pedesaan pesisir masih terasa, namun sekarang ini dengan banyaknya vila baru yang sepertinya liar ini mengurangi estetika natural yang ditawarkan oleh alam Desa ini.
Perbatasan Desa Ujung Genteng dan Desa Pangumbahan sudah didepan mata. Gue melihat gapura yang berlambang penyu sebagai ciri khas Desa Pangumbahan sudah mulai terlihat. Oh iya, Desa Pangumbahan ini menjadi terkenal di Jawa Barat karena merupakan salah satu tempat konservasi penyu yang ada di Indonesia.
Ketika akan melewati gapura, ada yang meminta tiket lagi. Gue awalnya agak kurang terima dengan keadaan ini. Sudah didepan Desa Ujung Genteng tadi diminta untuk bayar tiket, sekarang bayar lagi? Gila amat. Ini gimana mau maju desa wisatanya kalau begini ceritanya.
“Pak kok ada tiket masuk lagi?” kata gue ketus.
“Iya A, soalnya ini buat pembangunan desa.” Kata si Bapak.
“Loh, tadi disana kita udah dimintain tiket. Sekarang dimintain lagi. Gimana sih ini? Ini kan masih disatu kawasan.”
“Maklum A, kami nggak dapat bantuan dari pemerintah daerah buat majuin desa kami. Ini aja aspal baru didapatnya dari patungan warga sama tiket masuk ini, A.”
Gue langsung melihat arah yang ditunjuk bapaknya. Ternyata benar, ketika dulu gue kesini beberapa tahun lalu, jalan ini masih jalan setapak dengan campuran pasir laut dan tanah. Sekarang sudah diaspal dengan lebar jalan kurang lebih 4 meter. Aspalnya pun terlihat sangat rapi untuk ukuran desa di ujung barat daya wilayah Provinsi Jawa Barat ini.
Gue sempat berdiskusi sesaat dengan Emi sebelum kemudian langsung mengiyakan tiket tersebut. Semoga aja memang benar tiket ini adalah upaya swadaya masyarakat Desa untuk kebutuhan akses jalan supaya bisa lebih membuka desa mereka lagi.
Desa Pangumbahan ini kondisinya jauh lebih memprihatinkan dibanding Desa Ujung Genteng. Desa ini sejauh yang gue perhatikan nggak punya balai kesehatan atau puskesmas sama sekali. bayangin aja satu desa mesti berobat menempuh jarak yang lumayan jauh untuk ke puskesmas yang adanya di Desa Ujung Genteng.
Ternyata pengaspalan yang dilakukan disana juga belum sepenuhnya rampung. Jalan menuju ke kawasan konservasi penyu masih jalan pasir laut campur tanah. Belum ada aspal permanen. Mobil dinas atau yang berkepentingan di kawasan tersebut kebanyakan yang tipenya SUV atau double cabin. Hal ini tentu aja dengan maksud memudahkan karena medan jalan yang belum sepenuhnya baik.
Kami sempat berjalan-jalan menyusuri desa dari tepi pantai mengikuti jalan yang ada. Tanpa terasa sudah sore aja. Gue dan Emi sempat ngobrol lagi soal mau nginep dimana. Pembangunan vila di Desa ini masih belum sebanyak di Ujung Genteng. Kawasannya pun masih lebih natural dibanding Desa Ujung Genteng. Masih banyak hutan dan sawah. Jarah antar rumah penduduk pun agak berjauhan.
Memang bagi wisatawan awam yang ingin pure menikmati keindahan pantai sambil bermain-main dipantainya, otomatis akan stay di Ujung Genteng. Disamping aksesnya memang lebih dulu daripada Desa Pangumbahan, kondisi pantainya pun lebih bersahabat. Sedangkan kalau mau yang lebih edukatif seperti gue dan Emi, pastinya akan berlanjut sampai ujung desa yang merupakan kawasan konservasi penyu.
Ombak yang datang di gugusan pantai wilayah Pangumbahan ini lebih besar daripada pantai di Desa Ujung Genteng. Cocoknya buat yang mau surfing. Dan benar aja, ada beberapa orang wisatawan mancanegara yang datang khusus buat surfing disini. Ada yang membuat gue heran, kenapa nggak banyak orang negeri sendiri yang tau kalau ada wisata alam didaerah ini, dan malah orang-orang asing yang tau? Ini yang menjadi pekerjaan rumah kita semua, termasuk para stakeholder terkait.
Sedikit mengaitkan dengan beauty pageant. Apakah mereka-mereka yang terlibat disana atau pernah ikut ajang tersebut tau ada desa Pangumbahan di Sukabumi sini? Terus kalaupun tau, apa yang bisa mereka lakukan? Promosi? Hah? Atau apa? Padahal salah satu tujuan utama mereka kan promosi pariwisata Indonesia.
Gue nggak yakin mereka bisa berbuat banyak di Desa ini untuk meningkatkan awareness tentang potensi pariwisatanya. Karena apa? Ya karena mereka nggak tau dan sepertinya lebih memilih untuk wisata yang udah terkenal seperti Bali daripada wisata yang nggak jelas pengelolaannya seperti Desa Pangumbahan ini. Adanya nanti banyak nanya, hotelnya ada yang bagus nggak? Ada spa nya nggak? Keamanannya gimana? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang intinya mau dapat eksklusifitas kalau mau didatangi.
Ya cari aja sendiri didesa terpencil yang bahkan fasilitas sosialnya terbatas kalau bisa nemu semua persyaratan tersebut. Ini nggak pukul rata ya. Ada mantan Puteri Indonesia yang nggak memikirkan hal-hal tersebut demi terjun langsung ke lapang dan mencoba menggali potensi desa-desa di nusantara selain untuk promo pariwisata alam tapi juga mengenalkan budaya lokal yang ada. Dia juga rela kulitnya jadi terbakar dan menjadi eksotis karena banyak dilapang. Mungkin ketebak kali ya siapa dia. Haha.
Dari awal, gue dan Emi memang memutuskan untuk mencari penginapan yang ada di Ujung Genteng. Kami mencari yang fasilitasnya rada mendingan. Ini demi keamanan barang-barang kami dan juga kendaraan biar ada tempat parkirnya. Setelah mencari beberapa penginapan, akhirnya sampai juga kami disebuah penginapan, tapi sayangnya nggak pakai AC.
Bayangkan saja penginapan di pantai yang suhunya panas, nggak pakai AC pula. Haha. Pengap nggak karuan. Bentuk penginapan ini seperti bungalow. Jadi terpisah-pisah bangunannya. Kami pun berasa lagi ada dirumah sendiri. Cuma bedanya itu pemandangannya adalah pantai.
Cukup nyaman sih, cuma ya itu, gerah banget jadinya. Kipas angin nggak banyak membantu. Untungnya ini vila nggak berdekatan dengan hutan mangrove. Kalau berdekatan bisa-bisa jadi santapan nyamuk kami nanti. Lucunya, kamar ini berada didepan kolam renang. Ada yang berenang padahal didepannya ada pantai? Ya ada pastinya. Hahaha.
Emi mau mandi. dia udah ngeluarin handuk dari dalam tas ransel kami. Kalau ada kesempatan begini apa yang kira-kira gue lakukan? Haha. Ya ikutan bergabung dong. Biar seger. Kan panas udaranya, jadi butuh kesegaran yang pasti. Syukur-syukur dapat treatment yang seru dan semakin membuat gue bersemangat. Hahaha.
Jelang malam, gue dan Emi mencari makan keluar dengan berjalan kaki. Seperti kebiasaan kami berdua, kami selalu senang kalau berjalan kaki. Itu menyehatkan dan sangat dianjurkan apalagi buat orang-orang yang terbiasa bekerja dibalik meja dan selalu berkutat dengan komputer.
Kami menyusuri jalan-jalan yang ada disana dengan santai sambil melihat kanan kiri. Banyak juga yang wisata ke Ujung Genteng sini ya ternyata. Banyak yang membangun tenda-tenda kecil dipinggiran pantai. Dan isinya? Ya pasangan muda mudi dong. Kalau pasangan muda muda berarti kemungkinan itu adalah salah satu anggota paguyuban tusboler.
“Bawa cadangan shampoo sachetan mesti banyak ya, inget, keramas…keramas…” gue nyeletuk dengan cukup kencang.
“Woi, lo juga kan abis keramas gimana sih…” Emi mengingatkan.
“Haha oh iya juga ya. liburan bareng pacar itu emang kayaknya bawaannya keramas mulu ya.”
“Dih. Apaan sih. Hahaha.”
Kami menyusuri sedikit hutan mangrove yang keadaannya gelap tanpa penerangan. Gue sempat mendengar ribut-ribut nggak jelas. Nggak lama, dari kegelapan ada serombongan anak muda yang berteriak sambil berlari kecil.
“ADA BUAYAAA.” Jerit mereka.
“Hah? Ada buaya? Dimana buayanya mas?” tanya gue.
“Di hutan sana mas.” Jawab salah satu pemuda.
“Masa iya ada buaya? Kan belakangnya ini rumah warga.” Celetuk Emi spontan.
Seingat gue, dan kemudian juga diamini Emi, kalau daerah sini nggak pernah ditemukan buaya muara atau jenis buaya lainnya. Bakalan bahaya lah kalau praktikum lapang kami ditempat yang masih sangat liar. Lain lagi kalau memang acaranya acara pecinta alam misalnya.
“Pak, lagi nyari apa pak?” tanya gue kemudian, gue melihat ada bapak-bapak yang keluar dari semak gelap didepan gue.
“Ini dek, nyari serangga buat makan peliharaan.” jawab si bapak.
"Bingung, segini saya kayak orang kok ya dibilang buaya. Emang saya buaya darat? " gumam bapak satunya.
“Bego lo, Tytyd!” ujar Emi.
“Bego-bego begini, tytydnya lo isep juga.” Sahut gue asal.
“Anj*ng.”
“Iya kan?”
“Bener juga sih.”
“Enak kan?”
“Biasa aja.”
“Mau lagi nggak?” nada gue mulai menggoda.
“Boleh.”
“Di jalanan sini yak?” Usul gue sambil pura-pura membuka ikat pinggang.
“T*i!!” Ujar Emi seraya jalan duluan meninggalkan gue.
“Keket ada yang ngalahin? Sadis juga tuh bocah kecil ya. hahaha.” Kata Benu, nada bicaranya terdengar takjub.
“Makanya itu ting. Luar biasa banget kan? Gue aja kaget. Diluar penampakannya yang kayak bocah gitu, dia punya semua yang gue perluin. Bahkan semua mantan gue nggak bisa menuhin semua kriteria yang gue bikin, eh tau-tau Emi diluar dugaan bisa loh. Gila kan? Haha.” Ujar gue bangga.
“Berarti mungkin dia emang yang lo cari selama ini Ja. Tapi beneran lo nggak incer cewek dari urusan fisiknya lagi Ja?”
“Gue nggak pernah ngincer cewek dari fisiknya kali ting. Kebetulan aja dulu gue ketemu duluan sama yang bening-bening. Tapi yaitu, nggak semuanya bisa menuhin kebutuhan dan keinginan gue Ting.”
“Haha, tapi nggak nyangka aja orang kayak Emi, si ratu stensilan, bocah yang clumsy banget kayak gitu malah bisa lo pilih.”
“Lah gue aja bingung apalagi lo. masalahnya dia ini bener-bener bisa mengakomodir semuanya Ting. Terlepas dari kelakuannya yang absurd itu. Hahaha.”
“Hebat lah ya si Emi. mana gue denger dia anak kelas percepatan ya waktu SMA? Terus termasuk juga di kelompok anak yang dapet kesempatan buat percepatan S2, tapi nggak diambil. Gokil sih otaknya. Yang gue heran itu, anak secerdas itu kok nggak kayak orang pinter kebanyakan disini ya? biasanya kan culun, belajar mulu, terus temennya dikit, pemikirannya kadang aneh. Lah dia mah temennya banyak, bisa gaul sama kakak kelas, bahkan sampai ke gue yang angkatannya 7 taun diatas dia aja dia bisa dan nyambung. Pemikirannya juga seru kok, nggak cupu sama sekali. mana jadi salah satu supplier bok*p gue juga kan. Hahaha.”
“Ya itulah si Emi. gokil kan? Mana dia demen musik metal sama jejepangan kayak gue juga Ting. Langka banget kan? Hahaha.”
