- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1354
Trip To Padang_Part 2
Dee langsung menghampiri gue dan memeluk gue. Gue hanya melihat dia dengan rasa kasihan. Ya kasihan. Karena dia yang udah bikin suasana dan jalan hidup seperti ini, tapi dia juga yang sekarang berusaha mengembangkan mimpi untuk bisa bersama lagi.
Gue nggak habis pikir soal ini. Dia bisa tau soal kedekatan gue dengan Emi. Bisa tau nomor HP Emi, dan gilanya lagi, dia bisa berhubungan dengan Dewi. Ini gimana urusannya ya? Dewi loh. Anak yang angkatannya jauh dibawah dia. Sedangkan teman-temannya aja berusaha untuk menghubungi dia nggak ada yang dihiraukan. Nah ini Dewi malah ditanggapi? Aneh banget.
“Aku udah sewa mobil. Ini kan masih siang. Bisa lah kita jalan-jalan dulu ya.” kata gue datar.
“Mau jalan kemana emang?” kata Dee.
“Lah kan yang tau Padang kamu, ya kamu yang tunjukin dong. Masa aku?”
“Ya bukan, kamu maunya kemana? Restoran, mall, atau apa?”
“Haha disini bukannya nggak ada mall?”
“Hmm plaza sih. Tapi itu juga kecil.”
“Bilang aja minimarket gedean dikit.”
“Haha kamu masih lucu aja ya Zi. Aku beneran kangen sama kamu.”
“……..”
“Kok kamu diam aja?”
“Ya harus jawab apa? Kan kamu nggak nanya.” Kata gue datar lagi.
“Kok kamu datar banget sih? Nggak suka ya ketemu aku?”
“Biasa aja kok. suka nggak suka itu relatif. Yaudah aku siap-siap dulu.”
“Aku ikut ke kamar kamu ya.”
“Yaudah terserah. Asal jangan agresif. Aku nggak mau.”
“Hehehe. Maaf ya soalnya kebiasaan.”
“Jangan dibiasain lagi ok?”
Gue dan Dee lalu berjalan menuju ke kamar gue tanpa bicara. Gue benar-benar harus menjaga sikap gue agar dia nggak kepedean seolah harapan yang dulu muncul kembali. Nggak ada itu sekarang.
“Kamu kalau mau bikin kopi atau teh, bisa disitu aja. Dulu udah biasa kan?”
“Hmmm. Hehe iya Zi.”
“Sebentar aku mau mandi dulu ya. soalnya tadi dari kerjaan nggak enak, cuacanya panas. Jadi gerah.”
“Iya aku tunggu ya.”
“Dan nggak usah nggeratak barang aku.”
“Iya Ziiii…..”
Gue kemudian mandi dulu. Cukup segar mandi tengah hari bolong gitu. Apalagi badan gue masih terasa agak capek. Cuma karena gue merencanakan untuk jalan-jalan dulu demi bisa membongkar informasi, gue relain aja capek-capek tetap jalan-jalan sama Dee.
Setelah sekitar 10 menitan gue mandi dan menikmati air hangat, gue sudah siap untuk pergi dengan pakaian kasual disertai topi Adid*s kesayangan gue yang berwarna hijau keabuan pudar. Topi ini gue beli dari hasil menabung uang yang berasal dari ngeband. Makanya ini berharga banget buat gue. kebetulan juga topi ini gue beli ketika gue manggung di negara tetangga dulu. Kayaknya juga disini nggak ada yang jual, bahkan di konter resmi merk tersebut.
Untuk menghemat pengeluaran agar bisa digunakan sebagai biaya pacaran gue dan Emi, gue selalu meminimalisir pengeluaran dari segi oleh-oleh. Atau jika hotelnya diminta untuk mencari sendiri, gue akan memilih hotel yang nggak terlalu mahal. Ngapain juga mahal-mahal toh cuma numpang tidur aja kan. Jadi sisa budget gue bisa utuh. Pun jika sewa mobil. Gue memilih untuk menyetir sendiri aja. google maps kala itu udah mulai bagus kok teknologinya. Kalaupun masih bingung, bisa nanya penduduk sekitar.
Gue dan Dee sudah berada didalam mobil yang untungnya diantar ke hotel oleh pihak yang menyewakan. Mobilnya masih baru. Mudah-mudahan aja enak dipakainya. Interior mobilnya juga udah di setting sedemikian rupa sehingga membuat nyaman penyewanya.
Perjanjiannya, menyewa 24 jam. Jika sebelum 24 jam sudah selesai nanti bisa minta untuk dijemput kembali dari pihak penyewanya. Dulu udah mulai ada ojek online, tapi masih belum ada layanan untuk roda empat, apalagi rental mobil.
Selama perjalanan, Dee lebih banyak bicara daripada gue. Gue nggak tega juga karena dia sebenernya nggak kenapa-kenapa awalnya. Gue yakin banget Dee jadi rese kayak gini karena ada bisikan-bisikan dibelakangnya. Dee itu orangnya cuek dan nggak terlalu peduli sama yang udah lewat.
Mobil gue arahkan kesebuah pertokoan dimana disana juga ada beberapa restoran. Kami mampir dulu kesana untuk makan siang karena disana katanya ada restoran yang enak dan sudah terkenal. Bentuk pertokoannya juga nggak terlalu besar. Lebih banyak ruko daripada kiosnya disana.
“Kita makan disini aja ya.” kata gue.
“Iya boleh. Kamu tau darimana ada resto ini? Aku aja nggak tau loh.” Sahut Dee.
“Aku googling dulu sebelum kesini. Terus ada rekomendasi resto yang oke, ngarahnya kesini. Yaudah kita kesini.” Gue udah mulai santai ngomongnya.
Nggak lama pelayannya datang dan membawakan menu. Kami memesan dan kemudian diulang oleh pelayannya. Sembari menunggu, kami ngobrol banyak soal pekerjaan. Dee sekarang sudah pindah divisi untuk pelayanan nasabah prioritas.
Sesuatu yang sangat tidak mengherankan melihat dari fisik yang dimiliki Dee. Entah bagaimana, seperti ada aturan tidak tertulis, atau tertulis ya, kalau misalnya untuk pelayanan prioritas selalu saja yang dipilih orang-orang berpenampilan menarik. Seringnya yang secara natural udah punya fisik yang bagus.
Kayak Dee ini contohnya. Fisiknya bagus, orangnya pintar, sayang aja kurang ramah dan kurang pandai berbicara dengan orang lain. Tapi nggak tau juga ya kalau misalnya perkembangan serta pengalamannya gimana. Dia masuk ke tim prioritas, berarti harusnya dia udah punya atribut-atribut pelengkap tersebut.
Obrolan kemudian kembali lagi soal pitak, seorang yang hampir selalu diceritakan oleh Dee. Dia juga udah pindah divisi katanya. Gue nggak terlalu mendengarkan karena yang diceritakan udah ketebak banget cuma itu-itu aja dari dulu nggak ada yang berubah. Gue nggak banyak menanggapi ketika dia berbicara tentang si pitak ini.
“Kamu kok kayak nggak semangat kalau aku ngomongin dia?” tanya Dee.
“Ah biasa aja. cuma cerita kamu udah ketebak Dee. Jadi mau gimana lagi ekspresinya.” Jawab gue.
“Ya, kan bisa komenin apa kek. Atau kasih saran aku biar aku nggak diomelin melulu sama dia.”
“Kan kamu udah pindah divisi. Udah nggak sama dia lagi kan? Kok masih aja diomelin? Aneh bener.”
“Ituuuu. Yaaa….. Mungkin dia perhatian kali, maunya selalu sempurna.”
“Kalo gitu kan harusnya karyawan lainnya diomelin juga. Kenapa ini kamu doang? Lagian kalo aku jadi manajer kamu sekarang, aku nggak akan terima tim aku diomelin orang lain yang bukan dilingkup pekerjaannya dia Dee.”
“Hmmm. Iya juga sih. Yaudah mau gimana, kemana-mana selama dikantor aku selalu ketemu dia.”
“Mungkin dia jodoh kamu kali Dee. Haha.”
“Aku nggak mau mikir kesitu.”
“Kenapa emangnya?”
“Ya aku mau kerja dulu aja yang bener Zi.”
Makanan sudah datang dan kami menyantap makanan dalam diam. Setelah sekitar setengah jam kami ada direstoran tersebut, kami keluar dan mulai jalan-jalan. Pada momen ini gue berusaha untuk nggak kaku dan datar. Biasa aja semuanya.
Kami datang ke beberapa museum dan mengambil gambar disana. Lebih banyaknya sih keliling-keliling kota. Ada beberapa bangunan bekas gempa yang masih terlihat belum dirapihkan. Padahal kejadiannya sudah lama berlalu.
Pada akhir perjalanan ini, gue memutuskan untuk datang ke stadion kebanggaan orang minang. Stadion H. Agus Salim, tempat tim raksasa Liga Indonesia saat itu bercokol, Semen Padang. Stadion ini sepertinya juga bukan stadion pribadi milik klub ya, tetapi milik pemerintah daerah seperti kebanyakan stadion di Indonesia.
Gue sempat mengambil beberapa momen didepan stadion dan didalam stadion. Sayang sekali stadionnya seperti kurang terawat. Padahal sewa Semen Padang untuk stadion ini gue percaya nilainya cukup besar.
Dee juga nggak mau kalah, dia ingin diabadikan momennya di stadion itu. Dia yang udah berdandan cantik seperti nggak mau rugi kalau nggak diabadikan. Gue pun mengambil beberapa foto dia berpose di stadion dengan kamera gue.
--
Nggak kerasa hari sudah malam. Sehabis isya gue dan Dee makan malam disebuah restoran disebuah Mall, katanya. Tapi ya ini mah kumpulan ruko aja sebenernya. Disini juga momen gue akan coba bongkar semuanya supaya jelas apa maksud dibalik semua kejadian yang menimpa hubungan gue dan Emi. Gue cuma mau ketenangan aja.
Sambil makan, gue ajak ngobrol biasa aja. sikap gue juga biasa aja. harapannya supaya dia nyaman ngomong atau menceritakan apa yang terjadi.
“Adik kelas kita tuh sebelum-sebelum ini ada yang pernah ngehubungin kamu nggak Dee?” tanya gue.
Dee terlihat agak terkejut dengan pertanyaan gue. Gue dan dia lagi ngobrol mengenang masa lalu soalnya.
“Kok kamu tiba-tiba nanya gitu Zi? Emang kenapa?” kata dia, sedikit kaget dari nada bicaranya.
“Ya dijawab aja. Kan kata kamu aku boleh nanya-nanya. Hehehe.”
“Hehe iya sih. Nggak ada yang hubungin aku Zi. Nggak pernah ada yang hubungin aku.”
“Yakin kamu?”
“Iya yakin.”
“Soalnya aku terima kabar dan gosip entah darimana, kalau kamu bilang kamu masih jadi pacar aku selama ini. Dan itu bikin heboh dikampus sana. Banyak asumsi yang beredar disana kalau bahkan beritanya kita mau nikah segala. Kamu yakin nggak pernah ngomong sama siapapun?”
“Nggak Zi. Aku nggak pernah bikin pernyataan kayak gitu. Aku emang sayang kamu, aku juga ngeharapin kita kembali lagi entah gimana caranya. Tapi aku nggak pernah bikin pernyataan kalau aku masih jadi pacar kamu. Apalagi udah mau nikah sama kamu.”
“Terus lagi. Kamu tau darimana kalau ternyata aku udah dekat dengan orang lain?”
“Emilya maksud kamu?”
“Siapa lagi.”
“Ya, ada berita-berita aja aku dengar. Kan udah ada sosial media juga Zi.”
“Nggak mungkin kamu tau sedetail itu sampai bisa tau nomer Emi dan chat kayak gitu ke dia kalau kamu cuma cari tau dari sosial media Dee. Udahlah jujur aja.”
“Aku nggak mau kasih tau Zi. Aku itu cuma mau tau perkembangan kamu aja.”
“Tapi kenapa kamu chat kayak gitu ke Emi?”
“Aku nggak suka kamu dimilikin orang lain Zi.”
“Sejak kapan kamu jadi egois banget kayak gini? Biasanya kamu itu cuek aja. bahkan abis kita putus dulu aja kita nggak pernah seintens ini. Kita mulai intens ketika Emi mulai datang ke kehidupan aku. Dan aku yakin banget ada yang ngomporin kamu.”
“………”
“JAWAB DEE!” gue sedikit membentak.
Dia mulai terlihat bingung. Dia seperti bingung harus ngomong kayak gimana.
“Kamu kenal sama yang namanya Ratu? Atau nama-nama lain angkatan tiga tahun dibawah kamu.”
“Hah? Siapa Ratu? Aku nggak kenal. Apalagi angkatannya dia, aku nggak pernah hubungan sama sekali.”
“Ratu itu pacar si Yudha, temen sekelas kamu. Aku denger juga kamu nggak pernah ngegubris semua yang ngehubungin kamu. Nah kenapa kok kamu tiba-tiba tau semua kegiatan aku? Tau darimana kamu?”
“Yang jelas aku nggak kenal sama yang namanya Ratu. Atau siapapun dari angkatan dia. Kalau untuk itu aku nggak bisa kasih informasi. Yang jelas, aku mau kita tetap intens.”
Fix, berarti cerita ini sukses dikarang oleh teman-teman Emi. Sudah dikarang, ditambahkan asumsi-asumsi lainnya lagi. Tujuannya ya sudah jelas, mereka nggak setuju dengan hubungan gue dan Emi. Cuma gue bingung, mereka kan nggak kenal gue. Bahkan mereka nggak kenal juga dengan Dee, hanya tau nama dan orangnya yang mana. Gue percaya apa kata Dee soal dia nggak kenal teman-teman Emi ini.
Mereka bisa-bisanya langsung memutuskan kalau gue itu masih pacaran dan akan menikah dengan Dee. Sampai mengarang cerita yang nggak-nggak. Sepertinya juga mereka tau seluk beluk masa lalu gue seperti apa dikampus.
Asumsinya adalah, Emi itu cuma buat serep selama gue LDR dan hanya main-mainin Emi aja gue itu. Oke ini semua makin jelas. Fix yang buat cerita mesti gue habisin nih. Anj*ng banget memang ini anak-anak sekarang. Tapi gue masih rada aneh, kalau bukan teman-teman Emi, siapa lagi yang ngegosok Dee supaya mau balik lagi sama gue? atau tetap menganggap gue sebagai pacar Dee?
“Emang kenapa sih Zi?”
“Nggak kenapa-kenapa. Berarti beneran ya kamu sumpah nggak kenal mereka?”
“Aku nggak kenal.”
“Terus, angkatan dibawahnya lagi kamu kenal?”
“Bawahnya lagi apalagi.”
“Kenapa kamu jadi semangat lagi untuk hubungin aku, disaat aku udah deket sama cewek lain. Kenapa?”
“Kan aku udah bilang, aku nggak mau kamu jadian sama orang lain.”
“Yah, itu suka-suka aku dong. Lagian kalau kamu nggak mau aku jadian sama orang lain. Dulu kenapa aku mohon ke kamu supaya stay diibukota kamu nggak mau? Ini terlalu aneh dan janggal Dee. Aku jadi nggak yakin sebenernya kamu ini beneran mau balik lagi sama aku, atau hanya sekedar bantuin orang lain supaya ngeganggu hubungan aku.”
“Kok kamu ngomongnya gitu sih Zi.”
“Karena Dee yang aku kenal itu nggak freak kayak gini. Dee yang aku kenal itu orangnya cuek dan nggak peduli. Sekarang, pas banget ketika aku dekat dengan orang lain, tiba-tiba kamu muncul dan malah mau balikan lagi sama aku. Ini nggak sikap kamu banget Dee.”
Gue mulai menaikkan tensi bicara gue. Dee juga sepertinya agak mulai terpancing.
“Aku emang menyesali keputusan aku untuk putus sama kamu. Terlalu berharga emang hubungan ini Zi. Aku cuma mau memanfaatkan kesempatan yang ada aja. karena kita juga putus baik-baik, jadi nggak ada alasan untuk nggak bisa balik lagi.”
“Ini nggak kamu banget Dee. Dan ada alasan untuk kita nggak bisa bareng lagi.”
“Selalu ada alasan untuk bisa bareng lagi Zi.”
“Nggak ada aku bilang! Aku udah punya orang lain, dan kamu nggak bisa seenaknya ngurusin urusan aku lagi Dee.”
“Tapi aku mau kita tetap berhubungan.” Katanya, suaranya mulai bergetar.
“Iya nggak masalah kok. Soalnya dulu sebelum ada orang lain yang dekat dengan aku, kamu biasa aja berhubungan dengan aku dan aku nggak masalah dengan itu semua.”
“Iya itu kan dulu, sekarang aku nyesel aja. makanya aku usaha apapun buat deket sama kamu lagi.”
“Dulu kamu dikerjain sama Keket suka nggak? Sekarang kamu malah mau kayak dia?”
“Nggak gitu sih. Aku nggak mau kayak Keket. aku cuma mau kamu aja deket lagi sama aku.”
“Ya nggak bisa lah. Aku udah ada yang deket. Aku nggak mau ngejauh dari dia cuma buat deket lagi sama kamu.”
“Nggak apa-apa sih. Aku tau kok, anak itu suka kebawa perasaan. Gampang dihasut lagi. Mudah aja kok. aku tinggal sering-sering aja ngirim chat ke dia kayak kemarin. Lama-lama juga dia pasti nyerah.”
DEG. Gue kaget setengah mati. Gimana caranya Dee bisa tau kalau Emi itu suka bawa perasaan? Bagaimana pula Dee tau kalau Emi pernah hampir menyerah dalam hubungan ini? Gila ini pasti ada orang lain. Tapi siapa? Kalau dia nggak tau orang-orang yang dari angkatan Emi, lantas siapa? Apa Dewi atau Nindy? Soalnya Dewi kemarin ini kan bilang katanya Dee mau nyerahin gue ke Dewi, tapi tidak ke Emi.
Gue nggak begitu aja percaya omongan Dewi. Bisa aja itu cuma ngarang doang. Gue nggak mau asumsi macam-macam. Gue hanya nggak mau Emi tersentuh dan terganggu oleh Dee atau siapapun itu. Gue berpikir keras gimana caranya untuk mengendalikan suasana yang terbalik ini.
“Oke. Oke. Gini deh, aku mau aja nurutin apa yang kamu mau, asal kamu jauh-jauh dari Emi. Jangan pernah ganggu Emi, ok? Aku bakal mau kok berhubungan dekat dengan kamu, tapi inget kita nggak ada hubungan spesial lagi. Gimana?” gue menawarkan solusi sementara.
“Beneran? Aku sih emang nggak mau ganggu dia kok. aku cuma mau konsentrasi kamu ya ke aku. Nggak masalah selama disana kamu jalan, atau bahkan pacaran. Yang penting, diujungnya nanti tetap kamu akan jadi sama aku.”
“Kalau itu aku nggak bisa. Aku nggak mau.”
“Kamu emang udah nggak sayang sama aku?”
“Sayang aku udah lama hilang untuk kamu. Dan aku udah nemu penggantinya. Tolong ngertiin aku.”
“Ya nggak apa-apa sih. Tapi jangan heran kalau nanti suatu saat dia bakal menyerah sama hubungan kalian.” Kata Dee tenang, tapi cukup menohok.
Sepertinya gue salah mengambil keputusan. Disini salahnya gue adalah, gue nggak tegas dalam mengambil keputusan. Ini jadi peluang Dee untuk mengambil alih permainan yang sebenarnya gue rancang. Gue yang harusnya mengendalikan. Ternyata dia punya cara lain. Dee sudah menjadi orang lain. Gue yakin banget, pasti ini minta nasehat atau masukan dari orang lain. Tapi siapa? Ah gila ini. Makin rumit aja udah.
“So, gimana Zi? Mau nurutin permintaan aku?”
“Hmmm….oke. tapi ingat, jangan pernah sekalipun kamu sentuh atau ganggu Emi. Karena dengan begitu, aku benar-benar akan ninggalin kamu.”
“Kamu takut banget kehilangan dia ya? kan kalaupun udah nggak ada dia, ada aku disini.”
“Nggak segampang itu Dee!” gue mulai emosi.
“Kok kamu jadi marah?”
“Cerita ini nggak semudah yang kamu pikirin. Dan nggak perlu juga aku ceritain ke kamu sebenernya gimana perjuangan aku disana dari habis putus sama kamu sampai ketemu dengan dia.”
“Itu aku juga nggak peduli kok. yang jadi kepedulian aku hanya kamu.”
Gue kehabisan kata-kata untuk membalikkan omongan dia. Fix ini gue yang mau menjebak, malah jadi terjebak balik. Tapi ada beberapa fakta yang bisa diungkap, yaitu fitnah yang dilayangkan oleh Ratu atau entah siapa lagi untuk menghalangi hubungan gue dengan Emi. Nama Dee yang pada awalnya nggak ada sangkut pautnya malah ikut dibawa-bawa.
Obrolan selanjutnya, Dee bilang awalnya dia nggak mau diganggu lagi urusan ini. Tapi entah siapa lagi yang menghubungi dia, dia nggak kasih tau juga sampai gue desak seperti apapun, dan sukses merubah mindset Dee dari yang awalnya biasa aja, malah jadi nggak mau kehilangan gue untuk kedua kalinya, tepat saat gue mulai berhubungan serius dengan Emi.
Bodohnya Dee, dia malah kejebak sama perasaannya sendiri. Gue lebih bodoh lagi sebenernya, malah ikutan dalam lingkaran permainan orang yang nggak suka sama Emi, atau mungkin juga nggak suka sama gue. intinya nggak suka sama adanya hubungan gue dan Emi.
Disini bagi gue tantangan dimulai. Semuanya jadi kacau karena kedatangan Dee dan permainan norak Dee yang terpaksa harus gue ikuti. Gue bikin perjanjian konyol hanya demi keamanan Emi. Gue bersedia melakukan apapun yang diminta Dee asalkan Emi nggak tersentuh. Ya, itu bodoh dan harus gue akui. Gue seperti hilang akal dan mentok sana sini pikirannya. Yang jelas, hubungan gue dan Emi bakal lebih banyak tantangan. Semoga gue nggak menyerah dan begitu juga Emi.
Gue pun mengantar Dee pulang kerumahnya. Gue malah jadi pusing sendiri dengan keadaan kayak gini. Tapi, ya harus gue jalanin, mau nggak mau.
Gue nggak habis pikir soal ini. Dia bisa tau soal kedekatan gue dengan Emi. Bisa tau nomor HP Emi, dan gilanya lagi, dia bisa berhubungan dengan Dewi. Ini gimana urusannya ya? Dewi loh. Anak yang angkatannya jauh dibawah dia. Sedangkan teman-temannya aja berusaha untuk menghubungi dia nggak ada yang dihiraukan. Nah ini Dewi malah ditanggapi? Aneh banget.
“Aku udah sewa mobil. Ini kan masih siang. Bisa lah kita jalan-jalan dulu ya.” kata gue datar.
“Mau jalan kemana emang?” kata Dee.
“Lah kan yang tau Padang kamu, ya kamu yang tunjukin dong. Masa aku?”
“Ya bukan, kamu maunya kemana? Restoran, mall, atau apa?”
“Haha disini bukannya nggak ada mall?”
“Hmm plaza sih. Tapi itu juga kecil.”
“Bilang aja minimarket gedean dikit.”
“Haha kamu masih lucu aja ya Zi. Aku beneran kangen sama kamu.”
“……..”
“Kok kamu diam aja?”
“Ya harus jawab apa? Kan kamu nggak nanya.” Kata gue datar lagi.
“Kok kamu datar banget sih? Nggak suka ya ketemu aku?”
“Biasa aja kok. suka nggak suka itu relatif. Yaudah aku siap-siap dulu.”
“Aku ikut ke kamar kamu ya.”
“Yaudah terserah. Asal jangan agresif. Aku nggak mau.”
“Hehehe. Maaf ya soalnya kebiasaan.”
“Jangan dibiasain lagi ok?”
Gue dan Dee lalu berjalan menuju ke kamar gue tanpa bicara. Gue benar-benar harus menjaga sikap gue agar dia nggak kepedean seolah harapan yang dulu muncul kembali. Nggak ada itu sekarang.
“Kamu kalau mau bikin kopi atau teh, bisa disitu aja. Dulu udah biasa kan?”
“Hmmm. Hehe iya Zi.”
“Sebentar aku mau mandi dulu ya. soalnya tadi dari kerjaan nggak enak, cuacanya panas. Jadi gerah.”
“Iya aku tunggu ya.”
“Dan nggak usah nggeratak barang aku.”
“Iya Ziiii…..”
Gue kemudian mandi dulu. Cukup segar mandi tengah hari bolong gitu. Apalagi badan gue masih terasa agak capek. Cuma karena gue merencanakan untuk jalan-jalan dulu demi bisa membongkar informasi, gue relain aja capek-capek tetap jalan-jalan sama Dee.
Setelah sekitar 10 menitan gue mandi dan menikmati air hangat, gue sudah siap untuk pergi dengan pakaian kasual disertai topi Adid*s kesayangan gue yang berwarna hijau keabuan pudar. Topi ini gue beli dari hasil menabung uang yang berasal dari ngeband. Makanya ini berharga banget buat gue. kebetulan juga topi ini gue beli ketika gue manggung di negara tetangga dulu. Kayaknya juga disini nggak ada yang jual, bahkan di konter resmi merk tersebut.
Untuk menghemat pengeluaran agar bisa digunakan sebagai biaya pacaran gue dan Emi, gue selalu meminimalisir pengeluaran dari segi oleh-oleh. Atau jika hotelnya diminta untuk mencari sendiri, gue akan memilih hotel yang nggak terlalu mahal. Ngapain juga mahal-mahal toh cuma numpang tidur aja kan. Jadi sisa budget gue bisa utuh. Pun jika sewa mobil. Gue memilih untuk menyetir sendiri aja. google maps kala itu udah mulai bagus kok teknologinya. Kalaupun masih bingung, bisa nanya penduduk sekitar.
Gue dan Dee sudah berada didalam mobil yang untungnya diantar ke hotel oleh pihak yang menyewakan. Mobilnya masih baru. Mudah-mudahan aja enak dipakainya. Interior mobilnya juga udah di setting sedemikian rupa sehingga membuat nyaman penyewanya.
Perjanjiannya, menyewa 24 jam. Jika sebelum 24 jam sudah selesai nanti bisa minta untuk dijemput kembali dari pihak penyewanya. Dulu udah mulai ada ojek online, tapi masih belum ada layanan untuk roda empat, apalagi rental mobil.
Selama perjalanan, Dee lebih banyak bicara daripada gue. Gue nggak tega juga karena dia sebenernya nggak kenapa-kenapa awalnya. Gue yakin banget Dee jadi rese kayak gini karena ada bisikan-bisikan dibelakangnya. Dee itu orangnya cuek dan nggak terlalu peduli sama yang udah lewat.
Mobil gue arahkan kesebuah pertokoan dimana disana juga ada beberapa restoran. Kami mampir dulu kesana untuk makan siang karena disana katanya ada restoran yang enak dan sudah terkenal. Bentuk pertokoannya juga nggak terlalu besar. Lebih banyak ruko daripada kiosnya disana.
“Kita makan disini aja ya.” kata gue.
“Iya boleh. Kamu tau darimana ada resto ini? Aku aja nggak tau loh.” Sahut Dee.
“Aku googling dulu sebelum kesini. Terus ada rekomendasi resto yang oke, ngarahnya kesini. Yaudah kita kesini.” Gue udah mulai santai ngomongnya.
Nggak lama pelayannya datang dan membawakan menu. Kami memesan dan kemudian diulang oleh pelayannya. Sembari menunggu, kami ngobrol banyak soal pekerjaan. Dee sekarang sudah pindah divisi untuk pelayanan nasabah prioritas.
Sesuatu yang sangat tidak mengherankan melihat dari fisik yang dimiliki Dee. Entah bagaimana, seperti ada aturan tidak tertulis, atau tertulis ya, kalau misalnya untuk pelayanan prioritas selalu saja yang dipilih orang-orang berpenampilan menarik. Seringnya yang secara natural udah punya fisik yang bagus.
Kayak Dee ini contohnya. Fisiknya bagus, orangnya pintar, sayang aja kurang ramah dan kurang pandai berbicara dengan orang lain. Tapi nggak tau juga ya kalau misalnya perkembangan serta pengalamannya gimana. Dia masuk ke tim prioritas, berarti harusnya dia udah punya atribut-atribut pelengkap tersebut.
Obrolan kemudian kembali lagi soal pitak, seorang yang hampir selalu diceritakan oleh Dee. Dia juga udah pindah divisi katanya. Gue nggak terlalu mendengarkan karena yang diceritakan udah ketebak banget cuma itu-itu aja dari dulu nggak ada yang berubah. Gue nggak banyak menanggapi ketika dia berbicara tentang si pitak ini.
“Kamu kok kayak nggak semangat kalau aku ngomongin dia?” tanya Dee.
“Ah biasa aja. cuma cerita kamu udah ketebak Dee. Jadi mau gimana lagi ekspresinya.” Jawab gue.
“Ya, kan bisa komenin apa kek. Atau kasih saran aku biar aku nggak diomelin melulu sama dia.”
“Kan kamu udah pindah divisi. Udah nggak sama dia lagi kan? Kok masih aja diomelin? Aneh bener.”
“Ituuuu. Yaaa….. Mungkin dia perhatian kali, maunya selalu sempurna.”
“Kalo gitu kan harusnya karyawan lainnya diomelin juga. Kenapa ini kamu doang? Lagian kalo aku jadi manajer kamu sekarang, aku nggak akan terima tim aku diomelin orang lain yang bukan dilingkup pekerjaannya dia Dee.”
“Hmmm. Iya juga sih. Yaudah mau gimana, kemana-mana selama dikantor aku selalu ketemu dia.”
“Mungkin dia jodoh kamu kali Dee. Haha.”
“Aku nggak mau mikir kesitu.”
“Kenapa emangnya?”
“Ya aku mau kerja dulu aja yang bener Zi.”
Makanan sudah datang dan kami menyantap makanan dalam diam. Setelah sekitar setengah jam kami ada direstoran tersebut, kami keluar dan mulai jalan-jalan. Pada momen ini gue berusaha untuk nggak kaku dan datar. Biasa aja semuanya.
Kami datang ke beberapa museum dan mengambil gambar disana. Lebih banyaknya sih keliling-keliling kota. Ada beberapa bangunan bekas gempa yang masih terlihat belum dirapihkan. Padahal kejadiannya sudah lama berlalu.
Pada akhir perjalanan ini, gue memutuskan untuk datang ke stadion kebanggaan orang minang. Stadion H. Agus Salim, tempat tim raksasa Liga Indonesia saat itu bercokol, Semen Padang. Stadion ini sepertinya juga bukan stadion pribadi milik klub ya, tetapi milik pemerintah daerah seperti kebanyakan stadion di Indonesia.
Gue sempat mengambil beberapa momen didepan stadion dan didalam stadion. Sayang sekali stadionnya seperti kurang terawat. Padahal sewa Semen Padang untuk stadion ini gue percaya nilainya cukup besar.
Dee juga nggak mau kalah, dia ingin diabadikan momennya di stadion itu. Dia yang udah berdandan cantik seperti nggak mau rugi kalau nggak diabadikan. Gue pun mengambil beberapa foto dia berpose di stadion dengan kamera gue.
--
Nggak kerasa hari sudah malam. Sehabis isya gue dan Dee makan malam disebuah restoran disebuah Mall, katanya. Tapi ya ini mah kumpulan ruko aja sebenernya. Disini juga momen gue akan coba bongkar semuanya supaya jelas apa maksud dibalik semua kejadian yang menimpa hubungan gue dan Emi. Gue cuma mau ketenangan aja.
Sambil makan, gue ajak ngobrol biasa aja. sikap gue juga biasa aja. harapannya supaya dia nyaman ngomong atau menceritakan apa yang terjadi.
“Adik kelas kita tuh sebelum-sebelum ini ada yang pernah ngehubungin kamu nggak Dee?” tanya gue.
Dee terlihat agak terkejut dengan pertanyaan gue. Gue dan dia lagi ngobrol mengenang masa lalu soalnya.
“Kok kamu tiba-tiba nanya gitu Zi? Emang kenapa?” kata dia, sedikit kaget dari nada bicaranya.
“Ya dijawab aja. Kan kata kamu aku boleh nanya-nanya. Hehehe.”
“Hehe iya sih. Nggak ada yang hubungin aku Zi. Nggak pernah ada yang hubungin aku.”
“Yakin kamu?”
“Iya yakin.”
“Soalnya aku terima kabar dan gosip entah darimana, kalau kamu bilang kamu masih jadi pacar aku selama ini. Dan itu bikin heboh dikampus sana. Banyak asumsi yang beredar disana kalau bahkan beritanya kita mau nikah segala. Kamu yakin nggak pernah ngomong sama siapapun?”
“Nggak Zi. Aku nggak pernah bikin pernyataan kayak gitu. Aku emang sayang kamu, aku juga ngeharapin kita kembali lagi entah gimana caranya. Tapi aku nggak pernah bikin pernyataan kalau aku masih jadi pacar kamu. Apalagi udah mau nikah sama kamu.”
“Terus lagi. Kamu tau darimana kalau ternyata aku udah dekat dengan orang lain?”
“Emilya maksud kamu?”
“Siapa lagi.”
“Ya, ada berita-berita aja aku dengar. Kan udah ada sosial media juga Zi.”
“Nggak mungkin kamu tau sedetail itu sampai bisa tau nomer Emi dan chat kayak gitu ke dia kalau kamu cuma cari tau dari sosial media Dee. Udahlah jujur aja.”
“Aku nggak mau kasih tau Zi. Aku itu cuma mau tau perkembangan kamu aja.”
“Tapi kenapa kamu chat kayak gitu ke Emi?”
“Aku nggak suka kamu dimilikin orang lain Zi.”
“Sejak kapan kamu jadi egois banget kayak gini? Biasanya kamu itu cuek aja. bahkan abis kita putus dulu aja kita nggak pernah seintens ini. Kita mulai intens ketika Emi mulai datang ke kehidupan aku. Dan aku yakin banget ada yang ngomporin kamu.”
“………”
“JAWAB DEE!” gue sedikit membentak.
Dia mulai terlihat bingung. Dia seperti bingung harus ngomong kayak gimana.
“Kamu kenal sama yang namanya Ratu? Atau nama-nama lain angkatan tiga tahun dibawah kamu.”
“Hah? Siapa Ratu? Aku nggak kenal. Apalagi angkatannya dia, aku nggak pernah hubungan sama sekali.”
“Ratu itu pacar si Yudha, temen sekelas kamu. Aku denger juga kamu nggak pernah ngegubris semua yang ngehubungin kamu. Nah kenapa kok kamu tiba-tiba tau semua kegiatan aku? Tau darimana kamu?”
“Yang jelas aku nggak kenal sama yang namanya Ratu. Atau siapapun dari angkatan dia. Kalau untuk itu aku nggak bisa kasih informasi. Yang jelas, aku mau kita tetap intens.”
Fix, berarti cerita ini sukses dikarang oleh teman-teman Emi. Sudah dikarang, ditambahkan asumsi-asumsi lainnya lagi. Tujuannya ya sudah jelas, mereka nggak setuju dengan hubungan gue dan Emi. Cuma gue bingung, mereka kan nggak kenal gue. Bahkan mereka nggak kenal juga dengan Dee, hanya tau nama dan orangnya yang mana. Gue percaya apa kata Dee soal dia nggak kenal teman-teman Emi ini.
Mereka bisa-bisanya langsung memutuskan kalau gue itu masih pacaran dan akan menikah dengan Dee. Sampai mengarang cerita yang nggak-nggak. Sepertinya juga mereka tau seluk beluk masa lalu gue seperti apa dikampus.
Asumsinya adalah, Emi itu cuma buat serep selama gue LDR dan hanya main-mainin Emi aja gue itu. Oke ini semua makin jelas. Fix yang buat cerita mesti gue habisin nih. Anj*ng banget memang ini anak-anak sekarang. Tapi gue masih rada aneh, kalau bukan teman-teman Emi, siapa lagi yang ngegosok Dee supaya mau balik lagi sama gue? atau tetap menganggap gue sebagai pacar Dee?
“Emang kenapa sih Zi?”
“Nggak kenapa-kenapa. Berarti beneran ya kamu sumpah nggak kenal mereka?”
“Aku nggak kenal.”
“Terus, angkatan dibawahnya lagi kamu kenal?”
“Bawahnya lagi apalagi.”
“Kenapa kamu jadi semangat lagi untuk hubungin aku, disaat aku udah deket sama cewek lain. Kenapa?”
“Kan aku udah bilang, aku nggak mau kamu jadian sama orang lain.”
“Yah, itu suka-suka aku dong. Lagian kalau kamu nggak mau aku jadian sama orang lain. Dulu kenapa aku mohon ke kamu supaya stay diibukota kamu nggak mau? Ini terlalu aneh dan janggal Dee. Aku jadi nggak yakin sebenernya kamu ini beneran mau balik lagi sama aku, atau hanya sekedar bantuin orang lain supaya ngeganggu hubungan aku.”
“Kok kamu ngomongnya gitu sih Zi.”
“Karena Dee yang aku kenal itu nggak freak kayak gini. Dee yang aku kenal itu orangnya cuek dan nggak peduli. Sekarang, pas banget ketika aku dekat dengan orang lain, tiba-tiba kamu muncul dan malah mau balikan lagi sama aku. Ini nggak sikap kamu banget Dee.”
Gue mulai menaikkan tensi bicara gue. Dee juga sepertinya agak mulai terpancing.
“Aku emang menyesali keputusan aku untuk putus sama kamu. Terlalu berharga emang hubungan ini Zi. Aku cuma mau memanfaatkan kesempatan yang ada aja. karena kita juga putus baik-baik, jadi nggak ada alasan untuk nggak bisa balik lagi.”
“Ini nggak kamu banget Dee. Dan ada alasan untuk kita nggak bisa bareng lagi.”
“Selalu ada alasan untuk bisa bareng lagi Zi.”
“Nggak ada aku bilang! Aku udah punya orang lain, dan kamu nggak bisa seenaknya ngurusin urusan aku lagi Dee.”
“Tapi aku mau kita tetap berhubungan.” Katanya, suaranya mulai bergetar.
“Iya nggak masalah kok. Soalnya dulu sebelum ada orang lain yang dekat dengan aku, kamu biasa aja berhubungan dengan aku dan aku nggak masalah dengan itu semua.”
“Iya itu kan dulu, sekarang aku nyesel aja. makanya aku usaha apapun buat deket sama kamu lagi.”
“Dulu kamu dikerjain sama Keket suka nggak? Sekarang kamu malah mau kayak dia?”
