- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1405
Konfrontasi
Gue menceritakan tentang bagaimana klarifikasi gue dengan Dee terkait dengan keadaan yang terjadi. Disitu awalnya Emi nggak percaya, tapi kemudian dia menjadi percaya karena banyak ketidaklogisan alasan atau cerita yang disampaikan teman-teman Emi terhadap keadaan Dee dan juga keterlibatan Dee. Gue nggak menceritakan soal perjanjian dengan Dee. Itu biar jadi urusan gue, yang jelas Emi nggak boleh tersentuh.
“Ayo kita berangkat, gue nggak mau buang-buang waktu gue untuk urusan yang amat sangat nggak penting ini.” Kata gue ketika waktu sudah semakin sore.
“Iya, aku udah siap.” Kata Emi.
Gue dan Emi jalan kaki menuju ke gedung kampus kami. Kami memang senang jalan kaki kemana-mana, seru dan menyehatkan. Sepanjang perjalanan gue banyak bercerita tentang pengalaman selama di Padang kemarin dan juga melanjutkan cerita tentang obrolan gue dan Dee. Tidak lupa juga gue menghina abis-abisan anak-anak angkatan Emi, termasuk si Dwi yang lugu dan katanya paling pintar di kelas, padahal kenyataannya otaknya nggak lebih dari tumpukan sampah. Anak pinter kok nggak bisa mikir logis dan mudah kebawa suasana. Tol*l!
“Pokoknya kamu nggak usahlah banyak bergaul sama manusia-manusia toxic yang kerjaannya ngurusin urusan orang ini. Kamu itu cerdas, harusnya bisa milih teman lah. Cuma kadang kecerdasan kamu kalah sama empati kamu soal konsep pertemanan t*i anj*ng ini.”
“Udahlah, nggak cukup apa kamu ngehina temen-temen aku?”
“Ya nggak cukup lah. Kamu pikir dengan fitnah yang terus-terusan terhadap kakak kelasnya sendiri itu cukup diselesaikan dengan minta maaf doang? Masih untung aku nggak nunjuk muka mereka satu satu terus aku katain, ‘lo anj*ng, lo bangs*t, lo t*i, lo kont*l’ dan sebagainya secara langsung. Kalau mau aku bisa banget. aku nggak butuh pengakuan diangkatan kamu atau angkatan bawah kamu. Adik-adik kelas t*i anj*ng begitu nggak pantes amat aku anggep satu almamater jurusan. Gue kadang bingung dulu masuk pada nyogok ya kesini? Orang-orang dongo begitu pada bisa masuk kekampus kita. Lebih beg* lagi lo sih Mi, mau aja nemenin sampah-sampah masyarakat kayak gitu.”
“Udaaaah. Elaaah. Kamu tuh kalo ngatain orang lancar banget.”
“Heh, gue ada motif yang jelas buat ngatain mereka. Masih untung gue nggak laporin mereka ke polisi. Kalo gue mau gue bisa. Bukti udah jelas, tinggal ngumpulin bukti dari pihak mereka secara digital atau apapun, masuk penjara semua mereka nanti. Anj*ng emang!” gue jadi emosi sendiri.
“Gila kamu. Kalau mau beneran kayak gitu sih parah banget.”
“Emang dikira kalau fitnah itu nggakk parah? Efeknya ke mental aku nggak parah? Efeknya ke nama aku dikampus nggak parah? Terus nyembuhinnya emang gampang? Mulihin nama baik itu nggak segampang ngebolak balikin telapak tangan Mi.”
“Iya sih emang susah. Tapi kan nggak perlu sejauh itu.”
“Mereka memfitnah itu tindakan yang udah sangat jauh. Bahkan aku nggak ikutan apapun didalamnya tapi malah dituduh. Itu bahaya banget asumsi kayak gitu. Kayaknya kamu juga jadi orang yang banyak asumsi gitu karena kebanyakan bergaul sama kumpulan t*i mony*t ini deh.”
“Nggak tau juga aku Zy. Tapi udah lah, aku nggak mau berlarut-larut kayak gini urusan sama anak kelas.”
“Kalau aku masih eksis dikampus, aku bisa aja bikin angkatan kamu dihapus selamanya kayak angkatannya si Diani. Karena menurut aku angkatan bangs*t kamu ini lebih parah kelakuannya dari angkatan Diani, Mi.”
“Iya aku ngerti. Maafin aku dan temen-temen aku.”
“Kamu disini juga korban, ngerti nggak sih? Dengan di tutup akses itu sama aja kamu dikorbanin demi melindungi diri mereka sendiri biar nggak konfrontasi langsung sama aku. Ini kamu pura-pura nggak sadar demi ngelindungin temen-temen kamu apa gimana?”
“Aku tau kok aku juga disini nggak dilibatin yang artinya aku juga sama aja sama kamu di mata mereka. Tapi mau gimanapun mereka teman-teman aku.”
“Ini nih, kamu tuh udah kayak politisi, aslinya pinter, tapi karena pergaulan dan desakan keadaan, pinternya jadi ketutup, malah jadi kayak gobl*k segobl*knya orang yang nggak bisa bedain berteman sehat itu kayak gimana.”
“Kok kamu malah nyamain sama politisi?”
“Ya kan kurang lebihnya sama. kamu jadi nggak pake otak kamu. Udah tau kondisinya begini, masih aja dibelain itu teman-teman kamu.”
Emi diam saja sampai akhirnya kami mencapai gedung fakultas. Kami langsung menuju kantin belakang. Mereka ngajak ketemunya disana. Gue dan Emi langsung menuju kesana dan gue melihat beberapa orang yang udah familiar.