“Oh iya? Gila ini mah sama aja kayak lo. Emang dulu sih sempet gue mikir, kalo Emi itu kelakuannya kayak lo, tapi versi perempuannya. Hahaha. Eh ternyata malah kalian jadian. Dua orang teman baik gue dengan kelakuan yang sama absurdnya, bersama-sama. hahaha. Turut bahagia lah gue Ja. gue seneng aja liat lo sekarang. Nggak banyak pikiran kayaknya. Udah bisa kebagi sama si Emi ye. Hehehe.
“Yoi Ting. Dia itu banyak banget bantu gue. Dia juga ngerti sedikit-sedikit soal kerjaan gue. Dia bisa tuh bantuin. Haha.”
“Yah, emang lengkap ya Ja menurut lo. Jadi yah mudah-mudahan aja lancar Ja.”
“Amin bro. hahaha.”
Ketukan dari luar pintu ruangan si Benu mengagetkan kami. Tapi gue yakin itu adalah Emi. walaupun gue nggak kasih tau gue ada dimana, gue selalu yakin kami bisa menemukan keberadaan satu sama lain. Dan itu emang selalu terjadi sih.
Hal seperti ini bagi sebagian orang mungkin biasa aja atau tidak spesial. Tapi bagi gue dan Emi, feeling so good dan chemistry itu sangat penting untuk membangun sebuah hubungan. Apalagi hubungan ini didasari atas banyaknya kesamaan yang kami punya.
--
Gue mengajak Emi untuk berkenalan dengan keluarga gue secara langsung. Dengan Mama dan Dania. Hal ini mungkin dirasa terlalu cepat. Tapi bagi gue, ini adalah sesuatu hal yang penting harus dilakukan secepatnya. Kenapa? Gue nggak mau terus menerus disangka main-main oleh banyak orang diluar sana.
“Sebelum berangkat ke pantai, aku pengen ibu sama adik aku kenal kamu lebih dekat.” Ujar gue menutup percakapan di telpon dengan Emi.
Singkat cerita, Emi sudah sampai dirumah gue dengan menaiki angkutan umum. Sesuatu hal yang nggak pernah dilakukan mantan-mantan gue. Dee pernah gue ajak dan gue tes untuk datang kerumah gue tanpa gue jemput, tapi ternyata dia nggak pernah datang. Pun sama Keket.
Perkenalan dengan Mama pun berjalan dengan sangat lancar. Bahkan Mama juga sempat menawarkan kopi hitam yang juga disukai oleh Emi. perbincangan dilanjutkan sementara gue mempersiapkan barang-barang keperluan untuk perjalanan dan ditujuan nanti. Kami akan pergi ke Ujung Genteng, Sukabumi.
Izin yang gue bilang ke Mama adalah jalan bersama teman-teman kampus gue. Kalau gue cuma jalan berdua doang ya nggak akan diizinkan pasti. Makanya demi menguatkan izin tersebut, Emi sekalian aja gue ajak untuk kenalan dengan keluarga gue. Sayangnya Dania nggak sempat kenalan dengan Emi secara langsung.
Semua barang keperluan sudah selesai dipersiapkan. Gue bekerjasama dengan Emi untuk merapikan dan menyusun seluruh barang keperluan sedemikian rupa agar lebih mudah dijangkau. Untuk barang berharga seperti domper, charger ataupun obat-obatan, gue menyimpan disebuah tas kecil. Sementara untuk baju ganti dan lainnya ada diransel.
Perjalanan jauh sudah didepan mata. Ini adalah kali pertama gue dan Emi melakukan perjalanan yang sangat jauh dari rumah kami berdua. Sudah begitu perjalanan ini tidak menggunakan kendaraan roda empat, melainkan roda dua.
Kami sangat mengandalkan google maps dalam memandu perjalanan kami. Secara keseluruhan kami sebenarnya nggak selalu pakai google maps, tapi memakai intuisi gue dan logika gue yang terasah dari pekerjaan gue juga.
Perjalanan menuju kesana dari mulai jalan raya sukabumi menuju ke arah Palabuhan Ratu dijalani dengan beragam jenis jalanan. Dari mulai jalan lurus, belok belok, naik turun, landai curam dan lain sebagainya. Seru banget dan ini juga merupakan perjalanan pertama gue dengan menggunakan sepeda motor, plus ngeboncengin anak orang. Haha.
Sesampainya di Palabuhan Ratu kami sempat beristirahat dan ngebakso dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Ujung Genteng yang waktu tempuhnya masih sekitar 2 jam lagi dari Palabuhan Ratu. Kami makan bakso ikan dengan rasa bakso sapi biasa. Nggak ada amis-amisnya sama sekali. Bakso ini berada di pasar Palabuhan Ratu. Luar biasa banget asli. Yang jualan bukan orang sana asli, melainkan mas-mas jawa yang merantau.
Selesai makan bakso, kami sempatkan untuk menunaikan ibadah terlebih dulu, baru lanjut lagi. Perjalanan selanjutnya dari Palabuhan Ratu ke Ujung Genteng ini medannya lebih sulit daripada sebelumnya. Lebih banyak kelokan dan tanjakan turunan yang curam. Tetapi gue sangat menikmati perjalanan ini, begitu juga dengan Emi.
Sore hari kami udah sampai di Ujung Genteng. Sebuah desa yang penuh kenangan dimana dulu gue pernah melakukan praktikum lapang didesa ini. Gue sempat pangling juga dengan pembangunan didesa ini. Mulai banyak penginapan disini. Tapi yang gue agak aneh, kenapa penginapan ini dekat sekali dengan pantai. Apa mereka nggak tau masalah Garis Sempadan Pantai? Sudah begitu kok bisa keluar izin mendirikan bangunan ditempat yang seharusnya steril? Ini yang jadi pertanyaan gue, dan juga Emi.
Kekagetan gue bertambah ketika gue ditagih untuk tiket masuk. Masuk desa itu biasanya gapura perbatasan aja, tapi ini ada tiketnya juga. Memang sih ini desa wisata, tapi apa mereka bisa membedakan mana warga mana wisatawan? Terus juga ini katanya dari Dinas Pariwisata setempat. Tapi gue masih tetap ragu dengan embel-embel “Dinas” ini.
Dulu ketika gue datang kesini, bis tidak bisa masuk lebih jauh kedalam desa. Tapi kalau sekarang karena akses jalan sudah dibuka, walaupun aspalnya asal-asalan, setidaknya bis sudah bisa masuk jadinya lebih memudahkan wisatawan.
Kami menyusuri Desa Ujung Genteng ini dengan santai sambil menikmati suasana pantai yang kebetulan udah lama nggak kami lihat. Suasana khas pedesaan pesisir masih terasa, namun sekarang ini dengan banyaknya vila baru yang sepertinya liar ini mengurangi estetika natural yang ditawarkan oleh alam Desa ini.
Perbatasan Desa Ujung Genteng dan Desa Pangumbahan sudah didepan mata. Gue melihat gapura yang berlambang penyu sebagai ciri khas Desa Pangumbahan sudah mulai terlihat. Oh iya, Desa Pangumbahan ini menjadi terkenal di Jawa Barat karena merupakan salah satu tempat konservasi penyu yang ada di Indonesia.
Ketika akan melewati gapura, ada yang meminta tiket lagi. Gue awalnya agak kurang terima dengan keadaan ini. Sudah didepan Desa Ujung Genteng tadi diminta untuk bayar tiket, sekarang bayar lagi? Gila amat. Ini gimana mau maju desa wisatanya kalau begini ceritanya.
“Pak kok ada tiket masuk lagi?” kata gue ketus.
“Iya A, soalnya ini buat pembangunan desa.” Kata si Bapak.
“Loh, tadi disana kita udah dimintain tiket. Sekarang dimintain lagi. Gimana sih ini? Ini kan masih disatu kawasan.”
“Maklum A, kami nggak dapat bantuan dari pemerintah daerah buat majuin desa kami. Ini aja aspal baru didapatnya dari patungan warga sama tiket masuk ini, A.”
Gue langsung melihat arah yang ditunjuk bapaknya. Ternyata benar, ketika dulu gue kesini beberapa tahun lalu, jalan ini masih jalan setapak dengan campuran pasir laut dan tanah. Sekarang sudah diaspal dengan lebar jalan kurang lebih 4 meter. Aspalnya pun terlihat sangat rapi untuk ukuran desa di ujung barat daya wilayah Provinsi Jawa Barat ini.
Gue sempat berdiskusi sesaat dengan Emi sebelum kemudian langsung mengiyakan tiket tersebut. Semoga aja memang benar tiket ini adalah upaya swadaya masyarakat Desa untuk kebutuhan akses jalan supaya bisa lebih membuka desa mereka lagi.
Desa Pangumbahan ini kondisinya jauh lebih memprihatinkan dibanding Desa Ujung Genteng. Desa ini sejauh yang gue perhatikan nggak punya balai kesehatan atau puskesmas sama sekali. bayangin aja satu desa mesti berobat menempuh jarak yang lumayan jauh untuk ke puskesmas yang adanya di Desa Ujung Genteng.
Ternyata pengaspalan yang dilakukan disana juga belum sepenuhnya rampung. Jalan menuju ke kawasan konservasi penyu masih jalan pasir laut campur tanah. Belum ada aspal permanen. Mobil dinas atau yang berkepentingan di kawasan tersebut kebanyakan yang tipenya SUV atau double cabin. Hal ini tentu aja dengan maksud memudahkan karena medan jalan yang belum sepenuhnya baik.
Kami sempat berjalan-jalan menyusuri desa dari tepi pantai mengikuti jalan yang ada. Tanpa terasa sudah sore aja. Gue dan Emi sempat ngobrol lagi soal mau nginep dimana. Pembangunan vila di Desa ini masih belum sebanyak di Ujung Genteng. Kawasannya pun masih lebih natural dibanding Desa Ujung Genteng. Masih banyak hutan dan sawah. Jarah antar rumah penduduk pun agak berjauhan.
Memang bagi wisatawan awam yang ingin pure menikmati keindahan pantai sambil bermain-main dipantainya, otomatis akan stay di Ujung Genteng. Disamping aksesnya memang lebih dulu daripada Desa Pangumbahan, kondisi pantainya pun lebih bersahabat. Sedangkan kalau mau yang lebih edukatif seperti gue dan Emi, pastinya akan berlanjut sampai ujung desa yang merupakan kawasan konservasi penyu.
Ombak yang datang di gugusan pantai wilayah Pangumbahan ini lebih besar daripada pantai di Desa Ujung Genteng. Cocoknya buat yang mau surfing. Dan benar aja, ada beberapa orang wisatawan mancanegara yang datang khusus buat surfing disini. Ada yang membuat gue heran, kenapa nggak banyak orang negeri sendiri yang tau kalau ada wisata alam didaerah ini, dan malah orang-orang asing yang tau? Ini yang menjadi pekerjaan rumah kita semua, termasuk para stakeholder terkait.
Sedikit mengaitkan dengan beauty pageant. Apakah mereka-mereka yang terlibat disana atau pernah ikut ajang tersebut tau ada desa Pangumbahan di Sukabumi sini? Terus kalaupun tau, apa yang bisa mereka lakukan? Promosi? Hah? Atau apa? Padahal salah satu tujuan utama mereka kan promosi pariwisata Indonesia.
Gue nggak yakin mereka bisa berbuat banyak di Desa ini untuk meningkatkan awareness tentang potensi pariwisatanya. Karena apa? Ya karena mereka nggak tau dan sepertinya lebih memilih untuk wisata yang udah terkenal seperti Bali daripada wisata yang nggak jelas pengelolaannya seperti Desa Pangumbahan ini. Adanya nanti banyak nanya, hotelnya ada yang bagus nggak? Ada spa nya nggak? Keamanannya gimana? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang intinya mau dapat eksklusifitas kalau mau didatangi.
Ya cari aja sendiri didesa terpencil yang bahkan fasilitas sosialnya terbatas kalau bisa nemu semua persyaratan tersebut. Ini nggak pukul rata ya. Ada mantan Puteri Indonesia yang nggak memikirkan hal-hal tersebut demi terjun langsung ke lapang dan mencoba menggali potensi desa-desa di nusantara selain untuk promo pariwisata alam tapi juga mengenalkan budaya lokal yang ada. Dia juga rela kulitnya jadi terbakar dan menjadi eksotis karena banyak dilapang. Mungkin ketebak kali ya siapa dia. Haha.
Dari awal, gue dan Emi memang memutuskan untuk mencari penginapan yang ada di Ujung Genteng. Kami mencari yang fasilitasnya rada mendingan. Ini demi keamanan barang-barang kami dan juga kendaraan biar ada tempat parkirnya. Setelah mencari beberapa penginapan, akhirnya sampai juga kami disebuah penginapan, tapi sayangnya nggak pakai AC.
Bayangkan saja penginapan di pantai yang suhunya panas, nggak pakai AC pula. Haha. Pengap nggak karuan. Bentuk penginapan ini seperti bungalow. Jadi terpisah-pisah bangunannya. Kami pun berasa lagi ada dirumah sendiri. Cuma bedanya itu pemandangannya adalah pantai.
Cukup nyaman sih, cuma ya itu, gerah banget jadinya. Kipas angin nggak banyak membantu. Untungnya ini vila nggak berdekatan dengan hutan mangrove. Kalau berdekatan bisa-bisa jadi santapan nyamuk kami nanti. Lucunya, kamar ini berada didepan kolam renang. Ada yang berenang padahal didepannya ada pantai? Ya ada pastinya. Hahaha.
Emi mau mandi. dia udah ngeluarin handuk dari dalam tas ransel kami. Kalau ada kesempatan begini apa yang kira-kira gue lakukan? Haha. Ya ikutan bergabung dong. Biar seger. Kan panas udaranya, jadi butuh kesegaran yang pasti. Syukur-syukur dapat treatment yang seru dan semakin membuat gue bersemangat. Hahaha.
Jelang malam, gue dan Emi mencari makan keluar dengan berjalan kaki. Seperti kebiasaan kami berdua, kami selalu senang kalau berjalan kaki. Itu menyehatkan dan sangat dianjurkan apalagi buat orang-orang yang terbiasa bekerja dibalik meja dan selalu berkutat dengan komputer.
Kami menyusuri jalan-jalan yang ada disana dengan santai sambil melihat kanan kiri. Banyak juga yang wisata ke Ujung Genteng sini ya ternyata. Banyak yang membangun tenda-tenda kecil dipinggiran pantai. Dan isinya? Ya pasangan muda mudi dong. Kalau pasangan muda muda berarti kemungkinan itu adalah salah satu anggota paguyuban tusboler.
“Bawa cadangan shampoo sachetan mesti banyak ya, inget, keramas…keramas…” gue nyeletuk dengan cukup kencang.
“Woi, lo juga kan abis keramas gimana sih…” Emi mengingatkan.
“Haha oh iya juga ya. liburan bareng pacar itu emang kayaknya bawaannya keramas mulu ya.”
“Dih. Apaan sih. Hahaha.”
Kami menyusuri sedikit hutan mangrove yang keadaannya gelap tanpa penerangan. Gue sempat mendengar ribut-ribut nggak jelas. Nggak lama, dari kegelapan ada serombongan anak muda yang berteriak sambil berlari kecil.
“ADA BUAYAAA.” Jerit mereka.
“Hah? Ada buaya? Dimana buayanya mas?” tanya gue.
“Di hutan sana mas.” Jawab salah satu pemuda.
“Masa iya ada buaya? Kan belakangnya ini rumah warga.” Celetuk Emi spontan.
Seingat gue, dan kemudian juga diamini Emi, kalau daerah sini nggak pernah ditemukan buaya muara atau jenis buaya lainnya. Bakalan bahaya lah kalau praktikum lapang kami ditempat yang masih sangat liar. Lain lagi kalau memang acaranya acara pecinta alam misalnya.
“Pak, lagi nyari apa pak?” tanya gue kemudian, gue melihat ada bapak-bapak yang keluar dari semak gelap didepan gue.
“Ini dek, nyari serangga buat makan peliharaan.” jawab si bapak.
"Bingung, segini saya kayak orang kok ya dibilang buaya. Emang saya buaya darat? " gumam bapak satunya.
“Bego lo, Tytyd!” ujar Emi.
“Bego-bego begini, tytydnya lo isep juga.” Sahut gue asal.
“Anj*ng.”
“Iya kan?”
“Bener juga sih.”
“Enak kan?”
“Biasa aja.”
“Mau lagi nggak?” nada gue mulai menggoda.
“Boleh.”
“Di jalanan sini yak?” Usul gue sambil pura-pura membuka ikat pinggang.
“T*i!!” Ujar Emi seraya jalan duluan meninggalkan gue.
itkgid dan 26 lainnya memberi reputasi
27
Tutup