- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1120
Reuni Lagi Masa?
Undangan untuk reuni akbar kampus gue sampai kerumah orangtua gue. Gue dikabari oleh Mama tentang undangan ini. Wah ini adalah kesempatan yang baik untuk memperbanyak relasi, pikir gue. sekalian mungkin bisa juga ketemu sama teman-teman seperjuangan jaman kuliah dulu.
Undangannya kamis ini. Jadi gue sekalian aja ngajak Emi buat datang karena satu undangan untuk dua orang. Toh nanti juga kalau dia udah lulus pasti akan ada reuni akbar sekampus kayak gini lagi. Bahkan gue bisa datang berdua dia kan dengan status sama-sama sebagai alumni. Haha.
“Nanti kita dateng yuk ke reuni akbar, mau kan?” tanya gue.
“Boleh aja. Dress codenya apaan?” Emi balas bertanya.
“Putih-putih. Ntar disiapin aja ya. Aku nggak punya lagi nih. Elaaah. Haha.” Kata gue.
“Yaudah nanti mau ditemenin beli dulu aja?”
“Iya deh boleh.”
Gue dan Emi mencari kemeja putih yang sekiranya bagus untuk dipakai ke acara reuni akbar. Gue nggak pernah punya kemeja putih polos yang bagus desainnya. Gue punya, tapi kayak kemeja orang yang lagi melaksanakan magang dan kayak seragam sekolah. Jadinya agak kurang enak juga. Makanya gue memutuskan untuk membeli kemeja.
Gue menjemput Emi dikostannya. Gue membawa motor untuk berangkat ke reuni akbar yang cukup jauh ini. Gue hanya berpikir karena ini masih hari kerja takutnya kalau bawa mobil malah macet nggak karuan dan ujung-ujungnya malah telat.
Perjalanan cukup lama kami tempuh sampai akhirnya kami tiba ditujuan. Lokasinya itu di ballroom sebuah hotel bintang 5 diibukota. Keren banget suasananya. Gue berpikir awalnya ini bakalan sepi-sepi aja. tapi nyatanya sudah banyak banget yang datang. Banyak bapak-bapak ibu-ibu yang mukanya intelek dan sepertinya hidupnya berkecukupan berkumpul disini. Gue jadi minder sendiri melihat keadaan seperti ini.
Ini adalah kesempatan gue untuk menguatkan relasi. Minimal dari satu jurusan aja dulu. Disana juga banyak mantan dosen gue yang pernah mengajar gue. Emi juga nggak kalah takjub karena banyak orang besar yang dia kenali. Gue juga senang, banyak orang-orang penting dinegeri ini yang ternyata adalah lulusan kampus gue. Bahkan salah satu pujangga besar yang pernah dimiliki Indonesia juga ternyata alumni kampus gue. Beliau sempat memberikan penampilan musikalisasi puisi yang amat indah pada satu kesemapatan.
Gue merasa bangga menjadi bagian dari keluarga besar kampus ini. Terlepas dari seluruh kritikan yang selalu konsisten gue berikan ke kampus terkait dengan macam-macam kebijakannya yang kontroversial, kampus ini tetaplah kampus tempat dimana gue pernah ‘dipintarkan’.
“Hebat banget ya. banyak banget orang penting disini. Pasti suatu saat kita bisa kayak mereka ya yank.” Kata gue ke Emi.
“Iya aku nggak nyangka banyak orang terpandang. Orang hebat pada kumpul disini. Hehe. Aku ngerasa bangga aja jadi bagian dari kampus ini.” Kata Emi sumringah sambil mengedarkan terus pandangannya.
“Semoga aja kalau kita langgeng, nanti kita bakalan ada di acara kayak ginian lagi bareng-bareng.”
“Amiiin. Mudah-mudahan ya Zy.”
Gue dan Emi kemudian lihat-lihat keadaan makanan minuman. Yang disediakan udah pasti makanan dan minuman kelas satu, wong hotelnya aja hotel bintang 5. Gue sangat tidak sabar menunggu waktu makan tiba. Banyak makanan yang agak asing yang belum pernah gue dan Emi makan ada disini. Tapi gue sempat berpikir apakah nanti akan ada rebut-rebutan antrian kayak di resepsi?
Logika gue mengatakan tidak. Karena gue berpikir, masa iya bapak ibu intelek kayak gini rela melakukan hal yang kampungan macem nyelak antrian. Dan terbukti. Bapak dan ibu ini sangat rapi teratur dan sabar untuk menunggu giliran. Sungguh pemandangan yang sangat menyejukkan.
Kemudian sambil makan itu ada sharing session dari alumni alumni sukses yang berwiraswasta. Mereka rata-rata sesuai dengan jurusannya masing-masing bidang usahanya ketika berjuang membesarkannya. Ada juga yang sukses menjadi salah satu direksi bank pelat merah, direksi perusahaan otomotif terkemuka di Indonesia.
Sangat luar biasa untuk mendapatkan kesempatan seperti ini. Gue juga akhirnya memberanikan diri untuk berkenalan dengan para bapak ibu sukses ini. Modal gue cuma nekat aja dan sebuah kartu nama, toh mereka juga kan pasti akan terima. Sama-sama alumni dari kampus yang sama.
Setelah bergerilya dengan aneka ragam makanan enak dan gratis, lalu gue banyak kenalan dengan bapak ibu atau mas-mas yang gue pikir pemikirannya oke, gue bertemu dengan beberapa orang teman gue. Mulai dari angkatannya Keket sampai angkatannya Dee ada. Nggak lupa gue selalu mengenalkan Emi kepada mereka. Adik-adik kelas gue bahkan ada yang mengenal Emi juga ternyata.
Salah satu teman Dee yang datang adalah Mega dan Eko. Mereka ini udah pacaran dari jaman gue masih pacaran sama Dee. Awet juga mereka ya. tapi mereka agak kaget ketika gue menggandeng dan mengenalkan Emi. Karena mungkin mereka taunya gue dan Dee masih jadian kali ya. Gue nggak ambil pusing juga soal itu.
Yang penting gue udah kasih tau mereka kalau gue udah nggak sama Dee dan sekarang gandengan gue ya Emi. Nggak ada lagi yang lain. Gue sempat bingung ketika Mega ini menatap sinis ke Emi. Ternyata Emi pernah dituduh menyontek sama si Mega ini. Apa mega ini termasuk yang galak ya kalau di kampus? soalnya setau gue sih anaknya fine-fine aja nggak macem-macem, apalagi galak. Haha.
Gue banyak sekali mendengarkan cerita dari pengalaman teman teman yang bekerja di berbagai macam bidang kerja. Tapi banyaknya itu nggak nyambung sama kuliahnya dulu. Sama kayak gue sebenernya. Gue juga nggak nyambung urusannya dengan pendidikan gue dulu.
Cerita-ceritanya berlanjut kemudian dengan lebih banyak gue yang bercerita ke Emi tentang kampus dulu. Perbedaan enam tahun itu ternyata banyak sekali perbedaan dan perubahannya, dari mulai kebiasaan mahasiswanya, attitude-nya, dan juga nama-nama tempat dikampus yang ternyata diangkatan siapa nggak tau, ada yang ngubah namanya. Jadi ada perbedaan persepsi mengenai salah satu nama tempat antara gue dan Emi.
Gue dan Emi akhirnya akan pulang setelah banyak ngobrol, cerita dan ketemu orang-orang disana. Gue udah cukup banyak berkenalan dengan orang baru yang gue harapkan dimasa depan kali aja ada yang bisa gue optimalkan dari perkenalan yang ada.
Gue dan Emi berjalan menuju keluar gedung sampai beberapa kali telpon gue berdering. Gue nggak angkat awalnya, tapi lama-lama kok nelponin terus. Gue kan bingung ini siapa.
Ternyata Dee.
Ya, gue udah malas banget berurusan dengan Dee. Gue sengaja iya-iyain apa yang diomongin atau diminta sama dia biar cepet. Gue nggak mau hubungan gue dengan Emi rusak sama Dee. Gue nggak mau Dee kelakuannya malah jadi kayak Keket nantinya.
Tapi makin gue seperti itu, semakin Dee agresif. Entah apa maunya dia. Gue akhirnya mengangkat telpon dia. Dia ternyata dikabarin sama Mega kalau gue datang ke reuni ini. Kayaknya si Mega yang ternyata juga kelakuannya kayak anj*ng ini malah mengkonfirmasi kalau gue udah putus dari Dee atau belum. Gue langsung suudzon, ini pasti karena faktor ketidaksukaan si Mega terhadap Emi yang entah apa sebabnya itu.
Gue akhirnya menjelaskan kalau emang gue datang dengan seorang cewek. Gue nggak mau sebut siapa. Palingan juga si Dee tau dari si Mega kan. Dan gue selalu bilang, suka-suka gue kalau gue mau jalan sama siapapun karena udah nggak ada hubungannya lagi gue dan Dee. Gue nggak mau juga Emi yang nggak tau apa-apa malah kena semprot orang yang sepertinya sedang cemburu ini.
Dee kemudian terdengar menangis dan gue udah nggak terlalu meduliin dia. Gue juga mengatakan sebelum menutup telpon kalau dia aja bisa jalan, dan juga ada pengalaman dengan yang namanya pitak-pitak itu, masa gue nggak boleh jalan sama siapapun? Kok egois banget jadi anak.
Jadi gue bilang untuk nggak usah hubungin gue lagi kalau Cuma mau gangguin urusan gue dan segala hubungan gue dengan siapapun.
Gue baru ngeh belakangan ternyata Emi udah menghilang dari pandangan gue. Gue mencari Emi. Gue telpon nggak aktif, chat gue pun nggak terkirim. Gue sangat panik.
Iya, ini pasti akan terjadi. Setiap gue ada menghubungi atau terhubung kembali dengan Dee, pastilah kejadiannya akan kayak gini. Itulah sebabnya gue menjaga jarak dengan Dee. Setelah sebelumnya gue pikir menjalin hubungan baik dengan mantan itu nggak salah, gue mulai berpikir ulang.
Dee udah kayak tetap memiliki gue. Padahal dia jalan dengan siapapun juga gue udah bodo amat. Beberapa kali dia cerita dengan kisah yang sama soal si pitak itu, gue pun iya-iya aja biar cepet.
Tapi sepertinya gue mengambil langkah yang sama. Alih-alih gue males berurusan dengan Dee, iya iya aja apa katanya, malah jadi dia merasa masih diperhatikan oleh gue dan merasa gue masih sayang dia.
Kacau semua kalau udah kayak gini. Dee adalah orang yang keras kalau udah punya kemauan. Gue juga bingung kenapa dia seperti susah sekali move on. Padahal dulu dia nggak kayak gini waktu awal-awal kami putus.
Bahkan kami udah putus hubungan dan nggak pernah saling kontak lagi selama beberapa lama. Tapi kok ketika gue mulai dekat dengan Emi, malahan si Dee jadi sok deket lagi sama gue. Gue udah mulai menaruh curiga ada yang gosok dia dibelakang untuk kembali mendekat ke gue.
Nah pertanyaannya, informasi apa yang dia dapat dari para penggosok ini? Gue takutnya informasinya malah nggak valid dan ujungnya merugikan gue dan juga Emi. Makanya gue preventif aja sekalian ke Emi. Gue jauhkan dia dari segala sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu gue.
Gue juga cerita-cerita masa lalu gue dan bagaimana gue berpacaran sama mantan-mantan gue dan itu oke-oke aja buat Emi. Tetapi gue mulai terganggu ketika Dee tiba-tiba masuk lagi kekehidupan gue, ketika gue sedang intens sampai ke udah pacaran sama Emi.
Gue nggak mengenal Dee yang ngototan banget kayak gini. Ini gue udah yakin pasti ada yang nyampein info nggak bener. Tapi gue juga bingung, Dee itu udah komit untuk nggak menghubungi siapapun lagi teman-teman kampusnya. Masa iya dia jadi percaya gitu aja dengan informasi yang disampein temen kampus yang udah lama nggak kontak dengan dia? Kan aneh.
--
Gue pulang sendirian malam itu. Emi nggak bisa dihubungin sama sekali. Tapi karena waktu itu udah malam banget, kayaknya Emi nggak mungkin balik ke kostan. Akhirnya gue menyimpulkan Emi pasti ada dirumahnya.
Gue memutuskan untuk datang langsung kerumah Emi. Sesampainya disana ada ibunya yang membukakan pagar untuk gue.
Ketika gue masuk, Emi udah nunggu diruang tamu dengan wajah sangat kusut. Gue menjelaskan aja kalau urusan gue dengan Dee udah selesai. Emi terlihat masih murung dan akhirnya dia menunjukkan sebuah chat dari nomer nggak dikenal.
Gue tau nomer itu adalah nomer Dee. Emi udah dalam posisi nangis. Ini parah banget ternyata efeknya. Inti dari chat itu adalah, Emi disuruh menjauh dari gue karena gue masih berpacaran dengan Dee.
Dee masih mengaku pacar gue! Sesuatu yang sangat anj*ng menurut gue. Di akhir kalimatnya ada bilang begini “JAUHIN IJA AKU MI, SADAR DIRI. TINGGALIN IJA.” Sumpah ini rese banget Dee.
“Dia dapet nomer kamu dari siapa?” tanya gue.
“Mana aku tau, kamu yang pacarnya Dee. Mestinya kamu yang lebih tau dong.”
Oke gue sangat kesal dan mulai emosi karena merasa kejebak sama situasi yang nggak menguntungkan sama sekali. Kurang ajar, Dee pernah pengalaman dengan brengseknya Keket, dan sekarang dia mau jadi kayak Keket buat ngerusak hubungan gue dengan Emi?
Udah pada gila kali ya ini mantan-mantan gue. Kurang apa sih mereka? Cantik-cantik, pinter-pinter, dan juga udah pada kerja. Apalagi yang dicari dari gue? Nggak boleh banget gue bahagia dengan kehidupan gue setelah bareng mereka?
Kalau gue bisa ngamuk-ngamuk dan teriak-teriak di rumah Emi, gue lakukan saat itu juga. Ini sangat kurang ajar. Dee berani bohong demi urusan kayak gini? Kok norak banget pemikirannya. Siapa yang pengaruhin dia supaya jadi kayak gini?
“Terus kamu percaya dia, Mi?”
“Aku harus percaya siapa?” tanya Emi.
“Percaya pacar sendiri nggak bisa ya?”
“Aku nggak tau Zy.”
Oke disini gue amat kecewa. Gue udah jauh-jauh dateng kesini, malah disambut urusan brengsek kayak gini. Tapi daripada gue berantem sama Emi, gue memilih cabut. Nggak enak juga gue ngamuk-ngamuk dengan suara kencang dirumah orang.
“Kayaknya kita butuh waktu sebentar untuk sendiri-sendiri dulu.” Usul gue.
Gue langsung pamit pulang. Gue Cuma ingat satu nama yang bisa gue ajak bicara.
Undangannya kamis ini. Jadi gue sekalian aja ngajak Emi buat datang karena satu undangan untuk dua orang. Toh nanti juga kalau dia udah lulus pasti akan ada reuni akbar sekampus kayak gini lagi. Bahkan gue bisa datang berdua dia kan dengan status sama-sama sebagai alumni. Haha.
“Nanti kita dateng yuk ke reuni akbar, mau kan?” tanya gue.
“Boleh aja. Dress codenya apaan?” Emi balas bertanya.
“Putih-putih. Ntar disiapin aja ya. Aku nggak punya lagi nih. Elaaah. Haha.” Kata gue.
“Yaudah nanti mau ditemenin beli dulu aja?”
“Iya deh boleh.”
Gue dan Emi mencari kemeja putih yang sekiranya bagus untuk dipakai ke acara reuni akbar. Gue nggak pernah punya kemeja putih polos yang bagus desainnya. Gue punya, tapi kayak kemeja orang yang lagi melaksanakan magang dan kayak seragam sekolah. Jadinya agak kurang enak juga. Makanya gue memutuskan untuk membeli kemeja.
Gue menjemput Emi dikostannya. Gue membawa motor untuk berangkat ke reuni akbar yang cukup jauh ini. Gue hanya berpikir karena ini masih hari kerja takutnya kalau bawa mobil malah macet nggak karuan dan ujung-ujungnya malah telat.
Perjalanan cukup lama kami tempuh sampai akhirnya kami tiba ditujuan. Lokasinya itu di ballroom sebuah hotel bintang 5 diibukota. Keren banget suasananya. Gue berpikir awalnya ini bakalan sepi-sepi aja. tapi nyatanya sudah banyak banget yang datang. Banyak bapak-bapak ibu-ibu yang mukanya intelek dan sepertinya hidupnya berkecukupan berkumpul disini. Gue jadi minder sendiri melihat keadaan seperti ini.
Ini adalah kesempatan gue untuk menguatkan relasi. Minimal dari satu jurusan aja dulu. Disana juga banyak mantan dosen gue yang pernah mengajar gue. Emi juga nggak kalah takjub karena banyak orang besar yang dia kenali. Gue juga senang, banyak orang-orang penting dinegeri ini yang ternyata adalah lulusan kampus gue. Bahkan salah satu pujangga besar yang pernah dimiliki Indonesia juga ternyata alumni kampus gue. Beliau sempat memberikan penampilan musikalisasi puisi yang amat indah pada satu kesemapatan.
Gue merasa bangga menjadi bagian dari keluarga besar kampus ini. Terlepas dari seluruh kritikan yang selalu konsisten gue berikan ke kampus terkait dengan macam-macam kebijakannya yang kontroversial, kampus ini tetaplah kampus tempat dimana gue pernah ‘dipintarkan’.
“Hebat banget ya. banyak banget orang penting disini. Pasti suatu saat kita bisa kayak mereka ya yank.” Kata gue ke Emi.
“Iya aku nggak nyangka banyak orang terpandang. Orang hebat pada kumpul disini. Hehe. Aku ngerasa bangga aja jadi bagian dari kampus ini.” Kata Emi sumringah sambil mengedarkan terus pandangannya.
“Semoga aja kalau kita langgeng, nanti kita bakalan ada di acara kayak ginian lagi bareng-bareng.”
“Amiiin. Mudah-mudahan ya Zy.”
Gue dan Emi kemudian lihat-lihat keadaan makanan minuman. Yang disediakan udah pasti makanan dan minuman kelas satu, wong hotelnya aja hotel bintang 5. Gue sangat tidak sabar menunggu waktu makan tiba. Banyak makanan yang agak asing yang belum pernah gue dan Emi makan ada disini. Tapi gue sempat berpikir apakah nanti akan ada rebut-rebutan antrian kayak di resepsi?
Logika gue mengatakan tidak. Karena gue berpikir, masa iya bapak ibu intelek kayak gini rela melakukan hal yang kampungan macem nyelak antrian. Dan terbukti. Bapak dan ibu ini sangat rapi teratur dan sabar untuk menunggu giliran. Sungguh pemandangan yang sangat menyejukkan.
Kemudian sambil makan itu ada sharing session dari alumni alumni sukses yang berwiraswasta. Mereka rata-rata sesuai dengan jurusannya masing-masing bidang usahanya ketika berjuang membesarkannya. Ada juga yang sukses menjadi salah satu direksi bank pelat merah, direksi perusahaan otomotif terkemuka di Indonesia.
Sangat luar biasa untuk mendapatkan kesempatan seperti ini. Gue juga akhirnya memberanikan diri untuk berkenalan dengan para bapak ibu sukses ini. Modal gue cuma nekat aja dan sebuah kartu nama, toh mereka juga kan pasti akan terima. Sama-sama alumni dari kampus yang sama.
Setelah bergerilya dengan aneka ragam makanan enak dan gratis, lalu gue banyak kenalan dengan bapak ibu atau mas-mas yang gue pikir pemikirannya oke, gue bertemu dengan beberapa orang teman gue. Mulai dari angkatannya Keket sampai angkatannya Dee ada. Nggak lupa gue selalu mengenalkan Emi kepada mereka. Adik-adik kelas gue bahkan ada yang mengenal Emi juga ternyata.
Salah satu teman Dee yang datang adalah Mega dan Eko. Mereka ini udah pacaran dari jaman gue masih pacaran sama Dee. Awet juga mereka ya. tapi mereka agak kaget ketika gue menggandeng dan mengenalkan Emi. Karena mungkin mereka taunya gue dan Dee masih jadian kali ya. Gue nggak ambil pusing juga soal itu.
Yang penting gue udah kasih tau mereka kalau gue udah nggak sama Dee dan sekarang gandengan gue ya Emi. Nggak ada lagi yang lain. Gue sempat bingung ketika Mega ini menatap sinis ke Emi. Ternyata Emi pernah dituduh menyontek sama si Mega ini. Apa mega ini termasuk yang galak ya kalau di kampus? soalnya setau gue sih anaknya fine-fine aja nggak macem-macem, apalagi galak. Haha.
Gue banyak sekali mendengarkan cerita dari pengalaman teman teman yang bekerja di berbagai macam bidang kerja. Tapi banyaknya itu nggak nyambung sama kuliahnya dulu. Sama kayak gue sebenernya. Gue juga nggak nyambung urusannya dengan pendidikan gue dulu.
Cerita-ceritanya berlanjut kemudian dengan lebih banyak gue yang bercerita ke Emi tentang kampus dulu. Perbedaan enam tahun itu ternyata banyak sekali perbedaan dan perubahannya, dari mulai kebiasaan mahasiswanya, attitude-nya, dan juga nama-nama tempat dikampus yang ternyata diangkatan siapa nggak tau, ada yang ngubah namanya. Jadi ada perbedaan persepsi mengenai salah satu nama tempat antara gue dan Emi.
Gue dan Emi akhirnya akan pulang setelah banyak ngobrol, cerita dan ketemu orang-orang disana. Gue udah cukup banyak berkenalan dengan orang baru yang gue harapkan dimasa depan kali aja ada yang bisa gue optimalkan dari perkenalan yang ada.
Gue dan Emi berjalan menuju keluar gedung sampai beberapa kali telpon gue berdering. Gue nggak angkat awalnya, tapi lama-lama kok nelponin terus. Gue kan bingung ini siapa.
Ternyata Dee.
Ya, gue udah malas banget berurusan dengan Dee. Gue sengaja iya-iyain apa yang diomongin atau diminta sama dia biar cepet. Gue nggak mau hubungan gue dengan Emi rusak sama Dee. Gue nggak mau Dee kelakuannya malah jadi kayak Keket nantinya.
Tapi makin gue seperti itu, semakin Dee agresif. Entah apa maunya dia. Gue akhirnya mengangkat telpon dia. Dia ternyata dikabarin sama Mega kalau gue datang ke reuni ini. Kayaknya si Mega yang ternyata juga kelakuannya kayak anj*ng ini malah mengkonfirmasi kalau gue udah putus dari Dee atau belum. Gue langsung suudzon, ini pasti karena faktor ketidaksukaan si Mega terhadap Emi yang entah apa sebabnya itu.
Gue akhirnya menjelaskan kalau emang gue datang dengan seorang cewek. Gue nggak mau sebut siapa. Palingan juga si Dee tau dari si Mega kan. Dan gue selalu bilang, suka-suka gue kalau gue mau jalan sama siapapun karena udah nggak ada hubungannya lagi gue dan Dee. Gue nggak mau juga Emi yang nggak tau apa-apa malah kena semprot orang yang sepertinya sedang cemburu ini.
Quote:
Dee kemudian terdengar menangis dan gue udah nggak terlalu meduliin dia. Gue juga mengatakan sebelum menutup telpon kalau dia aja bisa jalan, dan juga ada pengalaman dengan yang namanya pitak-pitak itu, masa gue nggak boleh jalan sama siapapun? Kok egois banget jadi anak.
Jadi gue bilang untuk nggak usah hubungin gue lagi kalau Cuma mau gangguin urusan gue dan segala hubungan gue dengan siapapun.
Gue baru ngeh belakangan ternyata Emi udah menghilang dari pandangan gue. Gue mencari Emi. Gue telpon nggak aktif, chat gue pun nggak terkirim. Gue sangat panik.
Iya, ini pasti akan terjadi. Setiap gue ada menghubungi atau terhubung kembali dengan Dee, pastilah kejadiannya akan kayak gini. Itulah sebabnya gue menjaga jarak dengan Dee. Setelah sebelumnya gue pikir menjalin hubungan baik dengan mantan itu nggak salah, gue mulai berpikir ulang.
Dee udah kayak tetap memiliki gue. Padahal dia jalan dengan siapapun juga gue udah bodo amat. Beberapa kali dia cerita dengan kisah yang sama soal si pitak itu, gue pun iya-iya aja biar cepet.
Tapi sepertinya gue mengambil langkah yang sama. Alih-alih gue males berurusan dengan Dee, iya iya aja apa katanya, malah jadi dia merasa masih diperhatikan oleh gue dan merasa gue masih sayang dia.
Kacau semua kalau udah kayak gini. Dee adalah orang yang keras kalau udah punya kemauan. Gue juga bingung kenapa dia seperti susah sekali move on. Padahal dulu dia nggak kayak gini waktu awal-awal kami putus.
Bahkan kami udah putus hubungan dan nggak pernah saling kontak lagi selama beberapa lama. Tapi kok ketika gue mulai dekat dengan Emi, malahan si Dee jadi sok deket lagi sama gue. Gue udah mulai menaruh curiga ada yang gosok dia dibelakang untuk kembali mendekat ke gue.
Nah pertanyaannya, informasi apa yang dia dapat dari para penggosok ini? Gue takutnya informasinya malah nggak valid dan ujungnya merugikan gue dan juga Emi. Makanya gue preventif aja sekalian ke Emi. Gue jauhkan dia dari segala sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu gue.
Gue juga cerita-cerita masa lalu gue dan bagaimana gue berpacaran sama mantan-mantan gue dan itu oke-oke aja buat Emi. Tetapi gue mulai terganggu ketika Dee tiba-tiba masuk lagi kekehidupan gue, ketika gue sedang intens sampai ke udah pacaran sama Emi.
Gue nggak mengenal Dee yang ngototan banget kayak gini. Ini gue udah yakin pasti ada yang nyampein info nggak bener. Tapi gue juga bingung, Dee itu udah komit untuk nggak menghubungi siapapun lagi teman-teman kampusnya. Masa iya dia jadi percaya gitu aja dengan informasi yang disampein temen kampus yang udah lama nggak kontak dengan dia? Kan aneh.
--
Gue pulang sendirian malam itu. Emi nggak bisa dihubungin sama sekali. Tapi karena waktu itu udah malam banget, kayaknya Emi nggak mungkin balik ke kostan. Akhirnya gue menyimpulkan Emi pasti ada dirumahnya.
Gue memutuskan untuk datang langsung kerumah Emi. Sesampainya disana ada ibunya yang membukakan pagar untuk gue.
Ketika gue masuk, Emi udah nunggu diruang tamu dengan wajah sangat kusut. Gue menjelaskan aja kalau urusan gue dengan Dee udah selesai. Emi terlihat masih murung dan akhirnya dia menunjukkan sebuah chat dari nomer nggak dikenal.
Gue tau nomer itu adalah nomer Dee. Emi udah dalam posisi nangis. Ini parah banget ternyata efeknya. Inti dari chat itu adalah, Emi disuruh menjauh dari gue karena gue masih berpacaran dengan Dee.
Dee masih mengaku pacar gue! Sesuatu yang sangat anj*ng menurut gue. Di akhir kalimatnya ada bilang begini “JAUHIN IJA AKU MI, SADAR DIRI. TINGGALIN IJA.” Sumpah ini rese banget Dee.
“Dia dapet nomer kamu dari siapa?” tanya gue.
“Mana aku tau, kamu yang pacarnya Dee. Mestinya kamu yang lebih tau dong.”
Oke gue sangat kesal dan mulai emosi karena merasa kejebak sama situasi yang nggak menguntungkan sama sekali. Kurang ajar, Dee pernah pengalaman dengan brengseknya Keket, dan sekarang dia mau jadi kayak Keket buat ngerusak hubungan gue dengan Emi?
Udah pada gila kali ya ini mantan-mantan gue. Kurang apa sih mereka? Cantik-cantik, pinter-pinter, dan juga udah pada kerja. Apalagi yang dicari dari gue? Nggak boleh banget gue bahagia dengan kehidupan gue setelah bareng mereka?
Kalau gue bisa ngamuk-ngamuk dan teriak-teriak di rumah Emi, gue lakukan saat itu juga. Ini sangat kurang ajar. Dee berani bohong demi urusan kayak gini? Kok norak banget pemikirannya. Siapa yang pengaruhin dia supaya jadi kayak gini?
“Terus kamu percaya dia, Mi?”
“Aku harus percaya siapa?” tanya Emi.
“Percaya pacar sendiri nggak bisa ya?”
“Aku nggak tau Zy.”
Oke disini gue amat kecewa. Gue udah jauh-jauh dateng kesini, malah disambut urusan brengsek kayak gini. Tapi daripada gue berantem sama Emi, gue memilih cabut. Nggak enak juga gue ngamuk-ngamuk dengan suara kencang dirumah orang.
“Kayaknya kita butuh waktu sebentar untuk sendiri-sendiri dulu.” Usul gue.
Gue langsung pamit pulang. Gue Cuma ingat satu nama yang bisa gue ajak bicara.
itkgid dan 36 lainnya memberi reputasi
37
Tutup