- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#509
Part 2
"Jadi pergi?" Kutatap wajah istriku dengan lesu. Ia sedang mematut di depan cermin sambil menyapu olesan lipstik di bibirnya dengan jari tengah. Malam ini ia tampak bersemangat. Mungkin karena hendak bepergian. Ya, sejak lima bulan pernikahan kami, baru kali ini ia mau mengajakku ke luar.
"Oke, aku sudah siap." Sefti tersenyum simpul sembari membalikkan badannya ke arahku. Tampak cantik dengan jilbab turqoise di kepalanya. Ah, tidak. Ia memang selalu cantik di mataku. Sefti lalu menghampiri, menggelayutkan tangannya manja pada lenganku, seraya bertutur, "Jangan lama-lama, ya! Jangan sampai ibu marah."
"Hlo? Bisa-bisanya bicara begitu, ha ha ... 'kan samean yang ngajak pergi. Aku ya apa kata samean," balasku sambil tertawa lirih. Kali ini ia mencubit lenganku, kemudian menggandeng ke luar kamar. Kita berjalan ke depan, tapi Sefti menghentikan langkah sejenak. "Ada apa?" tanyaku.
"Ibu mana? Tadi ada di depan situ."
"Ah, sudahlah! Nggak pake pamit, udah. Keluar sama aku juga, kan?"
"Nggak boleh begitu!" Lagi, ia mencubit pelan lenganku. Tanpa menunggu ucapanku, ia bergegas menuju belakang, dan aku diam di tempat menatap sosoknya yang mulai menjauh.
Dia-lah istriku. Pacar pertama sekaligus yang terakhir, dan kini menjadi sosok utama yang paling kuagungkan setelah ibu. Dia selalu baik sejak dulu. Pikiran dan perkataannya selalu positif. Hal yang menarik lainnya adalah, ia sangat mengerti keluarga, termasuk watak sang ibu. Sosok istri idaman yang bisa menempatkan posisinya dalam keadaan apapun. Aku sangat beruntung memiliki Sefti dalam hidup.
Kini istriku tengah mengandung tujuh minggu, dan aku akan menjadi seorang ayah dalam hitungan bulan. Sebelumnya, kami telah banyak membicarakan tentang masa depan anak yang masih di dalam perut. Tentang namanya nanti ... tentang sekolahnya nanti ... semua yang terbaik telah kami rancang jauh-jauh hari, meski masih berupa andai-andai. Namun sungguh, aku tak ingin kebahagiaan kami terusik dalam hal apapun. Apalagi mengenai masa lalu. Sefti pintar sekali menjaga hatiku. Sebaliknya, aku harus mampu menjaga perasaannya.
Tadinya aku malas sekali menanggapinya karena ia terus membahas rencana esok ke resepsi Adel. Ah, apa pentingnya? Semua tentang Adel, aku sudah tak ingin tahu. Kenangan sudah kukubur dalam. Bahkan, tadinya sudah betul-betul lupa. Namun, kenapa di saat-saat bahagiaku, undangan itu muncul membawa kabar seakan-akan aku harus mengungkit kembali kenangan masa lalu. Sefti meminta kita hadir pula. Salahkah jika aku marah pada keputusannya? Ah, ingin sekali marah, tapi tak sanggup. Ia terlalu baik untuk kusakiti.
"Kamu mau beli daster?" tanyaku saat baru melenggang masuk ke salah satu pertokoan. Beberapa hari yang lalu, ia memang baru saja beli daster dari motor Viar yang melintas di depan toko. Namun, ia mantap menggeleng saat aku bertanya tujuannya ke mari. Langkahnya lalu tertuju pada barisan pakaian mendebarkan serupa bra, CD, baju renang, dan komplotan yang lainnya. Spontan kakiku tercekat.
"Kalau sungkan, tunggu saja di sini," ucapnya kalem. Sefti melempar senyum sebelum akhirnya meninggalkanku di barisan atasan wanita. Aku tak kuasa keluar dari zona ini. Tak ingin lepas memantaunya, memastikan bahwa dirinya aman dalam awasan.
Istriku berdiri di depan patung yang mengenakan pakaian tidur. Ah, lucu sekali ... ia sedang memilah-milah lingerie rupanya. Kali ini, darahku berdesir hebat dengan tujuannya. Ada rasa geli menatapnya yang tengah memantaskan diri di tempat itu. Aku pun lebih mendekatkan diri dalam memantau, berdiri di samping anak tangga. Asyik memandangnya yang sedang sibuk meraba-raba kain dari lingerie tersebut. Tersenyum dan tak kuat rasanya diri menahan tawa melihat perempuan berjilbab lama berkutat di sana.
