IztaLorieAvatar border
TS
IztaLorie
Mereaksikan Kamu dan Aku Menjadi Kita
Bereaksi


Gambar by : IztaLorie
Edit : Ibis Paint


Elok berjalan di bawah rindangnya pepohonan menuju kantin, tepatnya kantin kedua yang berada di tengah-tengah kantin lain. Ini merupakan kantin favorit karena sejak awal angkatannya lebih akrab dengan ibu kantin baik hati itu daripada dengan yang lain.

Cewek itu berusaha menatap lurus ke depan ketika melewati sekumpulan cowok yang asik berkelakar. Namun ekor matanya tak kuasa menahan gerak untuk menangkap segala aktivitas cowok bernama Elang.

Elok duduk di kursi belakang Elang. Sekedar untuk dapat menatap punggungnya sambil menikmati makan siang.

Rindu berjalan tergesa-gesa menghampiri Elok, memanggil namanya dua kali tapi cewek itu tetap bergeming seolah berada di dimensi lain.

Rindu menarik garis khayalan dari manik mata sewarna madu itu menuju ke depannya dan taulah apa yang membuat sahabatnya itu tiba-tiba menjadi tuli akan panggilan.

Dia menarik cepat tisu yang ada di tengah meja kayu, mengelapkan di bibir Elok dengan kasar. "Lap dulu air liurmu yang banjir ini."

Menghempaskan diri dengan kesal ke bangku yang berada di seberang Elok. Elok memberikan tatapan protes. Untung itu sahabatnya kalau nggak pasti sudah dihabisi.

"Ngapain sih? Aku kan baru makan, nggak ada air liur yang menetes seperti orang kelaparan yang belum makan tiga hari." Elok mengelap mulut menggunakan tisu yang direbut dari tangan Rindu. Menunjukkan pada cewek itu kalau tidak ada satu tetes air liur pun yang menempel pada permukaan tisu.

"Nggak salah kok kalau mengagumi ciptaaan Tuhan yang demikian memikat. Nggak usah malu mengakui kalau sedari tadi kamu lihatin Elang terus." Rindu memiringkan kepala lalu mengerling.

Elok menyibukkan diri dengan mengaduk kuah soto untuk mencari daging sapi yang sebenarnya tidak ada karena sudah dimakan semua. Apakah dia terlalu ceroboh sampai perasaannya terlihat begitu jelas.

Sudah dua tahun ini dia berusaha mengekang rasa sukanya dengan berpura-pura tidak mengenali Elang. Mereka bahkan tidak pernah berbicara satu kali pun. Ajaibnya, tidak ada yang menyadari keganjilan itu.

Kesedihan kembali merayapi Elok. Sungguh dirinya tak layak untuk berada di dekat Elang sejak kejadian naas ketika mereka lulus SD.

Kalau bukan karena sifat manjanya pasti sekarang Elang masih bisa bersama-sama dengan mamanya. Elok mendesah, memaksa menyuapkan nasi soto ke dalam mulut kecilnya.

Elok menutup wajah dengan kedua tangan, mengingat kembali kejadian itu membuat hatinya sedih. Betapa pengecutnya karena sampai sekarang tidak berani meminta maaf pada Elang. Menelan sendiri rasa bersalah itu.

"Jadi begini." Elang bangkit lalu memutari meja. Menekankan kedua tangan di atas meja, tubuhnya condong ke depan hingga semua teman-teman mengikuti.

Elang mengangkat dagu sebentar agar matanya bisa menatap pemandangan yang tadinya tidak bisa dilihat. Dahi berkerut ketika melihat objek pemandangan malah sedang menutup mata dengan tangan. Sedang sedihkah dia? Apakah kembali memikirkan masa lalu.

Elang kembali menunduk, melanjutkan percakapan yang tertunda. Namun otaknya memikirkan hal lain. Dia ingin kembali bisa dekat dengan Elok. Namun sejak awal mereka bertemu di kampus, cewek itu seperti menghindar.

Rindu menyentuh lengan Elok. "Kamu kenapa?"

Elok menyingkirkan tangan yang menutup wajah, menggeleng lemah. "Nggak papa," ujarnya sambil tersenyum lemah.

"Makannya sudah selesai kan? Sekarang sudah hampir waktunya praktik." Rindu berdiri setelah melihat jam tangan.

Elok juga ikut berdiri, berlari kecil mengejar Rindu yang sudah pergi duluan.

"Eh, maaf," kata Elok setelah tidak sengaja menabrak Elang yang tiba-tiba berhenti.

Elok tidak memperhatikan secarik senyum yang coba disembunyikan Elang karena bisa mendengar suaranya kembali.

Praktik kali ini ada di lantai tiga. Elok menyesuaikan napas ketika memasuki ruangan. Terkesiap ketika melihat Elang sudah terlebih dahulu sampai. Pasti dia lewat tangga yang satunya.

Elok mencoba mengabaikan fakta bahwa Elang sama sekali tidak terengah-engah seperti dirinya sendiri. Pasti cowok itu sering berolahraga.

Elok berjalan melewati meja Elang untuk menuju mejanya sendiri yang hanya selisih satu bangku.

Fahmi tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Dengan tidak sabar menarik tangan Elok hingga cewek itu terduduk di bangkunya.

Cowok itu membantu Elok mempersiapkan box yang berisi perlengkapan praktik. Elok hanya bisa tersenyum menerima perhatian itu. Elok menyadari perasaan Fahmi, tapi apa daya hatinya sudah tertambat ke orang lain.

"Sudah siap dengan pretest? Jangan sampai kamu tidak boleh mengikuti praktek karena nilai yang kurang." Fahmi mengerling sebelum menyiapkan perlengkapannya sendiri.

Dosen dan juga asisten sudah memasuki ruang laboratorium, tapi Elani masih belum kelihatan. Waktu teori tadi dia juga tidak kelihatan. Elok melirik bangku yang berada di samping.

"Sebelum memulai pretest, saya ada sedikit pengumuman. Elani sudah mengajukan surat berhenti kuliah. Elok, kamu pindah di sebelah Elang. Kalian jadi partner. Yang lain silakan bergeser satu bangku." Bu Weni mengawasi mahasiswa yang mulai mengemasi perlengkapan untuk pindah.

Elok memberesi perlengkapan dengan berat hati. Dua tahun ini sudah berusaha keras menghindari cowok satu itu. Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang. Apa harus mulai minta maaf. Ini terlalu berat baginya.

Elang melirik Elok yang terlihat lesu. Berbanding terbalik dengan dirinya. Rasanya ingin bersorak keras-keras untuk menyerukan kegembiraannya.

Bola lampu di otak Elang menyala. Ini saatnya dia bertindak agar Elok kembali mau berbicara lagi dengannya. Ini akan menyenangkan, benak Elang tertawa bahagia.

"Jangan dikira aku mau menjadi partnermu," bisik Elang untuk Elok gusar.

Mata Elok membelalak hingga terlihat begitu bulat. Ini pertama kalinya Elang bicara padanya. Nada bicara itu membuat Elok merinding. Apakah cowok itu masih begitu marah.

"Jangan sampai menyusahkan." Peringatan kedua yang diucapkan oleh Elang menyulut emosi.

Elok bersedekap dengan dagu terangkat. "Siapa juga yang mau berpartner dengan cowok kaya kamu. Masih lebih baik Fahmi kemana-mana."

Kata-kata itu sukses mengalihkan dunia Elang karena saat ini cowok itu memandang Elok dengan tatapan membunuh. Elok tidak tahu kalau itu benar-benar menyinggung harga dirinya.

Pretest sudah usai, waktunya membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar bu Weni memangggil nama mahasiswa. Kalau sampai namanya tidak dipanggil saat praktikum dimulai itu tandanya nilai terlalu rendah, tidak boleh ikut dan harus keluar dari laboratium.

Elok tersenyum ketika namanya dipanggil setelah Elang. Dia berderap maju untuk mengambil kunci laci. Masing-masing mahasiswa memiliki laci yang berisi set peralatan untuk praktikum. Harus bertanggung jawab dengan kebersihan dan kelengkapannya.

"Lho kok kuncinya macet," gerutu Elok sambil terus berusaha memutar ke kanan, tapi terasa berat.

Sebuah kunci diletakkan di meja Elok. Dia mendongak untuk memandang Fahmi yang tersenyum geli.

"Lok, kamu ambil kunci yang salah." Fahmi mengulurkan tangan untuk meminta kunci nomor lima.

Elok menepuk jidat pelan karena menyadari kesalahannya. Nyengir malu-malu, ini karena terbiasa mengambil kunci nomor lima padahal sekarang sudah duduk di nomor empat.

"Ceroboh."

Elok pura-pura tidak mendengar ejekan Elang itu. Mengeluarkan perlengkapan dari dalam laci lalu menata berurutan di atas meja. Sekarang tinggal mengambil mikroskop saja. Dia melangkah menuju rak penyimpanan mikroskop.

"Jangan salah lagi." Elang berjalan sambil memberi peringatan.

Elok meringis, untung diingatkan. Nyaris saja salah ambil mikroskop lagi.

Elok mengeluh dalam hati. Baru beberapa menit mereka menjadi partner tapi sudah mendengar kata-kata yang bikin bad mood. Tau gitu lebih baik tidak ikut praktik saja. Eh, sayang juga kalau harus mengulang semester gara-gara selalu tidak ikut praktik. Mereka kan sekarang jadi partner.

Anggap saja berpartner dengan cowok paling tampan di tingkat tiga. Eh, tunggu dulu, bukannya predikat itu disematkan pada Elang. Elok mendesah sebal.

Elang melirik cewek yang duduk di sampingnya. Cara ini rupanya cukup berhasil. Cewek itu pasti tidak tahan untuk menjawab setiap celaan yang terlontar dari mulutnya. Elok nggak bakal diam saja kalau terus dihina. Rupanya cewek masa kecilnya masih belum berubah banyak.

"Hari ini kita akan praktek hitung eosinofil. Di sini siapa yang punya alergi?" Bu Weni menunggu jawaban dari yang lain.

"Elok saja, Bu." Elang menunjuk Elok disertai dengan serigai liciknya.

"Memangnya Elok punya alergi apa?" Bu Weni mendekati meja mereka sambil membawa perlengkapan untuk mengambil sampel darah berupa vial yang berisi antikoagulan, spuit, alkohol swab, dan torniquet.

"Bukan alergi tapi cacingan. Lihat saja badannya yang kurus." Elang memandang Elok dari sudut mata hingga muncul kesan merendahkan.

"Ya sudah kalau begitu. Elang, kamu ambil darah Elok sebanyak 6 cc," perintah bu Weni.

Elok bergidik ngeri melihat serigai Elang. Ya ampun, 6 cc darah. Spontan menutup lengan kanan dengan memakai tangan kiri. Ini bukan mimpi kan? Semoga Elang bisa lancar mengambil darah.

"Ini tidak sakit kok." Elang memainkan alis sambil mengacungkan spuit 6 cc. Dalam hati menertawakan wajah panik Elok.

Elok menarik tangan saat Elang menggegam mantap. Elang melotot, dengan pandangan mengancam kembali menarik kembali lengan Elok agar posisinya pas. "Tenang aja."

Kata-kata dari Elang tidak membuatnya semakin santai malah makin tegang. Elok mengintip dari sela-sela telapak tangan yang harusnya digunakan untuk menutup wajah. Biasanya sih selalu berani kalau diambil darah. Namun kali ini plebotomisnya adalah Elang. Gimana kalau dia sengaja menusuk dua, tiga, atau bahkan empat kali untuk mengambil darah.

"Nggak sakit kan?" Elang menarik spuit dari lengan Elok dengan mulus.

Elok menggeleng lemah karena pikiran buruknya tidak terbukti. Bahkan tidak terasa sakit seperti kalau diambil oleh Fahmi. Dia meraih vial-vial yang sudah diisi Elang dengan darah, menutup dan mencampurnya dengan anti koagulan lalu membagikan ke pasangan-pasangan lain.



Sumber : atlm.web.id


Semua langsung berkonsentrasi untuk memulai praktikum sedangkan Elok baru saja mulai karena harus membagi vial terlebih dahulu.

Elang mengangkat tangan tanda dia sudah menemukan sel eosinofil. Bu Weni mendekat untuk melihat kamar hitung lalu memberikan tanda tangan di buku laporan. Elang menghitung jumlah Eosinofil yang ditemukan lalu segera mengumpulkan buku itu.

"Cepat seperti biasa." Bu Weni memuji Elang yang pertama kali menyelesaikan praktikum.

Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan Elok yang masih berkutat dengan mikroskop. Mencari sosok eosinofil yang berbentuk seperti kacamata.

"Lima menit lagi. Segera bersihkan peralatan!" Suara Bu Weni membuat Elok semakin gugup.

Elang sudah selesai membereskan meja, malah duduk diam sambil terus memandangi. Enggan untuk membantu biar cewek itu semakin kesal.

Fahmi yang terakhir mengangkat tangan. Setelah memberi tanda tangan, Bu Weni menghampiri Elok untuk mengecek mikroskop dan memang tidak menemukan apa pun.

"Fahmi, tolong pinjamkan bilik hitungmu buat Elok," pinta bu Weni.

"Kamu cacingan ya? Sampai-sampai aku dapat banyak eosinofil. Minum obat cacingan biar gemukan sedikit," ejek Elang, tapi cewek itu masih berpura-pura tidak mendengar.

Elang tahu apa yang bisa membuat cewek itu bereaksi. "Jangan-jangan kamu punya asma. Ngik ... ngik ... ngik...." Elang memegang dada lalu berpura-pura menarik napas dengan kepayahan.

"Nggak lucu," gerutu Elok, membuang muka.

"Kalau begitu pasti alergi." Elang mencondongkan badan sambil menunjuk muka Elok.

Elok mengabaikan ucapan itu. Menyibukkan diri untuk mengemasi tas agar tidak perlu melihat wajahnya.

"Alergi kan?" Elang mengulangi pertanyaan lalu menyikut cewek itu.

Elok memberikan tatapan peringatan. Elang semakin merasa kegirangan. Wajah cewek itu malah jadi semakin menarik. Mungkin ini bisa dijadikan senjata untuk membuat cewek itu terus berbicara padanya.

Fahmi menghampiri. "Elok, ayo keluar."

Elok dan Fahmi berjalan bersisian. Mereka memang kompak sebagai partner karena sudah dari tingkat satu bersama. Sayangnya sekarang mereka terpisah.

Hampir saja Elok duduk di sebelah Fahmi. Namun cowok itu tersenyum geli sambil menunjuk kursi sebelah Elang. Elok menghembuskan napas kasar. Perubahan ini benar-benar membuatnya kacau. Capek hati dan capek pikiran kalau terus berada di dekat Elang.

"Cacingan, asma, alergi?" ejek Elang dengan nada riang.

Elok merasa heran, tumben-tumbenan cowok satu ini banyak bicara. Biasanya tampak cool. Ini sangat menyebalkan.

"Iya, aku punya alergi," ujar Elok ketus. Pada akhirnya memang harus menghadapi cowok itu.

Elang menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Mendekati agar dapat mendengar lebih jelas. "Aku benar kan? Kamu alergi apa?" Dia memainkan alis demi melihat wajah Elok yang semakin memerah.

"Uhuk, uhuk, alergi kamu." Elok pura-pura batuk untuk menggoda. "Alergi dekat-dekat sama manusia bernama Elang." Kilat jail muncul dari manik sewarna madu.





Kalau suka sama thread satu ini tolong bantu share ya. Biar lebih banyak yang baca dan Lori semakin semangat nulisnya. Selamat membaca lanjutannya.


Btw, Lori kan ada rencana cetak cerita ini lewat event Samudera Printing Nah, Samudera Printing ini ngadain Giveaway lho. Yuk ikutan. Kali aja kamu yang menang.

Diubah oleh IztaLorie 05-06-2021 01:47
69banditos
nomorelies
cyb3r_thu6
cyb3r_thu6 dan 57 lainnya memberi reputasi
56
9.7K
215
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.1KAnggota
Tampilkan semua post
IztaLorieAvatar border
TS
IztaLorie
#15
Reaksi Hati
Kembali Seperti Semula




Gambar by : IztaLorie
Edit : Ibis Paint


Elok membentur-benturkan kepala dengan pelan di atas meja. Menyesali kedatangannya yang terlalu pagi. Padahal kemarin sudah merencanakan untuk menghindari Elang sampai ingin dapat nilai jelek, eh sekarang malah tidak sabar ingin segera bertemu.

Gagasan penebusan dosa yang muncul ketika membuka mata pagi ini membuatnya berpikir kalau mungkin ini cara yang dipakai Tuhan untuk memberinya kesempatan meminta maaf pada Elang. Berharap kalau datang lebih pagi bakalan bisa berduaan dengan cowok itu.

Namun permohonannya tidak terkabul. Sudah banyak yang datang, terutama cewek-cewek yang rela membuat keributan demi bisa duduk di dekat Elang.

Sebuah buku ditaruh dalam kondisi terbuka dan berdiri untuk menyembunyikan wajah Elok yang muram. Bagaimana caranya agar bisa berbicara jujur pada Elang?

Tiba-tiba udara dingin dari AC bagian depan kelas menerpa rambut Elok. Rupanya itu adalah ulah usil Hera yang mengambil tameng buku miliknya.

"Cie, cie yang partnernya baru." Hera menghempaskan diri ke bangku terdekat, menarik bangku itu hingga berhimpit dengan bangkunya.

Elok mengangkat kepala sejenak lalu kembali menempelkannya pada permukaan meja.

Membenturkan bahunya Elok menjadi salah satu cara untuk mendapatkan perhatiannya. "Aku lihat si Elang bisa lumer sama kamu. Kamu apain?" Hera menunjuk Elang yang melintas di depan kelas.

"Biasa aja. Eh gimana kabar gebetanmu yang baru?" Elok mengeluarkan jurus andalan untuk mengalihkan perhatian cewek itu dari Elang.

"Biasa aja. Ehm, Lok. Gimana kalau sekarang aku gebet Elang aja? Sepertinya sudah jinak." Hera memandang Elang dengan penuh harap.

"Coba aja kalau berani," ujar Elok dengan masa bodoh.

"Siapa takut." Hera berdiri seketika dan melangkahkan kaki langsingnya untuk mendekati Elang.

Siapa pun tahu tentang reputasi Hera sebagai sang penggoda. Tidak ada cewek waras yang menyarankan Hera untuk menggoda cowok yang ditaksirnya. Elok pasti sudah gila saat ini.

Rindu melenggang mendekat lalu berhenti tepat di depan Elok yang tengah kembali membenturkan kepala. Memutar tubuhnya setengah putaran hingga bisa menatap ke depan kelas dengan jelas. Rindu meletakkan tangan di pinggang, menumpukan beban tubuh pada kaki kanan lalu menunjuk ke depan dengan wajah tidak percaya. Berkata-kata dengan lambat untuk menekankan tiap kata yang terucap. "Apa yang dilakukan Hera di sana?"

"Hanya mengajak ngobrol Elang," jawab Elok sambil menyibukkan diri dengan mengeluarkan buku catatan untuk teori kimia amami dengan harapan sahabatnya tidak bisa membaca matanya.

Rasa khawatir membuat Rindu meraih tangan Elok untuk mendapatkan perhatian. "Kamu tahu kan kalau aku tidak suka kedekatan diantara kalian. Aku takut kalau dia akan merebut Elang darimu."

"Sejak dulu sampai sekarang pun, Elang bukan milikku." Elok tersenyum getir.

"Aku sangat mengenalmu dan aku tahu kalau kamu berbohong. Wajahmu sepolos buku harian yang terbuka sehingga dapat membaca dengan jelas." Rindu mengelus telapak tangan Elok dengan penuh sayang.

"Hai, kalian seperti lesbi saja." Hera yang tiba-tiba duduk di samping Elok begitu mengejutkan hingga Rindu melepaskan genggaman tangan.

"Gimana ... gimana?" tanya Elok. Memoles suara agar terdengar antusias padahal dalam hati was-was. Kalau sampai Elang jatuh ke tangan Hera, terus gimana nasib hubungan yang baru dirancang untuk diperbaiki.

"Beku. Cuek banget kaya biasa." Hera mengeluhkan sikap Elang.

Diam-diam Elok merasa lega karena cowok itu sudah kembali seperti semula. Tipe yang cuek dan sulit didekati oleh para cewek. Entah apa yang terjadi kemarin hingga Elang banyak bicara walau pun yang keluar dari mulutnya adalah ejekan.

"Eh, siapa itu?" tanya Hera dengan hebohnya.

"Cantik." Pujian itu lolos dari bibir Elok tanpa bisa difilter.

Cewek berkulit putih mulus bak model itu menghampiri Elang. Dia menarik kursi agar lebih dekat.

Detak jantung Elok berubah menjadi semakin cepat karena cemburu yang coba ditekan agar tidak tersembur keluar. Elok mengumpat dalam hati. Tidak seharusnya segugup ini hanya karena Elang didekati oleh cewek yang begitu menarik.

"Bukannya itu Jesi? Mantannya Elang? Masih cantik kamu kok dari pada dia." Rindu menepuk-nepuk pundak Elok.

Elok menghargai niat baik sahabatnya tapi tetap saja rasa tidak enak menyentak hati ketika mendengar kata mantan. Naif sekali karena sempat mengira Elang belum pernah berpacaran.

"Dengar-dengar Jesi ingin balikan lagi." Rindu melupakan perasaan Elok dengan cara mulai bergosip dengan Hera.

"Mau ke mana, Lok? Kelas sudah mau mulai nih." Hera berteriak kencang karena menyadari Elok melangkah meninggalkan mereka.

Siapa coba yang tidak gerah kalau mendengar tentang mantan yang terlalu cantik dan kata balikan digabungkan dalam satu percakapan.

Elok masih sempat melirik kedua sejoli waktu melewati mereka. Jesi menggengam tangan kanan Elang memang terlihat begitu bersinar. Bagaimana dia dapat menandinginya.

Namun ekspresi Elang yang datar seperti biasanya mau tak mau membuat Elok keheranan. Apa seperti ini gaya berpacaran mereka. Jesi yang lebih agresif sedang Elang biasa-biasa saja.

"Mau kemana, Lok?" Fahmi merentangkan kedua tangan untuk mencegat di depan pintu.

"Cari minum. Panas banget nih." Elok mengibaskan tangan di depan muka.

Rasa dingin menyerang pipi yang bersentuhan dengan plastik berisi es teh membuat Elok menjerit lalu mendorongnya menjauh.

"Minum ini saja. Tenang, belum kuminum kok." Fahmi kembali mengulurkan plastik es itu.

"Makasih." Sebenarnya cuaca tidak sepanas itu hingga butuh es tapi Elok tetap menyedot dengan penuh semangat.

Tanpa permisi Fahmi menarik Elok hingga sampai di depan Elang membuat cewek itu kembali mengumpat dalam hati. Elok mengigit-gigit serotan berpura-pura cuek saja padahal sebenarnya sangat gugup.

"Eh, esku tuh," protes Elok nggak terima ketika Elang menarik paksa plastik es lalu menyedot hingga habis seolah-olah itu miliknya.

"Dari pada buat mainan, lebih baik kuminum saja. Haus."

"Ih, Elang kok gitu sih. Itu tadi kan bekasnya mbak-mbak ini. Kalau masih haus, Jesi beliin minum ya? Elang mau minum apa?" tanya Jesi dengan centilnya.

"Es jeruk," sambar Fahmi sambil tersenyum tanpa dosa.

"Nggak nawarin kamu," sahut Jesi judes.

"Es jeruk dua. Satunya buat Fahmi." Fahmi tersenyum penuh kemenangan. Dia bahkan masih sempat memainkan alis untuk menggoda Jesi.

"Tunggu di sini. Biar Jesi belikan." Jesi segera melesat pergi ketika mendengar pesan Elang.

"Dia tidak pernah menuruti permintaanku, tapi kalau kamu yang ngomong pasti langsung dipenuhi." Nada bicara Fahmi terdengar sinis.

Dahi Elok berkerut ketika mendengarnya. Apakah Fahmi iri? Atau jangan-jangan cemburu karena Jesi lebih memperhatikan Elang? Elok menutup pikiran itu karena ini bukan urusannya.

Tanpa berpamitan, Elok kembali ke barisan belakang. Tidak ada gunanya terus berada di dekat mereka.

Rindu dan Hera sudah senyum-senyum nggak jelas. "Apa? Udah nggak usah mikir macem-macem. Aku jadi kambing congek kok," ujar Elok ketus sebelum diintrograsi mereka.

Dosen sudah memulai materi saat Jesi melenggang memasuki kelas. "Apa yang kamu lakukan di sini? Masuk ke kelasmu sendiri!"

Elok, Rindu, dan Hera terkikik dengan kompak karena melihat Jesi yang pucat pasi disemprot sama dosen.

"Rasain. Suruh siapa keganjenan,"  ejek Hera.

Teori kimia amami usai sudah. Ini saatnya mereka menuju laboratorium untuk mengikuti praktikum.

Berjalan bersisian dan membicarakan bahan praktik membuat Elok lupa akan Jesi. Anehnya wajah Hera jadi semakin berseri-seri ketika semakin dekat dengan lab parasitologi.

Kali ini Elok duduk di tempat yang tepat agar tidak lagi ditertawakan oleh Elang dan juga Fahmi. Tempat duduk di lab parasitologi berbeda dengan lab hematologi. Mereka duduk berhadapan dengan yang lain dan dipisahkan dengan meja persegi panjang untuk delapan orang. Ini memungkinkan buat Elok untuk memandangi wajah Hera yang makin bersinar.

Rupanya Fahmi juga menyadari perubahan Hera hingga ikut-ikutan memandanginya.

"Hera kenapa?" tanya Fahmi ketika tak juga menemukan jawaban.

Elok hanya bisa angkat bahu melihat kelakuan ganjil cewek itu. Bahkan sekarang senyuman dari mata turun ke bibir dan semakin lebar.

Hati Elok serasa dipukul dengan palu hingga berdentam ketika menyadari arti dari senyuman itu. Jenis senyuman aku senang karena bisa dekat-dekat dengan Elang. Itulah arti sebenarnya. Senyuman yang sering diperlihatkan oleh mayoritas cewek di kampus.

"Hai, Lang. Sekarang kita jadi partner ya," sapa Hera centil sambil memamerkan bulu-bulu mata lentik yang bergerak naik turun untuk menggoda.

Kedipan itu membuat Elok dan Fahmi mengerutkan dahi. Kelihatan banget kalau Hera mencoba menarik perhatian Elang.

Fahmi mencondongkan badan mendekat. "Hera kesambet setannya Elang ya?" bisiknya.

"Iya kali," jawab Elok singkat untuk memunculkan kesan masa bodoh.

Perut Elok bergejolak karena sepanjang praktik, Hera selalu mengambil kesempatan untuk mendekati Elang. Hal ini memungkinkan karena praktikum parasitologi mengharuskan kami untuk terus bergerak dari meja ke meja untuk melihat preparat yang diletakkan di masing-masing mikroskop yang tersebar.

Cukup sudah, Elang sudah tidak tahan lagi dengan tingkah Hera yang tiba-tiba terus menempel padanya. "Mi, tolong urus partnermu ini." Elang mendorong Hera menjauhinya lalu menarik Elok hingga terhuyung jatuh di pelukannya. Segera saja pipi cewek itu merona seperti tomat yang sudah matang.

Bibir Hera menipis karena merasa dihina Elang dengan penolakan. Fahmi menyentuh lengan Hera, mengingatkan agar kembali bergerak untuk melihat preparat lain, tapi malah menepis tangan Fahmi.

Elang melepaskan pegangannya. "Berjalan di belakangku."

Mengekor tepat di belakang Elang membuat Elok semakin tidak enak hati karena merasakan pandangan tajam dari teman-teman cewek yang sudah melihat kejadian itu.

Elok mulai mencondongkan badan untuk melihat preparat yang sudah dilihat Elang. Memang tidak wajib berurutan tapi Elang tetap bersikeras agar Elok tidak jauh-jauh darinya.

"Lang, ini keterangannya apa ya?"

Elok dan Fahmi langsung mendongak kaget ketika mendengar suara Hera. Cewek itu masih berani bertanya setelah kejadian tadi. Elok bahkan sempat berpikir kalau Hera bakalan mendiamkan Elang. Gigih juga perjuangannya. Apa Elok harus bersikap seperti itu dalam merebut hati Elang? Itu berarti harus bersaing dengan sahabat sendiri. Namun pikiran itu membuatnya merasa bersalah hingga menggelengkan kepala beberapa kali untuk mengusir pikiran itu jauh-jauh.

"Tanya Fahmi saja. Diakan partnermu," jawab Elang sambil mempertahankan ekspresi datarnya.

"Ah Elang, nggak asik nih." Hera mencebik.

Namun Elang tidak peduli dengan pendapat cewek itu. Semoga saja dia marah besar dan muak dengan tingkah laku Elang hingga mau angkat kaki jauh-jauh.

"Udah selesai, Lok?" tanya Fahmi yang melihatku bengong sambil menatap halaman buku.

Aku menggeleng lemah. Masih tersisa tiga bagian lagi yang belum kutandai. Tadi tidak fokus karena insiden Hera didorong Elang.

"Mana yang nggak ngerti?" Fahmi mencondongkan badan mendekati Elok.

Ini tidak boleh dibiarkan terjadi. Seharusnya Elok bertanya padanya, bukan pada Fahmi. Gelombang kecemburuan mulai menyerang.

Melihat gelagat Elok yang hendak mendorong buku mendekati Fahmi membuat Elang makin geram. Dia menggerakkan telapak tangannya untuk menahan buku. Hal itu membuatnya mendapatkan tatapan protes.

Tanpa bicara, Elang menyodorkan bukunya untuk dicontek. Sementara itu terjadi dia malah memilih mengalihkan pandangan ke arah lain. Bukankah itu tampak keren?

"Tinggal tiga bagian saja. Lebih baik aku tanya Fahmi." Bukannya menerima kebaikan hati Elang, cewek itu malah mengembalikan buku Elang kembali ke tempat semula.

Ini membuat Elang gemas. "Mana yang kurang?" Elang memberikan tatapan tajam hingga membuat kesan mengerikan.

"In ... ini, ini, dan ini," ujar Elok dengan terbata-bata.

Elang tertegun karena sikap yang ditunjukkan sudah membuat Elok mengkerut ketakutan. Segera saja mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih ramah dan menggunakan nada lembut saat menerangkan.

Benar-benar tidak bisa dimengerti. Bagaimana bisa orang berubah sikap dengan begitu cepat. Elok tertawa dalam hati ketika memikirkan kalau cowok itu lebih cocok dipanggil bunglon dari pada elang. Sikapnya berubah dengan cepat disetiap kondisi.

Praktek hari ini berakhir sudah. Elok melambaikan tangan pada Rindu ketika melewati lab mikrobiologi. Mempercepat langkah agar segera sampai ke lantai dasar. Rasanya sudah tak sabar ingin segera sampai rumah.

Hera berlari kecil mendekati Elok lalu menyentuh bahunya agar cewek itu berbalik menghadapinya. "Lok, sorry. Hari ini aku tidak bisa pulang sama kamu. Aku ada janji dengan Rindu. Kamu pulang sendiri nggak papa kan?" Hera mengatupkan dua telapak tangan untuk meminta maaf. Hera memasang wajah menyesal membuat Elok mengangguk dengan segera.

"Nggak papa kok, Hera. Aku pulang duluan ya."" Elok memaksakan diri tersenyum lalu melambai sekilas sebelum berbalik.

Gemerincing kunci motor terdengar ketika Fahmi menangkap kunci yang dilemparkan Elang. "Wah, hari ini aku yang didepan? Tumben kamu mengizinkan aku mengendarai motor kesayanganmu?"

"Bawa saja, besok jangan lupa dikembalikan. Aku mau naik angkutan umum saja. Suntuk banget nih." Elang sudah tidak sabar untuk berlari ketika melihat Elok berjalan sendirian.

Elang tidak mempedulikan Fahmi yang masih menanyakan keseriusannya dalam menyerahkan motor. Yang dipedulikan sekarang hanya cewek yang saat ini mulai mengjang dari pandangan karena sudah membelok ke kiri setelah melewati pintu gerbang.

Ternyata tidak butuh waktu lama untuk menyusulnya karena Elok berjalan demikian lambat sampai siput saja terasa lebih cepat dibandingkan langkah cewek yang mulai kemarin kembali mengganggu pikirannya.

Langkah Elok terasa berat dan ragu-ragu. Tangannya bahkan sudah mulai berkeringat dingin ketika sampai di perempatan besar. Dirinya merasa menciut sedemikian cepat hingga jarak yang harus diseberangi semakin lama semakin tampak lebar.

Napas mulai tidak teratur ketika memutuskan untuk mengangkat kaki melewati jalan itu. Namun keraguan menyergap Elok. Dirinya masih belum berani menyeberang hingga lampu kembali berubah warna.

Elok menoleh ke kanan dan ke kiri, terpaku melihat jalanan yang ramai sekali. Bis-bis besar melaju dengan kencang membuat nyalinya semakin ciut.

Syukurlah ada sosok yang berdiri di seberangnya jadi Elok ada teman untuk menyeberang. Orang itu adalah Elang. Tangan kanan Elok terulur dengan ragu-ragu hendak meraih jemari tangan Elang tapi tangan itu berhenti di udara. Apa Elang akan marah kalau tiba-tiba Elok menggandengnya? Menyadari hal itu membuat Elok menurunkan kembali tangannya.

Mata cewek itu membulat ketika merasakan gengaman membuatnya memandang kedua tangan yang saling bertautan. Jalanan seolah menghilang karena mendapati Elang tersenyum saat mengangkat tangan mereka. Ketakutan Elok seketika sirna. Warna-warni bunga tiba-tiba muncul di benak Elok. Ini terasa seperti tengah berduaan di tengah taman yang begitu indah. Rasanya tidak ingin segera sampai diujung dan melepaskan tangannya.

...

Indeks cerita dapat di klik di sini.


Kalau suka sama thread satu ini tolong bantu share ya. Biar lebih banyak yang baca dan Lori semakin semangat nulisnya. Selamat membaca lanjutannya.




Btw, Lori kan ada rencana cetak cerita ini lewat event Samudera Printing. Nah, Samudera Printing ini ngadain Giveaway lho. Yuk ikutan. Kali aja kamu yang menang.

Diubah oleh IztaLorie 05-06-2021 01:48
tinwin.f7
ayya83
rifada23
rifada23 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.