- Beranda
- Stories from the Heart
INDIGO
...
TS
shirazy02
INDIGO

Hy, Guys! Jumpa lagi di thread terbaru. Kali ini, based on true story. Please, jangan nanya-nanya ini kisah siapa, jangan nebak-nebak apakah saya si anu, atau keppoin apapun itu. Semua demi kelancaran saya menulis, karena mood sangat mempengaruhi 😊 Terhitung sampai detik ini, saya masih suka menggantungkan cerita, karena begitu banyaknya ide cerita lain yang ingin saya tuangkan lewat aksara. By the way, ini tapi gak pake mikir, sih 😂 karena nulisnya ngalir gitu aja. Ada misterinya, ada sakit hatinya, ada asmaranya, banyak bakalan yang disajikan dalam ceritanya. Oh ya, saya sangat tidak menyukai silent reader, so ... beri react, rate, dan komentar, cendol-cendol jan lupa, karena saya tak akan mungkin melanjutkan cerita tanpa adanya respon atau peminat tulisan. Makasih sebelumnya!

----
Spoiler for Indeks:
Part 1:
Berawal dari tahun 1997 yang bertepatan dengan Hari Lebaran. Setiap menjelang hari H, kami sekeluarga, yang terdiri dari aku, adik, serta kedua orangtua, selalu mengunjungi rumah nenek --ibu dari ayah-- yang berada di luar kota. Tujuannya tak lain, bersilaturahmi sekaligus merayakan Hari Raya bersama-sama. Kebetulan keluarga dari ayah adalah keluarga besar, oleh karena itu pasti selalu ramai suasana di rumah sana. Pada saat itu, aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dan adikku kurang lebih berusia tiga tahun. Kita selalu menghabiskan waktu mudik sampai cutian ayah selesai, tentu juga ibu bisa bersantai memikirkan nasib sekolahku, sebab bertepatan juga dengan waktu liburan sekolah.
Tempat tinggal nenek ada di perbatasan salah satu profinsi Jawa. Dimana ketika kami berkendara dan sudah sampai di kotanya, maka kami masih harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk tiba di lokasi. Sebenarnya kampungnya tak terlalu pelosok, tapi bagiku sangat primitif. Bangunan yang rata-rata masih berdinding papan kayu, lantai yang masih berupa tanah, pintu dan atap yang pendek, serta lampu penerangan di tiap-tiap rumah yang kebanyakan memakai cemprong. Aku beruntung nenekku sendiri memakai lampu petromaks di beberapa ruangan meski lantai rumahnya hanya berupa plesteran. Di saat aku benar-benar merasa takut saat menatap jalan pedesaan yang suram, aku bisa menyesuaikan terangnya cahaya dari pompa pada tuas di bagian bawah lampu petromaks, hingga sirna pula lah perasaan takut itu karena merasa aman.
Sebenarnya, aku tak pernah menyukai berada di sana. Selain karena daerah yang minim penerangan, untuk beli apa-apa juga lumayan jauh. Satu lagi pengalaman yang dulu-dulu ... setiap malam tidurku tak pernah bisa nyenyak. Di belakang rumah nenek ada barongan (kebun luas yang terdapat banyak pohon bambu dan semak belukar), dan suara-suara hewan malam begitu mendebarkan kala merasuk membran telinga.
Dari perasaan gak betahnya berkunjung di rumah nenek, ada juga rasa senang yang paling kunanti-nanti saat berada di sini, yaitu bertemu dengan Mbah Narti. Mbah Narti adalah adik dari nenekku. Ia tak mempunyai keturunan. Menurut cerita yang kudengar, ayahku dulu pernah dibantu dibesarkan olehnya sehingga bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ya, Mbah Narti adalah dukun bayi tersohor pada zamannya. Ia bisa dibilang orang yang sangat kaya sekampung. Rumahnya berbeda sendiri dari yang lain. Sudah bangunan tembok, sudah berubin, pun memiliki sawah luas dan ternak yang banyak. Kenapa aku suka dengannya? Karena ia paling antusias menyambut kedatanganku. Royal, dan doyan memijat. Setiap aku bertandang ke rumahnya, Mbah Narti selalu menyediakan alas untukku berbaring. Memijatnya juga lama sekali, dan selalu membuat ketagihan. Selain kerap memberi uang, jajanan satu kresek penuh selalu dibelikannya. Terkadang, jiwa tak bisa membohongi bila sayangku lebih besar terhadap Mbah Narti daripada nenek sendiri.
Karena keluarga besar dari berbagai kota bersamaan datang dan berkumpul di rumah nenek, keluargaku pun diminta Mbah Narti tidur di rumahnya. Tentu kami juga sudah biasa, karena ayah memang dari dulu dekat sekali padanya. Jadi, setiap malam kami bermalam di rumah Mbah Narti, paginya kami kembali ke rumah nenek. Kebetulan rumah mereka bersebelahan.
Ada sesuatu yang janggal kurasakan pada saat pertama kalinya aku bermalam. Entah kenapa, malam itu aku tak bisa tidur. Beruntung aku melihat Mbah Narti masih terjaga di depan TV, sedang menikmati teh dalam wadah besar. Oh, ya ... teh di daerah sana kalau bikin, asli pait. Tehnya langsung dimasukkan di wadah, diseduh bersamaan tanpa disaring. Jadi, banyak bulir yang ngambang gitu di atasnya. Kadang bisa tertelan juga kalau gak hati-hati minum.
Oke, lanjut! Malam itu, ketika hendak menemui Mbah Narti di depan, aku begitu syok menatap di kursi yang ada di sebelah siMbah. Ada seorang perempuan duduk di sana. Berkebaya merah, memakai jarik, dengan tudung transparan warna senada di kepala. Masih muda sepertinya, terlihat dari kulitnya yang sekilas kutatap masih kencang. Tatapan kami bertemu, dan dia langsung menyingkir dari tempat. Anehnya, menyingkirnya nggak keluar rumah, tapi masuk ke ruang tengah, dan tak pernah keluar lagi hingga tengah malam. Kebetulan aku begadang saat itu dengan Mbah Narti.
Perempuan itu pun sering kujumpai wara-wiri di kamar Mbah Narti pada malam-malam berikutnya. Terkadang ada anak perempuan, usianya sepertinya lebih dewasa dariku, suka mengintip dari balik gebyok (sebuah papan penyekat besar dan tinggi yang terbuat dari kayu jati, dulu digunakan sebagai pemisah antara ruang tamu dengan ruang tengah). Senyum-senyum menampakkan separuh wajahnya melihatku. Kukira mereka itu tetangga yang sering bertandang ke rumah, tapi setelah kutanyakan pada Mbah Narti, beliau menjawab, "Kuwi dulurmu! Cah wedok kuwi puterine." (itu saudaramu. Bocah perempuan itu anaknya)
Agak aneh, sih! Karena baru kali ini aku melihat saudara yang wajahnya seperti itu. Belum pernah kujumpai sebelumnya. Namun, aku teringat, ayah pernah bercerita jika punya saudara yang merantau di Kalimantan sana, dan jarang pulang. Mungkin saja itu saudara dari Kalimantan! Anehnya, saat aku bercerita pada ayah dan ibu, ayah menampik jika saudaranya di Kalimantan itu pulang. "Mungkin tetangga," ujar ayah datar. Nenekku pun menimpali, "Mbah Narti sekarang banyak ngelanturnya kalau ngomong, Nduk. Benar ayahmu, mungkin tetangga sedang main itu."
Aku yang memang masih polos, percaya-percaya saja dan tak pernah berpikiran jauh ....
Di suatu siang, saat aku bermain di rumah Mbah Narti seorang diri, entah kenapa tiba-tiba saja ia bicara ngelantur, "Mbah nelangsa, Nduk. Hidup seperti begini-begini saja. Punya apa-apa juga tak bahagia. Apalagi semenjak ditinggal Mbah kung, rasanya sudah malas hidup."
Kurang lebih seperti itu yang bisa kucerna perkataannya. Maklum, bahasa jawanya terlalu halus, kadang susah dimengerti. Apalagi pada saat itu aku masih kecil dan belum seberapa mengerti.
Lalu, setelah berkata begitu, ia membelai rambutku berkali-kali. Mencium juga. Ini yang paling malas saat bertemu Mbah Narti. Aku melihat susur di mulutnya saja sudah bergidik geli, apalagi di dekatkan ke wajah seperti itu.
Setelah puas melayangkan ciuman bertubi-tubi, Mbah Narti lalu masuk ke dalam, berpesan menyuruhku menunggu. Aku sendiri sedang asyik menonton TV. Oh ya, di rumah nenek tak ada TV, jadi aku selalu mainnya kemari jika ingin nonton. Terkadang, bisa bersamaan dengan Budhe dan keluarga ayah yang lainnya. Namun, kali ini aku nonton sendiri, karena keluarga sedang sibuk masak-masak besar.
Beberapa menit kemudian, Mbah Narti muncul sambil membawa sesuatu dalam bungkusan. Setelah dibuka, ternyata sebuah gelang dari tali yang ada jahitan kain kotak kecil warna hitam di tengahnya. Ia menyodorkannya padaku. Ingin menolak karena tak suka, tapi tangan tua itu terburu melingkarkan gelang itu ke tanganku. Kucoba pegang kain kotak hitam itu. Seperti ada batu kecil di dalamnya. Mbah Narti berpesan, agar jangan sampai aku membuka kain kotak hitam itu. Aku pun mengangguk saja.
"Iki gawe kenang-kenangan yo, Nduk? Sesuk yen simbah ra ono, kowe ben kelingan simbah terus," ujarnya lagi. Aku pun terdiam melihat gelang yang dikenakannya di tanganku. Aduh, benar-benar tak suka sekali!
Setelah berpamitan pulang, diam-diam kulepas gelang itu dari tanganku, menyimpannya dalam saku celana. Niat hati ingin kubuang, tapi takut Mbah Narti tahu. Aku khawatir kecewa, jadi kubawa saja. Mengingat, besok aku sekeluarga akan pulang. Rencananya akan kubuang gelang itu di tengah perjalanan.
Malamnya, entah kenapa, ibu melarangku tidur di rumah Mbah Narti. Rupanya, para keluarga besar sedang rame mengobrolkannya yang memang belakangan sering ngelantur. Kata mereka, Mbah Narti tengah pusing membagi hartanya pada sepupu-sepupu lain. "Aku ditawari sama Mbah Ti, kamu mau gak merawat sapi dan kambingku? Kalau mau rawat, ambil saja bawa pulang," tukas Budhe Rusni pada kami.
"Lalu, samean jawab apa?" tanya ayah penasaran.
"Ya kujawab, 'nggak ah. Nanti yang lain ngiri' ... trus dia jawab lagi, 'semua sudah kubagi. Hartaku masih banyak. Aku juga gak punya anak, aku khawatir besok kalau mati, semuanya ini gimana' ... gitu bilangnya."
"Nah, yang diomong mati-mati terus, sih!" seloroh Om Anang.
"Lah, kan? Tadi malah bilang, 'sesuk aku yen mati, omah iki openono, yo?" (besok kalau aku meninggal, rumah ini kamu rawat, ya!) Mbak Nanik membalas.
"Masa' bilang begitu?"
"Iya. Malah berkata, 'jatahku urip gari sedilut' ... gitu," sahut Mbak Nanik lagi.
Gara-gara obrolan malam yang unfaedah, kami semua saling takut, hingga tak pernah berani ketemu Mbah Narti keesokan harinya. Mungkin memang Mbah Narti sudah merasa. dan semua itu adalah pertanda ia mau pamit. Wallahu'alam, keesokan harinya, ketika fajar baru menyingsing, tetangga depan rumah yang biasanya disuruh mencarikan rumput Mbah Narti, berteriak-teriak menemui kami dengan wajah gugup.
"Mbah Narti terpeleset di kamr mandi! Mbah Narti terpeleset di kamar mandi!"
Sontak, kami semua kaget dan segera berhamburan melihat ke lokasi.
Oke, skip!
Di sini, aku akan mulai menceritakan keanehan yang terjadi semenjak pulang dari rumah nenek. Oh, ya ... aku lupa membuang gelang dari Mbah Narti saat perjalanan pulang. Aku juga nggak paham arti 'sikep' dalam istilah jawa pada saat itu. Sepeninggal Mbah Narti, semua keluarga saling ramai mencari sikep yang dimaksud. Katanya harus dibuang, paling tidak dibakar. Semua almari, kasur, dilingkap satu persatu demi mencari benda yang dimaksud. Tak pelak, mereka di antaranya saling menuduh satu sama lain karena tak ada yang mengaku. Mbah Narti memang pernah berpesan, bahwa 'jimat'-nya akan diberikan pada salah satu keturunan nenek. Banyak yang menuding ayah, karena ayah adalah satu-satunya kesayangan Mbah Narti. Oh ya, akibat dari semua ini, keluargaku pernah lama lost komunikasi sama keluarga yang lain. Sebenarnya mereka biasa-biasa saja, tapi yang paling menyebalkan dan tak terima adalah Pakdhe Kurdi.
Sebenarnya, apa alasan Pakdhe Kurdi begitu berambisi menanyakan barang tersebut?
Diubah oleh shirazy02 29-02-2020 14:20
husnamutia dan 42 lainnya memberi reputasi
39
29.5K
238
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#67
Part 7
Sudah tiga hari ini, Pak Har memyempatkan main ke rumah. Tujuannya tak lain, tentu ingin mengajakku pergi ke rumah sang Ustadz. Namun, sayangnya, setiap kali beliau bertandang, kita selalu tak bertatap muka. Tepat ketika aku sedang main ke luar. Kadang pergi mengaji. Sering pula saat aku ketiduran, beliau baru tiba di kediaman.
Ah, Tuhan selalu mencari cara agar menyelamatkanku yang polos ini.
----
"Yah, Mas Har nggak bicara apa-apa, kan?" tanya ibu pada ayah, di suatu siang, tepat hari libur.
"Bicara apa? Kan, kita bicaranya bertiga. Kok, masih nanya lagi." Ayah membalas datar seraya sibuk menyemir sepatu kerjanya.
"Barangkali pas aku buatin kopi ke dapur, dia bicara apa gitu, yang empat mata saja sama ayah."
Mendengar nada ibu yang tampak curiga, ayah memalingkan mukanya. Tegas menggeleng. "Kenapa, sih?" tanyanya kemudian. Sepintas terdiam. Namun, ibu yang kemudian berganti menggeleng saat ayah bertanya.
Aku sendiri sedang asyik bermain di ruang tamu, kala mereka berbincang tak jauh dariku.
"Aneh saja, sih. Nggak biasanya setiap hari berturut-turut selalu datang. Sekali, sih, masih biasa. Ini nggak siang, nggak sore, ujug-ujug dateng mulu."
"Hmmm ... mungkin ada yang mau disampaikan sama kita, tapi dia bingung cara ngomongnya."
"Contoh?"
"Mau minjam duit, mungkin."
"Lah, makanya itu, aku nanya ayah ... barangkali pas aku ke dapur, beliau menyampaikan keperluannya itu."
Ayah menggeleng lagi. Kembali suasana hening.
Kuambil wayang kertas dengan tokoh Usagi-Sailor moon. Memasangkan baju untuknya. Bela, yang saat itu bermain denganku, tiba-tiba mengeluh perutnya sakit. Entah berapa kali ia berkata begitu, sudah kusuruh pulang sejak tadi, tapi ia enggaan. Baru kali ini ia merasa tak betah. "Bubar, ya, Sinan. Aku pulang dulu!" pamitnya.
"Kok, bubar? Belum lama aku ikut, udah mau bubar!" protes Riris, yang memang baru saja ikut bergabung.
"Aduuuh, perutku mulas sekali ini ...."
"Kamu mau e'ek?" tanyaku.
"Iya kayaknya," jawab Bela. Ia terus memegangi perutnya sambil meringis.
"Sana, lho, ngambil batu! Kalau aku yang kebelet, pasti disuruh kayak gitu." Lagi-lagi Riris berkata dengan nada tak terima.
Jadi, begini ... zamanku kecil dulu, kalau lagi asyik main dan ada temen yang pengen Be-ol, mitosnya sih suruh ambil kerikil gitu, buat diganjalin di lubang anus. Ntar, kebeletnya bakal ilang. Eh, ini mitos bukan dari leluhur tapi, ya ... melainkan kepercayaan kami sendiri, si anak ingusan.
Alih-alih rasa kebelet bakal ilang, eeehh ... ujungnya susah BAB kemudian.
Saat mata fokus pada kertas wayang di tangan, entah kenapa penglihatanku tiba-tiba gelap. Beruntung hanya sepintas, meski kakunya masih terasa. Lalu terbesit di pikiran akan sosok Pak Har yang bertandang ke rumah, kemudian beralih dengan kedatangan saudara ayah yang membawa banyak oleh-oleh. Gelap lagi ... tahu-tahu ada di sebuah ruangan seperti sebuah rumah sakit.
Bayangan itu pupus seketika saat suara motor memasuki ke halaman.
"Nah, yah. Ke sini lagi," seru ibu saat melihat Pak Har mulai menyopot helm-nya.
"Mungkin kali ini bisa ngomong, Bu. Atau, pancing saja, biar dia tak ada rasa sungkan."
"Nah, kalo pinjam beneran, gimana?"
"Ya kasih pinjam lah, kalau ada. Toh, sama kerabat sendiri." Seusai berkata begitu, ayah meletakkan sepatunya, lalu pergi ke belakang. Sepertinya hendak mencuci tangan. Sedangkan ibu, beringsut dari tempat. Pergi menuju depan.
"Assalamuallaikum!" Suara khas gemelegar milik Pak Har benar-benar mengagetkan kami semua, si anak ingusan. Spontan kami tertawa, serentak kemudian menjawab, "Waalaikumsalam."
Pak Har masuk ke ruang tamu, di sambut oleh ibu yang tengah mengendong adik. "Panjang umur, Mas Har. Baru saja kita ngomongin samean," seru Ayah yang tiba-tiba muncul dari gorden yang tersibak.
"Sinan, ajak main temennya di teras, gih!" Ibu memerintah. Kuanggukkan kepalaku, serta-merta menyuruh keduanya pindah. Ketika aku dan Riris beringsut, beda lagi dengan Bela. Ia diam di tempat, bahkan terkesan linglung.
"Ayo, Bel!"Kutarik tangannya agar turut, sedangkan Riris sudah terlebih dulu berada di depan. Saat aku menarik tangannya, bukannya ia berdiri, malah ambruk tak sadarkan diri. Aku, ibu, ayah, dan Pak Har, tentu saja kaget bukan main. Ayah dan Pak Har segera menghampiri. Wajah itu berubah pucat, tampak lemas sekali.
"Tadi dia bilang sakit perut," jawabku, saat ayah dan ibu mulai mendesak pertanyaan. Riris sendiri langsung pergi menemui orangtua Bela untuk memberitahu. Mendapati sia-sia menyadarkan Bela, Cepat-cepat ayah pun menggendongnya, lalu menaikkannya ke dalam mobil. Bersamaan dengan itu, Ayah dan Ibu Bela muncul dari depan sambil tergopoh-gopoh.
"Lemas dia sepertinya. Aku bawa ke puskesmas, ya? Ayo, naik!" ajak ayah pada orangtua Bela. Namun, keduanya tegas menolak, dengan alasan 'nanti akan bangun sendiri'. Kata mereka, Bela mungkin lesu karena telat makan.
"Jangan berkata begitu, Mbak, Mas. Ini pucat sekali, lho. Biar saja dokter yang menangani." Ayah terua meyakinkan kedua orangtua Bela. Namun, tetap saja keduanya menolak. Tak mau ambil pusing, ayah pun menyerah. Ia pasrahkan Bela dibawa pulang. Namun kemudian, beliau berpesan kembali, "Saya tunggu di rumah, jika memerlukan saya."
Entahlah, ayahku memang sosok yang sangat peduli sekali. Sampai Pak Har mengajaknya ngobrol di rumah pun, ia masih kepikiran tentang keadaan Bela. Lalu, apa yang kemudian dibicarakan Pak Har dengan ayah? Ah, ternyata tak jauh-jauh untuk mendapatkan informasi seputar alamat dadi sang Ustadz. Tak pelak, kadang mengalihkan pandang menatapku, sambil mengerjapkan mata berkali-kali.
"Yah, mobil siapa itu?" Ibu beringsut dari tempat, melihat sebuah mobil yang berhenti di jalanan. Pas depan halaman rumah kami.
"Ah, mungkin mau beli ke tetangga sebelah, atau mau putar," jawab ayah enteng. Namun, lain dugaan. Ternyata yang datang adalah keluarga ayah. Tampak Mbak Nanik dan Budhe Rusni lebih dulu turun dari mobil. Mereka menepi. Rupanya Budhe tengah mabuk darat. Sementara mobil mulai masuk ke halaman.
"Yah, kok tumben tak telepon dulu?" Ibu bertanya lirih, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ayah tak menjawab. Beliau beranjak lagi, segera ke luar rumah, lalu diikuti ibu.
"Nik, beli mobil baru, ya?" Setengah keras ibu berseru pada Mbak Nanik yang berjalan menghampiri.
Di saat ayah dan ibu sedang menyambut tamu jauh di teras, hal ini kemudian dibuat kesempatan Pak Har untuk mendekatiku. Kembali ia mengeluarkan uang dari balik sakunya. Kali ini hanya tiga lembar uang seribuan. Ia langsung menyakukannya ke saku celanaku, sambil berkata, "Antar sekarang, yuk? Sebentar saja. Ya??"
Belum sempat aku menjawab, kembali rumah digegerkan dengan sosok Ibu Bela yang berlarian menghampiri sambil menangis. Dari belakang, suaminya sedang menggendong sang buah hati. Pak Har jadi lupa dengan ambisinya, dan langsung menghampiri. Begitu pun aku. Dari belakang, para tetangga pada turut berdatangan.
"Tolong antarkan saya. Saya minta tolong!" Dengan tangis, Ibu Bela memohon sambil memegang tangan ibu. Tak banyak bicara, ayah langsung meminjam kunci mobil Mbak Nanik, mengingat posisi mobilnya yang berada paling depan.
Sepeninggal ayah, warga geger seketika. Mereka saling melempar tanya, sedang tak ada lagi yang mampu menjawab di sini selain aku. Pak Har sendiri mulai berwajah lesu. Ia berganti menjamu para keluarga jauh, serta diajak mengobrol tentunya.
Saat suasana melenggang dari tetangga, bergantian aku yang ditanya-tanyai keluarga ayah. Tak semua keluarga yang datang, ninggal beberapa saja. Pakdhe Kurdi pun tak kelihatan batang hidungnya. Bisa jadi karena batu itu alasannya. Ah, tapi aku senang beliau tak muncul. Entah kenapa, setiap melihatnya, aku seperti melihat sosok terjahat sedunia. Mungkin karena wajah garangnya yang mendukung. Menurut ibu, ia memang sosok paling kaku dan paling menakutkan ketimbang keluarga-keluarga ayah lainnya.
Singkat cerita, Pak Har pulang lagi dengan hati hampa. Jadi, sudah empat hari berturut-turut impiannya tak kesampaian. Uang sogokan yang keluar terasa sia-sia. Aku pun terasa tak berguna karena tak menggunakan uang itu dengan sebaik-baiknya. He he ... disimpan saja dalam sebuah dompet mainan, udah suatu kesenangan.
Ayah dan ibu kembali cukup lama, karena sementara mereka yang mengurus soal keuangan rumah sakit. Orangtua Bela saat itu tak punya tabungan, makanya ia maju-mundur hendak membawa ke puskesmas. Seingatku, Bela waktu itu sakit maag. Entah kenapa bisa sampai separah itu ....
Oh, ya ... pada saat itu, sedang libur Hari Natal. Berhubung ayah libur kerja selama tiga hari, jadi ayah mengajak keluarga pergi ke sebuah tempat wisata tak jauh dari kota kami. Yaaa, masih kota tetangga. He he ....
Akan tetapi, dari sinilah awal mula kejadian menegangkan itu muncul kembali. Semua berawal dari perjalanan kami ke sebuah pantai. Kita berangkat melewati jalan utama. Rencana, kami akan menyewa sebuah villa untuk rehat sehari-semalam, sekadar melepas lelah, agar keesokan harinya kembali bersenang-senang. Namun nyatanya, hanya sehari saja kami harus berada di sana. Baru saja sampai pantai, ayah di telepon oleh Kepala Bagiannya di perusahaan. Besok team-nya lembur mendadak, tak mau ada alasan. Karena ayah orang yang dipercaya untuk memimpin team, mau tak mau, beliau harus lekas pulang malam itu juga. Jadi, kita hanya sekitar empat jam-an berlibur. Belum puas rasanya diri, sudah ditarik kembali suruh masuk ke dalam mobil. Oh ya, kita berlibur hanya satu mobil. Aku, ayah, Mbak Nanik dan suaminya, Mas Ipan dan anak-istrinya, juga Pakdhe Tarjo. Ninggal ibu, adik, serta Budhe Rusni di rumah. Karena lelah harus beristirahat, ayah pun akhirnya mengambil jalur pintas. Ia memilih melewati gunung, yang memang konon lebih dekat menuju kembali ke kotaku.
Pada saat itu, jam menunjukkan pukul 17.35 WIB di perbatasan kabupaten kota tetangga. Masih setengah jam lagi menuju puncak, itu pun hari jelas sudah petang ....
(To be continued)
(Kritik saran ditampung, yaaa! Pokok jan nyaranin kalo lanjutannya kudu cepet
Syusyaaahh, Tsaaayy!!
Ini aja nulisnya pas jam rehat. He he ... btw, thanks sebelumya udah nungguin
)
Ah, Tuhan selalu mencari cara agar menyelamatkanku yang polos ini.
----
"Yah, Mas Har nggak bicara apa-apa, kan?" tanya ibu pada ayah, di suatu siang, tepat hari libur.
"Bicara apa? Kan, kita bicaranya bertiga. Kok, masih nanya lagi." Ayah membalas datar seraya sibuk menyemir sepatu kerjanya.
"Barangkali pas aku buatin kopi ke dapur, dia bicara apa gitu, yang empat mata saja sama ayah."
Mendengar nada ibu yang tampak curiga, ayah memalingkan mukanya. Tegas menggeleng. "Kenapa, sih?" tanyanya kemudian. Sepintas terdiam. Namun, ibu yang kemudian berganti menggeleng saat ayah bertanya.
Aku sendiri sedang asyik bermain di ruang tamu, kala mereka berbincang tak jauh dariku.
"Aneh saja, sih. Nggak biasanya setiap hari berturut-turut selalu datang. Sekali, sih, masih biasa. Ini nggak siang, nggak sore, ujug-ujug dateng mulu."
"Hmmm ... mungkin ada yang mau disampaikan sama kita, tapi dia bingung cara ngomongnya."
"Contoh?"
"Mau minjam duit, mungkin."
"Lah, makanya itu, aku nanya ayah ... barangkali pas aku ke dapur, beliau menyampaikan keperluannya itu."
Ayah menggeleng lagi. Kembali suasana hening.
Kuambil wayang kertas dengan tokoh Usagi-Sailor moon. Memasangkan baju untuknya. Bela, yang saat itu bermain denganku, tiba-tiba mengeluh perutnya sakit. Entah berapa kali ia berkata begitu, sudah kusuruh pulang sejak tadi, tapi ia enggaan. Baru kali ini ia merasa tak betah. "Bubar, ya, Sinan. Aku pulang dulu!" pamitnya.
"Kok, bubar? Belum lama aku ikut, udah mau bubar!" protes Riris, yang memang baru saja ikut bergabung.
"Aduuuh, perutku mulas sekali ini ...."
"Kamu mau e'ek?" tanyaku.
"Iya kayaknya," jawab Bela. Ia terus memegangi perutnya sambil meringis.
"Sana, lho, ngambil batu! Kalau aku yang kebelet, pasti disuruh kayak gitu." Lagi-lagi Riris berkata dengan nada tak terima.
Jadi, begini ... zamanku kecil dulu, kalau lagi asyik main dan ada temen yang pengen Be-ol, mitosnya sih suruh ambil kerikil gitu, buat diganjalin di lubang anus. Ntar, kebeletnya bakal ilang. Eh, ini mitos bukan dari leluhur tapi, ya ... melainkan kepercayaan kami sendiri, si anak ingusan.
Alih-alih rasa kebelet bakal ilang, eeehh ... ujungnya susah BAB kemudian.
Saat mata fokus pada kertas wayang di tangan, entah kenapa penglihatanku tiba-tiba gelap. Beruntung hanya sepintas, meski kakunya masih terasa. Lalu terbesit di pikiran akan sosok Pak Har yang bertandang ke rumah, kemudian beralih dengan kedatangan saudara ayah yang membawa banyak oleh-oleh. Gelap lagi ... tahu-tahu ada di sebuah ruangan seperti sebuah rumah sakit.
Bayangan itu pupus seketika saat suara motor memasuki ke halaman.
"Nah, yah. Ke sini lagi," seru ibu saat melihat Pak Har mulai menyopot helm-nya.
"Mungkin kali ini bisa ngomong, Bu. Atau, pancing saja, biar dia tak ada rasa sungkan."
"Nah, kalo pinjam beneran, gimana?"
"Ya kasih pinjam lah, kalau ada. Toh, sama kerabat sendiri." Seusai berkata begitu, ayah meletakkan sepatunya, lalu pergi ke belakang. Sepertinya hendak mencuci tangan. Sedangkan ibu, beringsut dari tempat. Pergi menuju depan.
"Assalamuallaikum!" Suara khas gemelegar milik Pak Har benar-benar mengagetkan kami semua, si anak ingusan. Spontan kami tertawa, serentak kemudian menjawab, "Waalaikumsalam."
Pak Har masuk ke ruang tamu, di sambut oleh ibu yang tengah mengendong adik. "Panjang umur, Mas Har. Baru saja kita ngomongin samean," seru Ayah yang tiba-tiba muncul dari gorden yang tersibak.
"Sinan, ajak main temennya di teras, gih!" Ibu memerintah. Kuanggukkan kepalaku, serta-merta menyuruh keduanya pindah. Ketika aku dan Riris beringsut, beda lagi dengan Bela. Ia diam di tempat, bahkan terkesan linglung.
"Ayo, Bel!"Kutarik tangannya agar turut, sedangkan Riris sudah terlebih dulu berada di depan. Saat aku menarik tangannya, bukannya ia berdiri, malah ambruk tak sadarkan diri. Aku, ibu, ayah, dan Pak Har, tentu saja kaget bukan main. Ayah dan Pak Har segera menghampiri. Wajah itu berubah pucat, tampak lemas sekali.
"Tadi dia bilang sakit perut," jawabku, saat ayah dan ibu mulai mendesak pertanyaan. Riris sendiri langsung pergi menemui orangtua Bela untuk memberitahu. Mendapati sia-sia menyadarkan Bela, Cepat-cepat ayah pun menggendongnya, lalu menaikkannya ke dalam mobil. Bersamaan dengan itu, Ayah dan Ibu Bela muncul dari depan sambil tergopoh-gopoh.
"Lemas dia sepertinya. Aku bawa ke puskesmas, ya? Ayo, naik!" ajak ayah pada orangtua Bela. Namun, keduanya tegas menolak, dengan alasan 'nanti akan bangun sendiri'. Kata mereka, Bela mungkin lesu karena telat makan.
"Jangan berkata begitu, Mbak, Mas. Ini pucat sekali, lho. Biar saja dokter yang menangani." Ayah terua meyakinkan kedua orangtua Bela. Namun, tetap saja keduanya menolak. Tak mau ambil pusing, ayah pun menyerah. Ia pasrahkan Bela dibawa pulang. Namun kemudian, beliau berpesan kembali, "Saya tunggu di rumah, jika memerlukan saya."
Entahlah, ayahku memang sosok yang sangat peduli sekali. Sampai Pak Har mengajaknya ngobrol di rumah pun, ia masih kepikiran tentang keadaan Bela. Lalu, apa yang kemudian dibicarakan Pak Har dengan ayah? Ah, ternyata tak jauh-jauh untuk mendapatkan informasi seputar alamat dadi sang Ustadz. Tak pelak, kadang mengalihkan pandang menatapku, sambil mengerjapkan mata berkali-kali.
"Yah, mobil siapa itu?" Ibu beringsut dari tempat, melihat sebuah mobil yang berhenti di jalanan. Pas depan halaman rumah kami.
"Ah, mungkin mau beli ke tetangga sebelah, atau mau putar," jawab ayah enteng. Namun, lain dugaan. Ternyata yang datang adalah keluarga ayah. Tampak Mbak Nanik dan Budhe Rusni lebih dulu turun dari mobil. Mereka menepi. Rupanya Budhe tengah mabuk darat. Sementara mobil mulai masuk ke halaman.
"Yah, kok tumben tak telepon dulu?" Ibu bertanya lirih, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ayah tak menjawab. Beliau beranjak lagi, segera ke luar rumah, lalu diikuti ibu.
"Nik, beli mobil baru, ya?" Setengah keras ibu berseru pada Mbak Nanik yang berjalan menghampiri.
Di saat ayah dan ibu sedang menyambut tamu jauh di teras, hal ini kemudian dibuat kesempatan Pak Har untuk mendekatiku. Kembali ia mengeluarkan uang dari balik sakunya. Kali ini hanya tiga lembar uang seribuan. Ia langsung menyakukannya ke saku celanaku, sambil berkata, "Antar sekarang, yuk? Sebentar saja. Ya??"
Belum sempat aku menjawab, kembali rumah digegerkan dengan sosok Ibu Bela yang berlarian menghampiri sambil menangis. Dari belakang, suaminya sedang menggendong sang buah hati. Pak Har jadi lupa dengan ambisinya, dan langsung menghampiri. Begitu pun aku. Dari belakang, para tetangga pada turut berdatangan.
"Tolong antarkan saya. Saya minta tolong!" Dengan tangis, Ibu Bela memohon sambil memegang tangan ibu. Tak banyak bicara, ayah langsung meminjam kunci mobil Mbak Nanik, mengingat posisi mobilnya yang berada paling depan.
Sepeninggal ayah, warga geger seketika. Mereka saling melempar tanya, sedang tak ada lagi yang mampu menjawab di sini selain aku. Pak Har sendiri mulai berwajah lesu. Ia berganti menjamu para keluarga jauh, serta diajak mengobrol tentunya.
Saat suasana melenggang dari tetangga, bergantian aku yang ditanya-tanyai keluarga ayah. Tak semua keluarga yang datang, ninggal beberapa saja. Pakdhe Kurdi pun tak kelihatan batang hidungnya. Bisa jadi karena batu itu alasannya. Ah, tapi aku senang beliau tak muncul. Entah kenapa, setiap melihatnya, aku seperti melihat sosok terjahat sedunia. Mungkin karena wajah garangnya yang mendukung. Menurut ibu, ia memang sosok paling kaku dan paling menakutkan ketimbang keluarga-keluarga ayah lainnya.
Singkat cerita, Pak Har pulang lagi dengan hati hampa. Jadi, sudah empat hari berturut-turut impiannya tak kesampaian. Uang sogokan yang keluar terasa sia-sia. Aku pun terasa tak berguna karena tak menggunakan uang itu dengan sebaik-baiknya. He he ... disimpan saja dalam sebuah dompet mainan, udah suatu kesenangan.
Ayah dan ibu kembali cukup lama, karena sementara mereka yang mengurus soal keuangan rumah sakit. Orangtua Bela saat itu tak punya tabungan, makanya ia maju-mundur hendak membawa ke puskesmas. Seingatku, Bela waktu itu sakit maag. Entah kenapa bisa sampai separah itu ....
Oh, ya ... pada saat itu, sedang libur Hari Natal. Berhubung ayah libur kerja selama tiga hari, jadi ayah mengajak keluarga pergi ke sebuah tempat wisata tak jauh dari kota kami. Yaaa, masih kota tetangga. He he ....
Akan tetapi, dari sinilah awal mula kejadian menegangkan itu muncul kembali. Semua berawal dari perjalanan kami ke sebuah pantai. Kita berangkat melewati jalan utama. Rencana, kami akan menyewa sebuah villa untuk rehat sehari-semalam, sekadar melepas lelah, agar keesokan harinya kembali bersenang-senang. Namun nyatanya, hanya sehari saja kami harus berada di sana. Baru saja sampai pantai, ayah di telepon oleh Kepala Bagiannya di perusahaan. Besok team-nya lembur mendadak, tak mau ada alasan. Karena ayah orang yang dipercaya untuk memimpin team, mau tak mau, beliau harus lekas pulang malam itu juga. Jadi, kita hanya sekitar empat jam-an berlibur. Belum puas rasanya diri, sudah ditarik kembali suruh masuk ke dalam mobil. Oh ya, kita berlibur hanya satu mobil. Aku, ayah, Mbak Nanik dan suaminya, Mas Ipan dan anak-istrinya, juga Pakdhe Tarjo. Ninggal ibu, adik, serta Budhe Rusni di rumah. Karena lelah harus beristirahat, ayah pun akhirnya mengambil jalur pintas. Ia memilih melewati gunung, yang memang konon lebih dekat menuju kembali ke kotaku.
Pada saat itu, jam menunjukkan pukul 17.35 WIB di perbatasan kabupaten kota tetangga. Masih setengah jam lagi menuju puncak, itu pun hari jelas sudah petang ....
(To be continued)
(Kritik saran ditampung, yaaa! Pokok jan nyaranin kalo lanjutannya kudu cepet

Syusyaaahh, Tsaaayy!!
Ini aja nulisnya pas jam rehat. He he ... btw, thanks sebelumya udah nungguin
)Diubah oleh shirazy02 23-01-2020 00:25
kicquck dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Tutup