Sesaat kemudian, mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah lingerie merah yang terpampang di gantungan. Tepat berada di atasnya. Model simple, tapi tak menghilangkan kesan aura-nya.
"Pssssstt!" Aku berdesis pelan. Ia langsung mengalihkan pandang menatapku. Mataku pun mengerjap sambil melirik pilihan yang kumaksud tadi. Sefti memang sangat pintar. Lagi-lagi ia memahami kode yang kuberi. Tanpa banyak pikir, langsung saja ia meminta pegawai untuk mengambilkannya. Akhirnya, lingerie itu masuk ke dalam keranjang yang ia bawa.
Sefti berbalik, tersenyum padaku sambil mengacungkan jempol kirinya. Kulempar cium jauh saat ia mulai berjalan menghampiri.
"Istriku penurut sekali." Aku memuji sembari menggandeng tangannya menuju kasir. Entah kenapa, hati yang tadinya begitu gabut, sirna sudah kala melihatnya tengah menggelayut.
"Pilihannya topcer banget, sih. Aku juga suka dalam sekali pandang," seru Sefti.
"Iyalah. Lagian, bakal pusing nanti kalau samean tak diarahkan. Pilihannya banyak gitu. Eh, emang nggak malu apa beli gituan? Mana pakai jilbab ini. Ha ha ha ...."
"Lah, kenapa harus malu? Orang kita beli pake duit, kan? Kenapa menyalahkan jilbab?" Ia ikut ngakak kemudian.
Akhirnya, kita pulang tepat jam delapan malam. Dengan satu tas plastik milik isteriku, dan tas plastik lainnya khusus untuk ibu.
"Apa ini, Nak?" Ibu menerima tas plastik yang baru saja disodorkan Sefti. Perempuanku tersenyum, sembari mengeluarkan sesuatu dari balik tas tersebut. Sebuah longdress batik berbahan rayon.
"Coba lihat, Bu! Ini keluaran baru. Bahannya adem, ibu pasti nyaman pakainya." Sefti mulai menempelkan baju itu ke tubuh ibu. Ibu sendiri mulai meraba bahan baju, sambil mengeratkannya pada tubuh. "Kok, warna kuning gini. Walah, koyok arek enom'ae (kayak anak muda saja)" tukas ibu.
"Lah, emang ibuku 'kan masih cantik. Ini warna kuning cuma sedikit aja, kan? Lainnya warna cokelat.Pantes, kok. Lebih terang dilihat. Tampak jauh lebih muda," balas Sefti lirih. Ia lalu berbalik menatapku. "Bener 'kan, Mas?" lanjutnya lagi sambil mengedipkan matanya padaku.
"Eh, iya, Bu. Pantes. Bagus." Aku jadi kikuk dibuatnya. Antara pengen ketawa juga, sih. Memang sepertinya tak pantas menurutku. Tak banyak komentar, aku pun bertolak masuk ke kamar. Meninggalkan mereka yang masih ribut tentang baju di sana.
Sekilas mataku tertuju pada layar HP yang tengah berkedip. HP isteriku!
'Oh, iya, Mbak Septi. Makasih, kebetulan masih sakit juga. Semoga acara esok lancar, ya!' Chat dari Nanik, pegawainya.
Penasaran, kubaca isi chat sebelumnya. Rupanya, Sefti meliburkan dua karyawannya besok demi menghadiri resepsi Adel. Ia juga sudah berdiskusi pada Ica sebelumnya, bahwa akan memberi kado sebuah lingerie pada pesta pernikahan Adel. Lah, jadi dia beli lingerie tadi itu ....
"Ada apa?"
Aku terkesiap saat suara Sefti nyeletuk di belakang. Ia menghampiri, sambil meraih HPnya dari tanganku. Menilik sekilas. Sesudah itu, meletakkan kembali ke kasur. Tersenyum menatapku. "Sayang, aku sudah pamit sama ibu besok. Aku bilang ada acara. Alhamdulillah, sih, ibu gak nanya panjang-panjang," katanya lagi.
Kembali aku tertegun dalam perasaan yang carut-marut. Sefti sendiri mulai membuka almari. Ia keluarkan beberapa pakaianku ke kasur. Sambil bingung menimbang-nimbang. "Sayang, kamu pakai ini saja, ya. Pasti cakep," serunya sambil memperlihatkan hem warna maroon. Atasan yang pernah kupakai saat acara melamarnya. Aku bergeming dan tak menjawab. Masih pening rasanya pikir. Sefti kembali membuka almari pintu satunya. Lagi, ia keluarkan beberapa baju miliknya untuk dipertanyakan padaku, mana yang pantas. Malas menanggapi, kujawab saja terserah. Sesudah itu merebahkan diri ke kasur sambil membenamkan kepala pada bantal.
Ya, terserah padamu sajalaaah! Aku pusing merespon setiap kata yang terlontar.
***
Keesokan hari ....
"Kita ke salon, ya!" ajakku, saat Sefti baru saja masuk ke kamar dengan handuk yang tampak basah membalut kepala. Raut wajahnya seolah heran, tapi masih bisa tersenyum menatap.
"Apa isterimu ini jelek sekali, ya? Sampai harus mengeluarkan duit untuk sekadar berdandan," balasnya seraya mengusek handuk kecil ke bagian lehernya.
"Ya supaya lebih cantik lagi," jawabku kalem. Tujuanku tak lain karena ingin tampil istimewa di depan mereka. Apalagi mengenai istri yang selalu ingin kutonjolkan. Aku tak ingin kita tampak buruk setelah peristiwa lalu. Ah, payah ... Sefti sedang hamil. Tak mungkin jika ia memakai high heels di acara resepsi. Tak terlalu pendek, sih. Hanya saja, bakal tak sepadan jika bertatap dengan Adel nantinya. Adel saja setinggi itu. 170 centi. Belum nanti jika Adel memakai high heels.
Sepintas netraku tertuju pada bawah kolong yang tersiap sudah flat shoes di sana. Ah, rasanya enggan sudah untuk pergi.
"Ehm, Sayang. Ada sepatu lainnya, gak?"
"Sepatu? Sepatuku maksudnya?"
"Ya. Ehm, kurasa ... kurang cocok pakai sepatu yang itu."
"Lalu, yang mana?" Sefti mulai menyeret kotak yang berada di ujung tembok. Ia keluarkan beberapa sepatu miliknya. Semua disejajarkan di lantai.
"Nah, yang ini saja!" Aku mantap memilih sepatu ber-hak warna cokelat. Tampak manis. Hak-nya kurang lebih lima centian.
Kutatap, Sefti memandang kosong sepatu yang kupegang. Ia tak menjawab sepatah kata pun.
"Pakai sandal saja berangkat. Nanti pas nyampe, ganti sepatu ini di mobil. Kalo udah di dalem ruang resepsi, samean duduk aja terus. Nggak usah gerak-gerak," tukasku.
Sefti masih bergeming, membuatku tiba-tiba menjadi segan sendiri dan menyadari letak kesalahanku. "Ehm, lupakan omonganku! Samean pakai yang lainnya juga nggak apa sebenernya," lanjutku lirih.
Seusai berkata begitu, tiba-tiba ia mendekapku erat. Begitu erat, lalu berkata, "Maafkan segala kekuranganku, ya?"
Suatu ungkapan serupa cambuk yang melukai dada dan punggungku. Ah, bodohnya aku! Mungkinkah ia sakit hati atas ucapanku tadi?
Dengan sigap, lalu kupeluk tubuh itu. Mencium keningnya berulang. Batinku merasa buruk sesudahnya. Buruk sekali!
***
Pukul 11.30 WIB.
Mobil berdecit tepat di depan pelataran. Untuk ke sekian kali, lagi-lagi aku bertandang di rumah itu dalam rasa keragu-raguan. Pengeras suara terdengar saling gaduh memeriahkan acara pesta. Kutarik napas panjang, menatap dekor megah menjulang yang ada di halaman. Dari celah yang tertangkap, sepertinya konsep garden party. Terlihat dari rimbunnya warna hijau serupa daun di setiap sisi dan bunga-bunga yang mennghiasi di antaranya. Sefti tiba-tiba memegang tanganku, sembari berseru, "Ayo!"
Aku pun mengangguk. Turun lebih dulu dari mobil, lalu bersiap menyusulnya dari pintu sisi.
"Lho, kok pakai high heels?" Mataku langsung melebar saat mendapatinya turun sebelah kaki dengan high heels cokelat yang tadi. Ah, sepertinya saat aku ke toilet tadi pagi, Sefti memang sudah berencana naik duluan ke mobil pakai sepatu itu. Lagi-lagi dia selalu menuruti demi menjaga perasaanku.
"Kamu bawa yang lain, kan? Ayo ganti!" lanjutku. Cemas.
"Nggak apa. Ini juga masih hamil muda, kan? Selama aku hati-hati dan tak banyak bergerak seperti katamu, aku yakin baik-baik saja," balasnya lirih, sembari menenteng sebuah kado di dekapan. Aku masih tak kuasa menatapnya. Benar-benar merasa bersalah.
