- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#528
Part 3
Hi, Gaes! Kali ini nulisnya dua POV, ya! Mohon dimengerti. Pengen POV 1 sebenernya, tapi nggak enak juga kalo nggak nyeritain sisi yang lain. Maunya nulis POV 3 langsung, udah keburu bikin POV 1 seabrek. Males editnye, yeee. Ini aja nyempet-nyempetin, hay! Moga dimengerti, ye. Aku tandain biar gak bingung
----
Adel begitu sumringah menatap khalayak saat tangannya mulai menimang-nimang bingkisan dari istriku. Sepintas ia menatap kami, lalu kembali lagi mengedarkan pandangan. Terdengar sorak-sorai para tamu yang begitu penasaran menanti kejutan apa yang muncul setelahnya. Lalu, tangan lentik itu tiba-tiba merebut mic dari sang pembawa acara. Berdeham sejenak, kemudian berkata, "Saya tak tahu ini kado dari siapa, tapi melihat dari bingkisannya yang terhias demikian cantik, sepertinya sang pemberi ikhlas dan terencana sekali ingin memberikan kejutam istimewa untuk kami. Maka, saya akan beri hadiah satu buah I phone terbaru, dengan syarat ... beliau harus bersedia maju, dan menerima sebuah tantangan dari saya."
Ucapan Adel ditutup dengan tepukan meriah dari para tamu undangan. Sementara keringatku terasa mengucur deras untuk kali ini. "Kita pergi, ya?" Aku berbisik lirih pada Sefti, sembari mengeratkan genggaman, agar ia menurut.
"Ini bakal menarik, Sayang. Hadiahnya gak tanggung-tanggung." Hanya itu balasnya. Sama sekali tak melegakan perasaan hati.
"Oke, bagi pemberi bingkisan ini, dipersilakan untuk naik ke atas, selanjutnya akan diberi 'dare' oleh mempelai putri," ucap pembawa acara melalui mic. Sosok di kanan-kiri mulai menatap kami, seolah turut meminta agar kami lekas naik.
"Yuk, Sayang. Tunggu apa lagi?" Sefti menarik tanganku, tapi dengan cepat kutarik kembali tangannya. "Perasaanku tak enak, Sayang. Aku takut nantinya akan ada yang malu. Entah kita, entah mereka," ucapku lirih.
"Tak akan. Malu kenapa? Kurasa, tak akan mungkin bila hadiah kita dibuka depan umum. Kalaupun iya, nanti akan kubisikkan ditelinganya, agar ia mengurungkan niat untuk itu."
"Tapi, Sayang ...."
"Ayolah! Ini sekali seumur hidup, dan mungkin menjadi terakhir kalinya kita akan bertemu dengan Adel. Apa susahnya membantu memeriahkan acara?"
Ah, lagi-lagi aku tak bisa menolak jika mendengar permintaan Sefti. Selama ini ia tak pernah meminta ataupun rewel padaku. Semoga saja, tak ada kejadian buruk sesudah ini.
Akhirnya, kami naik menghampiri kedua mempelai. Melihat banyaknya tamu, nyaliku berubah ciut. Terlebih saat berdiri tak jauh dari suami Adel. Canggung bukan main. Perawakan tinggi besar, kekar, kulit bersih, wajahnya pun sangat tampan. Tak menampik, ternyata memang keturunan Turkey. Tentunya dia bukan dari kalangan biasa.
Sefti menjabat tangan Adel, memberi cium pipi kanan-kiri, lalu saling bertegur sapa. Entah apa yang dibisikkan istriku saat itu, yang akhirnya dibalas sebuah anggukan dari Adel. Ah, ternyata tak seburuk perkiraanku. Kuharap, mereka saling melupakan kejadian lalu.
Namun kagetnya, saat Adel tiba-tiba memberi tantangan tak masuk akal pada kami. Berdansa dengan saling berpindah posisi, bertukar pasangan. Seketika aku mendelik, kutatap Adel dengan penuh rasa emosi. Sedangkan istriku mencoba meredam suasana hati, "Kita ikuti saja aturan mainnya, ya? Hanya terakhir, di acara istimewanya pula."
"Tapi, kamu sedang hamil. Mana bisa dansa? Kamu pakai high heels. Lagipula, kamu senang, ya, berdansa sama suami orang?" Kesabaranku mulai habis mendengar rayuan istri. Segera kuraih mic dari meja di belakangku, lalu berkata, "Maaf, saya keberatan untuk ini. Istri tercinta saya sedang hamil. Berdansa dengan bergantian pasangan, mungkin bagi kalian adalah hal biasa. Tapi, saya sama sekali tidak rela bila istri saya bersentuhan dengan lelaki manapun. Saya terang-terangan mundur dari tantangan ini. Saya menolak hadiah yang akan diberi, silahkan cari lagi. Yang lain sepertinya sangat menantikan hadiah serupa." Setelah berkata begitu, kuletakkan kembali mic tersebut. Kemudian, menyalami mempelai pria, dan hanya menganggukkan kepala saat menatap Adel tak jauh di sana. Adel tengah bermuka masam. Tak ada sedikit pun senyum terpancar dari riasannya yang berbeda. Aku sendiri tak mau ambil pusing. Kutatap wajah istriku sesaat, sebelum akhirnya kugandeng tangannya untuk turun. Hatiku masih dag dig dug tak karuan, sementara tak sengaja mata ini bertemu sepasang mata milik Abah dan Umi Adel yang duduk pada sebuah meja. Ah, semakin tak nyaman rasanya.
"Kita pulang, ya?" Aku berkata lirih untuk yang ke sekian pada istriku. Kali ini ia mengangguk. Sambil mengeratkan jemarinya di sela-sela tangan, berganti ia yang menuntunku agar mengekor di belakangnya.
Ialah Sefti, istriku. Sebagaimanapun ia bersifat yang terkadang berkesan kekanakan, tapi ia sebenarnya sangat takut dan penurut. Aku tak pernah ingin menyakitinya. Sama sekali tak berharap seperti itu ....
Jam menunjukkan pukul 14.05 WiB. Siang itu, kami bertolak menuju sebuah Mall di pinggiran Kota Surabaya. Awalnya hanya ingin membelikannya sandal, agar nyaman kita jalan-jalan setelahnya. Ya, alih-alih menyenangkan perasaannya yang tak pernah meminta macam-macam, kuajak ia nonton dan juga makan-makan. Hari yang melelahkan, sampai tak berasa jam berjalan menjelang magrib.
"Kamu nggak pengen beli apa gitu?" tanyaku, saat terasa capek berkeliling, sementara ia hanya mengedarkan pandangan saja. Seperti tak kenal lelah. Tampak senyum sumringah terpancar di raut wajahnya yang meneduhkan. Ia hanya menggeleng sambil menempelkan kepalanya pada lenganku.
"Kita pulang saja. Aku khawatir ibu di rumah," ujarnya datar. Dan aku hanya tersenyum saja mendengar itu.
Ah, Tuhan ... terima kasih, Kau telah berikan iaku istri yang sangat pengertian sepertinya. Ia tak hanya menyayangiku, tapi juga keluarga. Inilah alasan, kenapa aku sangat dan sangat sekali menyayangi Sefti. Ia selalu meneduhkan hati. Selalu membuatku semakin bertambah sayang.
****
POV 3
Sementara di tempat lain ....
Di dalam kamar, sepasang suami-istri yang baru saja melangsungkan resepsi, duduk di atas kasur dan saling menyingkur.
"Jadi, itu dia ... yang selama ini membuatmu sakit hati?" Seorang lelaki berperawakan kekar mulai melepaskan arloji, lalu meletakkannya di nakas.
"Ya. Bukan hanya dia, tapi semuanya. Dia ... istrinya ... ibunya ... semuanya!" Wanita di belakangnya menjawab dengan napas tersengak, seakan memendam emosi.
"Kenapa masih menyimpan dendam? Kamu masih belum bisa move on?" tanyanya lagi.
Adel --wanita itu-- menolehkan wajahnya separuh, sambil berkata dengan gusarnya, "Jangan banyak tanya, Enver! Sudah kubilang padamu, jangan bertanya terlalu jauh! Bukankah kau cukup tahu wajah orang-orang yang kumaksud?"
Enver tak berkata lagi. Ia lalu merebahkan tubuh ke kasur, mengalihkan pandang menatap suasana luar dari balik sekat kaca yang menghubungkan kamar itu dengan balkon. Ia tak tahu harus bagaimana mengambil sikap, setelah tahu wanita yang dicintainya hanya terpaksa menikah dengannya. Sakit hati, tentu saja. Ia bahkan seperti menipu dua keluarga yang kali ini menjalin hubungan sebagai besan. Banyak yang dirugikan karena semua ini.
"Dengar, Enver! Aku butuh waktu untuk semua ini. Kau hanya menyukaiku dalam sekali pandang saat perjodohan itu, tapi aku tak bisa sepertimu yang dengan mudahnya menaruh hati pada orang lain. Aku belum seberapa jauh mengenalmu, aku juga masih sangat sakit hati tentang masa lalu. Aku menerimamu lantaran tak ingin mengecewakan orangtuaku. Kuharap kau mengerti," ucap Adel lagi. Sebegitu mudahnya, seakan tanpa rasa salah.
Lelaki itu diam sejenak. Lalu menimpali, "Oke. Tak masalah."
"Jangan sampai keluarga kita sama-sama tahu. Jangan pula menuntut kewajibanku untuk melayanimu!"
Enver kali ini tak menjawab. Jauh dari lubuk hatinya, ia sangat menyesalkan terjadinya pernikahan tersebut. Resepsi yang digelar begitu mewah, rupanya hanya sekedar penutup agar sandiwara berjalan seperti yang diharapkan. Ia merasa muak, terlebih sangat sakit hati.
"Kita akan pergi dari rumah ini. Aku tak mau banyak bersandiwara di depan keluarga masing-masing. Besok, kita sama-sama berkemas." Setelah berkata begitu, Adel baranjak dari kasur. Berbalik badan menatap lelaki yang terbujur di depannya. Ia menghela napas, setelah itu berkata lagi, "Semoga kebaikanmu dibalas setara oleh Tuhan."
Enver masih terdiam. Sedangkan Adel memilih untuk pergi dari tempat. Entahlah, campur aduk yang kini dirasakannya, setelah setengah jam yang lalu mendapatkan pernyataan pahit dari perempuan yang ia pilih. Adel terang-terangan berkata jika pernikahan itu hanyalah pura-pura. Mungkin benar, hanya Dani-lah yang ada dihati Adel saat ini. Lalu, betapa bodohnya jika Adel masih berharap pada lelaki yang sudah menjadi suami orang!
Kali ini Enver tak mampu membendung emosi. Ia beringsut dengan napas tak beraturan. Tangannya mengepal, seakan ingin berbuat sesuatu.
Ya ... ia sudah tak tahan lagi.
lanjutin ndiri, yee

Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 21:46
erman123 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Tutup