- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#19
i.
Di dalam perjalananku kembali, melewati butiran butiran kecil air hujan yang membasahi kulitku secara perlahan, aku memperhatikannya satu persatu dan mereka berkumpul menjadi satu butiran besar yang akhirnya mengalir bersamaan dengan dorongan angin dari motor yang melaju perlahan karena pemandangan di depan yang kulihat hanyalah cahaya cahaya merah dan kuning yang melewati, menembus selimut kabut tipis.
Aku hanya termenung selama di jalan, seakan lupa saat aku bersama dengan Dewi tadi, aku malah lebih memikirkan hal hal apa yang mungkin akan terjadi di rumah nanti. Sebenarnya aku yakin tidak ada yang penting, namun mendengar berita saat Ardi pulang membuatku berpikir bahwa mungkin ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan hingga tidak seperti biasanya, aneh saja saat Ardi tidak menepati kata katanya sendiri.
Pikiranku terus berlanjut hingga akhirnya aku sampai di depan gerbang rumah yang besar ini. Tiba tiba suara rintikan kembali membesar di telingaku, hujan mulai lebat kembali bersamaan dan membuat suasana semakin gelap dengan jalan sekitar komplek ini yang lampu lampunya saling berjauhan satu sama lain. Bahkan aku bisa melihat tukang ojek yang sepertinya agak ketakutan saat dia mengenakan jas hujannya sambil memperhatikan sekelilingnya dengan perlahan melewati daerah ini, aneh saja di jaman seperti ini masih saja percaya akan hal mistis atau mungkin saja begal.
Saat aku memasuki gerbang rumah, aku sudah bisa melihat mereka bertiga sedang duduk di kursi kayu jati besar itu, dibawah sinar lampu pijar yang hangat serta beberapa cemilan. Saat aku menutup gerbang, Dito langsung memakiku dengan teriakannya, aku tidak begitu mendengar dan menghiraukan apa yang ia katakan karena rintikan hujan masih saja turun dan membuat udara semakin dingin.
Aku berjalan dengan cepat melewati menembus cahaya cahaya bersama rintikan hujan yang membuat pakaianku cukup kebasahan. Namun aku cukup lega setelah sampai di teras dan hal yang pertama aku lihat di meja adalah secangkir teh yang masih mengebulkan uapnya namun aromanya tidak bisa tercium karena kalah dengan aroma kopi, karena ada Dito pastinya ada kopi.
“Kenapa kau lama sekali? ini kan sudah malam, jadilah anak baik,” Ujar Dito.
Aku melihat wajah Dito yang dengan sedikit seringainya yang menatapku, dia tampak senang menganggapku sebagai anak kecil, aku hanya bisa membalasnya dengan tatapanku yang tajam.
“Jadi … karena Jaya sudah datang maka apa kita bisa mulai wahai saudara Ardi,” kata Dito dengan nada beratnya itu.
Ardi yang dari tadi duduk dan berdiam diri saja sekarang memajukan badannya lalu ia menyenderkan sikunya pada padanya dan menutupi wajahnya dengan tapaknya. Aku pun duduk di salah satu sisi kursi yang tersisa satu cangkir teh. Namun bukannya langsung duduk dan mengambil seteguk teh, melainkan aku malah fokus ke sebuah gulungan kain putih yang agak lebar, pipih dan panjang tergeletak di atas meja, panjangnya hampir mencapai kedua ujung meja ini dan dari yang kulihat sepertinya ukuran meja ini sekitar satu setengah meter.
“Jadi bisa kita mulai dari mana tuan tuan dan nyonya.”
“Suasana agak hening sejenak hingga tiba tiba aku tidak bisa menahan mulutku. “Ah … gini … ini apaan dah di meja? kayak benda keramat,” sahutku. Ucapanku membuat Ardi memalingkan wajahnya ke arah Dito meskipun dengan mata tertutupnya itu.
“Jadi kau lupa ngasih tau dia juga masalah sepenting ini?” ucap Ardi dengan nada lembutnya itu, sepertinya tidak ada yang berubah darinya, kecuali matanya itu.
“Iya maaf maaf saya lupa, lagian kau pula kabur juga tidak mengingatkanku ... jadi ada salah kau juga,” sanggah Dito.
Ardi hanya bisa termenung dan sambil mengusap usapkan jemarinya ke wajahnya, nampaknya dia keheranan dan sekaligus bingung dari jawaban Dito. “Baiklah begini saja, intinya aku pulang bukan karena mempermasalahkan tentang Jaya yang belum mendapatkan pusakanya,” Ardi hening sejenak dan mengarahkan wajahnya ke Dito yang dia juga memalingkan mukanya ke langit langit sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan besarnya, merasa tidak bersalah. “Atau karena mempermasalahkan tentang penemuan baru yang kau buat bersama perusahaan temenmu itu, tapi aku pulang kembali karena sebuah mimpi buruk dan firasat buruk.”
Dito langsung terlempar ke depan, matanya melesat ke arah Ardi dan dengan cepat menampar pangkal betisnya sendiri cukup kencang hingga suara tepukannya menyapu suara rintikan hujan di telingaku. “Maksudnya apa, hah? latihan selama setengah tahun ... terus pulang pulang jadi dukun gitu? ini penghinaan namanya!” ungkap Dito dengan nadanya yang berat disertai rasa kesal, tapi wajahnya malah seperti orang menahan tawa.
Ardi bergumam, kali ini dia mengelus elus alisnya. “Jadi begini … aku tidak akan menceritakan secara panjang tentang mimpiku dan perasaan burukku dan intinya adalah sebuah musibah besar akan menimpa kita semua.”
Dito mengerutkan dahinya, menanggapi perkataan Ardi kali ini lebih serius. “Apa ini masalah sahamku? atau perusahaanku?”
“Bukan keduanya.”
“Berarti ini bukan masalah serius,” sambung Dito.
Ardi mengambil nafas dalam dan mengangkat sedikit senyumnya. “Baiklah baiklah mungkin memang tidak masuk akal dan aneh, berarti aku simpan sendiri saja di otakku. Berarti yang kali ini dipermasalahkan adalah kenapa Jaya belum mendapatkan pusakanya.”
“Iya iya saya paham,” Dito memalingkan pandangannya padaku. “Jadi apakah kau pernah donor darah sebelumnya?” tanya Dito seperti menawarkan barang dagangan.
“Apaan dah?” tanyaku kebingungan mengikuti pembicaraan semakin melantur ini.
“Saya mau jelaskan tapi sekalian saja. Nadya ambilkan aku jarum besar?”
“Siap kapten,” seru Nadya yang langsung melompat dari kursinya dan ke melesat dalam rumah.
“Eh apa apaan dah, kebiasaan banget orang mah jelasin dulu,” pekikku kesal.
“Untuk membuat sebuah pusaka kita butuh darahmu,” kata Ardi. “Setiap dari kita harus membuat … maksudku memiliki pusaka sesuai dan juga kita akan memiliki senjata kita masing masing sesuai warisan kita,” jelasnya.
“Serius dah ... dari awal datang kenapa omongannya gak jelas banget dah,” geramku. “Coba tolong jelaskan baik baik dan perlahan baru nanti aku ambil kesimpulan,” rintihku perlahan.
“Kau masih ingat kan bahwa kita ini apa?”
“Manusia … orang?” tanyaku balik.
Ardi kali ini menepuk wajahnya lagi. “Kita ini Wiro Keris … dan setiap dari anggota Wiro Keris harus memiliki masing masing satu pusaka dan setelah pusakanya jadi … kau akan diberikan senjata khususmu … maksudku senjata yang dari turun temurun digunakan keluargamu,” jawab Ardi dengan gamblang.
“Keluargamu kan katanya keluargaku,” jawabku balik makin heran dengan akhir kalimatnya.
“Bukan bodoh … maksudnya senjata yang digunakan keluarga intimu misalnya ayahmu, kakekmu, buyutmu dan seterusnya,” sosor Dito.
“Oke … aku paham, jadi yang di meja itu senjatamu Dito?” tanyaku sambil melihat Dito. Dito pun tidak bilang apa apa dan telunjuknya langsung menunjuk ke arah Ardi.
“Ini adalah senjataku.” Ardi mengambil gulungan panjang itu dalam kondisi matanya masih tertutup, ia mengangkatnya dengan satu tangannya, benda itu memenuhi cengkramnya, dan ia lalu berdiri dan tangan kanannya meraih ujung gulungan itu, seketika ia langsung menghempaskan benda itu dan menarik dengan cepat ujung gulungannya ke arah kirinya, benda itu dengan cepat berputar putar di udara sampai seluruh tali gulungan itu terurai, tangannya melesat dengan cepat menangkap kembali benda itu dengan keadaan masih berputar putar dan tepat saja cengkramannya menangkapnya.
Sebuah sarung pedang dari kayu yang mengkilap memantulkan lampu sinar pijar dengan beberapa ornamen kecil di bagian badan sarung pedang itu.
“Aku tau tadi itu keren namun ini bukan anime sialan, kalau mejanya rusak motormu nanti aku bakar,” murka Dito.
Seperti tidak menghiraukan kata kata barusan, Ardi kemudian memutar pedang itu dan menarik gagangnya, bisa kulihat dari bagian ujung gagang pedang itu terdapat semacam seperti ada tonjolan panjang yang sepertinya fungsinya untuk melindungi tangan dan di bagian ujungnya terdapat rambut yang panjang berwarna hitam. Kemudian Ardi memasang posisi miring sambil sedikit membungkukan badannya dalam posisi kuda kuda dan menarik pedang itu dengan cepat, mengarahkan ujung bilahnya keatas, membuat mataku tidak bisa berkedip bahkan dengan sinar kilauan dari ujung pedang itu yang memantulkan cahaya pijar tidak dapat menghentikanku untuk melihat benda keren itu.
“Jangan sok keren anda,” cibir Dito.
Ardi kemudian menurunkan pedang itu ke depan dadanya. ”Pedang ini disebut dengan Mandau dan sarungnya disebut Kumpang, kedua benda ini tidak boleh terpisahkan,” ucap Ardi. Pedang itu memiliki satu mata pedang, bisa kulihat dari ujung bilah pedang itu seperti terpotong dan lancip pada ujung mata pedangnya dan dari bagian bilah pedang itu, bagian pangkal hingga ke ujung agak lebih besar dibandingkan dengan bagian dekat gagangnya. Aku masih belum bisa bicara dan mataku masih belum berkedip, benda ini keren sekali.
“Maaf tapi kau sekarang sudah memisahkan mereka berdua,” sosor Dito merusak suasana.
“Apa itu yang dimaksud pusaka?” tanyaku terpukau. Sedikit aku melirik Dito dan dia hanya merespon biasa saja dan terdiam bersandar di kursinya.
“Bukan … ini bukan pusakaku, in adalah senjata warisan garis keluargaku,” jawab Ardi sambil mendekatkan pedang itu ke hidungnya dan mengendus bagian bilah pedang itu. “Kalau pusaka kita semua sama … yaitu keris,” tambahnya.
“Jadi pusakanya itu keris dan senjatanya itu Mandau,” kataku berusaha menyimpulkan.
“Pusakanya keris, iya … tapi senjatanmu bukan mandau, karena keluargamu bukan memegang mandau, tapi golok dan wedhung,” terang Dito.
“Golok dan wedhung? maksudnya aku memegang dua senjata begitu? tapi senjata apa itu wedhung?” tanyaku makin penasaran.
“Ya nanti juga anda bakal tahu dan megang sendiri … saya juga tidak sabar melihat hasil jadinya,” kata Dito.
“Jadi kau tidak lupa ya?” sambung Ardi.
“Tentu saja saya tidak lupa … cumang anda tahu kalau saya tidak suka bercerita ke orang,” balas Dito.
Di dalam perjalananku kembali, melewati butiran butiran kecil air hujan yang membasahi kulitku secara perlahan, aku memperhatikannya satu persatu dan mereka berkumpul menjadi satu butiran besar yang akhirnya mengalir bersamaan dengan dorongan angin dari motor yang melaju perlahan karena pemandangan di depan yang kulihat hanyalah cahaya cahaya merah dan kuning yang melewati, menembus selimut kabut tipis.
Aku hanya termenung selama di jalan, seakan lupa saat aku bersama dengan Dewi tadi, aku malah lebih memikirkan hal hal apa yang mungkin akan terjadi di rumah nanti. Sebenarnya aku yakin tidak ada yang penting, namun mendengar berita saat Ardi pulang membuatku berpikir bahwa mungkin ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan hingga tidak seperti biasanya, aneh saja saat Ardi tidak menepati kata katanya sendiri.
Pikiranku terus berlanjut hingga akhirnya aku sampai di depan gerbang rumah yang besar ini. Tiba tiba suara rintikan kembali membesar di telingaku, hujan mulai lebat kembali bersamaan dan membuat suasana semakin gelap dengan jalan sekitar komplek ini yang lampu lampunya saling berjauhan satu sama lain. Bahkan aku bisa melihat tukang ojek yang sepertinya agak ketakutan saat dia mengenakan jas hujannya sambil memperhatikan sekelilingnya dengan perlahan melewati daerah ini, aneh saja di jaman seperti ini masih saja percaya akan hal mistis atau mungkin saja begal.
Saat aku memasuki gerbang rumah, aku sudah bisa melihat mereka bertiga sedang duduk di kursi kayu jati besar itu, dibawah sinar lampu pijar yang hangat serta beberapa cemilan. Saat aku menutup gerbang, Dito langsung memakiku dengan teriakannya, aku tidak begitu mendengar dan menghiraukan apa yang ia katakan karena rintikan hujan masih saja turun dan membuat udara semakin dingin.
Aku berjalan dengan cepat melewati menembus cahaya cahaya bersama rintikan hujan yang membuat pakaianku cukup kebasahan. Namun aku cukup lega setelah sampai di teras dan hal yang pertama aku lihat di meja adalah secangkir teh yang masih mengebulkan uapnya namun aromanya tidak bisa tercium karena kalah dengan aroma kopi, karena ada Dito pastinya ada kopi.
“Kenapa kau lama sekali? ini kan sudah malam, jadilah anak baik,” Ujar Dito.
Aku melihat wajah Dito yang dengan sedikit seringainya yang menatapku, dia tampak senang menganggapku sebagai anak kecil, aku hanya bisa membalasnya dengan tatapanku yang tajam.
“Jadi … karena Jaya sudah datang maka apa kita bisa mulai wahai saudara Ardi,” kata Dito dengan nada beratnya itu.
Ardi yang dari tadi duduk dan berdiam diri saja sekarang memajukan badannya lalu ia menyenderkan sikunya pada padanya dan menutupi wajahnya dengan tapaknya. Aku pun duduk di salah satu sisi kursi yang tersisa satu cangkir teh. Namun bukannya langsung duduk dan mengambil seteguk teh, melainkan aku malah fokus ke sebuah gulungan kain putih yang agak lebar, pipih dan panjang tergeletak di atas meja, panjangnya hampir mencapai kedua ujung meja ini dan dari yang kulihat sepertinya ukuran meja ini sekitar satu setengah meter.
“Jadi bisa kita mulai dari mana tuan tuan dan nyonya.”
“Suasana agak hening sejenak hingga tiba tiba aku tidak bisa menahan mulutku. “Ah … gini … ini apaan dah di meja? kayak benda keramat,” sahutku. Ucapanku membuat Ardi memalingkan wajahnya ke arah Dito meskipun dengan mata tertutupnya itu.
“Jadi kau lupa ngasih tau dia juga masalah sepenting ini?” ucap Ardi dengan nada lembutnya itu, sepertinya tidak ada yang berubah darinya, kecuali matanya itu.
“Iya maaf maaf saya lupa, lagian kau pula kabur juga tidak mengingatkanku ... jadi ada salah kau juga,” sanggah Dito.
Ardi hanya bisa termenung dan sambil mengusap usapkan jemarinya ke wajahnya, nampaknya dia keheranan dan sekaligus bingung dari jawaban Dito. “Baiklah begini saja, intinya aku pulang bukan karena mempermasalahkan tentang Jaya yang belum mendapatkan pusakanya,” Ardi hening sejenak dan mengarahkan wajahnya ke Dito yang dia juga memalingkan mukanya ke langit langit sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan besarnya, merasa tidak bersalah. “Atau karena mempermasalahkan tentang penemuan baru yang kau buat bersama perusahaan temenmu itu, tapi aku pulang kembali karena sebuah mimpi buruk dan firasat buruk.”
Dito langsung terlempar ke depan, matanya melesat ke arah Ardi dan dengan cepat menampar pangkal betisnya sendiri cukup kencang hingga suara tepukannya menyapu suara rintikan hujan di telingaku. “Maksudnya apa, hah? latihan selama setengah tahun ... terus pulang pulang jadi dukun gitu? ini penghinaan namanya!” ungkap Dito dengan nadanya yang berat disertai rasa kesal, tapi wajahnya malah seperti orang menahan tawa.
Ardi bergumam, kali ini dia mengelus elus alisnya. “Jadi begini … aku tidak akan menceritakan secara panjang tentang mimpiku dan perasaan burukku dan intinya adalah sebuah musibah besar akan menimpa kita semua.”
Dito mengerutkan dahinya, menanggapi perkataan Ardi kali ini lebih serius. “Apa ini masalah sahamku? atau perusahaanku?”
“Bukan keduanya.”
“Berarti ini bukan masalah serius,” sambung Dito.
Ardi mengambil nafas dalam dan mengangkat sedikit senyumnya. “Baiklah baiklah mungkin memang tidak masuk akal dan aneh, berarti aku simpan sendiri saja di otakku. Berarti yang kali ini dipermasalahkan adalah kenapa Jaya belum mendapatkan pusakanya.”
“Iya iya saya paham,” Dito memalingkan pandangannya padaku. “Jadi apakah kau pernah donor darah sebelumnya?” tanya Dito seperti menawarkan barang dagangan.
“Apaan dah?” tanyaku kebingungan mengikuti pembicaraan semakin melantur ini.
“Saya mau jelaskan tapi sekalian saja. Nadya ambilkan aku jarum besar?”
“Siap kapten,” seru Nadya yang langsung melompat dari kursinya dan ke melesat dalam rumah.
“Eh apa apaan dah, kebiasaan banget orang mah jelasin dulu,” pekikku kesal.
“Untuk membuat sebuah pusaka kita butuh darahmu,” kata Ardi. “Setiap dari kita harus membuat … maksudku memiliki pusaka sesuai dan juga kita akan memiliki senjata kita masing masing sesuai warisan kita,” jelasnya.
“Serius dah ... dari awal datang kenapa omongannya gak jelas banget dah,” geramku. “Coba tolong jelaskan baik baik dan perlahan baru nanti aku ambil kesimpulan,” rintihku perlahan.
“Kau masih ingat kan bahwa kita ini apa?”
“Manusia … orang?” tanyaku balik.
Ardi kali ini menepuk wajahnya lagi. “Kita ini Wiro Keris … dan setiap dari anggota Wiro Keris harus memiliki masing masing satu pusaka dan setelah pusakanya jadi … kau akan diberikan senjata khususmu … maksudku senjata yang dari turun temurun digunakan keluargamu,” jawab Ardi dengan gamblang.
“Keluargamu kan katanya keluargaku,” jawabku balik makin heran dengan akhir kalimatnya.
“Bukan bodoh … maksudnya senjata yang digunakan keluarga intimu misalnya ayahmu, kakekmu, buyutmu dan seterusnya,” sosor Dito.
“Oke … aku paham, jadi yang di meja itu senjatamu Dito?” tanyaku sambil melihat Dito. Dito pun tidak bilang apa apa dan telunjuknya langsung menunjuk ke arah Ardi.
“Ini adalah senjataku.” Ardi mengambil gulungan panjang itu dalam kondisi matanya masih tertutup, ia mengangkatnya dengan satu tangannya, benda itu memenuhi cengkramnya, dan ia lalu berdiri dan tangan kanannya meraih ujung gulungan itu, seketika ia langsung menghempaskan benda itu dan menarik dengan cepat ujung gulungannya ke arah kirinya, benda itu dengan cepat berputar putar di udara sampai seluruh tali gulungan itu terurai, tangannya melesat dengan cepat menangkap kembali benda itu dengan keadaan masih berputar putar dan tepat saja cengkramannya menangkapnya.
Sebuah sarung pedang dari kayu yang mengkilap memantulkan lampu sinar pijar dengan beberapa ornamen kecil di bagian badan sarung pedang itu.
“Aku tau tadi itu keren namun ini bukan anime sialan, kalau mejanya rusak motormu nanti aku bakar,” murka Dito.
Seperti tidak menghiraukan kata kata barusan, Ardi kemudian memutar pedang itu dan menarik gagangnya, bisa kulihat dari bagian ujung gagang pedang itu terdapat semacam seperti ada tonjolan panjang yang sepertinya fungsinya untuk melindungi tangan dan di bagian ujungnya terdapat rambut yang panjang berwarna hitam. Kemudian Ardi memasang posisi miring sambil sedikit membungkukan badannya dalam posisi kuda kuda dan menarik pedang itu dengan cepat, mengarahkan ujung bilahnya keatas, membuat mataku tidak bisa berkedip bahkan dengan sinar kilauan dari ujung pedang itu yang memantulkan cahaya pijar tidak dapat menghentikanku untuk melihat benda keren itu.
“Jangan sok keren anda,” cibir Dito.
Ardi kemudian menurunkan pedang itu ke depan dadanya. ”Pedang ini disebut dengan Mandau dan sarungnya disebut Kumpang, kedua benda ini tidak boleh terpisahkan,” ucap Ardi. Pedang itu memiliki satu mata pedang, bisa kulihat dari ujung bilah pedang itu seperti terpotong dan lancip pada ujung mata pedangnya dan dari bagian bilah pedang itu, bagian pangkal hingga ke ujung agak lebih besar dibandingkan dengan bagian dekat gagangnya. Aku masih belum bisa bicara dan mataku masih belum berkedip, benda ini keren sekali.
“Maaf tapi kau sekarang sudah memisahkan mereka berdua,” sosor Dito merusak suasana.
“Apa itu yang dimaksud pusaka?” tanyaku terpukau. Sedikit aku melirik Dito dan dia hanya merespon biasa saja dan terdiam bersandar di kursinya.
“Bukan … ini bukan pusakaku, in adalah senjata warisan garis keluargaku,” jawab Ardi sambil mendekatkan pedang itu ke hidungnya dan mengendus bagian bilah pedang itu. “Kalau pusaka kita semua sama … yaitu keris,” tambahnya.
“Jadi pusakanya itu keris dan senjatanya itu Mandau,” kataku berusaha menyimpulkan.
“Pusakanya keris, iya … tapi senjatanmu bukan mandau, karena keluargamu bukan memegang mandau, tapi golok dan wedhung,” terang Dito.
“Golok dan wedhung? maksudnya aku memegang dua senjata begitu? tapi senjata apa itu wedhung?” tanyaku makin penasaran.
“Ya nanti juga anda bakal tahu dan megang sendiri … saya juga tidak sabar melihat hasil jadinya,” kata Dito.
“Jadi kau tidak lupa ya?” sambung Ardi.
“Tentu saja saya tidak lupa … cumang anda tahu kalau saya tidak suka bercerita ke orang,” balas Dito.
aripinastiko612 dan krisnafebriyant memberi reputasi
2