Ternyata alumni yang mereka bawa untuk ‘back up’ itu Bang Andrianto atau yang akrab gue panggil Bang Andri. Hahaha. Salah bawa alumni dia rupanya. Kalau aja yang mereka bawa si Rama, mungkin mereka bakal ada perlawanan, tapi ini? Dia mah sangat akrab dengan gue. hahaha.
“Bang Andri. Ngapain lo bang disini? Hahaha. Long time no see ya.” kata gue ceria.
“Hahaha Ija. Nggak habis-habis rupanya lo disini ya. Ada aja cerita seru lo kalau berurusan sama kampus. apa kabar lo?” ujar Bang Andri sembari bersalaman dan memeluk gue.
“Kabar baik gue bang. Lo nggak usah nanya ngapain gue disini, kayaknya lo udah tau deh. Hahahaha.”
“Iyee tau gue. Salah ni anak-anak berurusan sama lo. Gue nggak nyangka aja ternyata alumni yang dimaksud itu lo. Tapi ya monggo lah, lo yang selesaiin. Soalnya gue nggak mau ikut campur terlalu dalam. Gue udah nggak ada urusan sama sekali soal kampus dan mahasiswanya. Gue kan di lab. Haha.”
“Iya bang. Tau lah ya. Pokoknya lo percaya kan sama gue kalo apa yang mereka bilang itu cuma salah paham aja?”
“Gue selalu percaya lo kok. Lo kan orangnya konsisten. Gue jadi agak bingung aja ini kok tau-tau lo rese di urusan yang sebenernya nggak terlalu lo senengin (ospek) pas liat ternyata alumni yang mereka maksud itu lo. hahaha.”
“Hahaha. okelah bang. Yaudah lo mau gabung apa gimana?”
“Gue disana aja. itu ada si Maul. Tapi Emi kenapa ikutan disana juga?” kata Bang Andri sambil menunjuk ke salah satu tempat duduk dikantin yang diduduki Maul dan Emi.
“Yaudah lo tanyain aja kenapa dia disana Bang. hahaha.”
“Oke deh, silakan lo selesaiin dulu deh.”
“Sip bang.”
Gue berjalan ke anak-anak yang sengaja gue kumpulkan. Mereka sangat kaget, terkejut dan agak takut sepertinya melihat pemandangan antara gue dan Bang Andri yang ternyata sangat akrab. Hahaha. Gue menyuruh Emi duduk agak jauh, ditemani oleh Maul, dan akhirnya Bang Andri ikutan gabung disana.
Ketua pelaksana acara ini, yang ternyata pernah gue dudukkan didepan gue pas sosialisasi, bernama Rizky. Dan dibelakangnya ada beberapa orang yang sepertinya familiar, mungkin teman-teman angkatan Emi lainnya. Disana juga ada Dwi dan geng Emi lainnya, tapi minus Debby dan juga Bimo.
Dialog pun dimulai. Gue memasang mimik muka yang datar-datar mengintimidasi gitu. Haha. Gue melihat satu persatu mereka yang ikutan datang. Ya, mereka cukup takut untuk berhadapan dengan gue.
“Jadi gimana? Kenapa cerita kayak gini lo pada harus arahin ke gue? lo punya bukti kuat apa buat menuduh kalau gue yang salah dan ngedatengin itu dosen lalu ngobrol macem-macem?” ujar gue tenang.
“Sori bang sebelumnya. Soalnya kita dengar-dengar reputasi abang soal ospek ini agak miring, terus alumni yang sering datang ke kampus ini kan abang juga. Lalu kemarin waktu sosialisasi kan abang juga yang banyak obrolan dan terkesan memojokkan kami. Finalnya, ada salah kirim chat dari kawan kami yang menyatakan kalau PKAT sama dengan ospek. Cuma abang yang dikirimkan chat itu, dan akhirnya diperbaiki kembali oleh kawan kami yang lain. Makanya semua tuduhan itu jadi mengarah ke abang.”
“Lo nuduh tanpa bukti, berdasarkan cerita yang belum ketauan benar atau tidaknya, terus karena salah chat yang bahkan nggak gue balas itu, terus kalian menyimpulkan yang salah itu gue? MANUSIA GOBL*K LO SEMUA, ANJ*NG!!!” kata gue dengan nada tinggi sambil menggebrak meja besi dengan sangat keras, “LO MAIN TUDUH GUE YANG LAGI ADA DILUAR KOTA DEMI NYARI KAMBING HITAM BIAR ADA YANG DISALAHIN. LO TAU NGGAK GUE ITU JUGA ALUMNI JURUSAN INI, HEH ORANG-ORANG NGGAK TAU DIUNTUNG, T*I ANJ*NG, BANGS*T BAB*, HAH?! SADAR NGGAK LO SEMUA POSISI GUE ITU SAMA KAYAK BANG ANDRI, BANG BENU, DAN LAINNYA? BAHKAN MEREKA TIAP HARI ADA DIKAMPUS INI! KENAPA LO TUDUHIN SEMUANYA KE GUE? ADA SALAH APA GUE SAMA ANGKATAN KALIAN? GUE PERNAH NGAPAIN DI ANGKATAN KALIAN? WAKTU OSPEK KALIAN AJA DULU GUE NGGAK DATANG SAMA SEKALI KARENA GUE MALAS NGURUSIN OSPEK YANG NGGAK PENTING ITU.” Emosi gue seketika memuncak dan suara gue sangat keras.
“Maaf bang, tapi emang banyak omongan yang ngarahnya ke abang.” Kata Dwi lirih.
“Omongan dari siapa? Sebut nama berani nggak lo nj*ng?!”
“Ada beberapa omongan bang, kami nggak bisa sebutin dari siapa, tapi semuanya mengarah ke abang.”
“Omongan dari siapa gue tanya? Yang lo tanya ini yakin bener-bener netral? Atau ternyata ada sentimen pribadi sama gue?”
“Kami percaya sama orang-orang ini.”
“Bisa nggak mereka dihadirkan disini? Cobalah pake logika dikit dong. Lo semua buang-buang waktu gue dengan nonsense ini.”
“Hmm. Mereka nggak bersedia bang.” kata Rizky mencoba melindungi teman-temannya.
“Loh, udah berani melontarkan statement, ya harus berani dipertanggungjawabkan dong. Nama gue udah jelek gini karena tuduhan nggak berdasar, yang cuma didasari ‘katanya-katanyaa-katanya’ doang, bahkan kalian langsung percaya semuanya dan menuduhkan hal yang sama ke gue. betapa gobl*k generasi sekarang ya. mudah banget kemakan hoax.”
“Memang abang bisa buktiin kalau abang benar-benar nggak ngobrol sama Bu Melani?”
“Hahaha. Malah nanya balik. Pertanyaan gue aja belum lo jawab semua malah nanya balik. Kalau gue bisa buktiin, lo semua gue laporin ke polisi ya? Harena ini termasuk pencemaran nama baik dan itu bisa kena pasal pelanggaran.”
“Wah kalau urusan kayak gini dibawa ke polisi kayaknya terlalu berlebihan bang. kan bisa diselesaikan dengan kekeluargaan. Buktinya kita bisa ngobrol disini sekarang bang.” kata Rizky, nada bicaranya udah nggak seberani tadi.
“Masalah kayak gini? Kayak gini lo bilang? Lo nggak ngerti apa gimana? Kalau ini pencemaran nama baik. Dan efeknya bisa sangat besar, juga berimbas tahunan dikampus. Terus lo nggak mikir juga dampak psikologis gue sebagai korban kayak gimana? Jadi orang tol*l itu jangan barengan satu angkatan lah. Bagi-bagi sama angkatan lain, jadi bisa ada yang mikir jernih gitu.”
“Terus jadinya gimana bang, kan abang yang mau kami ada disini.”
“Ya gue mau kalian menarik semua ucapan kalian, minta maaf sama gue secara publik. Bikin video klarifikasi permintaan maaf dan posting dimanapun yang bisa diliat orang dan disitu kalian harus mengakui kalau kalian menfitnah gue.”
“Tapi kami belum liat bukti dari abang.”
“Eeeh, anj*ng. Disini gue yang jadi korban, terus gue harus ngebuktiin duluan kalau gue pantas jadi korban gitu? Gobl*k lo emang pada. Kalian dulu tunjukin buktinya kalau kalian emang yakin gue yang ngobrol sama Bu Melani tentang urusan ospek itu. Atau kalian udah pernah nanya sama Bu Melani langsung, siapa yang beliau ajak ngobrol sampai beliau berasumsi kalau PKAT sama dengan ospek?”
“Belum bang. Kami ngerasa nggak enak kalau nanya langsung sama beliau.”
“Mau gue yang tanya langsung? Tapi kalau misalnya gue tanya langsung dan jawabannya bukan gue, lo semua gue laporin polisi ya, gimana?” kata gue dengan nada menantang.
“Wah jangan..jangan bang. Kan dikata kita kayaknya nggak perlu untuk ke polisi bang. ini cuma salah paham aja.” ujar Rizky semakin ketakutan.
“Salah paham aja? kembali lagi ke omongan gue tadi. nama baik gue, kondisi mental gue, dan segala yang diakibatkan oleh fitnah ini, siapa yang mau nanggung anj*ng? apa gue kurang jelas ngomongnya, anak-anak t*i? sahut gue santai.
“Iya maaf bang. Tapi kami….”
“Lo kebanyakan tapi nyari pembenaran ya bangs*t!! Oke, kalau lo nggak mau buka duluan bukti, ini gue kasih buktinya semua. Semuanya mendekat kesini. Biar lo liat semuanya dengan jelas.”
Sekitar hampir satu jam gue dan anak-anak itu tarik ulur masalah bukti. Gila ini anak-anak udah ngefitnah, masih aja nggak mau kalah soal bukti. Padahal mereka sendiri nggak bisa menunjukkan bukti kuat apapun terkait dengan persoalan ini.
Gue lalu mengeluarkan dua lembar print tiket Jakarta padang PP gue, lalu kontrak kerja gue. Gue memperlihatkan foto-foto pekerjaan gue selama disana dan menunjukkan tanggal foto tersebut diambil. Mereka semua kaget dan nggak bisa apa-apa lagi selain minta maaf berulang kali ke gue.
“Terus, gimana ceritanya si Emi bisa ditutup akses? Setau gue kalian selalu ngandelin dia kalau ada acara apapun di jurusan ini? Sampai-sampai saking totalitasnya dia kalau ada acara, waktu gue dan dia jadi banyak terbuang demi lancarnya acara.” Tanya gue kemudian.
“Anu…eh, Emi sebenernya nggak kami ajak demi kebaikan dia.” Jawab Dwi.
“Kebaikan apaan? Kalau dia nggak tau menau itu jadi lebih baik gitu? Kebaikan dia, apa kebaikan kalian biar gue nggak ngerecokin acara kalian hah?”
“Hmm..iya bang maaf sebelumnya. Emi kita tutup akses karena dia punya akses langsung ke abang yang berpotensi buat ngerusak acara yang udah kami susun. Jadinya daripada beresiko, ya kami batasi total akses Emi ke acara ini.”
“Hahahaha. Mau tau kegobl*kan lainnya dari kalian apa?” kata gue sambil menujuk Rizky, “Otak tu dipake berlogika juga, jangan cuma mikir gimana implementasiin teori, tol*l! Nih ya, kalian batasin akses informasi apapun dari Emi. Sedangkan informasi yang gue dapat soal acara apapun atau kegiatan apapun di kampus ini cuma dari Emi kan. Nah kalau Emi aja kalian tutup akses, masa kalian nuduh gue yang melakukan sabotase dengan nggak sengaja ngomong sama Bu Melani? Logika darimana itu? Emi nggak dapat info, ya otomatis gue juga. Lagian asumsi darimana kalian yang bilang kalau gue ngacauin ospek? Emang alumni disini cuma gue doang??? Nih gue kasih tau. Gue itu nggak mendukung ospek, tapi bukan mau ngerusak acara ospek. Gue nggak suka konsep lama ospek yang sok diktator dan nindas adik kelas. Gue bahkan setuju dengan konsep baru kalian ini, kalian bisa tanya Emi kalau kalian mau. Dan mau ada atau nggak ada ospek, gue nggak peduli sebenernya. Urusan gue dikampus ini cuma ke Emi nggak ada ngurusin yang lain. Terus sekarang dengan indahnya, kalian asumsiin gue yang hampir ngerusak acara kalian hanya karena kalian berpikir gue main-mainin Emi terus pernah shut down satu angkatan yang bahkan kalian nggak kenal itu orang-orangnya siapa aja? haha. Asumsi itu bisa patah dan gagal jadi fakta kalau kalian nggak kumpulin bukti. Dan Well, gue juga nggak akan perpanjang urusan ini, walaupun gue udah siap hubungin polisi, kebetulan temen gue ada yang jadi polisi sehingga lebih mudah memproses kalian. Kurang baik apa gue? sudah difitnah, dibunuh karakternya, tapi ketika ketemu gue hanya ngomel-ngomel dan meminta permintaan maaf kalian secara official, lalu urusan selesai dan kalian kedepannya akan mudah melupakan masalah ini, sementara gue masih tersiksa dan trauma karena di fitnah adik kelas sendiri. Hah? Kurang baik apa gue?”
“Maafin kami bang.”
“Yang penting itu lo semua introspeksi diri aja. gue juga bukan orang yang lempeng kok. Mungkin karena ketidaklempengan gue, plus omongan yang digoreng sana sini sama entah siapa, lo semua jadi nuduh kalau gue itu adalah orang yang jahat dan nggak bersahabat. Apalagi dengan gosip-gosip yang udah lewat, kalian menyimpulkan itu semua tanpa mengenal gue lebih dulu. Hahaha. Tol*l kok dipelihara. Udah lah, gue udah nggak mau perpanjang masalah ini. Dan Emi akan gue jauhin dari pengaruh buruk teman-temannya. Ya kalian ini. Gue nggak mau otak Emi yang brilian jadi banyak keracunan karena bergaul sama otak sampah macem kalian.”
“Emi masih jadi bagian dari angkatan kami bang. dan Emi itu segalanya buat kami.”
“So…?” tanya gue dengan muka keheranan.
“Ya Emi akan terus bersama angkatan kami.”
Oke, anak-anak ini bener-bener completely dumbass. Gue berharap mereka menyadari kalau sikap mereka ke Emi yang menutup akses itu adalah sebuah kesalahan. Tapi mereka nggak menyadari urusan itu. Dan diakhir perbincangan ini, mereka nggak menyinggung mau minta maaf ke Emi seolah mereka nggak ada salah dengan Emi. Tol*l.
Pertemuan ini berakhir dengan jabat tangan dan nggak ada lagi urusan fitnah-fitnahan. Tapi permintaan gue untuk membuat video permintaan maaf dan diposting online serta mengakui kalau panitia salah telah melakukan fitnah terhadap gue, tetap harus dilakukan.
Gue mau video ini disebarkan biar kedepannya nggak ada lagi tindakan sembrono yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Biar mereka sadar. Kalau sadar itu juga. Soalnya orang bebel biasanya nggak tau sebenernya mereka melakukan kesalahan bukan? Hahaha.
Gue tau mereka seperti ini karena sentimen pribadi beberapa orang yang sebenernya gue juga tau siapa aja. Entah motif apa yang mendasari mereka sentimen. Perlu dicatat, mereka nggak kenal gue dan sebaliknya. Gue pun nggak pernah sekalipun mengusik mereka. Kemudian mereka membuat seolah gue ini adalah penjahat yang harus dihindari biar nggak mengganggu ketertiban. Cuma ya itu, gue nggak punya bukti kuat walaupun gue yakin mereka-merekalah pelakunya.
Yaudah, semua udah selesai dan gue nggak mau berurusan dengan mereka lagi. Emi pun akan gue tarik dari peredaran dikampus. Untung udah dekat dengan penyelesaian skripsi, jadinya dia nggak perlu banyak berinteraksi sama teman-teman toxicnya.
“Udah, kamu nggak usah ngomong apa-apa lagi sama mereka. Masalahnya udah beres. Mereka tinggal bikin klarifikasi ke semua angkatan yang mereka undang yang sekiranya tau tentang desas desus perusakan nama baik aku mulai malem ini. Kalo sampe aku masih denger ada omongan tentang aku perusak PKAT, Rizky dkk yang bakal nanggung akibatnya. Aku bakal aduin ke Kemahasiswaan. Fitnah lho ini! Perusakan nama baik!” kata gue ke Emi.
“Terus kenapa aku tadi nggak boleh pamitan sama mereka…” ujar Emi, gue terus memegang tangannya sampai keluar dari gedung fakultas.
“Karena mereka sama sekali nggak minta maaf tentang gimana mereka suudzon sama kamu dan nutup akses informasi ke kamu. Udah aku pancing pun mereka tetep nggak minta maaf. Aku nggak suka ngeliat kamu nanti haha hihi didepan mereka. Pasti mereka bakalan balik haha hihi sama kamu, karena ada aku. Entah aslinya mereka bakalan ngomongin apaan setelahnya dibelakang kita. Aku bisa urus masalah aku sendiri, tapi aku NGGAK AKAN PERNAH MAU PACAR AKU SEDIH KARENA URUSAN RECEH BEGINI!”
Gue dan Emi pun pulang dengan tergesa-gesa dan dalam suasana hati yang nggak enak. Gue cuma berharap ini udah selesai sampai disini.
“Ayo kita berangkat, gue nggak mau buang-buang waktu gue untuk urusan yang amat sangat nggak penting ini.” Kata gue ketika waktu sudah semakin sore.
“Iya, aku udah siap.” Kata Emi.
Gue dan Emi jalan kaki menuju ke gedung kampus kami. Kami memang senang jalan kaki kemana-mana, seru dan menyehatkan. Sepanjang perjalanan gue banyak bercerita tentang pengalaman selama di Padang kemarin dan juga melanjutkan cerita tentang obrolan gue dan Dee. Tidak lupa juga gue menghina abis-abisan anak-anak angkatan Emi, termasuk si Dwi yang lugu dan katanya paling pintar di kelas, padahal kenyataannya otaknya nggak lebih dari tumpukan sampah. Anak pinter kok nggak bisa mikir logis dan mudah kebawa suasana. Tol*l!
“Pokoknya kamu nggak usahlah banyak bergaul sama manusia-manusia toxic yang kerjaannya ngurusin urusan orang ini. Kamu itu cerdas, harusnya bisa milih teman lah. Cuma kadang kecerdasan kamu kalah sama empati kamu soal konsep pertemanan t*i anj*ng ini.”
“Udahlah, nggak cukup apa kamu ngehina temen-temen aku?”
“Ya nggak cukup lah. Kamu pikir dengan fitnah yang terus-terusan terhadap kakak kelasnya sendiri itu cukup diselesaikan dengan minta maaf doang? Masih untung aku nggak nunjuk muka mereka satu satu terus aku katain, ‘lo anj*ng, lo bangs*t, lo t*i, lo kont*l’ dan sebagainya secara langsung. Kalau mau aku bisa banget. aku nggak butuh pengakuan diangkatan kamu atau angkatan bawah kamu. Adik-adik kelas t*i anj*ng begitu nggak pantes amat aku anggep satu almamater jurusan. Gue kadang bingung dulu masuk pada nyogok ya kesini? Orang-orang dongo begitu pada bisa masuk kekampus kita. Lebih beg* lagi lo sih Mi, mau aja nemenin sampah-sampah masyarakat kayak gitu.”
“Udaaaah. Elaaah. Kamu tuh kalo ngatain orang lancar banget.”
“Heh, gue ada motif yang jelas buat ngatain mereka. Masih untung gue nggak laporin mereka ke polisi. Kalo gue mau gue bisa. Bukti udah jelas, tinggal ngumpulin bukti dari pihak mereka secara digital atau apapun, masuk penjara semua mereka nanti. Anj*ng emang!” gue jadi emosi sendiri.
“Gila kamu. Kalau mau beneran kayak gitu sih parah banget.”
“Emang dikira kalau fitnah itu nggakk parah? Efeknya ke mental aku nggak parah? Efeknya ke nama aku dikampus nggak parah? Terus nyembuhinnya emang gampang? Mulihin nama baik itu nggak segampang ngebolak balikin telapak tangan Mi.”
“Iya sih emang susah. Tapi kan nggak perlu sejauh itu.”
“Mereka memfitnah itu tindakan yang udah sangat jauh. Bahkan aku nggak ikutan apapun didalamnya tapi malah dituduh. Itu bahaya banget asumsi kayak gitu. Kayaknya kamu juga jadi orang yang banyak asumsi gitu karena kebanyakan bergaul sama kumpulan t*i mony*t ini deh.”
“Nggak tau juga aku Zy. Tapi udah lah, aku nggak mau berlarut-larut kayak gini urusan sama anak kelas.”
“Kalau aku masih eksis dikampus, aku bisa aja bikin angkatan kamu dihapus selamanya kayak angkatannya si Diani. Karena menurut aku angkatan bangs*t kamu ini lebih parah kelakuannya dari angkatan Diani, Mi.”
“Iya aku ngerti. Maafin aku dan temen-temen aku.”
“Kamu disini juga korban, ngerti nggak sih? Dengan di tutup akses itu sama aja kamu dikorbanin demi melindungi diri mereka sendiri biar nggak konfrontasi langsung sama aku. Ini kamu pura-pura nggak sadar demi ngelindungin temen-temen kamu apa gimana?”
“Aku tau kok aku juga disini nggak dilibatin yang artinya aku juga sama aja sama kamu di mata mereka. Tapi mau gimanapun mereka teman-teman aku.”
“Ini nih, kamu tuh udah kayak politisi, aslinya pinter, tapi karena pergaulan dan desakan keadaan, pinternya jadi ketutup, malah jadi kayak gobl*k segobl*knya orang yang nggak bisa bedain berteman sehat itu kayak gimana.”
“Kok kamu malah nyamain sama politisi?”
“Ya kan kurang lebihnya sama. kamu jadi nggak pake otak kamu. Udah tau kondisinya begini, masih aja dibelain itu teman-teman kamu.”
Emi diam saja sampai akhirnya kami mencapai gedung fakultas. Kami langsung menuju kantin belakang. Mereka ngajak ketemunya disana. Gue dan Emi langsung menuju kesana dan gue melihat beberapa orang yang udah familiar.
Ternyata alumni yang mereka bawa untuk ‘back up’ itu Bang Andrianto atau yang akrab gue panggil Bang Andri. Hahaha. Salah bawa alumni dia rupanya. Kalau aja yang mereka bawa si Rama, mungkin mereka bakal ada perlawanan, tapi ini? Dia mah sangat akrab dengan gue. hahaha.
“Bang Andri. Ngapain lo bang disini? Hahaha. Long time no see ya.” kata gue ceria.
“Hahaha Ija. Nggak habis-habis rupanya lo disini ya. Ada aja cerita seru lo kalau berurusan sama kampus. apa kabar lo?” ujar Bang Andri sembari bersalaman dan memeluk gue.
“Kabar baik gue bang. Lo nggak usah nanya ngapain gue disini, kayaknya lo udah tau deh. Hahahaha.”
“Iyee tau gue. Salah ni anak-anak berurusan sama lo. Gue nggak nyangka aja ternyata alumni yang dimaksud itu lo. Tapi ya monggo lah, lo yang selesaiin. Soalnya gue nggak mau ikut campur terlalu dalam. Gue udah nggak ada urusan sama sekali soal kampus dan mahasiswanya. Gue kan di lab. Haha.”
“Iya bang. Tau lah ya. Pokoknya lo percaya kan sama gue kalo apa yang mereka bilang itu cuma salah paham aja?”
“Gue selalu percaya lo kok. Lo kan orangnya konsisten. Gue jadi agak bingung aja ini kok tau-tau lo rese di urusan yang sebenernya nggak terlalu lo senengin (ospek) pas liat ternyata alumni yang mereka maksud itu lo. hahaha.”
“Hahaha. okelah bang. Yaudah lo mau gabung apa gimana?”
“Gue disana aja. itu ada si Maul. Tapi Emi kenapa ikutan disana juga?” kata Bang Andri sambil menunjuk ke salah satu tempat duduk dikantin yang diduduki Maul dan Emi.
“Yaudah lo tanyain aja kenapa dia disana Bang. hahaha.”
“Oke deh, silakan lo selesaiin dulu deh.”
“Sip bang.”
Gue berjalan ke anak-anak yang sengaja gue kumpulkan. Mereka sangat kaget, terkejut dan agak takut sepertinya melihat pemandangan antara gue dan Bang Andri yang ternyata sangat akrab. Hahaha. Gue menyuruh Emi duduk agak jauh, ditemani oleh Maul, dan akhirnya Bang Andri ikutan gabung disana.
Ketua pelaksana acara ini, yang ternyata pernah gue dudukkan didepan gue pas sosialisasi, bernama Rizky. Dan dibelakangnya ada beberapa orang yang sepertinya familiar, mungkin teman-teman angkatan Emi lainnya. Disana juga ada Dwi dan geng Emi lainnya, tapi minus Debby dan juga Bimo.
Dialog pun dimulai. Gue memasang mimik muka yang datar-datar mengintimidasi gitu. Haha. Gue melihat satu persatu mereka yang ikutan datang. Ya, mereka cukup takut untuk berhadapan dengan gue.
“Jadi gimana? Kenapa cerita kayak gini lo pada harus arahin ke gue? lo punya bukti kuat apa buat menuduh kalau gue yang salah dan ngedatengin itu dosen lalu ngobrol macem-macem?” ujar gue tenang.
“Sori bang sebelumnya. Soalnya kita dengar-dengar reputasi abang soal ospek ini agak miring, terus alumni yang sering datang ke kampus ini kan abang juga. Lalu kemarin waktu sosialisasi kan abang juga yang banyak obrolan dan terkesan memojokkan kami. Finalnya, ada salah kirim chat dari kawan kami yang menyatakan kalau PKAT sama dengan ospek. Cuma abang yang dikirimkan chat itu, dan akhirnya diperbaiki kembali oleh kawan kami yang lain. Makanya semua tuduhan itu jadi mengarah ke abang.”
“Lo nuduh tanpa bukti, berdasarkan cerita yang belum ketauan benar atau tidaknya, terus karena salah chat yang bahkan nggak gue balas itu, terus kalian menyimpulkan yang salah itu gue? MANUSIA GOBL*K LO SEMUA, ANJ*NG!!!” kata gue dengan nada tinggi sambil menggebrak meja besi dengan sangat keras, “LO MAIN TUDUH GUE YANG LAGI ADA DILUAR KOTA DEMI NYARI KAMBING HITAM BIAR ADA YANG DISALAHIN. LO TAU NGGAK GUE ITU JUGA ALUMNI JURUSAN INI, HEH ORANG-ORANG NGGAK TAU DIUNTUNG, T*I ANJ*NG, BANGS*T BAB*, HAH?! SADAR NGGAK LO SEMUA POSISI GUE ITU SAMA KAYAK BANG ANDRI, BANG BENU, DAN LAINNYA? BAHKAN MEREKA TIAP HARI ADA DIKAMPUS INI! KENAPA LO TUDUHIN SEMUANYA KE GUE? ADA SALAH APA GUE SAMA ANGKATAN KALIAN? GUE PERNAH NGAPAIN DI ANGKATAN KALIAN? WAKTU OSPEK KALIAN AJA DULU GUE NGGAK DATANG SAMA SEKALI KARENA GUE MALAS NGURUSIN OSPEK YANG NGGAK PENTING ITU.” Emosi gue seketika memuncak dan suara gue sangat keras.
“Maaf bang, tapi emang banyak omongan yang ngarahnya ke abang.” Kata Dwi lirih.
“Omongan dari siapa? Sebut nama berani nggak lo nj*ng?!”
“Ada beberapa omongan bang, kami nggak bisa sebutin dari siapa, tapi semuanya mengarah ke abang.”
“Omongan dari siapa gue tanya? Yang lo tanya ini yakin bener-bener netral? Atau ternyata ada sentimen pribadi sama gue?”
“Kami percaya sama orang-orang ini.”
“Bisa nggak mereka dihadirkan disini? Cobalah pake logika dikit dong. Lo semua buang-buang waktu gue dengan nonsense ini.”
“Hmm. Mereka nggak bersedia bang.” kata Rizky mencoba melindungi teman-temannya.
“Loh, udah berani melontarkan statement, ya harus berani dipertanggungjawabkan dong. Nama gue udah jelek gini karena tuduhan nggak berdasar, yang cuma didasari ‘katanya-katanyaa-katanya’ doang, bahkan kalian langsung percaya semuanya dan menuduhkan hal yang sama ke gue. betapa gobl*k generasi sekarang ya. mudah banget kemakan hoax.”
“Memang abang bisa buktiin kalau abang benar-benar nggak ngobrol sama Bu Melani?”
“Hahaha. Malah nanya balik. Pertanyaan gue aja belum lo jawab semua malah nanya balik. Kalau gue bisa buktiin, lo semua gue laporin ke polisi ya? Harena ini termasuk pencemaran nama baik dan itu bisa kena pasal pelanggaran.”
“Wah kalau urusan kayak gini dibawa ke polisi kayaknya terlalu berlebihan bang. kan bisa diselesaikan dengan kekeluargaan. Buktinya kita bisa ngobrol disini sekarang bang.” kata Rizky, nada bicaranya udah nggak seberani tadi.
“Masalah kayak gini? Kayak gini lo bilang? Lo nggak ngerti apa gimana? Kalau ini pencemaran nama baik. Dan efeknya bisa sangat besar, juga berimbas tahunan dikampus. Terus lo nggak mikir juga dampak psikologis gue sebagai korban kayak gimana? Jadi orang tol*l itu jangan barengan satu angkatan lah. Bagi-bagi sama angkatan lain, jadi bisa ada yang mikir jernih gitu.”
“Terus jadinya gimana bang, kan abang yang mau kami ada disini.”
“Ya gue mau kalian menarik semua ucapan kalian, minta maaf sama gue secara publik. Bikin video klarifikasi permintaan maaf dan posting dimanapun yang bisa diliat orang dan disitu kalian harus mengakui kalau kalian menfitnah gue.”
“Tapi kami belum liat bukti dari abang.”
“Eeeh, anj*ng. Disini gue yang jadi korban, terus gue harus ngebuktiin duluan kalau gue pantas jadi korban gitu? Gobl*k lo emang pada. Kalian dulu tunjukin buktinya kalau kalian emang yakin gue yang ngobrol sama Bu Melani tentang urusan ospek itu. Atau kalian udah pernah nanya sama Bu Melani langsung, siapa yang beliau ajak ngobrol sampai beliau berasumsi kalau PKAT sama dengan ospek?”
“Belum bang. Kami ngerasa nggak enak kalau nanya langsung sama beliau.”
“Mau gue yang tanya langsung? Tapi kalau misalnya gue tanya langsung dan jawabannya bukan gue, lo semua gue laporin polisi ya, gimana?” kata gue dengan nada menantang.
“Wah jangan..jangan bang. Kan dikata kita kayaknya nggak perlu untuk ke polisi bang. ini cuma salah paham aja.” ujar Rizky semakin ketakutan.
“Salah paham aja? kembali lagi ke omongan gue tadi. nama baik gue, kondisi mental gue, dan segala yang diakibatkan oleh fitnah ini, siapa yang mau nanggung anj*ng? apa gue kurang jelas ngomongnya, anak-anak t*i? sahut gue santai.
“Iya maaf bang. Tapi kami….”
“Lo kebanyakan tapi nyari pembenaran ya bangs*t!! Oke, kalau lo nggak mau buka duluan bukti, ini gue kasih buktinya semua. Semuanya mendekat kesini. Biar lo liat semuanya dengan jelas.”
Sekitar hampir satu jam gue dan anak-anak itu tarik ulur masalah bukti. Gila ini anak-anak udah ngefitnah, masih aja nggak mau kalah soal bukti. Padahal mereka sendiri nggak bisa menunjukkan bukti kuat apapun terkait dengan persoalan ini.
Gue lalu mengeluarkan dua lembar print tiket Jakarta padang PP gue, lalu kontrak kerja gue. Gue memperlihatkan foto-foto pekerjaan gue selama disana dan menunjukkan tanggal foto tersebut diambil. Mereka semua kaget dan nggak bisa apa-apa lagi selain minta maaf berulang kali ke gue.
“Terus, gimana ceritanya si Emi bisa ditutup akses? Setau gue kalian selalu ngandelin dia kalau ada acara apapun di jurusan ini? Sampai-sampai saking totalitasnya dia kalau ada acara, waktu gue dan dia jadi banyak terbuang demi lancarnya acara.” Tanya gue kemudian.
“Anu…eh, Emi sebenernya nggak kami ajak demi kebaikan dia.” Jawab Dwi.
“Kebaikan apaan? Kalau dia nggak tau menau itu jadi lebih baik gitu? Kebaikan dia, apa kebaikan kalian biar gue nggak ngerecokin acara kalian hah?”
“Hmm..iya bang maaf sebelumnya. Emi kita tutup akses karena dia punya akses langsung ke abang yang berpotensi buat ngerusak acara yang udah kami susun. Jadinya daripada beresiko, ya kami batasi total akses Emi ke acara ini.”
“Hahahaha. Mau tau kegobl*kan lainnya dari kalian apa?” kata gue sambil menujuk Rizky, “Otak tu dipake berlogika juga, jangan cuma mikir gimana implementasiin teori, tol*l! Nih ya, kalian batasin akses informasi apapun dari Emi. Sedangkan informasi yang gue dapat soal acara apapun atau kegiatan apapun di kampus ini cuma dari Emi kan. Nah kalau Emi aja kalian tutup akses, masa kalian nuduh gue yang melakukan sabotase dengan nggak sengaja ngomong sama Bu Melani? Logika darimana itu? Emi nggak dapat info, ya otomatis gue juga. Lagian asumsi darimana kalian yang bilang kalau gue ngacauin ospek? Emang alumni disini cuma gue doang??? Nih gue kasih tau. Gue itu nggak mendukung ospek, tapi bukan mau ngerusak acara ospek. Gue nggak suka konsep lama ospek yang sok diktator dan nindas adik kelas. Gue bahkan setuju dengan konsep baru kalian ini, kalian bisa tanya Emi kalau kalian mau. Dan mau ada atau nggak ada ospek, gue nggak peduli sebenernya. Urusan gue dikampus ini cuma ke Emi nggak ada ngurusin yang lain. Terus sekarang dengan indahnya, kalian asumsiin gue yang hampir ngerusak acara kalian hanya karena kalian berpikir gue main-mainin Emi terus pernah shut down satu angkatan yang bahkan kalian nggak kenal itu orang-orangnya siapa aja? haha. Asumsi itu bisa patah dan gagal jadi fakta kalau kalian nggak kumpulin bukti. Dan Well, gue juga nggak akan perpanjang urusan ini, walaupun gue udah siap hubungin polisi, kebetulan temen gue ada yang jadi polisi sehingga lebih mudah memproses kalian. Kurang baik apa gue? sudah difitnah, dibunuh karakternya, tapi ketika ketemu gue hanya ngomel-ngomel dan meminta permintaan maaf kalian secara official, lalu urusan selesai dan kalian kedepannya akan mudah melupakan masalah ini, sementara gue masih tersiksa dan trauma karena di fitnah adik kelas sendiri. Hah? Kurang baik apa gue?”
“Maafin kami bang.”
“Yang penting itu lo semua introspeksi diri aja. gue juga bukan orang yang lempeng kok. Mungkin karena ketidaklempengan gue, plus omongan yang digoreng sana sini sama entah siapa, lo semua jadi nuduh kalau gue itu adalah orang yang jahat dan nggak bersahabat. Apalagi dengan gosip-gosip yang udah lewat, kalian menyimpulkan itu semua tanpa mengenal gue lebih dulu. Hahaha. Tol*l kok dipelihara. Udah lah, gue udah nggak mau perpanjang masalah ini. Dan Emi akan gue jauhin dari pengaruh buruk teman-temannya. Ya kalian ini. Gue nggak mau otak Emi yang brilian jadi banyak keracunan karena bergaul sama otak sampah macem kalian.”
“Emi masih jadi bagian dari angkatan kami bang. dan Emi itu segalanya buat kami.”
“So…?” tanya gue dengan muka keheranan.
“Ya Emi akan terus bersama angkatan kami.”
Oke, anak-anak ini bener-bener completely dumbass. Gue berharap mereka menyadari kalau sikap mereka ke Emi yang menutup akses itu adalah sebuah kesalahan. Tapi mereka nggak menyadari urusan itu. Dan diakhir perbincangan ini, mereka nggak menyinggung mau minta maaf ke Emi seolah mereka nggak ada salah dengan Emi. Tol*l.
Pertemuan ini berakhir dengan jabat tangan dan nggak ada lagi urusan fitnah-fitnahan. Tapi permintaan gue untuk membuat video permintaan maaf dan diposting online serta mengakui kalau panitia salah telah melakukan fitnah terhadap gue, tetap harus dilakukan.
Gue mau video ini disebarkan biar kedepannya nggak ada lagi tindakan sembrono yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Biar mereka sadar. Kalau sadar itu juga. Soalnya orang bebel biasanya nggak tau sebenernya mereka melakukan kesalahan bukan? Hahaha.
Gue tau mereka seperti ini karena sentimen pribadi beberapa orang yang sebenernya gue juga tau siapa aja. Entah motif apa yang mendasari mereka sentimen. Perlu dicatat, mereka nggak kenal gue dan sebaliknya. Gue pun nggak pernah sekalipun mengusik mereka. Kemudian mereka membuat seolah gue ini adalah penjahat yang harus dihindari biar nggak mengganggu ketertiban. Cuma ya itu, gue nggak punya bukti kuat walaupun gue yakin mereka-merekalah pelakunya.
Yaudah, semua udah selesai dan gue nggak mau berurusan dengan mereka lagi. Emi pun akan gue tarik dari peredaran dikampus. Untung udah dekat dengan penyelesaian skripsi, jadinya dia nggak perlu banyak berinteraksi sama teman-teman toxicnya.
“Udah, kamu nggak usah ngomong apa-apa lagi sama mereka. Masalahnya udah beres. Mereka tinggal bikin klarifikasi ke semua angkatan yang mereka undang yang sekiranya tau tentang desas desus perusakan nama baik aku mulai malem ini. Kalo sampe aku masih denger ada omongan tentang aku perusak PKAT, Rizky dkk yang bakal nanggung akibatnya. Aku bakal aduin ke Kemahasiswaan. Fitnah lho ini! Perusakan nama baik!” kata gue ke Emi.
“Terus kenapa aku tadi nggak boleh pamitan sama mereka…” ujar Emi, gue terus memegang tangannya sampai keluar dari gedung fakultas.
“Karena mereka sama sekali nggak minta maaf tentang gimana mereka suudzon sama kamu dan nutup akses informasi ke kamu. Udah aku pancing pun mereka tetep nggak minta maaf. Aku nggak suka ngeliat kamu nanti haha hihi didepan mereka. Pasti mereka bakalan balik haha hihi sama kamu, karena ada aku. Entah aslinya mereka bakalan ngomongin apaan setelahnya dibelakang kita. Aku bisa urus masalah aku sendiri, tapi aku NGGAK AKAN PERNAH MAU PACAR AKU SEDIH KARENA URUSAN RECEH BEGINI!”
Gue dan Emi pun pulang dengan tergesa-gesa dan dalam suasana hati yang nggak enak. Gue cuma berharap ini udah selesai sampai disini.
itkgid dan 30 lainnya memberi reputasi
31
Tutup