"Yuk, ah! Tunggu apa lagi? Aku pengen tahu pengantinnya," ujarnya lagi sembari menarik pelan tanganku. Langkah kami beriringan kemudian, menuju tempat yang dituju.
Tempat yang megah. Dekor yang luar biasa. Lampu-lampu gantung yang indah, dan terdapat puluhan pohon buatan serupa sakura di tengah-tengah ruang. Kursi berjubah serba gold, sementara di sisi-sisi ruang nernuansa hijau kombi white-pink. Dengan dekorasi pelaminan serupa singgasana megah berwarna serba gold pula. Lengkap dengan kue tart raksasa yang menjulang tinggi, warna senada.
Ah, aku tak salah pilih membawa istriku sedemikian cantik ke mari. Untung ia setuju kuajak ke salon tadinya. Kalau tak, pasti kita bakal malu bergumul dengan para tamu undangan lain yang serupa aktris dan aktor.
"Permisi, untuk yang membawa kado, dimohon meletakkan di atas meja yang disediakan!" Seorang perempuan berseragam menegur kami saat kami sama-sama terpaku memandang sekeliling ruang. Perempuan muda itu lalu menunjuk sebuah meja panjang yang berada di sudut ruang. "Terima kasih!" ucapku lirih. Segera, aku meraih bingkisan yang dibawa istri. "Biar aku yang taruh. Coba duduk saja di sana!" pintaku sembari menuding deretan bangku yang masih sepi.
"Enggak, ah. Semua tamu yang datang pada salaman dulu. Yuk, langsung ke sana! Sekalian naruh ini," ujarnya kalem.
"Nggak usah ke atas, deh. Yang penting kita udah dateng, hadiah udah nyampe. Udah, gak usah yang lain-lain!" cegahku.
"Ayo laaaah! Singkirkan pikiran buruknya. Kita berpikir dewasa saja. Adel kurasa lebih bijak menanggapi. Tujuannya baik, kita kudunya merespon positif."
Akhirnya, aku menurut juga apa yang dikata. Rasanya tak pernah bisa menolak jika istri yang bicara. Kami berdua lalu berjalan menuju pelaminan. Tampak para mempelai sedang tersipu kala digoda sang pembawa acara. Entah berkata apa, bising telinga mendengar ramainya para tamu undangan di kanan-kiri. Saat kami mulai mendekat pada tempat yang dituju, barulah terdengar jelas di telingaku sorakan dari pembawa acara. "Ayo, ayo, ayo! Dipilih! Dipilih!"
Entah apa maksudnya 'dipilih'. Tak menyimak sejak awal.
Sebuah meja berisi tumpukan kado melenggang beriringan melewati. Cepat-cepat, kutarik bingkisan dari tangan istriku, dan menaruhnya pada tumpukan tersebut.
"Hlo, hlo, ada yang jatuh!" MC kembali bersorak. Bingkisanku yang terjatuh tadi, kuambil lagi. Lalu kuletakkan lagi. Pandanganku pun beralih pada pelaminan. Sialnya, mata itu menangkap diriku. Adel di atas sana terus memperhatikan. Sefti sampai berkata, "Sepertinya, dia sadar kedatangan kita, Sayang."
Aku sendiri diam tak menanggapi.
"Ayo, ayo dipilih! Salah satu bingkisan yang dipilih pengantin, pemberinya wajib naik ke sini untuk diberi tantangan berhadiah. Siap-siap, yaaaa!" Suara MC mulai menggoyahkan perasaanku. Terlebih saat meja itu tepat berada di depannya. Ah, jangan sampai Adel memilih hadiah dariku.
"Lama sekali dia memilih. Semoga saja, bingkisan kita tak terpilih, ya? Agak cemas juga," ucap Sefti lirih.
"Kita pulang saja, yuk!" ajakku. Entah kenapa, perasaanku begitu tak enak hari ini.
"Wah, Sayang. Hadiah kita diambil!" Pekikan Sefti membuat sosok di kanan-kiri kami menoleh. Kami sama-sama kikuk. Ah, kalaupun diambil Adel, tadinya aku tak akan mengakui. Namun, karena ada beberapa pasang mata yang mendengar ungkapan Sefti barusan, aku jadi tak mampu berkutik. Ah, mana bisa melarikan diri!
Kucoba membuang pandang ke tempat lain. Harap-harap cemas menanti apa yang selanjutnya terjadi. Semoga saja hadiah itu tak dibuka di depan umum. Takut menimbulkan masalah nantinya ....
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 21:48
erman123 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup