- Beranda
- Stories from the Heart
Jangan Panggil Aku Ibu
...
TS
shirazy02
Jangan Panggil Aku Ibu

(Warning : 21+ akan ada tindak kekerasan dalam cerita, namun sarat moral, mengantarkan banyak kejutan tak terduga di dalamnya)
part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
part 7
part 8
part 9
part 10
part 11
part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
part 1
Suara carut-marut beberapa ayam jantan yang berkokok, mulai menyadarkanku dari lelapnya tidur. Membuatku beranjak segera membuka jendela kamar. Terlihat seberkas cahaya matahari mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur. Tak tertinggal suara merdunya burung-burung dari balik dedaunan yang tengah bersenandung.
Seharusnya suasana pagi yang dingin nan sejuk ini menambah nikmat tersendiri untukku, namun nyatanya, sangat berbeda dengan suasana hatiku.
Kutengok jam dinding dari balik tirai. Jam 05.30. Baru sadar bahwa hanya dua jam saja aku mampu tertidur?
Dengan mata yang masih terasa berat, kulangkahkan kakiku keluar kamar. Mematikan lampu tengah dan teras yang masih menyala. Lalu membuka bilik-bilik jendela, terakhir membuka pintu utama.
Haidar masih saja bergelut dengan mimpinya. Kubiarkan ia terlelap tidur. Masih penasaran ke-diam-annya semalam. Tumben ia tak rewel, tak seperti biasanya.....
Sementara, Mas Agus ... entah kemana ia. Gelas berisi teh di atas meja masih tak tersentuh sama sekali. Sepertinya ia tak pulang lagi.
Kutarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan seiring penatnya kepala yang kurasakan.
Sudah tiga hari ini, Mas Agus tak pulang. Membuatku khawatir dan berpikir yang macam-macam. Uang yang ia beri padaku sepekan yang lalu sudah menipis. Aku semakin dibuat pusing karena tak ada lagi orang yang bisa kutoleh disini.
"He, Wati! Jangan ngutang lagi, ya! Boleh ngutang, tapi, lunasin dulu tunggakannya! Jebol anakku kalau dirimu ngutang mulu."
Dari warung seberang jalan, Mak Minah berteriak kencang sembari mengacungkan sapu halamannya itu padaku.
Aku langsung membalikkan badan, pergi dari ruang tamu dengan langkah cepat menuju kembali ke kamar. Tak terasa air mata mulai menitik. Betapa malunya aku sebagai perempuan diteriaki seperti itu disaat banyak para tetangga belanja di warungnya.
Bagaimana aku bisa melunasi hutang, sementara uang yang kukantongi sekarang saja tersisa hanya enam ribu rupiah.
Kuseka air mataku yang kian mengucur, lalu mengalihkan pandangan kembali menatap Haidar yang masih terlelap.
Oh, Tuhan ... aku tak sanggup lagi.
Mas Agus, kamu dimana?
Lagi-lagi air mataku menitik.
Belum usai kesedihanku, pagi-pagi sekali Bu Rina datang. Ia marah, menyuruhku segera meninggalkan rumah. Kami memang menunggak biaya sewa lima bulan, dan aku tahu Mas Agus sudah berusaha untuk itu. Tapi, bagaimana lagi ... penghasilannya sebagai kuli angkut di pasar hanya cukup untuk menutup hutang yang lain dan makan seadanya.
Tak mau terus bersitegang, lantas kutegaskan pada Bu Rina jika Mas Agus sudah tiga hari ini tak pulang. Namun, sudah tak ada lagi rasa iba terpancar dari raut wajahnya.
"Saya sudah lima bulan bersabar, Wati. Suamimu tak juga memberi uang yang dijanjikan meski sekedar menyicil. Saya ini sudah tidak punya suami. Beda dengan kamu. Masih untung kamu ada yang menafkahi. Harapan saya cuma di rumah ini. Kalau kamu tak bisa membantu perekonomian saya, silahkan kamu pergi! Saya sudah cukup menunggu. Saya ini juga dalam keadaan butuh!"
Ucapan Bu Rina lantang terdengar, membuat dadaku sesak seolah tak mampu lagi berkata.
Tiba-tiba, Haidar menangis kencang dari dalam kamarnya. Aku yang kaget, segera berlari melihat apa yang terjadi. Bayi delapan bulanku mendadak memelototkan kedua mata. Tangisannya terhenti, dan tangannya menggenggam erat, lurus kencang.
"Bu ... Bu Rina! Tolong!" Aku berteriak histeris sambil menggendong Haidar. Saking paniknya, aku berjalan mondar-mandir tak jelas di dalam kamar, mencoba menyusuinya. Tetap ia tak berekspresi.
"Kenapa, Wati?" Bu Rina yang baru menghampiri, tampak khawatir memandangku.
"Haidar! Coba lihat, Bu! Ini Haidar kenapa? Ia juga tak mau menyusu," pekikku sambil membawa Haidar mendekat pada Bu Rina.
"A-ayo ke puskesmas saja, Wat!"
Akhirnya, aku dibonceng Bu Rina pergi dengan motornya.
Kepalaku terasa penuh, sementara tanganku terus menutupi Haidar dengan selimut. Matanya masih saja membulat, membuatku semakin menangis karena cemasnya. Kucoba menyusuinya, memaksanya. Tetap saja bibirnya mengatup tak berekspresi.
Ya ampun, Mas Agus ... cepat pulang, Maaaasss!
Tak kuasa aku menahan kesedihan yang teramat sangat kali ini.
Sesampainya di puskesmas, kusuruh para petugas cepat membawa Haidar masuk untuk diperiksa. Sementara Bu Rina ada di loket antrian.
"Tolong banget, Mas! Tolong anak saya!" Aku tak sanggup berkata lagi saking bingungnya.
Selagi Haidar diperiksa, tiba-tiba, aku dikagetkan lagi dengan Bu Rina yang datang sambil menyenggol pundakku.
"Wati, kamu ada KIS gak?" tanyanya.
"Apa itu, Bu?"
"Aduuuhh, kalau ngomongmu begitu, kayaknya kamu nggak punya. Kamu minta tolong ke kelurahan, deh! Aku juga tak ada duit buat bayar nanti."
"La-lalu? Haidar bagaimana, Bu?"
"Sudahlah! Ada petugasnya, kan? Ayo!"
Tanpa banyak pertimbangan lagi, aku pun menurut apa kata Bu Rina. Pergi bersamanya menuju ke kelurahan.
Setelah lama berkutat di dalam kantor kelurahan, akhirnya kudapatkan secarik surat dari sana, sebagai pengantar sementara selagi kartu KIS belum ada. Tak menunggu waktu lagi, segera kami kembali berangkat ke puskesmas.
Bu Rina langsung menuju loket, sementara aku bergegas menuju tempat dimana Haidar diperiksa.
Namun, pemandangan yang ada lebih mengagetkanku.
Haidar terbujur kaku, dengan tali perban melilit di sekitar dagu ke kepalanya.
Kurasakan kepalaku semakin pening, pandanganku seketika kabur.
****
Sudah tujuh hari kepergian anakku, Haidar. Namun ingatan tentangnya masih membekas. Saat wajah lucunya menangis, saat bayi menggemaskan itu tersenyum, semua itu masih terkenang jelas dalam ingatan.
Kuputuskan menutup kenangan tentangnya. Agar tak lagi ada tangis terbendung. Aku sudah capek, pikiranku sudah kalut.
Lalu, aku berdiri, mulai berkemas. Baju-bajunya, karpet tidurnya, nipple mainannya, sepatu dan kaos kakinya, semua kujadikan satu pada sebuah kotak kardus besar. Lalu, kotak kardus itu kusimpan di atas lemari pakaian.
Saat itu juga, tiba-tiba suamiku datang. Ia berteriak dari luar memanggilku.
Segera aku berlari untuk memastikan, apa benar itu dia?
Ya ... memang benar. Ia datang dengan pemandangan yang nampak janggal. Ditangannya mendekap bayi dalam gendongan, lengkap beserta tas besar yang ia kalungkan menyamping ketubuhnya.
"Haidar! Lihat, Ayah bawa adek buat Haidar! Rumah bakalan rame ini." Ia berseru sambil masuk ke dalam rumah.
Aku hanya tercengang menatapnya dari balik tirai ruang tengah.
Laki-laki itu tampak sumringah dengan bayi yang ia gendong. Sekilas ia melirikku, lalu bertanya lagi, "Mana anak kita Haidar, Bu? Aku punya berita baik. Ibu pasti senang!"
Aku masih tak percaya dengan apa yang diucapnya barusan. Hanya bisa terdiam dengan mata lurus ke depan.
Anak siapa itu? Kemana ia pergi selama ini?
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 07-02-2020 19:33
manik.01 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
21.5K
242
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#120
Part 13
Malam ini, aku tercenung di teras rumah. Sendiri, bertemankan derikan jangkrik yang bersahut-sahutan sejak tadi. Agaknya malam sudah larut. Tampak jalanan sepi dari lalu-lalang kendaraan, barang sepeda mini sekalipun. Hanya binar sang bulan yang melingkar sempurna di atas nirwana sebagai peramai kesepian.
Malam ini, Tomi tidur lagi di dekapan Pak Lurah dalam kamar pribadinya. Terkesan begitu akrab, seakan hubungan mereka seperti ayah dan anak kandung saja. Sementara denganku ... masih serupa ladang yang gersang. Baru kemarin beliau kembali mau tidur bersamaku. Namun, masih biasa saja. Tanpa sentuhan, dan sedikit pun senda gurau. Mengingatkanku akan telepon misterius waktu lalu yang masih menyisakan berbagai tanda tanya. Kadang di benakku terpikir ... apakah Tomi dan Pak Lurah memang ada hubungan darah, sehingga sengaja menikahiku?
Kutarik napas panjang, lalu mengembuskan pelan. Ah, aku terlalu cemas seharian. Setidaknya, harus bersikap biasa saja, seperti yang pernah kututurkan pada Tomi. Jika raut yang kutampakkan hanyalah gelisah, maka Tomi pun pasti bersikap sama. Paling tidak, aku sudah memperingatkannya, dan kita sama-sama waspada. Kuharap ia mengerti ucapanku dan tak gampang sesumbar.
"Belum tidur, Bu?" Suara Asri tiba-tiba merasuk pendengaran. Spontan kutolehkan pandang, menatap telanjang Asri yang tengah berdiri memghadapku di ambang pintu. Sejenak kutegakkan duduk, sambil menjawab lirih, "Belum pengen, As."
"Boleh saya temani, Bu? Saya juga susah merem malam ini," serunya lagi. Kutelan sedikit ludah merasakan kembalinya rasa cemas itu menghinggapi. Sedetik kemudian, akhirnya kuiyakan juga ucapannya untuk bergabung duduk bersama.
"Kenapa susah tidur? Kepikiran apa?" tanyaku lirih, saat Asri mulai mengambil duduk tepat di kursi samping. Ia tersenyum, menganggukkan kepalanya kecil. Lantas menjawab, "Iya, Bu. Kepikiran besok mau makan apa. Bapak ditanya juga jawabnya terserah."
"Oh ...."
"Ibu sendiri mau makan apa untuk besok?" Ia menatapku, balik bertanya. Entah kenapa, raut ramahnya kali ini tampak menakutkan bagiku. Entah ada apa di balik semua ini. Semenjak kejadian kemarin, aku jadi tak merasa bebas berkata padanya.
"Oh, ehm ... sepertinya aku besok masak sendiri saja, As. Mungkin bapak ingin merasakan masakanku sesekali," jawabku.
"Oh, boleh. Nanti saya bantu, ya?"
"He'em."
Sesudah itu, Asri membuang pandangannya ke pelataran. Bibirnya tak henti bersenandung lirih sambil menjentikkan jemarinya pada kursi yang diduduki. Kala ia berpaling, kuberanikan diri menatapnya lamat. Eh, rupanya ia punya tanda lahir lumayan besar di leher samping kiri. Baru kali ini tampak di mataku saat ia menguncir rambutnya menjulang ke atas.
"Oh ya, Bu. Saya penasaran sama maksud perkataan ibu waktu itu." Lagi, Asri menolehkan pandangan padaku. Membuatku terkesiap karena menunggu detik-detik suara susulan darinya. "Jadi, ibu mau menyalin nomor siapa dari HP Bapak?" lanjutnya lagi. Seakan turut kaget jantung yang kurasa, sampai-sampai aku kaku untuk berkata. "Itu ... ibunya Tomi, As. Aku dulu meminta bapak untuk menyimpan nomor ibu si Tomi," jawabku asal. Ah, aku benar-benar pusing beralasan. Khawatir Asri dan Pak Lurah sebenarnya sama, ada maksud tertentu di balik semua ini.
"Hmm ... memang ibunya Tomi masih hidup? Dulu kata ibu, beliau susah dihubungi. Menghilang tanpa kabar."
Ucapan Asri barusan benar-benar meyakinkanku jika ia telah sengaja memancing-mancing. Tak ada lagi yang mampu kujawab, selain dengan mengangkat kedua bahu. Tanda tak mengerti.
"Sudahlah, Bu. Tak usah dipikir!" Gadis itu lalu menumpukkan tangannya pada telapak tanganku. Meremas kecil, sambil berucap, "Lupakan soal ibu kandung Tomi. Toh, kehidupan ibu di sini diringankan oleh Bapak, kan? Alhamdulillah, jika bapak juga sayang pada Tomi. Yang penting, keluarga ini sekarang bahagia," lanjutnya lagi.
Aku memilih terdiam sejenak. Ah, hampir pusing aku dibuat oleh gadis ini. Mendengar ucapannya, seakan-akan ia berkata dengan penuh rasa tulus, seolah-olah ia memang dasarnya anak baik. Namun, kenapa diam-diam menguping pembicaraanku dengan Pak Lurah kemarin? Seperti bahwa dia tahu banyak tentang kehidupan Pak Lurah. Terbukti saat ia paham persis kapan saat Pak Lurah tertidur. Benar-benar membuat penasaran.
"Apa menurutmu kami memang bahagia, As?" Kuberanikan diri bertanya kemudian. Ingin tahu bagaimana reaksinya. Apakah sama seperti yang ia rasakan setiap hari saat melihat kami mempunyai jarak dalam satu rumah.
"Ya, Bu. Pak Lurah tampak sudah bahagia kini. Sebelumnya ia jarang sekali pulang ke rumah, tapi semenjak menikah dengan Bu Wati, setiap hari bapak selalu pulang. Itu pun menyempatkan tak sampai malam, bukan? Seperti yang tadi pagi saya pernah bicarakan pada ibu, bahwa saya tak pernah bisa tidur sebelum semua penghuni rumah tertidur."
"Memang dulu pulangnya larut, As? Biasanya ke mana?"
"Tak tahu, Bu. Saya hanya tahu jika bapak dulu jarang pulang."
"Kira-kira ngapain, ya, As?"
Asri menggelengkan kepalanya lalu menjawab, "Tak tahu, Bu."
Mendengar itu, aku pun memilih untuk diam. Kubuang pandangan ke pelataran, mencoba bersikap serileks mungkin, meski dalam benak dan hati terasa kacau karena teka-teki yang membingungkan ini. Asri terlihat baik. Namun, aku harus tetap menjaga jarak. Rasanya ingin hengkang dari tempat, dan memilih merenung dalam kamar.
"Dingin lama-lama, Bu. Mau dibuatkan teh hangat?" Ia tiba-tiba beranjak. Dengan cepat aku mengatakan 'tidak' padanya, dan ikut berdiri. "As, aku udah ngantuk. Lebih baik aku tidur, besok juga ingin belanja sendiri ke pasar."
"Oh, iya, Bu."
"Tutup pintunya, ya!" pesanku datar, sebelum akhirnya melenggang pergi. Kutinggalkan ia terlebih dulu dari tempat, berjalan menuju kamar tidur. Aku tak ingin terlalu dekat padanya. Tetap menjaga mulut agar tak selalu akrab, juga terus waspada.
****
Suara kokokan ayam mulai membuyarkanku dalam balutan bunga tidur. Dengan mata yang enggan membuka, aku langsung beringsut. Sesekali menguap. Hoaeeeehhmm ....
Kulangkahkan kaki menuju gantungan, mengambil penebah. Lalu menyapukan berulang ke kasur yang sebenarnya tak begitu berantakan. Ya, tentu saja ... rapi karena hanya kutiduri sendiri. Aku cuma tak ingim debu-debu masih berbaur di sana. Paling tidak, menyamankan diri saat rebahan nanti.
Sesudahnya, bergegas ke kamar mandi. Mencuci muka, dan mencoba membelalakkan mata lebar-lebar. Oh, maha dahsyatnya kantuk yang memberatkan kelopak mata. Sampai berganti baju pun, masih selisih dengan kancing. Ya, Tuhan ....
Tiba-tiba, suara pintu kamar diketuk. Lagi-lagi aku terperanjat, mengingat tak biasanya seperti itu. Akhirnya kupilih diam, sampai kemudian sebuah suara berseru dari balik pintu. "Bu, sudah bangun?"
Lah? Asri!!
"Ada apa, As?" Kubuka pintu kamar sambil membenahkan kancing terakhir. Tampak Asri sudah segar dan rapi di depan sana dengan tas anyam besar dari rotan. Ia tersenyum menatap, lalu berkata, "Jadi belanja, Bu? Biar saya temani."
Aku di tempat hanya bisa melongo. "Kamu mau ikut saya belanja?" tanyaku tak percaya.
"Iya, Bu. Saya kalau tak melihat pasar sehari saja, tak enak, Bu. He he he ...."
"Haa?" Aku semakin mengernyitkan dahi menatapnya. 'Ini anak benar-benar ingin sekali mendekatiku. Seperti sengaja ingin mengorek sesuatu,' batinku terus saja bergejolak tanpa henti.
"Saya tunggu di luar, ya, Bu?" tukasnya kembali. Belum sempat aku bersuara, Asri dengan cepat berlalu, meninggalkanku sendiri di ambang pintu dengan bibir masih menyeringai.
Wah, benar jika dia ini mata-mata. Pasti suruhan Pak Lurah!
Aku menggelengkan kepala berkali-kali.
****
Aku dan Asri masuk ke sebuah gang, tempat dimana sayur-sayuran berjejeran. Mata Asri menatap berkeliling, sedang mataku sendiri tak berkedip mengawasinya. Entahlah, aku merasa tak nyaman sekali kali ini.
"Mbak Asri, seladanya ini. Masih segar-segar. Ambil lima ikat, lima belas ribu saja." Seorang bakul lelaki menyapa Asri sambil menunjukkan selada dagangannya di hadapan. Asri lalu menoleh padaku sambil mengangkat kedua alis. "Ambil saja!" ucapku. Lantas gadis itu pun mulai memilih.
Aku paham betul, setiap hari Asri selalu menyediakan sayur tersebut. Seperti tiada bosan, lalapan itu dimakannya saban pagi bersama sambal. Sama halnya dengan Bu Ardan.
Di saat aku membuang pandang, mataku tiba-tiba tertuju pada sosok tak asing di geladak pos, samping penjaja ikan-ikan. Bukankah itu Sari? Ia sepertinya tengah sibuk memilih ikan. Benar, aku ingat betul daster batik warna hijau itu.
Mengetahui Asri tengah sibuk di tempat, aku pun diam-diam pergi meninggalkannya untuk menghampiri Sari.
"Hei, Sar!" Kutepuk pelan punggungnya. Ia kaget dan langsung berbalik. "Apa kabar? Sini dulu, yuk!" Kugandeng ia menepi ke samping pos, sambil mengintip Asri dari kejauhan. Kuharap matanya tak bertemu kami.
"Ada apa diajak sembunyi gini, Mbak Wati? Memang lagi sama siapa?" tanyanya, seraya ikut melihat tempat yang tadinya kutatap.
"Sama pembantunya Pak Lurah. Hei, gimana kabarmu? Aku ingin ngobrol banyak sebenarnya, tapi sekarang kayaknya nggak bisa."
"Ngobrol tentang apa?"
"Banyak, Sar. Besok kita janjian di sini, ya? Besok kuusahakan datang sendiri. Oh, iya ...." Aku memotong bicara, mengeluarkan beberapa lembar uang dalam dompet, lalu menyerahkannya pada Sari. "Maafkan sikapku yang dulu-dulu, ya, Sar? Ini ada sedikit rezeki buat anak-anakmu. Kita bisa menjadi teman baik, kan?" ucapku, sambil mengeratkan uang itu pada genggaman Sari.
"Iya, Mbak Wat. Aku sudah melupakannya, kok. Aku senang hidupmu berubah, tapi jangan pakai beginian, Mbak!" Ia mencoba mengembalikan uang itu padaku. "Aku tak mau pakai begini-begini. Aku sudah bersyukur dengan kemampuanku yang seadanya," lanjutnya lagi, yang kemudian tetap kupertahankan uang itu di tangannya.
"Tolong kali ini hargai aku, Sar. Aku titip rezeki buat anakmu. Ini bukan untuk dirimu, tapi untuk Faizal dan Fa'az. Sebelumnya makasih sekali sudah melupakan kejadian waktu itu." Aku memaksa mengeratkan genggaman tangan Sari. Ia pun pasrah, lalu mengucap terima kasih. Kali ini kualihkan pandangku melihat bakul sayuran yang tadi. Tampak Asri sedang menoleh ke sana- ke mari.
"Sudah, ya. Aku dicari kayaknya, Sar. Jangan lupa besok ketemu di sini." Kutepuk lengannya seraya mengulas senyum.
Aku berjalan dari pinggiran sambil terus menatap sosok Asri. Di tengah perjalanan menuju-nya, kupindahkan semua uang milikku ke dalam bra, dengan sengaja lalu kubuang dompetnya ke selokan yang ada di sisi. Kemudian menarik napas panjang, sebelum akhirnya kembali menghampiri.
"Bu, ya ampun ... ke mana saja? Cemas sekali saya kalau pulang sendirian." Asri berseru saat posisi kami berjarak enam langkah.
"Tadinya mau jalan, lihat-lihat. Sialnya, aku kehilangan dompet, As. Bingung aku. Mana isinya banyak, bapak baru saja memberikan uang itu kemarin lusa."
"Haaahh?? Memang berapa banyak, Bu? Kan, kita hanya ke pasar. Ibu sembrono sekali bawa uang banyak-banyak."
"Jangan berkata seperti itu, As. Aku jadi bingung harus menjelaskan bagaimana nanti sama bapak. Bingung juga kalau lagi tak pegang uang."
"Kita lapor polisi saja, ya, Bu?"
Hatiku rasanya kikuk saat mendengar ucapan Asri. Wajahnya memang tampak panik, tapi kini aku lebih panik dari dia. "Sudah, As. Gak usah diperpanjang. Pak Lurah 'kan, banyak duit. Hanya uang segitu, beliau tak akan mempermasalahkan. Atau, kita tak usah bilang-bilang saja, daripada aku kena marah nanti." Kucoba mendinginkan perasaan Asri.
"Tapi, Bu ... kalau ibu gak pegang uang, katanya gak enak."
"Tak apa. Asal tak mikirin urusan makan, aku udah beruntung. Toh uang itu diberi untuk peganganku sendiri." Aku mulai melangkahkan kaki pergi, tentunya dengan hati kian berdebar.
"Bu, kita mau ke mana? Kok, arah keluar? Baru juga beli selada." Terdengar suara Asri menimpali sambil mengekor di belakangku.
"Kamu masih pegang duit lebih, tak? Belikan saja lauk matang. Mendadak kepala pusing," sahutku sambil terus melangkah pergi. Makin pusing rasanya mencari alasan jika terus berada di tempat ini.
***
Jam 06.40 WIB
"Kamu kehilangan uang berapa?" Suara Pak Lurah mengagetkanku yang baru saja menyusul ke tempat makan. Tomi sendiri menatap dengan polos. Sekilas kualihkan pandang pada Asri yang berdiri di samping Pak Lurah. Wajah itu kemudian menunduk, saat sepintas mata kami bertemu.
"Jawab!! Kok, malah pecicilan sana-sini," sentak Pak Lurah. Karena kaget, aku langsung saja menjawab, "sekitar empat juta, Pak."
"Apaa??" Pak Lurah seolah tak percaya mendengarnya. "Empat juta untuk pergi ke pasar? Apa aku tak salah dengar?" lanjutnya lagi. Aku menelan ludah pahit, lalu menjawab lagi, "Karena saya hanya punya dompet satu sejak dulu, Pak. Saya juga tak pernah menyimpan uang di tempat lain selain itu. Saya sudah kebiasaan pergi kemana-mana semua uang harus terbawa. Sebelumnya, saya minta maaf, saya tak akan meminta ganti atas hak yang sudah bapak beri."
Suasana hening sesaat. Asri tampak tak enak hati, sehingga permisi untuk pergi. Rasa tak enak membuatku memilih untuk menundukkan pandang. Sejurus kemudian ... bruukk!!
Sesuatu jatuh tak jauh dari kakiku. Sebuah amplop cokelat panjang yang terasa lumayan saat tadinya menghantam paha. "Itu sepuluh juta untukmu selama tiga bulan. Kira-kira, apa nanti kau bawa semuanya dalam sebuah dompet jika bepergian?" tanyanya keras. Kali ini, mata terasa berkunang.
"Kau pikir rumah ini sarang maling, sampai-sampai kau menyimpan uang dalam rumah saja, enggan. Bukankah mengunci pintu kamar lebih baik jika kau tak mempercayai siapa pun? Asri pegang uang lebih sedikit daripada yang kuberi padamu. Itu pun untuk makan seisi rumah. Kau kuberi uang sedemikian untuk keperluan pribadimu, malah sembrono kau hilang-hilangkan!!" bentaknya lagi. Kali ini air mata tak sanggup kubendung. Setetes demi setetes mengalir membasahi pipi.
"Bi ...." Tomi berseru lirih. Ia lalu menghampiri dan langsung mendekap erat pinggangku.
Praang!!
Lagi-lagi aku tersentak saat Pak Lurah sengaja membanting piring makannya. Ia lalu beranjak menghampiri, lalu menarik Tomi sambil berujar, "Jam sekolah mepet. Ayo cari sarapan sama bapak ke luar!" Dengan paksa, Tomi ditariknya untuk turut pergi.
Kini tinggal aku sendiri di ruang makan, menangis seakan hati pedih tersayat. Semakin hari, semakin bingung rasanya diri menanggapi. Tapi aku harus tegar ... setidaknya sampai semua teka-teki ini kuungkap dengan sendiri.
bersambung
Malam ini, Tomi tidur lagi di dekapan Pak Lurah dalam kamar pribadinya. Terkesan begitu akrab, seakan hubungan mereka seperti ayah dan anak kandung saja. Sementara denganku ... masih serupa ladang yang gersang. Baru kemarin beliau kembali mau tidur bersamaku. Namun, masih biasa saja. Tanpa sentuhan, dan sedikit pun senda gurau. Mengingatkanku akan telepon misterius waktu lalu yang masih menyisakan berbagai tanda tanya. Kadang di benakku terpikir ... apakah Tomi dan Pak Lurah memang ada hubungan darah, sehingga sengaja menikahiku?
Kutarik napas panjang, lalu mengembuskan pelan. Ah, aku terlalu cemas seharian. Setidaknya, harus bersikap biasa saja, seperti yang pernah kututurkan pada Tomi. Jika raut yang kutampakkan hanyalah gelisah, maka Tomi pun pasti bersikap sama. Paling tidak, aku sudah memperingatkannya, dan kita sama-sama waspada. Kuharap ia mengerti ucapanku dan tak gampang sesumbar.
"Belum tidur, Bu?" Suara Asri tiba-tiba merasuk pendengaran. Spontan kutolehkan pandang, menatap telanjang Asri yang tengah berdiri memghadapku di ambang pintu. Sejenak kutegakkan duduk, sambil menjawab lirih, "Belum pengen, As."
"Boleh saya temani, Bu? Saya juga susah merem malam ini," serunya lagi. Kutelan sedikit ludah merasakan kembalinya rasa cemas itu menghinggapi. Sedetik kemudian, akhirnya kuiyakan juga ucapannya untuk bergabung duduk bersama.
"Kenapa susah tidur? Kepikiran apa?" tanyaku lirih, saat Asri mulai mengambil duduk tepat di kursi samping. Ia tersenyum, menganggukkan kepalanya kecil. Lantas menjawab, "Iya, Bu. Kepikiran besok mau makan apa. Bapak ditanya juga jawabnya terserah."
"Oh ...."
"Ibu sendiri mau makan apa untuk besok?" Ia menatapku, balik bertanya. Entah kenapa, raut ramahnya kali ini tampak menakutkan bagiku. Entah ada apa di balik semua ini. Semenjak kejadian kemarin, aku jadi tak merasa bebas berkata padanya.
"Oh, ehm ... sepertinya aku besok masak sendiri saja, As. Mungkin bapak ingin merasakan masakanku sesekali," jawabku.
"Oh, boleh. Nanti saya bantu, ya?"
"He'em."
Sesudah itu, Asri membuang pandangannya ke pelataran. Bibirnya tak henti bersenandung lirih sambil menjentikkan jemarinya pada kursi yang diduduki. Kala ia berpaling, kuberanikan diri menatapnya lamat. Eh, rupanya ia punya tanda lahir lumayan besar di leher samping kiri. Baru kali ini tampak di mataku saat ia menguncir rambutnya menjulang ke atas.
"Oh ya, Bu. Saya penasaran sama maksud perkataan ibu waktu itu." Lagi, Asri menolehkan pandangan padaku. Membuatku terkesiap karena menunggu detik-detik suara susulan darinya. "Jadi, ibu mau menyalin nomor siapa dari HP Bapak?" lanjutnya lagi. Seakan turut kaget jantung yang kurasa, sampai-sampai aku kaku untuk berkata. "Itu ... ibunya Tomi, As. Aku dulu meminta bapak untuk menyimpan nomor ibu si Tomi," jawabku asal. Ah, aku benar-benar pusing beralasan. Khawatir Asri dan Pak Lurah sebenarnya sama, ada maksud tertentu di balik semua ini.
"Hmm ... memang ibunya Tomi masih hidup? Dulu kata ibu, beliau susah dihubungi. Menghilang tanpa kabar."
Ucapan Asri barusan benar-benar meyakinkanku jika ia telah sengaja memancing-mancing. Tak ada lagi yang mampu kujawab, selain dengan mengangkat kedua bahu. Tanda tak mengerti.
"Sudahlah, Bu. Tak usah dipikir!" Gadis itu lalu menumpukkan tangannya pada telapak tanganku. Meremas kecil, sambil berucap, "Lupakan soal ibu kandung Tomi. Toh, kehidupan ibu di sini diringankan oleh Bapak, kan? Alhamdulillah, jika bapak juga sayang pada Tomi. Yang penting, keluarga ini sekarang bahagia," lanjutnya lagi.
Aku memilih terdiam sejenak. Ah, hampir pusing aku dibuat oleh gadis ini. Mendengar ucapannya, seakan-akan ia berkata dengan penuh rasa tulus, seolah-olah ia memang dasarnya anak baik. Namun, kenapa diam-diam menguping pembicaraanku dengan Pak Lurah kemarin? Seperti bahwa dia tahu banyak tentang kehidupan Pak Lurah. Terbukti saat ia paham persis kapan saat Pak Lurah tertidur. Benar-benar membuat penasaran.
"Apa menurutmu kami memang bahagia, As?" Kuberanikan diri bertanya kemudian. Ingin tahu bagaimana reaksinya. Apakah sama seperti yang ia rasakan setiap hari saat melihat kami mempunyai jarak dalam satu rumah.
"Ya, Bu. Pak Lurah tampak sudah bahagia kini. Sebelumnya ia jarang sekali pulang ke rumah, tapi semenjak menikah dengan Bu Wati, setiap hari bapak selalu pulang. Itu pun menyempatkan tak sampai malam, bukan? Seperti yang tadi pagi saya pernah bicarakan pada ibu, bahwa saya tak pernah bisa tidur sebelum semua penghuni rumah tertidur."
"Memang dulu pulangnya larut, As? Biasanya ke mana?"
"Tak tahu, Bu. Saya hanya tahu jika bapak dulu jarang pulang."
"Kira-kira ngapain, ya, As?"
Asri menggelengkan kepalanya lalu menjawab, "Tak tahu, Bu."
Mendengar itu, aku pun memilih untuk diam. Kubuang pandangan ke pelataran, mencoba bersikap serileks mungkin, meski dalam benak dan hati terasa kacau karena teka-teki yang membingungkan ini. Asri terlihat baik. Namun, aku harus tetap menjaga jarak. Rasanya ingin hengkang dari tempat, dan memilih merenung dalam kamar.
"Dingin lama-lama, Bu. Mau dibuatkan teh hangat?" Ia tiba-tiba beranjak. Dengan cepat aku mengatakan 'tidak' padanya, dan ikut berdiri. "As, aku udah ngantuk. Lebih baik aku tidur, besok juga ingin belanja sendiri ke pasar."
"Oh, iya, Bu."
"Tutup pintunya, ya!" pesanku datar, sebelum akhirnya melenggang pergi. Kutinggalkan ia terlebih dulu dari tempat, berjalan menuju kamar tidur. Aku tak ingin terlalu dekat padanya. Tetap menjaga mulut agar tak selalu akrab, juga terus waspada.
****
Suara kokokan ayam mulai membuyarkanku dalam balutan bunga tidur. Dengan mata yang enggan membuka, aku langsung beringsut. Sesekali menguap. Hoaeeeehhmm ....
Kulangkahkan kaki menuju gantungan, mengambil penebah. Lalu menyapukan berulang ke kasur yang sebenarnya tak begitu berantakan. Ya, tentu saja ... rapi karena hanya kutiduri sendiri. Aku cuma tak ingim debu-debu masih berbaur di sana. Paling tidak, menyamankan diri saat rebahan nanti.
Sesudahnya, bergegas ke kamar mandi. Mencuci muka, dan mencoba membelalakkan mata lebar-lebar. Oh, maha dahsyatnya kantuk yang memberatkan kelopak mata. Sampai berganti baju pun, masih selisih dengan kancing. Ya, Tuhan ....
Tiba-tiba, suara pintu kamar diketuk. Lagi-lagi aku terperanjat, mengingat tak biasanya seperti itu. Akhirnya kupilih diam, sampai kemudian sebuah suara berseru dari balik pintu. "Bu, sudah bangun?"
Lah? Asri!!
"Ada apa, As?" Kubuka pintu kamar sambil membenahkan kancing terakhir. Tampak Asri sudah segar dan rapi di depan sana dengan tas anyam besar dari rotan. Ia tersenyum menatap, lalu berkata, "Jadi belanja, Bu? Biar saya temani."
Aku di tempat hanya bisa melongo. "Kamu mau ikut saya belanja?" tanyaku tak percaya.
"Iya, Bu. Saya kalau tak melihat pasar sehari saja, tak enak, Bu. He he he ...."
"Haa?" Aku semakin mengernyitkan dahi menatapnya. 'Ini anak benar-benar ingin sekali mendekatiku. Seperti sengaja ingin mengorek sesuatu,' batinku terus saja bergejolak tanpa henti.
"Saya tunggu di luar, ya, Bu?" tukasnya kembali. Belum sempat aku bersuara, Asri dengan cepat berlalu, meninggalkanku sendiri di ambang pintu dengan bibir masih menyeringai.
Wah, benar jika dia ini mata-mata. Pasti suruhan Pak Lurah!
Aku menggelengkan kepala berkali-kali.
****
Aku dan Asri masuk ke sebuah gang, tempat dimana sayur-sayuran berjejeran. Mata Asri menatap berkeliling, sedang mataku sendiri tak berkedip mengawasinya. Entahlah, aku merasa tak nyaman sekali kali ini.
"Mbak Asri, seladanya ini. Masih segar-segar. Ambil lima ikat, lima belas ribu saja." Seorang bakul lelaki menyapa Asri sambil menunjukkan selada dagangannya di hadapan. Asri lalu menoleh padaku sambil mengangkat kedua alis. "Ambil saja!" ucapku. Lantas gadis itu pun mulai memilih.
Aku paham betul, setiap hari Asri selalu menyediakan sayur tersebut. Seperti tiada bosan, lalapan itu dimakannya saban pagi bersama sambal. Sama halnya dengan Bu Ardan.
Di saat aku membuang pandang, mataku tiba-tiba tertuju pada sosok tak asing di geladak pos, samping penjaja ikan-ikan. Bukankah itu Sari? Ia sepertinya tengah sibuk memilih ikan. Benar, aku ingat betul daster batik warna hijau itu.
Mengetahui Asri tengah sibuk di tempat, aku pun diam-diam pergi meninggalkannya untuk menghampiri Sari.
"Hei, Sar!" Kutepuk pelan punggungnya. Ia kaget dan langsung berbalik. "Apa kabar? Sini dulu, yuk!" Kugandeng ia menepi ke samping pos, sambil mengintip Asri dari kejauhan. Kuharap matanya tak bertemu kami.
"Ada apa diajak sembunyi gini, Mbak Wati? Memang lagi sama siapa?" tanyanya, seraya ikut melihat tempat yang tadinya kutatap.
"Sama pembantunya Pak Lurah. Hei, gimana kabarmu? Aku ingin ngobrol banyak sebenarnya, tapi sekarang kayaknya nggak bisa."
"Ngobrol tentang apa?"
"Banyak, Sar. Besok kita janjian di sini, ya? Besok kuusahakan datang sendiri. Oh, iya ...." Aku memotong bicara, mengeluarkan beberapa lembar uang dalam dompet, lalu menyerahkannya pada Sari. "Maafkan sikapku yang dulu-dulu, ya, Sar? Ini ada sedikit rezeki buat anak-anakmu. Kita bisa menjadi teman baik, kan?" ucapku, sambil mengeratkan uang itu pada genggaman Sari.
"Iya, Mbak Wat. Aku sudah melupakannya, kok. Aku senang hidupmu berubah, tapi jangan pakai beginian, Mbak!" Ia mencoba mengembalikan uang itu padaku. "Aku tak mau pakai begini-begini. Aku sudah bersyukur dengan kemampuanku yang seadanya," lanjutnya lagi, yang kemudian tetap kupertahankan uang itu di tangannya.
"Tolong kali ini hargai aku, Sar. Aku titip rezeki buat anakmu. Ini bukan untuk dirimu, tapi untuk Faizal dan Fa'az. Sebelumnya makasih sekali sudah melupakan kejadian waktu itu." Aku memaksa mengeratkan genggaman tangan Sari. Ia pun pasrah, lalu mengucap terima kasih. Kali ini kualihkan pandangku melihat bakul sayuran yang tadi. Tampak Asri sedang menoleh ke sana- ke mari.
"Sudah, ya. Aku dicari kayaknya, Sar. Jangan lupa besok ketemu di sini." Kutepuk lengannya seraya mengulas senyum.
Aku berjalan dari pinggiran sambil terus menatap sosok Asri. Di tengah perjalanan menuju-nya, kupindahkan semua uang milikku ke dalam bra, dengan sengaja lalu kubuang dompetnya ke selokan yang ada di sisi. Kemudian menarik napas panjang, sebelum akhirnya kembali menghampiri.
"Bu, ya ampun ... ke mana saja? Cemas sekali saya kalau pulang sendirian." Asri berseru saat posisi kami berjarak enam langkah.
"Tadinya mau jalan, lihat-lihat. Sialnya, aku kehilangan dompet, As. Bingung aku. Mana isinya banyak, bapak baru saja memberikan uang itu kemarin lusa."
"Haaahh?? Memang berapa banyak, Bu? Kan, kita hanya ke pasar. Ibu sembrono sekali bawa uang banyak-banyak."
"Jangan berkata seperti itu, As. Aku jadi bingung harus menjelaskan bagaimana nanti sama bapak. Bingung juga kalau lagi tak pegang uang."
"Kita lapor polisi saja, ya, Bu?"
Hatiku rasanya kikuk saat mendengar ucapan Asri. Wajahnya memang tampak panik, tapi kini aku lebih panik dari dia. "Sudah, As. Gak usah diperpanjang. Pak Lurah 'kan, banyak duit. Hanya uang segitu, beliau tak akan mempermasalahkan. Atau, kita tak usah bilang-bilang saja, daripada aku kena marah nanti." Kucoba mendinginkan perasaan Asri.
"Tapi, Bu ... kalau ibu gak pegang uang, katanya gak enak."
"Tak apa. Asal tak mikirin urusan makan, aku udah beruntung. Toh uang itu diberi untuk peganganku sendiri." Aku mulai melangkahkan kaki pergi, tentunya dengan hati kian berdebar.
"Bu, kita mau ke mana? Kok, arah keluar? Baru juga beli selada." Terdengar suara Asri menimpali sambil mengekor di belakangku.
"Kamu masih pegang duit lebih, tak? Belikan saja lauk matang. Mendadak kepala pusing," sahutku sambil terus melangkah pergi. Makin pusing rasanya mencari alasan jika terus berada di tempat ini.
***
Jam 06.40 WIB
"Kamu kehilangan uang berapa?" Suara Pak Lurah mengagetkanku yang baru saja menyusul ke tempat makan. Tomi sendiri menatap dengan polos. Sekilas kualihkan pandang pada Asri yang berdiri di samping Pak Lurah. Wajah itu kemudian menunduk, saat sepintas mata kami bertemu.
"Jawab!! Kok, malah pecicilan sana-sini," sentak Pak Lurah. Karena kaget, aku langsung saja menjawab, "sekitar empat juta, Pak."
"Apaa??" Pak Lurah seolah tak percaya mendengarnya. "Empat juta untuk pergi ke pasar? Apa aku tak salah dengar?" lanjutnya lagi. Aku menelan ludah pahit, lalu menjawab lagi, "Karena saya hanya punya dompet satu sejak dulu, Pak. Saya juga tak pernah menyimpan uang di tempat lain selain itu. Saya sudah kebiasaan pergi kemana-mana semua uang harus terbawa. Sebelumnya, saya minta maaf, saya tak akan meminta ganti atas hak yang sudah bapak beri."
Suasana hening sesaat. Asri tampak tak enak hati, sehingga permisi untuk pergi. Rasa tak enak membuatku memilih untuk menundukkan pandang. Sejurus kemudian ... bruukk!!
Sesuatu jatuh tak jauh dari kakiku. Sebuah amplop cokelat panjang yang terasa lumayan saat tadinya menghantam paha. "Itu sepuluh juta untukmu selama tiga bulan. Kira-kira, apa nanti kau bawa semuanya dalam sebuah dompet jika bepergian?" tanyanya keras. Kali ini, mata terasa berkunang.
"Kau pikir rumah ini sarang maling, sampai-sampai kau menyimpan uang dalam rumah saja, enggan. Bukankah mengunci pintu kamar lebih baik jika kau tak mempercayai siapa pun? Asri pegang uang lebih sedikit daripada yang kuberi padamu. Itu pun untuk makan seisi rumah. Kau kuberi uang sedemikian untuk keperluan pribadimu, malah sembrono kau hilang-hilangkan!!" bentaknya lagi. Kali ini air mata tak sanggup kubendung. Setetes demi setetes mengalir membasahi pipi.
"Bi ...." Tomi berseru lirih. Ia lalu menghampiri dan langsung mendekap erat pinggangku.
Praang!!
Lagi-lagi aku tersentak saat Pak Lurah sengaja membanting piring makannya. Ia lalu beranjak menghampiri, lalu menarik Tomi sambil berujar, "Jam sekolah mepet. Ayo cari sarapan sama bapak ke luar!" Dengan paksa, Tomi ditariknya untuk turut pergi.
Kini tinggal aku sendiri di ruang makan, menangis seakan hati pedih tersayat. Semakin hari, semakin bingung rasanya diri menanggapi. Tapi aku harus tegar ... setidaknya sampai semua teka-teki ini kuungkap dengan sendiri.
bersambung

oceu dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup