- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1282
Tutup Akses Dulu
Gue mendapati sebuah SMS undangan sosialisasi Perkenalan Kampus. itu artinya ada ospek dijurusan gue. Yang mengundang juga anak bernama Maulana yang katanya seangkatan sama Emi. Gue bingung disini. Kenapa kok Emi nggak pernah cerita soal Ospek kayak gini. Gue malah dapat cerita kalau ospek setelah angkatan Emi itu udah nggak ada lagi.
Gue langsung percaya kata-kata Emi waktu itu. Kenapa? Karena kalau misalnya ada ospek atau ada kegiatan apapun dijurusan, Emi pasti ikutan dilibatkan. Kalau misalnya dia nggak tau apapun, ya berarti nggak ada acara-acara skala besar dijurusan gue kemungkinan.
“Kok ada acara begini tapi gue ga tau sama sekali? Perkenalan Kampus itu maksudnya OSPEK Angkatan dua tahun setelah lo bukan?” gue bertanya dan sedikit heran.
“Gue ga tau yank. Sumpah.” Jawab Emi, nggak kalah heran.
Gue sangat bingung dengan jawaban Emi. Bisa-bisanya dia nggak tau ada acara kayak gini. Biasanya, menurut cerita-cerita dia, geng dia yang dinamain crocodile kayak nama sempak itu, selalu jadi panitia acara-acara apapun. Dan itu selalu dikomandoi oleh dia. Tapi sekarang nyatanya ada acara, Emi malah nggak tau? Ini sangat aneh dan mengherankan. Sesuatu hal yang sangat nggak biasa.
Awalnya gue berpikir positif dulu kalau acara ini nggak melibatkan Emi karena Emi lagi dalam proses skripsi. Tapi gue buang jauh-jauh pikiran tersebut karena Maulana yang SMS gue ini teman seangkatan Emi. Jadi kemungkinan juga teman-teman Emi yang lain lagi sama-sama skripsi juga.
Kalau teman-teman Emi yang lagi skripsi bisa ikut terlibat dalam salah satu acara besar di jurusan, kenapa Emi yang biasanya paling aktif malah nggak diikutsertakan? Bahkan nggak tau sama sekali ada acara seperti ini.
Pada akhirnya gue jadi sangat curiga. Ada apa ini semuanya? Apa ini ada hubungannya dengan gue juga? Tapi gue nggak mau buruk sangka dulu karena ternyata gue diundang di acara ini. Kalau misalnya ada urusan sama gue, harusnya gue nggak perlu diberitahu. Daripada gue bingung, jadinya gue memutuskan untuk datang ke sosialisasi acara tersebut yang akan dilaksanakan pada malam hari.
Gue ikut ya, Zy.” Kata Emi.
“Lo harus ikut. Lo harus disamping gue. Kita dateng sebagai satu paket. Kalo lo nggak diajak sama angkatan lo, lo dateng sama gue karena lo sekarang pendamping gue.” kata gue tegas, sambil mengecup sedikit kening Emi.
“Kalo ada drama gimana?”
“Biarin aja, bikin drama versi 2.0 kalo perlu. Gue udah nggak peduli lagi mikirin nama baik gue yang mereka rusak Mi. Capek banget asli berurusan sama bangs*t-bangs*t kayak itu. Tau gitu mending dari dulu gue langsung urusin lo aja, nggak usah ada ‘mampir’ kenal mereka dulu. Nyusahin aja. Terus sebelum ngurusin lo, gue pake-pakein sekalian mereka semua biar gue puas dulu! Anj*ng emang!”
Sebelumnya gue mendapatkan chat dari Dewi yang entah gimana urusannya jadi chat gue lagi setelah sekian lama. Intinya dia menanyakan apakah gue akan datang ke acara hari ini apa nggak. Gue nggak membalas chatnya. Tapi membiarkan Emi untuk baca itu chat.
“Hmm.. Zy. Terus Zizi itu panggilan sayang kalian?” tanya Emi
“Zizi itu panggilan Dee buat gue. Gue nggak ngerti, kenapa Dewi bisa manggil gue begitu. Padahal kan nggak mungkin bukan dia kenal sama Dee?” jawab gue.
“Lo yakin Dee sama Dewi nggak saling kenal, Zy?”
“Kalau mereka saling kenal, harusnya mereka ribut bukan sekarang? Dee itu mantan gue, Dewi itu BSH gue yang nggak gue deketin bahkan nggak gue pacarin, tapi kepedean kayak udah jadi pacar gue. Terus masa Dee main kasih gue ke Dewi gitu? Lagian emang mereka ini siapanya gue? gobl*k banget.”
“Waktu kita baru banget jadian dulu, gue lupa kapan, Wulan sama Maul datengin gue sambil bawa handphone Nindy yang entah gimana ceritanya si Nindy bisa-bisanya pinjemin handphone-nya dia ke Maul. Singkat cerita, gue diminta buat bacain chat lo ke Nindy selama ini. Chat kalian banyak banget dan nggak sempet gue bacain satu-satu. Bahkan saat kita udah pacaran, ada lah satu dua kali chat terbaru dari lo. Intinya dia mau ngasih tau kalo lo itu ga seperti yang gue kira. Bang Ija itu sejahat itu. Dan pesen Nindy ke gue, ‘Kak Emi pasti diperlakukan sama dengan Bang Ija, kayak aku dan Dewi. Terus apa spesialnya Kak Emi? Aku sama Dewi aja jadinya rebutan Bang Ija ini sampe akhirnya pertemanan kami renggang, aku nggak mau Kak Emi jadi salah satu korban permainan Bang Ija. Bang Ija mungkin cuma iseng ke Kak Emi’.” Emi bercerita.
“Terus lo percaya?” tanya gue datar.
“Itu awal mula gue ragu sama hubungan kita. Tapi sekarang lo udah buktiin kalo lo serius sama gue. Dan dari Dewi, dia bilang kalopun seorang Dee HARUS nyerahin Bang Ija, dia lebih rela nyerahin Bang Ija ini buat Nindy atau Dewi, bukan Emi. Karena Emi ngerusak hubungan dia sedangkan Nindy dan Dewi itu pilihan Bang Ija, sama sekali nggak ngerusak hubungan.”
“Gue bingung sumpah, kenapa bisa jadi begini banget sih mau berhubungan sama anak-anak lebih muda kayak kalian.”
Gue bener-bener aneh sama logika yang dilontarkan Nindy atau Dewi, atau dua duanya itu. Masa ada istilah nyerah-nyerahin? Mana ada begitu ceritanya? Emang gue ini barang yang dimilikin orang terus bisa dikasih-kasihin gitu? Buset deh. Dan Emi ngerusak hubungan dari mananya? Kan Emi datang jauh setelah gue dan Dee bubar. Gue menduga ini sih akal-akalannya si Nindy dan Dewi aja deh kayaknya.
“Maafin aku, Zy.” Kata Emi lirih.
“Bukan kamu yang salah kok, Mi. Ini semua salah aku. Harusnya aku lebih hati-hati lagi kalo mau kenalan sama cewek. Jangan deketin cewek-cewek freak kayak mereka. Nyusahin dan kerjaannya malah nyakitin kamu tanpa aku tau. Sumpah, demi deh. Mending gue pake-pakein dulu mereka dulu! Maafin aku ya, Mi.” ujar gue.
“Aku maafin kok, Zy."
Gue berhubungan dengan Dewi dan Nindy ini hanya sekedar teman ngobrol. Bahkan gue nggak ada sama sekali ngobrolnya kearah yang lebih serius atau modus tertentu. Ya biasa-biasa aja. Gue biasa-biasa aja karena gue nggak menemukan ada sesuatu yang menarik dimereka, menurut gue. jadinya ya semua berjalan hambar aja dan lama kelamaan gue pun jadi bosan karena sering kehabisan bahasan.
Tapi nyatanya, mereka sepertinya benar-benar suka betulan sama gue. Itu haknya mereka. Cuma disini yang gue nggak terimanya, kenapa pake segala bikin drama begitu? dan akhirnya gue pun berpikir, daripada dulu cuma diajak ngobrol doang tapi gue difitnah sampai sebegininya, lebih baik gue cicipin aja mereka dulu kan kayak sebelum-sebelumnya gue kalau kenal dekat dengan cewek. Toh mereka juga pasti mau.
Ujung-ujungnya gue tetap akan mendapatkan citra yang buruk dikampus setelah mereka berbuat seperti itu. Jadi mau gimanapun citra gue akan tetap buruk dan gue merasa jadinya rugi nggak dapet apa-apa dari mereka. Hahaha.
Gue berangkat ke acara sosialisasi tersebut bersama Emi. Gue sengaja datang agak terlambat. Gue emang mau lihat situasinya dulu kayak gimana. Berapa banyak alumni yang datang. Seberapa sigap panitianya. Undangan dadakan ini menurut gue agak janggal. Karena biasanya kalau ada acara gini, undangan akan datang beberapa hari sebelum hari H. gue dan Emi udah mencium ada hal yang nggak bener disini. Tapi gue dan Emi merasa yang ‘dikerjain’ itu hanya gue dan Emi aja.
“Lo nanti jalan dibelakang gue ya Mi. terus nanti kalau duduk, duduknya di barisan alumni aja, nggak usah gabung sama angkatan lo. gue yakin kok temen-temen geng toxic lo pasti ada disana.” Kata gue.
“Iya Zy…” ujar Emi singkat.
Sesampainya ditempat yang udah ditentukan, benar aja gue melihat banyak alumni yang datang. Emi nggak kalah kaget karena melihat gengnya dia lengkap tanpa kurang satupun orang. Selain itu tentunya teman-teman sekelasnya dia yang ternyata juga sebagian besar datang. Dugaan gue benar, ada yang ditutupin sama teman-temannya Emi biar Emi nggak tau.
“Zy, yakin gue dateng kesana? Mereka punya alesan pasti kenapa ga ngundang gue dan ga kasih info sama sekali buat gue.” kata Emi.
“Gue udah mikir kok, lo ditutup akses ya karena lo cewek gue. Mereka pasti punya alesan sendiri kenapa mereka begini dan gue sangat amat yakin, alesannya pasti bangs*t dan brengs*k! T*i anj*ng emang temen-temen lo.” kata gue emosi.
“Gue nggak tau mau dateng kesana apa nggak, Zy. Gue nunggu di Lab aja ya?” Emi mengusulkan, badannya emang lagi kurang fit.
“LU HARUS DAMPINGIN GUE!” kata gue dengan nada meninggi.
“Kalo gue nggak kuat?”
“Kita pulang. Kesehatan lo lebih utama. Tapi gue mau nongol dulu di sana buat nunjukin kalo mereka nggak bisa main-main sama kita.”
Setelah gue dan Emi mendekat, gue baru melihat jelas sosok-sosok familiar yang sudah menjadi alumni. Kalau yang jadi panitia gue nggak banyak tau orangnya siapa aja. Yang jelas itu angkatannya Emi dan juga angkatannya Dewi Nindy.
Gue melihat ada bang Andrianto, yang biasa gue panggil bang Andri dari angkatannya Rama (dua tahun diatas gue), ada juga Benu dan Amal yang seangkatan Keket, serta diangkatannya Dee ada anak-anak GMRD Regency lengkap. Gue nggak melihat ada angkatan Diani disana. Satu pun nggak ada yang nongol. Emang dulu awal mula masalah angkatan ini kan dari urusan ospek. Mungkin mereka tau diri kali ya.
Disana gue juga melihat abang senior yang cukup dekat dengan gue walaupun jarak angkatannya enam tahun lebih tua dari gue, Bang Karim. Dulu jaman angkatan gue ospek, dia ini salah satu senior yang paling serem. Tegas banget orangnya. Padahal badannya kecil. Tapi mimik muka, omongan serta ketegasan dalam berkata-kata itu yang bikin angkatan gue cukup segan dengan dia. Tapi setelahnya, khususnya gue, malah jadi dekat sama abang ini. Haha. Orangnya humble banget aslinya. Tapi emang dia berani banget.
Gue berteman dengannya di sosmed facebook. Dia sering banget bikin status tentang sosial politik atau sekedar berkomentar tentang situasi negara ini. Dan itu agak riskan sebenernya. Ngomongnya agak ‘kencang’ juga soalnya. Apalagi kalau dia mau cari kerja. Untungnya dia itu punya usaha sendiri jadinya nggak perlu sosmednya dipantau oleh HRD kan. Saat ini kan banyak HRD yang melihat sosmed calon kandidat karyawan selain dari hasil tes maupun wawancara.
Emi duduk didekat gue dan beberapa alumni lainnya. Gue tau Emi dipanggil dan dikode untuk pindah duduk oleh teman-teman gengnya. Gue nggak bolehin dengan hanya memperlihatkan gestur dan ekspresi “diam aja disitu, nggak usah kemana-mana.” Emi menurut dan setelah gue menitipkan dia ke Teguh, gue bergabung kedepan dengan Bang Karim.
Maul yang tempo hari mengajak gue main PS di sekret himpunan, menjelaskan secara detail seluk beluk ospek ini. Penjelasannya cukup baik dan mudah dimengerti. Gue pun nggak masalah sebenernya sama konsep baru ini. Hmm..lebih ke nggak peduli sih sebenernya. Haha.
Entah kenapa gue masih merasa ada yang ditutupi dari para panitia ini. Panitia yang diwakili oleh Maul sebagai ketua Himpunan ini memang detail menjelaskannya, tapi gue sangat yakin ada yang ditutupi. Entah karena ada gue disitu saat itu atau bagaimana gue juga sebenernya nggak terlalu peduli. Tapi yang jelas gue merasa nggak 100% keseluruhan acara dijelaskan oleh Maul ini.
Pada satu momen, ternyata Bang Karim sukses menaikkan tensi pertemuan ini. Gue yang awalnya santai-santai aja jadi ikutan kepancing. Bahkan gue memanggil dua orang yang paling bertanggung jawab atas acara ini, ya ketua acara dan wakilnya. Gue meminta mereka mengulang penjelasan yang tadi diberikan oleh Maul. Ternyata ada beberapa penjelasan yang berbeda. Disinilah titik dimana banyak senior dan alumni yang mulai mempertanyakan keseriusan penyelenggaraan acara ini.
“Sebenernya kalian ini mau serius atau nggak? Soalnya gue dengar angkatan sebelum ini nggak ada ospek bukan?” tanya gue.
“Maaf bang, memang persiapan agak mepet, tapi kami yakin kami bisa jalanin dengan baik.” Sahut ketua pelaksananya.
“Lah, gimana mau ngejalananin dengan baik kalau angkatan dia (gue menunjuk ke wakil ketua, seangkatan Dewi aja nggak pernah ngejalanin ini?” kata gue datar.
“Iya bang kami ngerti. Tapi dengan komitmen mereka, saya yakin kita bisa ngejalanin ini dengan baik.” Kata si ketua.
“Woi, ini bukan masalah ngejalanin dengan baiknya, tapi masalahnya gini. Angkatan lo nggak pernah ikutan ospek. Nah sekarang udah nggak punya pengalaman ikut ospek, tapi mala ngospekin anak orang. Kok berasa nggak tau diri kalian? Ini dosen-dosen pada tau nggak?” sambar Bang Karim, emosi.
“Dosen sudah ada yang kami kasih tau bang. tapi emang bungkusannya bukan ospek secara harfiah, tapi lebih pengenalan secara edukatif.” Kata si wakil.
“Pengenalan edukatif? Lo pada nggak ngaca dulu? Edukatif kayak gimana dulu nih? Nggak usah ngomong edukatif kalau kalian sebagai kakak kelas masih banyak yang ngulang mata kuliah bareng adik kelas. Malu kali.” Kata gue.
“Ya tapi kami agak susah dapat izin kalau misalnya nggak begitu bilangnya bang.”
“Oke lo bilang kayak gitu ke dosen. Tapi lo bisa menjamin nggak, adik kelas yang diospek ini bakalan diam aja. anak-anak jaman sekarang itu berani kalau ngelawan kakak kelas asal lo tau aja. jangankan sekedar ngelawan, ngefitnah aja berani. Kita takut kalau ada yang ngelapor kedosen dan informasi yang diterima dosen ternyata beda, habis semuanya udah.” Gue melanjutkan.
Suasana semakin tegang setelah gue ngomong begitu. Sepertinya urusan fitnah gue ini sudah menyebar dikalangan adik kelas gue. banyak juga alumni dan senior yang bertanya-tanya kenapa gue bisa bicara seperti itu. Tapi nggak ada yang langsung bertanya kepada gue.
Konfrontasi yang cukup panas ini kemudian banyak dilanjutkan oleh Bang Karim dan Bang Andrianto sebagai senior yang udah lebih tua dari yang datang disana. Gue agak kebelakang, dan gue baru sadar dialog ini sudah berlangsug dua jam lebih.
Gue kemudian melihat ke belakang dan Emi udah nggak ada di deretan alumni angkatan Dee. Gue langsung berbisik pamit ke senior-senior yang ada berpamitan dengan gestur ke adik-adik kelas lainnya.
Entah feeling gue nggak enak atau bagaimana, gue mengikuti arah jalan yang berbeda dari ketika gue dan Emi datang ke tempat ini. Gue merasa harus melalui lorong yang berbeda.
Benar aja, disana ada Emi yang sedang berbicara dengan Dewi. Entah apa yang udah mereka bicarakan sebelum gue datang. Yang jelas, gue bisa baca ekspresi Emi itu seperti nggak percaya setiap perkataan Dewi.
“Ngapain lo ngikutin Emi?” tanya gue.
Emi dan Dewi kaget. Tapi gue melihat Dewi lebih kaget karena nggak mengira akan ada gue. Emi melihat gue seperti penyelamat aja waktu itu.
“Zizi. Kenapa kamu di sini?” tanya Dewi seperti nggak bersalah.
“Jijik tau nggak dipanggil Zizi begitu sama lo, Nj*ng!” kata gue ketus.
Lalu berjalan melewati dia dan mau berdiri berdampingan sama Emi. Tetapi sebelum gue sampai ke sebelah Emi, tangan gue ditarik paksa, cukup kencang, oleh Dewi.
“Zi, anggep aja aku Dee, Zi… Aku cinta sejati kamu, Zi.” Ujar Dewi memohon. Tangannya masih memegang lengan gue.
“LO BUKAN DEE! DAN NGGAK USAH NGOMONG CINTA BEGITU! GUE NGGAK PERNAH ADA URUSAN SAMA LO!” emosi gue tersulut seketika.
“Aku manggil kamu Zizi karena aku pengganti Dee di hidup kamu, Zizi. Please, jangan pergi!”
Dewi nggak mau melepas tangan gue, padahal gue udah sekuat tenaga melepas cengkramannya. Kuat juga ini anak tenaganya, kata gue dalam hati.
“NGGAK USAH BAWA-BAWA DEE LAGI! DIA MASA LALU GUE! GUE UDAH PUNYA EMI! DAN LO NGGAK USAH GANGGU EMI LAGI! ANJ*NG!”
Emosi gue udah nggak tertahan, dan tenaga gue yang lebih besar bisa gue keluarkan. Dalam sekali hentak, cengkraman tangan Dewi terlepas dan gue langsung berjalan ke samping Emi. Tanpa banyak bicara gue menarik tangan Emi untuk pergi menjauh dari Dewi.
Dewi terus meracau nggak jelas dan berusaha mengejar kami dan kembali menarik tangan gue.
“Zizi, kita selesein semuanya dulu… Maafin aku, Zi. Mgue.Kemarin aku nggak nemuin kamu pas kamu nyariin aku.” Kata Dewi. Nada bicaranya seperti sangat memelas. Tapi hati gue terlalu kuat untuk mengasihani cewek yang udah memfitnah dan merusak nama baik gue ini.
Di lain sisi, Emi berusaha melepas genggaman tangan gue karena alasannya mau pulang sendiri, dan memberikan kesempatan gue untuk menyelesaikan masalah dengan Dewi. Gue nggak kasih kesempatan untuk Emi cabut duluan. Gue tetap memegang tangan Emi dengan kuat sambil terus berusaha melepaskan pegangan tangan Dewi.
“Zizi, aku mohon dengerin aku dulu. Jangan pergi, Zi.”
“GUE TUH NGGAK PERNAH ADA URUSAN APAPUN SAMA LO! DEKETIN LO JUGA KAGAK, KENAPA LU BEGINI AMAT SIH? CEWEK GUE SEKARANG EMI! DEE ITU HANYA MANTAN GUE JADI GA USAH LO BAWA-BAWA! JADI UDAH, KITA NGGAK ADA URUSAN! JANGAN GANGGU GUE DAN EMI LAGI, BANGS*T!” kata gue dan diiringi dengan keberhasilan gue melepaskan cengkraman tangan Dewi sekali lagi.
“ZIZI! KALO AKU NGGAK BISA DAPETIN KAMU, KAK EMI PUN NGGAK BOLEH DAPETIN KAMU!” kata Dewi sedikit berteriak dan seperti mau menangis.
Gue udah nggak mempedulikan Dewi mau ngomong apa. Capek gue meladeni cewek freak seperti itu. Belum lagi Nindy dan si Dee yang udah mulai kayak orang gila ini. Kenapa sih pada gini banget ke gue?
“Gue nginep malem ini. Gue yakin, dia bakalan ngegangguin lo kalo gue tinggalin lo sendirian.” Ujar gue, sesaat setelah sampai diparkiran motor.
“Zy, harusnya lo nggak usah nganterin gue. Abis ini lo balik aja kesana. Lo masih ada urusan di sana. Posisi lo di sana penting.” Kata Emi, suaranya kian melemah.
“Nggak peduli. Mereka sama sekali nggak penting.” Kata gue ketus.
“Lebih nggak penting gue lah, Zy. Gimana sih lo?”
“LEBIH PENTING LU LAH BEG*! KENAPA GUE MALAH SIBUK NGURUSIN OSPEK NGGAK PENTING BEGITU TAPI BIARIN CEWEK GUE MATI DI JALAN?” gue berteriak dan mengencangkan laju motor gue.
“Gue nggak akan mati di jalan, Zy. Jahat bener doanya.” Kata Emi.
“Siapa yang bisa jamin masa depan? Lo aja jalan sempoyongan begitu. Badan panas bener begini. Masih aja belagak nggak butuh bantuan orang!”
“Bacot, Zy!”
“Sama-sama.”
“Sayang kamu.”
“Aku lebih sayang sama kamu. Jadi tolong nurut sama aku.” Gue menutup percakapan gue dengan Emi.
Gue melajukan motor gue agak lebih kencang karena gue merasakan tangan Emi lebih hangat suhunya. Daripada makin sakit gue pun memutuskan untuk lebih cepat pulang ke kostannya. Gue udah nggak peduli penutupan akses yang dilakukan sama teman-teman Emi setelah semua yang dilakukan Emi demi teman-temannya itu. Yang penting Emi harus segera istirahat. Gue menyimpulkan satu hal aja sama teman-teman angkatan Emi ini. ANJ*NG!
Gue langsung percaya kata-kata Emi waktu itu. Kenapa? Karena kalau misalnya ada ospek atau ada kegiatan apapun dijurusan, Emi pasti ikutan dilibatkan. Kalau misalnya dia nggak tau apapun, ya berarti nggak ada acara-acara skala besar dijurusan gue kemungkinan.
“Kok ada acara begini tapi gue ga tau sama sekali? Perkenalan Kampus itu maksudnya OSPEK Angkatan dua tahun setelah lo bukan?” gue bertanya dan sedikit heran.
“Gue ga tau yank. Sumpah.” Jawab Emi, nggak kalah heran.
Gue sangat bingung dengan jawaban Emi. Bisa-bisanya dia nggak tau ada acara kayak gini. Biasanya, menurut cerita-cerita dia, geng dia yang dinamain crocodile kayak nama sempak itu, selalu jadi panitia acara-acara apapun. Dan itu selalu dikomandoi oleh dia. Tapi sekarang nyatanya ada acara, Emi malah nggak tau? Ini sangat aneh dan mengherankan. Sesuatu hal yang sangat nggak biasa.
Awalnya gue berpikir positif dulu kalau acara ini nggak melibatkan Emi karena Emi lagi dalam proses skripsi. Tapi gue buang jauh-jauh pikiran tersebut karena Maulana yang SMS gue ini teman seangkatan Emi. Jadi kemungkinan juga teman-teman Emi yang lain lagi sama-sama skripsi juga.
Kalau teman-teman Emi yang lagi skripsi bisa ikut terlibat dalam salah satu acara besar di jurusan, kenapa Emi yang biasanya paling aktif malah nggak diikutsertakan? Bahkan nggak tau sama sekali ada acara seperti ini.
Pada akhirnya gue jadi sangat curiga. Ada apa ini semuanya? Apa ini ada hubungannya dengan gue juga? Tapi gue nggak mau buruk sangka dulu karena ternyata gue diundang di acara ini. Kalau misalnya ada urusan sama gue, harusnya gue nggak perlu diberitahu. Daripada gue bingung, jadinya gue memutuskan untuk datang ke sosialisasi acara tersebut yang akan dilaksanakan pada malam hari.
Gue ikut ya, Zy.” Kata Emi.
“Lo harus ikut. Lo harus disamping gue. Kita dateng sebagai satu paket. Kalo lo nggak diajak sama angkatan lo, lo dateng sama gue karena lo sekarang pendamping gue.” kata gue tegas, sambil mengecup sedikit kening Emi.
“Kalo ada drama gimana?”
“Biarin aja, bikin drama versi 2.0 kalo perlu. Gue udah nggak peduli lagi mikirin nama baik gue yang mereka rusak Mi. Capek banget asli berurusan sama bangs*t-bangs*t kayak itu. Tau gitu mending dari dulu gue langsung urusin lo aja, nggak usah ada ‘mampir’ kenal mereka dulu. Nyusahin aja. Terus sebelum ngurusin lo, gue pake-pakein sekalian mereka semua biar gue puas dulu! Anj*ng emang!”
Sebelumnya gue mendapatkan chat dari Dewi yang entah gimana urusannya jadi chat gue lagi setelah sekian lama. Intinya dia menanyakan apakah gue akan datang ke acara hari ini apa nggak. Gue nggak membalas chatnya. Tapi membiarkan Emi untuk baca itu chat.
“Hmm.. Zy. Terus Zizi itu panggilan sayang kalian?” tanya Emi
“Zizi itu panggilan Dee buat gue. Gue nggak ngerti, kenapa Dewi bisa manggil gue begitu. Padahal kan nggak mungkin bukan dia kenal sama Dee?” jawab gue.
“Lo yakin Dee sama Dewi nggak saling kenal, Zy?”
“Kalau mereka saling kenal, harusnya mereka ribut bukan sekarang? Dee itu mantan gue, Dewi itu BSH gue yang nggak gue deketin bahkan nggak gue pacarin, tapi kepedean kayak udah jadi pacar gue. Terus masa Dee main kasih gue ke Dewi gitu? Lagian emang mereka ini siapanya gue? gobl*k banget.”
“Waktu kita baru banget jadian dulu, gue lupa kapan, Wulan sama Maul datengin gue sambil bawa handphone Nindy yang entah gimana ceritanya si Nindy bisa-bisanya pinjemin handphone-nya dia ke Maul. Singkat cerita, gue diminta buat bacain chat lo ke Nindy selama ini. Chat kalian banyak banget dan nggak sempet gue bacain satu-satu. Bahkan saat kita udah pacaran, ada lah satu dua kali chat terbaru dari lo. Intinya dia mau ngasih tau kalo lo itu ga seperti yang gue kira. Bang Ija itu sejahat itu. Dan pesen Nindy ke gue, ‘Kak Emi pasti diperlakukan sama dengan Bang Ija, kayak aku dan Dewi. Terus apa spesialnya Kak Emi? Aku sama Dewi aja jadinya rebutan Bang Ija ini sampe akhirnya pertemanan kami renggang, aku nggak mau Kak Emi jadi salah satu korban permainan Bang Ija. Bang Ija mungkin cuma iseng ke Kak Emi’.” Emi bercerita.
“Terus lo percaya?” tanya gue datar.
“Itu awal mula gue ragu sama hubungan kita. Tapi sekarang lo udah buktiin kalo lo serius sama gue. Dan dari Dewi, dia bilang kalopun seorang Dee HARUS nyerahin Bang Ija, dia lebih rela nyerahin Bang Ija ini buat Nindy atau Dewi, bukan Emi. Karena Emi ngerusak hubungan dia sedangkan Nindy dan Dewi itu pilihan Bang Ija, sama sekali nggak ngerusak hubungan.”
“Gue bingung sumpah, kenapa bisa jadi begini banget sih mau berhubungan sama anak-anak lebih muda kayak kalian.”
Gue bener-bener aneh sama logika yang dilontarkan Nindy atau Dewi, atau dua duanya itu. Masa ada istilah nyerah-nyerahin? Mana ada begitu ceritanya? Emang gue ini barang yang dimilikin orang terus bisa dikasih-kasihin gitu? Buset deh. Dan Emi ngerusak hubungan dari mananya? Kan Emi datang jauh setelah gue dan Dee bubar. Gue menduga ini sih akal-akalannya si Nindy dan Dewi aja deh kayaknya.
“Maafin aku, Zy.” Kata Emi lirih.
“Bukan kamu yang salah kok, Mi. Ini semua salah aku. Harusnya aku lebih hati-hati lagi kalo mau kenalan sama cewek. Jangan deketin cewek-cewek freak kayak mereka. Nyusahin dan kerjaannya malah nyakitin kamu tanpa aku tau. Sumpah, demi deh. Mending gue pake-pakein dulu mereka dulu! Maafin aku ya, Mi.” ujar gue.
“Aku maafin kok, Zy."
Gue berhubungan dengan Dewi dan Nindy ini hanya sekedar teman ngobrol. Bahkan gue nggak ada sama sekali ngobrolnya kearah yang lebih serius atau modus tertentu. Ya biasa-biasa aja. Gue biasa-biasa aja karena gue nggak menemukan ada sesuatu yang menarik dimereka, menurut gue. jadinya ya semua berjalan hambar aja dan lama kelamaan gue pun jadi bosan karena sering kehabisan bahasan.
Tapi nyatanya, mereka sepertinya benar-benar suka betulan sama gue. Itu haknya mereka. Cuma disini yang gue nggak terimanya, kenapa pake segala bikin drama begitu? dan akhirnya gue pun berpikir, daripada dulu cuma diajak ngobrol doang tapi gue difitnah sampai sebegininya, lebih baik gue cicipin aja mereka dulu kan kayak sebelum-sebelumnya gue kalau kenal dekat dengan cewek. Toh mereka juga pasti mau.
Ujung-ujungnya gue tetap akan mendapatkan citra yang buruk dikampus setelah mereka berbuat seperti itu. Jadi mau gimanapun citra gue akan tetap buruk dan gue merasa jadinya rugi nggak dapet apa-apa dari mereka. Hahaha.
Gue berangkat ke acara sosialisasi tersebut bersama Emi. Gue sengaja datang agak terlambat. Gue emang mau lihat situasinya dulu kayak gimana. Berapa banyak alumni yang datang. Seberapa sigap panitianya. Undangan dadakan ini menurut gue agak janggal. Karena biasanya kalau ada acara gini, undangan akan datang beberapa hari sebelum hari H. gue dan Emi udah mencium ada hal yang nggak bener disini. Tapi gue dan Emi merasa yang ‘dikerjain’ itu hanya gue dan Emi aja.
“Lo nanti jalan dibelakang gue ya Mi. terus nanti kalau duduk, duduknya di barisan alumni aja, nggak usah gabung sama angkatan lo. gue yakin kok temen-temen geng toxic lo pasti ada disana.” Kata gue.
“Iya Zy…” ujar Emi singkat.
Sesampainya ditempat yang udah ditentukan, benar aja gue melihat banyak alumni yang datang. Emi nggak kalah kaget karena melihat gengnya dia lengkap tanpa kurang satupun orang. Selain itu tentunya teman-teman sekelasnya dia yang ternyata juga sebagian besar datang. Dugaan gue benar, ada yang ditutupin sama teman-temannya Emi biar Emi nggak tau.
“Zy, yakin gue dateng kesana? Mereka punya alesan pasti kenapa ga ngundang gue dan ga kasih info sama sekali buat gue.” kata Emi.
“Gue udah mikir kok, lo ditutup akses ya karena lo cewek gue. Mereka pasti punya alesan sendiri kenapa mereka begini dan gue sangat amat yakin, alesannya pasti bangs*t dan brengs*k! T*i anj*ng emang temen-temen lo.” kata gue emosi.
“Gue nggak tau mau dateng kesana apa nggak, Zy. Gue nunggu di Lab aja ya?” Emi mengusulkan, badannya emang lagi kurang fit.
“LU HARUS DAMPINGIN GUE!” kata gue dengan nada meninggi.
“Kalo gue nggak kuat?”
“Kita pulang. Kesehatan lo lebih utama. Tapi gue mau nongol dulu di sana buat nunjukin kalo mereka nggak bisa main-main sama kita.”
Setelah gue dan Emi mendekat, gue baru melihat jelas sosok-sosok familiar yang sudah menjadi alumni. Kalau yang jadi panitia gue nggak banyak tau orangnya siapa aja. Yang jelas itu angkatannya Emi dan juga angkatannya Dewi Nindy.
Gue melihat ada bang Andrianto, yang biasa gue panggil bang Andri dari angkatannya Rama (dua tahun diatas gue), ada juga Benu dan Amal yang seangkatan Keket, serta diangkatannya Dee ada anak-anak GMRD Regency lengkap. Gue nggak melihat ada angkatan Diani disana. Satu pun nggak ada yang nongol. Emang dulu awal mula masalah angkatan ini kan dari urusan ospek. Mungkin mereka tau diri kali ya.
Disana gue juga melihat abang senior yang cukup dekat dengan gue walaupun jarak angkatannya enam tahun lebih tua dari gue, Bang Karim. Dulu jaman angkatan gue ospek, dia ini salah satu senior yang paling serem. Tegas banget orangnya. Padahal badannya kecil. Tapi mimik muka, omongan serta ketegasan dalam berkata-kata itu yang bikin angkatan gue cukup segan dengan dia. Tapi setelahnya, khususnya gue, malah jadi dekat sama abang ini. Haha. Orangnya humble banget aslinya. Tapi emang dia berani banget.
Gue berteman dengannya di sosmed facebook. Dia sering banget bikin status tentang sosial politik atau sekedar berkomentar tentang situasi negara ini. Dan itu agak riskan sebenernya. Ngomongnya agak ‘kencang’ juga soalnya. Apalagi kalau dia mau cari kerja. Untungnya dia itu punya usaha sendiri jadinya nggak perlu sosmednya dipantau oleh HRD kan. Saat ini kan banyak HRD yang melihat sosmed calon kandidat karyawan selain dari hasil tes maupun wawancara.
Emi duduk didekat gue dan beberapa alumni lainnya. Gue tau Emi dipanggil dan dikode untuk pindah duduk oleh teman-teman gengnya. Gue nggak bolehin dengan hanya memperlihatkan gestur dan ekspresi “diam aja disitu, nggak usah kemana-mana.” Emi menurut dan setelah gue menitipkan dia ke Teguh, gue bergabung kedepan dengan Bang Karim.
Maul yang tempo hari mengajak gue main PS di sekret himpunan, menjelaskan secara detail seluk beluk ospek ini. Penjelasannya cukup baik dan mudah dimengerti. Gue pun nggak masalah sebenernya sama konsep baru ini. Hmm..lebih ke nggak peduli sih sebenernya. Haha.
Entah kenapa gue masih merasa ada yang ditutupi dari para panitia ini. Panitia yang diwakili oleh Maul sebagai ketua Himpunan ini memang detail menjelaskannya, tapi gue sangat yakin ada yang ditutupi. Entah karena ada gue disitu saat itu atau bagaimana gue juga sebenernya nggak terlalu peduli. Tapi yang jelas gue merasa nggak 100% keseluruhan acara dijelaskan oleh Maul ini.
Pada satu momen, ternyata Bang Karim sukses menaikkan tensi pertemuan ini. Gue yang awalnya santai-santai aja jadi ikutan kepancing. Bahkan gue memanggil dua orang yang paling bertanggung jawab atas acara ini, ya ketua acara dan wakilnya. Gue meminta mereka mengulang penjelasan yang tadi diberikan oleh Maul. Ternyata ada beberapa penjelasan yang berbeda. Disinilah titik dimana banyak senior dan alumni yang mulai mempertanyakan keseriusan penyelenggaraan acara ini.
“Sebenernya kalian ini mau serius atau nggak? Soalnya gue dengar angkatan sebelum ini nggak ada ospek bukan?” tanya gue.
“Maaf bang, memang persiapan agak mepet, tapi kami yakin kami bisa jalanin dengan baik.” Sahut ketua pelaksananya.
“Lah, gimana mau ngejalananin dengan baik kalau angkatan dia (gue menunjuk ke wakil ketua, seangkatan Dewi aja nggak pernah ngejalanin ini?” kata gue datar.
“Iya bang kami ngerti. Tapi dengan komitmen mereka, saya yakin kita bisa ngejalanin ini dengan baik.” Kata si ketua.
“Woi, ini bukan masalah ngejalanin dengan baiknya, tapi masalahnya gini. Angkatan lo nggak pernah ikutan ospek. Nah sekarang udah nggak punya pengalaman ikut ospek, tapi mala ngospekin anak orang. Kok berasa nggak tau diri kalian? Ini dosen-dosen pada tau nggak?” sambar Bang Karim, emosi.
“Dosen sudah ada yang kami kasih tau bang. tapi emang bungkusannya bukan ospek secara harfiah, tapi lebih pengenalan secara edukatif.” Kata si wakil.
“Pengenalan edukatif? Lo pada nggak ngaca dulu? Edukatif kayak gimana dulu nih? Nggak usah ngomong edukatif kalau kalian sebagai kakak kelas masih banyak yang ngulang mata kuliah bareng adik kelas. Malu kali.” Kata gue.
“Ya tapi kami agak susah dapat izin kalau misalnya nggak begitu bilangnya bang.”
“Oke lo bilang kayak gitu ke dosen. Tapi lo bisa menjamin nggak, adik kelas yang diospek ini bakalan diam aja. anak-anak jaman sekarang itu berani kalau ngelawan kakak kelas asal lo tau aja. jangankan sekedar ngelawan, ngefitnah aja berani. Kita takut kalau ada yang ngelapor kedosen dan informasi yang diterima dosen ternyata beda, habis semuanya udah.” Gue melanjutkan.
Suasana semakin tegang setelah gue ngomong begitu. Sepertinya urusan fitnah gue ini sudah menyebar dikalangan adik kelas gue. banyak juga alumni dan senior yang bertanya-tanya kenapa gue bisa bicara seperti itu. Tapi nggak ada yang langsung bertanya kepada gue.
Konfrontasi yang cukup panas ini kemudian banyak dilanjutkan oleh Bang Karim dan Bang Andrianto sebagai senior yang udah lebih tua dari yang datang disana. Gue agak kebelakang, dan gue baru sadar dialog ini sudah berlangsug dua jam lebih.
Gue kemudian melihat ke belakang dan Emi udah nggak ada di deretan alumni angkatan Dee. Gue langsung berbisik pamit ke senior-senior yang ada berpamitan dengan gestur ke adik-adik kelas lainnya.
Entah feeling gue nggak enak atau bagaimana, gue mengikuti arah jalan yang berbeda dari ketika gue dan Emi datang ke tempat ini. Gue merasa harus melalui lorong yang berbeda.
Benar aja, disana ada Emi yang sedang berbicara dengan Dewi. Entah apa yang udah mereka bicarakan sebelum gue datang. Yang jelas, gue bisa baca ekspresi Emi itu seperti nggak percaya setiap perkataan Dewi.
“Ngapain lo ngikutin Emi?” tanya gue.
Emi dan Dewi kaget. Tapi gue melihat Dewi lebih kaget karena nggak mengira akan ada gue. Emi melihat gue seperti penyelamat aja waktu itu.
“Zizi. Kenapa kamu di sini?” tanya Dewi seperti nggak bersalah.
“Jijik tau nggak dipanggil Zizi begitu sama lo, Nj*ng!” kata gue ketus.
Lalu berjalan melewati dia dan mau berdiri berdampingan sama Emi. Tetapi sebelum gue sampai ke sebelah Emi, tangan gue ditarik paksa, cukup kencang, oleh Dewi.
“Zi, anggep aja aku Dee, Zi… Aku cinta sejati kamu, Zi.” Ujar Dewi memohon. Tangannya masih memegang lengan gue.
“LO BUKAN DEE! DAN NGGAK USAH NGOMONG CINTA BEGITU! GUE NGGAK PERNAH ADA URUSAN SAMA LO!” emosi gue tersulut seketika.
“Aku manggil kamu Zizi karena aku pengganti Dee di hidup kamu, Zizi. Please, jangan pergi!”
Dewi nggak mau melepas tangan gue, padahal gue udah sekuat tenaga melepas cengkramannya. Kuat juga ini anak tenaganya, kata gue dalam hati.
“NGGAK USAH BAWA-BAWA DEE LAGI! DIA MASA LALU GUE! GUE UDAH PUNYA EMI! DAN LO NGGAK USAH GANGGU EMI LAGI! ANJ*NG!”
Emosi gue udah nggak tertahan, dan tenaga gue yang lebih besar bisa gue keluarkan. Dalam sekali hentak, cengkraman tangan Dewi terlepas dan gue langsung berjalan ke samping Emi. Tanpa banyak bicara gue menarik tangan Emi untuk pergi menjauh dari Dewi.
Dewi terus meracau nggak jelas dan berusaha mengejar kami dan kembali menarik tangan gue.
“Zizi, kita selesein semuanya dulu… Maafin aku, Zi. Mgue.Kemarin aku nggak nemuin kamu pas kamu nyariin aku.” Kata Dewi. Nada bicaranya seperti sangat memelas. Tapi hati gue terlalu kuat untuk mengasihani cewek yang udah memfitnah dan merusak nama baik gue ini.
Di lain sisi, Emi berusaha melepas genggaman tangan gue karena alasannya mau pulang sendiri, dan memberikan kesempatan gue untuk menyelesaikan masalah dengan Dewi. Gue nggak kasih kesempatan untuk Emi cabut duluan. Gue tetap memegang tangan Emi dengan kuat sambil terus berusaha melepaskan pegangan tangan Dewi.
“Zizi, aku mohon dengerin aku dulu. Jangan pergi, Zi.”
“GUE TUH NGGAK PERNAH ADA URUSAN APAPUN SAMA LO! DEKETIN LO JUGA KAGAK, KENAPA LU BEGINI AMAT SIH? CEWEK GUE SEKARANG EMI! DEE ITU HANYA MANTAN GUE JADI GA USAH LO BAWA-BAWA! JADI UDAH, KITA NGGAK ADA URUSAN! JANGAN GANGGU GUE DAN EMI LAGI, BANGS*T!” kata gue dan diiringi dengan keberhasilan gue melepaskan cengkraman tangan Dewi sekali lagi.
“ZIZI! KALO AKU NGGAK BISA DAPETIN KAMU, KAK EMI PUN NGGAK BOLEH DAPETIN KAMU!” kata Dewi sedikit berteriak dan seperti mau menangis.
Gue udah nggak mempedulikan Dewi mau ngomong apa. Capek gue meladeni cewek freak seperti itu. Belum lagi Nindy dan si Dee yang udah mulai kayak orang gila ini. Kenapa sih pada gini banget ke gue?
“Gue nginep malem ini. Gue yakin, dia bakalan ngegangguin lo kalo gue tinggalin lo sendirian.” Ujar gue, sesaat setelah sampai diparkiran motor.
“Zy, harusnya lo nggak usah nganterin gue. Abis ini lo balik aja kesana. Lo masih ada urusan di sana. Posisi lo di sana penting.” Kata Emi, suaranya kian melemah.
“Nggak peduli. Mereka sama sekali nggak penting.” Kata gue ketus.
“Lebih nggak penting gue lah, Zy. Gimana sih lo?”
“LEBIH PENTING LU LAH BEG*! KENAPA GUE MALAH SIBUK NGURUSIN OSPEK NGGAK PENTING BEGITU TAPI BIARIN CEWEK GUE MATI DI JALAN?” gue berteriak dan mengencangkan laju motor gue.
“Gue nggak akan mati di jalan, Zy. Jahat bener doanya.” Kata Emi.
“Siapa yang bisa jamin masa depan? Lo aja jalan sempoyongan begitu. Badan panas bener begini. Masih aja belagak nggak butuh bantuan orang!”
“Bacot, Zy!”
“Sama-sama.”
“Sayang kamu.”
“Aku lebih sayang sama kamu. Jadi tolong nurut sama aku.” Gue menutup percakapan gue dengan Emi.
Gue melajukan motor gue agak lebih kencang karena gue merasakan tangan Emi lebih hangat suhunya. Daripada makin sakit gue pun memutuskan untuk lebih cepat pulang ke kostannya. Gue udah nggak peduli penutupan akses yang dilakukan sama teman-teman Emi setelah semua yang dilakukan Emi demi teman-temannya itu. Yang penting Emi harus segera istirahat. Gue menyimpulkan satu hal aja sama teman-teman angkatan Emi ini. ANJ*NG!
Diubah oleh yanagi92055 13-01-2020 19:53
itkgid dan 23 lainnya memberi reputasi
24
Tutup