“Nggak gitu sih. Aku nggak mau kayak Keket. aku cuma mau kamu aja deket lagi sama aku.”
“Ya nggak bisa lah. Aku udah ada yang deket. Aku nggak mau ngejauh dari dia cuma buat deket lagi sama kamu.”
“Nggak apa-apa sih. Aku tau kok, anak itu suka kebawa perasaan. Gampang dihasut lagi. Mudah aja kok. aku tinggal sering-sering aja ngirim chat ke dia kayak kemarin. Lama-lama juga dia pasti nyerah.”
DEG. Gue kaget setengah mati. Gimana caranya Dee bisa tau kalau Emi itu suka bawa perasaan? Bagaimana pula Dee tau kalau Emi pernah hampir menyerah dalam hubungan ini? Gila ini pasti ada orang lain. Tapi siapa? Kalau dia nggak tau orang-orang yang dari angkatan Emi, lantas siapa? Apa Dewi atau Nindy? Soalnya Dewi kemarin ini kan bilang katanya Dee mau nyerahin gue ke Dewi, tapi tidak ke Emi.
Gue nggak begitu aja percaya omongan Dewi. Bisa aja itu cuma ngarang doang. Gue nggak mau asumsi macam-macam. Gue hanya nggak mau Emi tersentuh dan terganggu oleh Dee atau siapapun itu. Gue berpikir keras gimana caranya untuk mengendalikan suasana yang terbalik ini.
“Oke. Oke. Gini deh, aku mau aja nurutin apa yang kamu mau, asal kamu jauh-jauh dari Emi. Jangan pernah ganggu Emi, ok? Aku bakal mau kok berhubungan dekat dengan kamu, tapi inget kita nggak ada hubungan spesial lagi. Gimana?” gue menawarkan solusi sementara.
“Beneran? Aku sih emang nggak mau ganggu dia kok. aku cuma mau konsentrasi kamu ya ke aku. Nggak masalah selama disana kamu jalan, atau bahkan pacaran. Yang penting, diujungnya nanti tetap kamu akan jadi sama aku.”
“Kalau itu aku nggak bisa. Aku nggak mau.”
“Kamu emang udah nggak sayang sama aku?”
“Sayang aku udah lama hilang untuk kamu. Dan aku udah nemu penggantinya. Tolong ngertiin aku.”
“Ya nggak apa-apa sih. Tapi jangan heran kalau nanti suatu saat dia bakal menyerah sama hubungan kalian.” Kata Dee tenang, tapi cukup menohok.
Sepertinya gue salah mengambil keputusan. Disini salahnya gue adalah, gue nggak tegas dalam mengambil keputusan. Ini jadi peluang Dee untuk mengambil alih permainan yang sebenarnya gue rancang. Gue yang harusnya mengendalikan. Ternyata dia punya cara lain. Dee sudah menjadi orang lain. Gue yakin banget, pasti ini minta nasehat atau masukan dari orang lain. Tapi siapa? Ah gila ini. Makin rumit aja udah.
“So, gimana Zi? Mau nurutin permintaan aku?”
“Hmmm….oke. tapi ingat, jangan pernah sekalipun kamu sentuh atau ganggu Emi. Karena dengan begitu, aku benar-benar akan ninggalin kamu.”
“Kamu takut banget kehilangan dia ya? kan kalaupun udah nggak ada dia, ada aku disini.”
“Nggak segampang itu Dee!” gue mulai emosi.
“Kok kamu jadi marah?”
“Cerita ini nggak semudah yang kamu pikirin. Dan nggak perlu juga aku ceritain ke kamu sebenernya gimana perjuangan aku disana dari habis putus sama kamu sampai ketemu dengan dia.”
“Itu aku juga nggak peduli kok. yang jadi kepedulian aku hanya kamu.”
Gue kehabisan kata-kata untuk membalikkan omongan dia. Fix ini gue yang mau menjebak, malah jadi terjebak balik. Tapi ada beberapa fakta yang bisa diungkap, yaitu fitnah yang dilayangkan oleh Ratu atau entah siapa lagi untuk menghalangi hubungan gue dengan Emi. Nama Dee yang pada awalnya nggak ada sangkut pautnya malah ikut dibawa-bawa.
Obrolan selanjutnya, Dee bilang awalnya dia nggak mau diganggu lagi urusan ini. Tapi entah siapa lagi yang menghubungi dia, dia nggak kasih tau juga sampai gue desak seperti apapun, dan sukses merubah mindset Dee dari yang awalnya biasa aja, malah jadi nggak mau kehilangan gue untuk kedua kalinya, tepat saat gue mulai berhubungan serius dengan Emi.
Bodohnya Dee, dia malah kejebak sama perasaannya sendiri. Gue lebih bodoh lagi sebenernya, malah ikutan dalam lingkaran permainan orang yang nggak suka sama Emi, atau mungkin juga nggak suka sama gue. intinya nggak suka sama adanya hubungan gue dan Emi.
Disini bagi gue tantangan dimulai. Semuanya jadi kacau karena kedatangan Dee dan permainan norak Dee yang terpaksa harus gue ikuti. Gue bikin perjanjian konyol hanya demi keamanan Emi. Gue bersedia melakukan apapun yang diminta Dee asalkan Emi nggak tersentuh. Ya, itu bodoh dan harus gue akui. Gue seperti hilang akal dan mentok sana sini pikirannya. Yang jelas, hubungan gue dan Emi bakal lebih banyak tantangan. Semoga gue nggak menyerah dan begitu juga Emi.
Gue pun mengantar Dee pulang kerumahnya. Gue malah jadi pusing sendiri dengan keadaan kayak gini. Tapi, ya harus gue jalanin, mau nggak mau.
itkgid dan 32 lainnya memberi reputasi
33
Tutup