- Beranda
- The Lounge
Serumah tanpa menikah? Yuk Kita Bahas
...
TS
eggnostick
Serumah tanpa menikah? Yuk Kita Bahas

selamat pagi, siang, malam kaskuser dimanapun kalian berada.
Dalam rangka turut memeriahkan event kaskus creator spesial ulang tahun dengan tema "Bring the Best In you", saya ingin menuangkan keresahan saya dalam bentuk tulisan melalui trit ini.
Sebelum saya bahas topiknya, saya ucapkan selamat ulang tahun kaskus yang ke-18.

Oke langsung aja kita ke topik pembahasan
Serumah tanpa menikah? Masalahkah?
Dalam rangka turut memeriahkan event kaskus creator spesial ulang tahun dengan tema "Bring the Best In you", saya ingin menuangkan keresahan saya dalam bentuk tulisan melalui trit ini.
Sebelum saya bahas topiknya, saya ucapkan selamat ulang tahun kaskus yang ke-18.

Oke langsung aja kita ke topik pembahasan
Serumah tanpa menikah? Masalahkah?

Quote:
Beberapa waktu lalu, kita di hebohkan dengan kasus penggerebek an pasangan muda mudi yang dituduh berzina, dimana (oknum) warga kemudian melakukan tindakan main hakim sendiri dengan mentelanjangi pasangan tersebut bahkan memukul sang pria. Fenomena main hakim sendiri akhir-akhir ini marak terjadi dimasyarakat Indonesia.
Main hakim sendiri menurut KBBI merupakan menghakimi orang lain tanpa mempedulikan hukumyg ada (biasanya dilakukan dng pemukulan, penyiksaan, pembakaran, dsb). Masyarakat beranggapan bahwa pelaku kejahatan harus ditindak cepat apabila belum ada aparatur yg datang untuk menangani kasus tersebut.
Oke, sekarang mari kita bahas apakah ada hukum yg mencatut perzinahan?
Mari kita lihat gambar dibawah ini

Menurut undang undang pasal 284 kuhp, tindakan yang bisa disebut zinah adalah jika salah satu atau keduanya telah memiliki pasangan sah dan resmi (suami / istri). Dan dapat menjadi perkara hukum jika ada pengaduan diantara kedua belah pihak.
Lalu bagaimana nasib pasangan tersebut? Hemat saya, jika berdasarkan hukum yg berlaku mereka tidak melanggar pasal perzinahan, sebaliknya jika berdasarkan norma yg berlaku tentu mereka dianggap melakukan perzinahan. Tidak bisa dipungkiri negara tercinta kita ini indonesia, (sebagian) masih memberlakukan sanksi sosial, dimana (beberapa) sanksi sosial tersebut digunakan untuk mempermalukan orang lain di depan publik.
Kasus diatas mencerminkan bagaimana perilaku warga setempat yang masih suka Main Hakim sendiri. Memberlakukan sanksi sosial diatas norma masyarakat hingga terjadi lah hal hal seperti diatas.
Masyarakat menganggap tindakan itu adalah zina. biasanya, ini terjadi dalam kalangan warga yg kurang pemahaman hukum. Dimana tindakan tercepat adalah menghukum kedua pasangan dengan hukuman yang justru merusak moral. Bagaimana bisa memberi hukuman pasangan yg dituduh berzina dengan menelanjangi adalah tindakan yang tepat untuk memberi tahu agar tidak ada yang berzina dikemudian hari ?
Ini sangat lucu sekali, ni seperti kasus pembunuhan dimana pelaku pembunuhan kemudian dibunuh di hadapan publik dengan tujuan agar tidak ada lagi pembunuhan. ini namanya Logicaly fallacy, kesalahan kesalahan seperti ini sering terjadi karena kesadaran hukum dikalangan masyarakat masih rendah.
Lantas bagaimana dengan oknum yg turut serta menelanjangi, memukul, dan mengarak pasangan tersebut? Apakah mereka diberikan piagam emas atas aksi heroik mereka memberantas perzinahan? Atau diangkat menjadi Duta Anti Perzinahan?
Kabar baiknya, kini oknum oknum tersebut telah ditahan oleh pihak kepolisian, mereka di jatuhkan hukuman sesuai pasal 170 kuhp tentang kekerasan secara bersama sama dan juga pasal 335 kuhp tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Berkaca dari kasus diatas, tentunya ini menampar keras wajah dunia hukum indonesia. Dimana ketegasan,kecepatan,dan ketepatan aparatur negara dalam menangani kasus ini sedang diuji. Menurut saya, kasus ini begitu menjelimet, saya tidak tau harus menyalahkan siapa. Di satu sisi, pemahaman tentang hukum oleh warga masih kurang dan disisi lain kurangnya peran pemerintah dalam mensosialisasikan hukum beserta proses prosesnya.
Sekali lagi. Saya berharap dengan adanya kasus ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua. Agar kita tidak senantiasa meninggikan emosi dengan menjatuhkan kodrat kita sebagai manusia untuk memberi hukuman kepada orang yg belum tentu bersalah. Dan sekedar mengingatkan salah satu ungkapan yang menurut saya bagus, "Jika ingin menjadi manusia, cobalah untuk memanusiakan manusia."
Sekian, dan terima gaji
Quote:
TERIMA KASIH UNTUK SEGALA APRESIASI NYA DENGAN MELEMPAR CENDOL DAN SHARE

MOHON MAAF BELOM BISA KIRBAL


YOOK SIAPA LAGI YG TERGUNCANG DAN MENGGELINJANG HEBAT. SILAHKAN BATA TS NYA


MOHON MAAF BELOM BISA KIRBAL


YOOK SIAPA LAGI YG TERGUNCANG DAN MENGGELINJANG HEBAT. SILAHKAN BATA TS NYA

Diubah oleh eggnostick 27-11-2017 12:08
pakisal212 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
80.9K
725
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
1.3MThread•104KAnggota
Tampilkan semua post
rallyandrew
#722
Bisa dijadikan acuan gan, kalo aku sih pelaku
Berbeda dengan pengaturan di beberapa Negara di Indonesia cohabitation atau kumpul kebo coba diatur dalam Rancangan KUHP yang memasukkan tindak pidana tersebut dalam Pasal 488 yakni:
Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkimpoian yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. Penjelasan : Pasal 488 Ketentuan ini dalam masyarakat dikenal dengan istilah “kumpul kebo”.
Sebelumnya Dalam R KUHP 2012. Hal ini sebelumnya diatur Dalam Pasal 485 Rancangan Undang-Undang KUHP disebutkan:
Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkimpoian yang sah dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II (paling banyak Rp 30 juta)
Konsep 2012 juga ruang lingkup sebetulnya mengurangi ruang lingkup tindak pidana kumpul kebo dari konsep dari tahun 1999/2000. Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP tersebut dalam Pasal 422 dinyatakan bahwa :
(1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkimpoian yang sah dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II (paling banyak Rp 30 juta). (2) tindak pidana sebagaimana diatur dalam ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan keluarga salah satu pembuat tindak pidana sampai derajat ketiga, Kepala adat, atau oleh kepala desa/Lurah setempat.
Masuknya tindak pidana ini dimulai sejak tahun 1977 yang di susun oleh Tim Basarudin (konsep BAS). namun ketentuan ayat (2) Pasal 422 R KUHP Tahun 1999/2000 (kosep yang meggunakan delik aduan) ini, tidak ada dalam konsep aslinya di tahun 1977-1997/1998. Adapun ancaman pidana dalam Pasal 388 konsep KUHP hanya berupa pidana denda. Sedangkan Larangan yang ada di dalam Pasal 420 dan Pasal 422 RKUHP 1999/2000 dapat memenuhi kejahatan jika masyarakat setempat terganggu kesusilaannya. Hal ini berarti sepanjang masyarakat setempat tidak terganggu maka kumpul kebo tersebut tidak dilarang.
Konsep ini sebetulnya lebih mengambil jalan tengah karena praktek ini juga berlaku di beberapa wilayah Indonesia. Di Indonesia sendiri ternyata memiliki beragam budaya, dan ukuran kesusilaan dalam kaitannya dengan praktek ini, sehingga akan sulit menentukan patokan dan batasnya. Di Indonesia ada tiga daerah yang membolehkan kumpul kebo, yaitu Bali, Minahasa, dan Mentawai, kemungkinan masyarakat daerah-daerah itu tidak sependapat dengan ketentuan tersebut.
Konsep tahun 2015 ini sebenarnya mengambil secara warna sari beberapa pengaturan di beberapa Negara misalnya menghilangkan delik aduan dan menggantikannnya sebagai delik formil seperti kanada, Malaysia, namun melupakan bahwa di Negara-negara tersebut konsep kumpul kebo sebagai perbuatan sungguh sangat terbatas, yakni kumpul kebo sebagai tindak pidana jika di lakukan terhadap anak, jika dilakukan terhadap perempuan yang percaya bahwa ia kimpoi secara sah dengan pihak laki-laki tersebut, atau kepada anggota angkatan bersenjata aktif.
Di samping itu, secara khusus di Indonesia, Implikasi yang paling besar justru bukan kepada pasangan yang belum menikah, namun justru kepada pasangan yang menikah, namun pernikahan yang tidak tercatat, (secara adat) dan tidak tercatat oleh ketentuan administrasi Negara. Di Indonesia masih sangat banyak pasangan yang melakukan perkimpoian yang justru belum di sentuh secara formal oleh administrasi Negara, dan ini mungkin saja menjadi sasaran bagi tindak pidana ini.
Lagi pula sungguh sulit untuk memperkarakan kasus kumpul kebo.[4] Karena elemen tindak pidananya menyatakan “melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkimpoian yang sah” apa indikator hidup bersama sebagai suami istri, tidak ada penjelasan yang dapat dijadikan standar dalam R KUHP. Dan ini sangat menyulitkan dalam pembuktiannya. Karena tindakan yang dikecam sebetulnya dalam praktek kumpul kebo adalah hubungan persetubuhannya
Jika perumus KUHP ingin mengatur tindak pidana kumpul kebo atau cohabitation sebaiknya justru meniru rumusan kumpul kebo yang dilakukan oleh beberapa negara (masuk dalam kejahatan perkimpoian) diatas, misalnya kumpul kebo dengan anak, kumpul kebo dengan cara poligami, kumpul kebo dengan cara penipuan dan kumpul kebo dengan istri/suami anggota angkatan bersenjata aktif atau anggota Kepolisian aktif, justru kumpul kebo dalam konteks ini yang sangat dibutuhkan pengaturannya di Indonesia.
Di samping itu, Konsep Kumpul kebo harusnya termasuk ke dalam delik aduan, bukan delik pidana biasa seperti yang diatur dalam Konsep 2015. Konsep 2015 justru meniru konsep KUHP kanada namun secara tambal sulam.
Menghilangkan model delik aduan justru membuka intervensi yang luar biasa dari negara atas personal warganegaranya.
Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkimpoian yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. Penjelasan : Pasal 488 Ketentuan ini dalam masyarakat dikenal dengan istilah “kumpul kebo”.
Sebelumnya Dalam R KUHP 2012. Hal ini sebelumnya diatur Dalam Pasal 485 Rancangan Undang-Undang KUHP disebutkan:
Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkimpoian yang sah dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II (paling banyak Rp 30 juta)
Konsep 2012 juga ruang lingkup sebetulnya mengurangi ruang lingkup tindak pidana kumpul kebo dari konsep dari tahun 1999/2000. Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP tersebut dalam Pasal 422 dinyatakan bahwa :
(1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkimpoian yang sah dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II (paling banyak Rp 30 juta). (2) tindak pidana sebagaimana diatur dalam ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan keluarga salah satu pembuat tindak pidana sampai derajat ketiga, Kepala adat, atau oleh kepala desa/Lurah setempat.
Masuknya tindak pidana ini dimulai sejak tahun 1977 yang di susun oleh Tim Basarudin (konsep BAS). namun ketentuan ayat (2) Pasal 422 R KUHP Tahun 1999/2000 (kosep yang meggunakan delik aduan) ini, tidak ada dalam konsep aslinya di tahun 1977-1997/1998. Adapun ancaman pidana dalam Pasal 388 konsep KUHP hanya berupa pidana denda. Sedangkan Larangan yang ada di dalam Pasal 420 dan Pasal 422 RKUHP 1999/2000 dapat memenuhi kejahatan jika masyarakat setempat terganggu kesusilaannya. Hal ini berarti sepanjang masyarakat setempat tidak terganggu maka kumpul kebo tersebut tidak dilarang.
Konsep ini sebetulnya lebih mengambil jalan tengah karena praktek ini juga berlaku di beberapa wilayah Indonesia. Di Indonesia sendiri ternyata memiliki beragam budaya, dan ukuran kesusilaan dalam kaitannya dengan praktek ini, sehingga akan sulit menentukan patokan dan batasnya. Di Indonesia ada tiga daerah yang membolehkan kumpul kebo, yaitu Bali, Minahasa, dan Mentawai, kemungkinan masyarakat daerah-daerah itu tidak sependapat dengan ketentuan tersebut.
Konsep tahun 2015 ini sebenarnya mengambil secara warna sari beberapa pengaturan di beberapa Negara misalnya menghilangkan delik aduan dan menggantikannnya sebagai delik formil seperti kanada, Malaysia, namun melupakan bahwa di Negara-negara tersebut konsep kumpul kebo sebagai perbuatan sungguh sangat terbatas, yakni kumpul kebo sebagai tindak pidana jika di lakukan terhadap anak, jika dilakukan terhadap perempuan yang percaya bahwa ia kimpoi secara sah dengan pihak laki-laki tersebut, atau kepada anggota angkatan bersenjata aktif.
Di samping itu, secara khusus di Indonesia, Implikasi yang paling besar justru bukan kepada pasangan yang belum menikah, namun justru kepada pasangan yang menikah, namun pernikahan yang tidak tercatat, (secara adat) dan tidak tercatat oleh ketentuan administrasi Negara. Di Indonesia masih sangat banyak pasangan yang melakukan perkimpoian yang justru belum di sentuh secara formal oleh administrasi Negara, dan ini mungkin saja menjadi sasaran bagi tindak pidana ini.
Lagi pula sungguh sulit untuk memperkarakan kasus kumpul kebo.[4] Karena elemen tindak pidananya menyatakan “melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkimpoian yang sah” apa indikator hidup bersama sebagai suami istri, tidak ada penjelasan yang dapat dijadikan standar dalam R KUHP. Dan ini sangat menyulitkan dalam pembuktiannya. Karena tindakan yang dikecam sebetulnya dalam praktek kumpul kebo adalah hubungan persetubuhannya
Jika perumus KUHP ingin mengatur tindak pidana kumpul kebo atau cohabitation sebaiknya justru meniru rumusan kumpul kebo yang dilakukan oleh beberapa negara (masuk dalam kejahatan perkimpoian) diatas, misalnya kumpul kebo dengan anak, kumpul kebo dengan cara poligami, kumpul kebo dengan cara penipuan dan kumpul kebo dengan istri/suami anggota angkatan bersenjata aktif atau anggota Kepolisian aktif, justru kumpul kebo dalam konteks ini yang sangat dibutuhkan pengaturannya di Indonesia.
Di samping itu, Konsep Kumpul kebo harusnya termasuk ke dalam delik aduan, bukan delik pidana biasa seperti yang diatur dalam Konsep 2015. Konsep 2015 justru meniru konsep KUHP kanada namun secara tambal sulam.
Menghilangkan model delik aduan justru membuka intervensi yang luar biasa dari negara atas personal warganegaranya.
eggnostick memberi reputasi
1
Tutup