- Beranda
- Stories from the Heart
INDIGO
...
TS
shirazy02
INDIGO

Hy, Guys! Jumpa lagi di thread terbaru. Kali ini, based on true story. Please, jangan nanya-nanya ini kisah siapa, jangan nebak-nebak apakah saya si anu, atau keppoin apapun itu. Semua demi kelancaran saya menulis, karena mood sangat mempengaruhi 😊 Terhitung sampai detik ini, saya masih suka menggantungkan cerita, karena begitu banyaknya ide cerita lain yang ingin saya tuangkan lewat aksara. By the way, ini tapi gak pake mikir, sih 😂 karena nulisnya ngalir gitu aja. Ada misterinya, ada sakit hatinya, ada asmaranya, banyak bakalan yang disajikan dalam ceritanya. Oh ya, saya sangat tidak menyukai silent reader, so ... beri react, rate, dan komentar, cendol-cendol jan lupa, karena saya tak akan mungkin melanjutkan cerita tanpa adanya respon atau peminat tulisan. Makasih sebelumnya!

----
Spoiler for Indeks:
Part 1:
Berawal dari tahun 1997 yang bertepatan dengan Hari Lebaran. Setiap menjelang hari H, kami sekeluarga, yang terdiri dari aku, adik, serta kedua orangtua, selalu mengunjungi rumah nenek --ibu dari ayah-- yang berada di luar kota. Tujuannya tak lain, bersilaturahmi sekaligus merayakan Hari Raya bersama-sama. Kebetulan keluarga dari ayah adalah keluarga besar, oleh karena itu pasti selalu ramai suasana di rumah sana. Pada saat itu, aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dan adikku kurang lebih berusia tiga tahun. Kita selalu menghabiskan waktu mudik sampai cutian ayah selesai, tentu juga ibu bisa bersantai memikirkan nasib sekolahku, sebab bertepatan juga dengan waktu liburan sekolah.
Tempat tinggal nenek ada di perbatasan salah satu profinsi Jawa. Dimana ketika kami berkendara dan sudah sampai di kotanya, maka kami masih harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk tiba di lokasi. Sebenarnya kampungnya tak terlalu pelosok, tapi bagiku sangat primitif. Bangunan yang rata-rata masih berdinding papan kayu, lantai yang masih berupa tanah, pintu dan atap yang pendek, serta lampu penerangan di tiap-tiap rumah yang kebanyakan memakai cemprong. Aku beruntung nenekku sendiri memakai lampu petromaks di beberapa ruangan meski lantai rumahnya hanya berupa plesteran. Di saat aku benar-benar merasa takut saat menatap jalan pedesaan yang suram, aku bisa menyesuaikan terangnya cahaya dari pompa pada tuas di bagian bawah lampu petromaks, hingga sirna pula lah perasaan takut itu karena merasa aman.
Sebenarnya, aku tak pernah menyukai berada di sana. Selain karena daerah yang minim penerangan, untuk beli apa-apa juga lumayan jauh. Satu lagi pengalaman yang dulu-dulu ... setiap malam tidurku tak pernah bisa nyenyak. Di belakang rumah nenek ada barongan (kebun luas yang terdapat banyak pohon bambu dan semak belukar), dan suara-suara hewan malam begitu mendebarkan kala merasuk membran telinga.
Dari perasaan gak betahnya berkunjung di rumah nenek, ada juga rasa senang yang paling kunanti-nanti saat berada di sini, yaitu bertemu dengan Mbah Narti. Mbah Narti adalah adik dari nenekku. Ia tak mempunyai keturunan. Menurut cerita yang kudengar, ayahku dulu pernah dibantu dibesarkan olehnya sehingga bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ya, Mbah Narti adalah dukun bayi tersohor pada zamannya. Ia bisa dibilang orang yang sangat kaya sekampung. Rumahnya berbeda sendiri dari yang lain. Sudah bangunan tembok, sudah berubin, pun memiliki sawah luas dan ternak yang banyak. Kenapa aku suka dengannya? Karena ia paling antusias menyambut kedatanganku. Royal, dan doyan memijat. Setiap aku bertandang ke rumahnya, Mbah Narti selalu menyediakan alas untukku berbaring. Memijatnya juga lama sekali, dan selalu membuat ketagihan. Selain kerap memberi uang, jajanan satu kresek penuh selalu dibelikannya. Terkadang, jiwa tak bisa membohongi bila sayangku lebih besar terhadap Mbah Narti daripada nenek sendiri.
Karena keluarga besar dari berbagai kota bersamaan datang dan berkumpul di rumah nenek, keluargaku pun diminta Mbah Narti tidur di rumahnya. Tentu kami juga sudah biasa, karena ayah memang dari dulu dekat sekali padanya. Jadi, setiap malam kami bermalam di rumah Mbah Narti, paginya kami kembali ke rumah nenek. Kebetulan rumah mereka bersebelahan.
Ada sesuatu yang janggal kurasakan pada saat pertama kalinya aku bermalam. Entah kenapa, malam itu aku tak bisa tidur. Beruntung aku melihat Mbah Narti masih terjaga di depan TV, sedang menikmati teh dalam wadah besar. Oh, ya ... teh di daerah sana kalau bikin, asli pait. Tehnya langsung dimasukkan di wadah, diseduh bersamaan tanpa disaring. Jadi, banyak bulir yang ngambang gitu di atasnya. Kadang bisa tertelan juga kalau gak hati-hati minum.
Oke, lanjut! Malam itu, ketika hendak menemui Mbah Narti di depan, aku begitu syok menatap di kursi yang ada di sebelah siMbah. Ada seorang perempuan duduk di sana. Berkebaya merah, memakai jarik, dengan tudung transparan warna senada di kepala. Masih muda sepertinya, terlihat dari kulitnya yang sekilas kutatap masih kencang. Tatapan kami bertemu, dan dia langsung menyingkir dari tempat. Anehnya, menyingkirnya nggak keluar rumah, tapi masuk ke ruang tengah, dan tak pernah keluar lagi hingga tengah malam. Kebetulan aku begadang saat itu dengan Mbah Narti.
Perempuan itu pun sering kujumpai wara-wiri di kamar Mbah Narti pada malam-malam berikutnya. Terkadang ada anak perempuan, usianya sepertinya lebih dewasa dariku, suka mengintip dari balik gebyok (sebuah papan penyekat besar dan tinggi yang terbuat dari kayu jati, dulu digunakan sebagai pemisah antara ruang tamu dengan ruang tengah). Senyum-senyum menampakkan separuh wajahnya melihatku. Kukira mereka itu tetangga yang sering bertandang ke rumah, tapi setelah kutanyakan pada Mbah Narti, beliau menjawab, "Kuwi dulurmu! Cah wedok kuwi puterine." (itu saudaramu. Bocah perempuan itu anaknya)
Agak aneh, sih! Karena baru kali ini aku melihat saudara yang wajahnya seperti itu. Belum pernah kujumpai sebelumnya. Namun, aku teringat, ayah pernah bercerita jika punya saudara yang merantau di Kalimantan sana, dan jarang pulang. Mungkin saja itu saudara dari Kalimantan! Anehnya, saat aku bercerita pada ayah dan ibu, ayah menampik jika saudaranya di Kalimantan itu pulang. "Mungkin tetangga," ujar ayah datar. Nenekku pun menimpali, "Mbah Narti sekarang banyak ngelanturnya kalau ngomong, Nduk. Benar ayahmu, mungkin tetangga sedang main itu."
Aku yang memang masih polos, percaya-percaya saja dan tak pernah berpikiran jauh ....
Di suatu siang, saat aku bermain di rumah Mbah Narti seorang diri, entah kenapa tiba-tiba saja ia bicara ngelantur, "Mbah nelangsa, Nduk. Hidup seperti begini-begini saja. Punya apa-apa juga tak bahagia. Apalagi semenjak ditinggal Mbah kung, rasanya sudah malas hidup."
Kurang lebih seperti itu yang bisa kucerna perkataannya. Maklum, bahasa jawanya terlalu halus, kadang susah dimengerti. Apalagi pada saat itu aku masih kecil dan belum seberapa mengerti.
Lalu, setelah berkata begitu, ia membelai rambutku berkali-kali. Mencium juga. Ini yang paling malas saat bertemu Mbah Narti. Aku melihat susur di mulutnya saja sudah bergidik geli, apalagi di dekatkan ke wajah seperti itu.
Setelah puas melayangkan ciuman bertubi-tubi, Mbah Narti lalu masuk ke dalam, berpesan menyuruhku menunggu. Aku sendiri sedang asyik menonton TV. Oh ya, di rumah nenek tak ada TV, jadi aku selalu mainnya kemari jika ingin nonton. Terkadang, bisa bersamaan dengan Budhe dan keluarga ayah yang lainnya. Namun, kali ini aku nonton sendiri, karena keluarga sedang sibuk masak-masak besar.
Beberapa menit kemudian, Mbah Narti muncul sambil membawa sesuatu dalam bungkusan. Setelah dibuka, ternyata sebuah gelang dari tali yang ada jahitan kain kotak kecil warna hitam di tengahnya. Ia menyodorkannya padaku. Ingin menolak karena tak suka, tapi tangan tua itu terburu melingkarkan gelang itu ke tanganku. Kucoba pegang kain kotak hitam itu. Seperti ada batu kecil di dalamnya. Mbah Narti berpesan, agar jangan sampai aku membuka kain kotak hitam itu. Aku pun mengangguk saja.
"Iki gawe kenang-kenangan yo, Nduk? Sesuk yen simbah ra ono, kowe ben kelingan simbah terus," ujarnya lagi. Aku pun terdiam melihat gelang yang dikenakannya di tanganku. Aduh, benar-benar tak suka sekali!
Setelah berpamitan pulang, diam-diam kulepas gelang itu dari tanganku, menyimpannya dalam saku celana. Niat hati ingin kubuang, tapi takut Mbah Narti tahu. Aku khawatir kecewa, jadi kubawa saja. Mengingat, besok aku sekeluarga akan pulang. Rencananya akan kubuang gelang itu di tengah perjalanan.
Malamnya, entah kenapa, ibu melarangku tidur di rumah Mbah Narti. Rupanya, para keluarga besar sedang rame mengobrolkannya yang memang belakangan sering ngelantur. Kata mereka, Mbah Narti tengah pusing membagi hartanya pada sepupu-sepupu lain. "Aku ditawari sama Mbah Ti, kamu mau gak merawat sapi dan kambingku? Kalau mau rawat, ambil saja bawa pulang," tukas Budhe Rusni pada kami.
"Lalu, samean jawab apa?" tanya ayah penasaran.
"Ya kujawab, 'nggak ah. Nanti yang lain ngiri' ... trus dia jawab lagi, 'semua sudah kubagi. Hartaku masih banyak. Aku juga gak punya anak, aku khawatir besok kalau mati, semuanya ini gimana' ... gitu bilangnya."
"Nah, yang diomong mati-mati terus, sih!" seloroh Om Anang.
"Lah, kan? Tadi malah bilang, 'sesuk aku yen mati, omah iki openono, yo?" (besok kalau aku meninggal, rumah ini kamu rawat, ya!) Mbak Nanik membalas.
"Masa' bilang begitu?"
"Iya. Malah berkata, 'jatahku urip gari sedilut' ... gitu," sahut Mbak Nanik lagi.
Gara-gara obrolan malam yang unfaedah, kami semua saling takut, hingga tak pernah berani ketemu Mbah Narti keesokan harinya. Mungkin memang Mbah Narti sudah merasa. dan semua itu adalah pertanda ia mau pamit. Wallahu'alam, keesokan harinya, ketika fajar baru menyingsing, tetangga depan rumah yang biasanya disuruh mencarikan rumput Mbah Narti, berteriak-teriak menemui kami dengan wajah gugup.
"Mbah Narti terpeleset di kamr mandi! Mbah Narti terpeleset di kamar mandi!"
Sontak, kami semua kaget dan segera berhamburan melihat ke lokasi.
Oke, skip!
Di sini, aku akan mulai menceritakan keanehan yang terjadi semenjak pulang dari rumah nenek. Oh, ya ... aku lupa membuang gelang dari Mbah Narti saat perjalanan pulang. Aku juga nggak paham arti 'sikep' dalam istilah jawa pada saat itu. Sepeninggal Mbah Narti, semua keluarga saling ramai mencari sikep yang dimaksud. Katanya harus dibuang, paling tidak dibakar. Semua almari, kasur, dilingkap satu persatu demi mencari benda yang dimaksud. Tak pelak, mereka di antaranya saling menuduh satu sama lain karena tak ada yang mengaku. Mbah Narti memang pernah berpesan, bahwa 'jimat'-nya akan diberikan pada salah satu keturunan nenek. Banyak yang menuding ayah, karena ayah adalah satu-satunya kesayangan Mbah Narti. Oh ya, akibat dari semua ini, keluargaku pernah lama lost komunikasi sama keluarga yang lain. Sebenarnya mereka biasa-biasa saja, tapi yang paling menyebalkan dan tak terima adalah Pakdhe Kurdi.
Sebenarnya, apa alasan Pakdhe Kurdi begitu berambisi menanyakan barang tersebut?
Diubah oleh shirazy02 29-02-2020 14:20
husnamutia dan 42 lainnya memberi reputasi
39
29.5K
238
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#41
Part 4
Aku mengerjapkan mata ketika sayup-sayup terdengar beberapa suara saling bersahutan dari ruang tengah. Topik yang dibicarakan kuduga masih sama seperti kemarin. Penasaran, kuberanikan untuk turun, barang sekadar mengintip. Rupanya, ayah dan ibu di sana seperti telah mengetahui gelagatku. Tentu suara dari derit dipan manakala aku menggeserkan badan.
"Mau pipis, Sinan?" tanya ibu. Aku menggeleng.
Ibu lalu mematikan saluran televisi, sambil merapikan majalah yang tak beraturan di meja. "Ayo, kembali tidur, Sinan! Ayo, Yah. Tidur! Besok kerja," ucap ibu sembari beranjak. Dan yeah ... aku gagal menguping pembicaraan tersebut. Ibu lalu menghampiriku, menuntun masuk ke kamar. Aku pun beeranjak ke kasur, yang kemudian diikuti olehnya. Orangtua perempuanku itu mulai memejamkan mata, sembari mengelus-elus pelan keningku. Kebiasaanku sedari bayi, orang Jawa bilang 'isik-isik' alias pengantar tidur agar diri cepat terlelap.
Alih-alih ingin cepat pulas, malah tak bisa tidur pada akhirnya. Dari balik pintu, seorang anak berkepang dua menatapku sambil tersenyum-senyum. Ia senang sekali membekap mulutnya sendiri. Ketika kupelototi, ia lalu bersembunyi di balik tembok. Separuh wajah diperlihatkannya padaku, dan aku menangkap jelas seulas senyum yang mengembang di wajah itu.
Gara-gara keisengannya, aku jadi kesal sendiri. Kulihat, ibu di sebelahku sudah mendengkur. Sementara gadis itu masih anteng di tempatnya. Intip-intip tak jelas. Entah kenapa, bukannya takut, malah semakin risih aku dengan sikapnya. Pelan-pelan, aku lalu turun dari ranjang. Mengendap-endap ke luar kamar. Kesalnya ... dia kembali hilang saat kucoba untuk mengetahui!
"Oh, setan sinting! Ayo keluar sini!" Lirih aku berkata seraya menjelajahkan pandangan. Suasana hening. Namun kemudian, dari arah dapur, terdengar kasak-kusuk entah apa gerangan. Rasa penasaran lantas membuatku memberanikan diri melihat apa yang terjadi. Tak tahu ... aku saat itu sama sekali tak ada perasaan takut. Bahkan, ketika anak itu mengagetkanku dengan kemunculannya dari ambang pintu dapur, aku masih begitu santai bereaksi. Malah wajah yang awalnya serupa anak-anak polos, kala itu berubah hancur sebagian dengan bola mata sebelah menggelantung di pipi. Giginya pun rompal, bibir sobek, dan darah anyir mengucur pada baju putihnya.
"Kamu jangan menggoda saya! Nanti saya panggilkan Pak Ustadz, badan kamu hangus nanti dibacakan Al Qur'an." Aku yang memang masih polos kala itu, mencoba mengancamnya sambil menunjuk dirinya.
"Benar, ya? Aku bangunkan ayah-ibu sekarang, biar kamu terbakar!" kataku lagi. Aneh, tiba-tiba wajah buruk itu kembali seperti semula yang sering kulihat. Ia masih terus membekap mulutnya. Kali ini tak tertawa, melainkan sesenggukan, seperti sedang menangis. Iya, dia menangis. Merasa iba, lalu aku mengajaknya duduk di kursi. Sampai lupa kalau dia makhluk tak kasat mata, kuambilkan dia segelas minum yang kemudian kutaruh pada meja di depannya.
Dia Farida, meninggal di usia sembilan tahun pada tahun 1939. Dia dibunuh seorang ajudan yang merupakan ayah kandungnya sendiri. Miris mengetahui ceritanya. Sang ajudan terpaksa membunuhnya demi hirarki dan memantaskan harga diri. Farida adalah anak dari hasil hubungan gelapnya dengan istri sang atasan. Setelah ulahnya kepergok, sang atasan lah yang memintanya sendiri untuk menghabisi anak tak berdosa itu. Farida dibawa di pohon randhu belakang rumah. Diikat seluruh badan dengan keadaan terbalik. Dipaksa membuka mulutnya, dan dihancurkan mulutnya itu. Matanya dicongkel, dan ... ah, aku tak sanggup bercerita banyak. Bahkan matinya dibiarkan begitu saja di pohon. Ibunya yang dipaksa menyaksikan aksi kekejaman itu, akhirnya mengambil senjata api yang dibawa suaminya. Menembak tepat di kepala. Suaminya begitu murka, sampai berganti ia yang akhirnya membunuh sang ajudan dengan senjata api tersebut. Di hari sekian, di tanggal sekian, ketiganya mati secara bersamaan.
Bayang masa lalu yang terlintas dalam benak membuatku benar-benar getir dan merasa sedih sendiri. Saat itulah aku merasakan kepahitan yang benar-benar pahit, bahkan bayang-bayang kejadiannya selalu terbesit dalam benak. Farida yang awalnya hidup bahagia karena disayang seorang ayah yang ternyata bukan ayah kandungnya, benar-benar tragis terasa setelah mengetahui ayah yang dipujanya malah bersikap sejahat demikian. Dalam tangisnya, dengan sebelah mata yang sudah menggelantung, ia masih mampu berteriak, "Ampun, Bapak. Ampun, Bapaaaakk! Ida sayang bapak ...." Sungguh bila kalian mengetahui sendiri masa lalu Farida, pastilah sangat sedih bukan main.
Sejak saat itu, kita saling berteman baik. Karena dulu aku lebih kecil, aku memanggilnya "Mbak". Jadi, alasan ia selalu menutup mulutnya ... ia hanya takut seseorang menyakiti mulutnya seperti dulu saat menjelang ajal. Namun, sejak bersahabat denganku, ia tak lagi suka membekap mulut. Malah sebenernya cerewet minta ampun. Kalau marah apalagi, wajahnya berubah bikin jijik, persis kejadian yang pertama kulihat di dapur.
"Memang ibu kamu ke mana, kok tak pernah kelihatan lagi?" tanyaku.
"Ibu menunggu batu mustika."
"Batu mustika apa?"
"Dari Nyai Sunarti."
"Sunarti itu siapa?"
"Yang punya mustika."
Karena aku dulu gak terlalu mempedulikan hal-hal demikian, cukup bertanya sampai di situ saja, aku sudah merasa puas. Baru 'ngeh' saat dewasa, siapa itu Nyai Sunarti. Ternyata sosok itu adalah Mbah Narti.
"Sinan, kamu bicara sama siapa?" Ibu menegur saat aku tengah menyisir boneka barbie di hadapan. Tentu ibu tak melihat Farida bersamaku pagi ini, sehingga kujawab saja asal, "Bicara sama boneka, Bu."
"Eh, Sinan!" Kali ini suara ibu seakan terkejut. Ia buang sapu di tangan, lalu menghampiri. Hampir saja ibu menyenggol lengan Farida saat itu.
"Sinan, kamu gak pernah keliatan sesuatu, gak?" tanya ibu kemudian. "Sesuatu seperti apa?" Aku balik bertanya.
"Hantu mungkin."
Mataku langsung beralih pada Farida yang ada di samping ibu. Gadis itu malah menertawakanku.
"Bagaimana? Kamu sepertinya punya kelebihan, Nak. Di rumah Mbah Ti dulu pernah liat penampakan 'kan?" tanyanya lagi. Kali ini aku mantap menggeleng. Ibu terus memaksa, mengingatkanku tentang seseorang yang pernah kukira saudara jauh dari Kalimantan. Ya, aku mengingatnya. Namun, pada ibu, aku berkata lupa. Aku malas belakangan ini suka diinterogasi gara-gara sering ketahuan bicara sendiri. Itu sependapatnya. Bagiku, padahal memang sedang ngobrol dengan lawan bicara. Aku tak ingin ibu banyak mengkhawatirkanku, sepenuturan para kerabat dekat.
Orangtua pernah bertengkar hebat dengan keluarga Cak Jamal. Masalahnya masih sama. Mencari gelang! Cak Jamal mengaku gelang itu hilang sendiri dari rumahnya. Gara-gara itu, masalah berbuntut panjang. Pada yang awalnya gak tahu, jadi semua pada tahu. Para tetangga dari RT 01 sampai RT 09, saling ribut menggibahkan masalah gelang warisan itu. Banyak yang menganggap, saling berebut jimat pengundang kekayaan. Bahkan, tak sedikit yang menuding jika keluargaku memakai pesugihan.
Memang tak menampik, ayah yang semula kartu kuning, kini berubah menjadi kartu merah. Ia diangkat jabatan oleh atasannya di pabrik. Perlahan, ekonomi keluarga naik. Kami mampu mendirikan kos-kos'an, serta membeli truk untuk dicarter. Jaman dulu, kulkas adalah barang langka yang hanya orang tertentulah yang mampu beli, dan keluargaku salah satu di antara orang mampu tersebut. Ibu jadi tak enak bepergian karena dicurigai. Keluarga dari ibu pun banyak yang menjaga jarak. Ayah sangat menyayangkan semua tuduhan itu. Jika tak karena Pakdhe Kurdi, mana mau dia marah-marah tak karuan demi ingin merebut kembali gelang tersebut. Nasi sudah menjadi bubur. Gelang tak tahu di mana, masyarakat sudah banyak berpikiran negatif.
Tak sampai di situ, keluarga dari ayah pun mulai menjaga jarak. Semua akibat dari hasutan Pakdhe Kurdi. Jatah harta dari Mbah Ti, tak seperak pun mereka bagi pada ayah. Terkadang, ayah sampai sakit memikirkan. Orangtuaku sedih melihat seluruh orang saling mengucilkan.
"Aku tak apa, jika tak ada yang mau menyapa. Aku kasihan Sinan, bagaimana jika Sinan tak punya teman." Terdengar isak tangis ibu yang tak sanggup terbendung malam itu.
"Sabar, Bu. Sabar! Ini ujian. Nanti akan berakhir dengan sendirinya. Asal kita baik saja dengan sekitar. Mau mereka seburuk apapun pada kita, tetap kita tanggapi hal-hal positif," ujar Ayah lirih.
Sesaat setelah kudengar obrolan itu, sepintas kepalaku berdenyut. Entah kenapa, seperti ada energi yang menarikku berjalan ke luar. "B-bu, Bu ...." Bahkan untuk memanggil pun, bibir kelu. Kakiku seperti ditarik paksa, sehingga aku melangkah jauh tak terasa. Tapak kaki menjangkah cepat melewati perkebunan tebu di belakang rumah. Udara yang dingin merasuk, membuatku menggigil tiba-tiba. Langkah tercekat setelah kilauan merah menyala di bawah sana. Apa itu?
Dulu kukira kunang-kunang, tapi kok merah? Di saat aku mulai merasakan ketakutan, sebuah bisikan merasuk dalam membran telinga. "Ambil, Sinan! Ambil milikmu!"
Sumpah, aku gemetar luar biasa. Mengingat suasana gelap gulita. Aku pun seorang diri.
bersambung
"Mau pipis, Sinan?" tanya ibu. Aku menggeleng.
Ibu lalu mematikan saluran televisi, sambil merapikan majalah yang tak beraturan di meja. "Ayo, kembali tidur, Sinan! Ayo, Yah. Tidur! Besok kerja," ucap ibu sembari beranjak. Dan yeah ... aku gagal menguping pembicaraan tersebut. Ibu lalu menghampiriku, menuntun masuk ke kamar. Aku pun beeranjak ke kasur, yang kemudian diikuti olehnya. Orangtua perempuanku itu mulai memejamkan mata, sembari mengelus-elus pelan keningku. Kebiasaanku sedari bayi, orang Jawa bilang 'isik-isik' alias pengantar tidur agar diri cepat terlelap.
Alih-alih ingin cepat pulas, malah tak bisa tidur pada akhirnya. Dari balik pintu, seorang anak berkepang dua menatapku sambil tersenyum-senyum. Ia senang sekali membekap mulutnya sendiri. Ketika kupelototi, ia lalu bersembunyi di balik tembok. Separuh wajah diperlihatkannya padaku, dan aku menangkap jelas seulas senyum yang mengembang di wajah itu.
Gara-gara keisengannya, aku jadi kesal sendiri. Kulihat, ibu di sebelahku sudah mendengkur. Sementara gadis itu masih anteng di tempatnya. Intip-intip tak jelas. Entah kenapa, bukannya takut, malah semakin risih aku dengan sikapnya. Pelan-pelan, aku lalu turun dari ranjang. Mengendap-endap ke luar kamar. Kesalnya ... dia kembali hilang saat kucoba untuk mengetahui!
"Oh, setan sinting! Ayo keluar sini!" Lirih aku berkata seraya menjelajahkan pandangan. Suasana hening. Namun kemudian, dari arah dapur, terdengar kasak-kusuk entah apa gerangan. Rasa penasaran lantas membuatku memberanikan diri melihat apa yang terjadi. Tak tahu ... aku saat itu sama sekali tak ada perasaan takut. Bahkan, ketika anak itu mengagetkanku dengan kemunculannya dari ambang pintu dapur, aku masih begitu santai bereaksi. Malah wajah yang awalnya serupa anak-anak polos, kala itu berubah hancur sebagian dengan bola mata sebelah menggelantung di pipi. Giginya pun rompal, bibir sobek, dan darah anyir mengucur pada baju putihnya.
"Kamu jangan menggoda saya! Nanti saya panggilkan Pak Ustadz, badan kamu hangus nanti dibacakan Al Qur'an." Aku yang memang masih polos kala itu, mencoba mengancamnya sambil menunjuk dirinya.
"Benar, ya? Aku bangunkan ayah-ibu sekarang, biar kamu terbakar!" kataku lagi. Aneh, tiba-tiba wajah buruk itu kembali seperti semula yang sering kulihat. Ia masih terus membekap mulutnya. Kali ini tak tertawa, melainkan sesenggukan, seperti sedang menangis. Iya, dia menangis. Merasa iba, lalu aku mengajaknya duduk di kursi. Sampai lupa kalau dia makhluk tak kasat mata, kuambilkan dia segelas minum yang kemudian kutaruh pada meja di depannya.
Dia Farida, meninggal di usia sembilan tahun pada tahun 1939. Dia dibunuh seorang ajudan yang merupakan ayah kandungnya sendiri. Miris mengetahui ceritanya. Sang ajudan terpaksa membunuhnya demi hirarki dan memantaskan harga diri. Farida adalah anak dari hasil hubungan gelapnya dengan istri sang atasan. Setelah ulahnya kepergok, sang atasan lah yang memintanya sendiri untuk menghabisi anak tak berdosa itu. Farida dibawa di pohon randhu belakang rumah. Diikat seluruh badan dengan keadaan terbalik. Dipaksa membuka mulutnya, dan dihancurkan mulutnya itu. Matanya dicongkel, dan ... ah, aku tak sanggup bercerita banyak. Bahkan matinya dibiarkan begitu saja di pohon. Ibunya yang dipaksa menyaksikan aksi kekejaman itu, akhirnya mengambil senjata api yang dibawa suaminya. Menembak tepat di kepala. Suaminya begitu murka, sampai berganti ia yang akhirnya membunuh sang ajudan dengan senjata api tersebut. Di hari sekian, di tanggal sekian, ketiganya mati secara bersamaan.
Bayang masa lalu yang terlintas dalam benak membuatku benar-benar getir dan merasa sedih sendiri. Saat itulah aku merasakan kepahitan yang benar-benar pahit, bahkan bayang-bayang kejadiannya selalu terbesit dalam benak. Farida yang awalnya hidup bahagia karena disayang seorang ayah yang ternyata bukan ayah kandungnya, benar-benar tragis terasa setelah mengetahui ayah yang dipujanya malah bersikap sejahat demikian. Dalam tangisnya, dengan sebelah mata yang sudah menggelantung, ia masih mampu berteriak, "Ampun, Bapak. Ampun, Bapaaaakk! Ida sayang bapak ...." Sungguh bila kalian mengetahui sendiri masa lalu Farida, pastilah sangat sedih bukan main.
Sejak saat itu, kita saling berteman baik. Karena dulu aku lebih kecil, aku memanggilnya "Mbak". Jadi, alasan ia selalu menutup mulutnya ... ia hanya takut seseorang menyakiti mulutnya seperti dulu saat menjelang ajal. Namun, sejak bersahabat denganku, ia tak lagi suka membekap mulut. Malah sebenernya cerewet minta ampun. Kalau marah apalagi, wajahnya berubah bikin jijik, persis kejadian yang pertama kulihat di dapur.
"Memang ibu kamu ke mana, kok tak pernah kelihatan lagi?" tanyaku.
"Ibu menunggu batu mustika."
"Batu mustika apa?"
"Dari Nyai Sunarti."
"Sunarti itu siapa?"
"Yang punya mustika."
Karena aku dulu gak terlalu mempedulikan hal-hal demikian, cukup bertanya sampai di situ saja, aku sudah merasa puas. Baru 'ngeh' saat dewasa, siapa itu Nyai Sunarti. Ternyata sosok itu adalah Mbah Narti.
"Sinan, kamu bicara sama siapa?" Ibu menegur saat aku tengah menyisir boneka barbie di hadapan. Tentu ibu tak melihat Farida bersamaku pagi ini, sehingga kujawab saja asal, "Bicara sama boneka, Bu."
"Eh, Sinan!" Kali ini suara ibu seakan terkejut. Ia buang sapu di tangan, lalu menghampiri. Hampir saja ibu menyenggol lengan Farida saat itu.
"Sinan, kamu gak pernah keliatan sesuatu, gak?" tanya ibu kemudian. "Sesuatu seperti apa?" Aku balik bertanya.
"Hantu mungkin."
Mataku langsung beralih pada Farida yang ada di samping ibu. Gadis itu malah menertawakanku.
"Bagaimana? Kamu sepertinya punya kelebihan, Nak. Di rumah Mbah Ti dulu pernah liat penampakan 'kan?" tanyanya lagi. Kali ini aku mantap menggeleng. Ibu terus memaksa, mengingatkanku tentang seseorang yang pernah kukira saudara jauh dari Kalimantan. Ya, aku mengingatnya. Namun, pada ibu, aku berkata lupa. Aku malas belakangan ini suka diinterogasi gara-gara sering ketahuan bicara sendiri. Itu sependapatnya. Bagiku, padahal memang sedang ngobrol dengan lawan bicara. Aku tak ingin ibu banyak mengkhawatirkanku, sepenuturan para kerabat dekat.
Orangtua pernah bertengkar hebat dengan keluarga Cak Jamal. Masalahnya masih sama. Mencari gelang! Cak Jamal mengaku gelang itu hilang sendiri dari rumahnya. Gara-gara itu, masalah berbuntut panjang. Pada yang awalnya gak tahu, jadi semua pada tahu. Para tetangga dari RT 01 sampai RT 09, saling ribut menggibahkan masalah gelang warisan itu. Banyak yang menganggap, saling berebut jimat pengundang kekayaan. Bahkan, tak sedikit yang menuding jika keluargaku memakai pesugihan.
Memang tak menampik, ayah yang semula kartu kuning, kini berubah menjadi kartu merah. Ia diangkat jabatan oleh atasannya di pabrik. Perlahan, ekonomi keluarga naik. Kami mampu mendirikan kos-kos'an, serta membeli truk untuk dicarter. Jaman dulu, kulkas adalah barang langka yang hanya orang tertentulah yang mampu beli, dan keluargaku salah satu di antara orang mampu tersebut. Ibu jadi tak enak bepergian karena dicurigai. Keluarga dari ibu pun banyak yang menjaga jarak. Ayah sangat menyayangkan semua tuduhan itu. Jika tak karena Pakdhe Kurdi, mana mau dia marah-marah tak karuan demi ingin merebut kembali gelang tersebut. Nasi sudah menjadi bubur. Gelang tak tahu di mana, masyarakat sudah banyak berpikiran negatif.
Tak sampai di situ, keluarga dari ayah pun mulai menjaga jarak. Semua akibat dari hasutan Pakdhe Kurdi. Jatah harta dari Mbah Ti, tak seperak pun mereka bagi pada ayah. Terkadang, ayah sampai sakit memikirkan. Orangtuaku sedih melihat seluruh orang saling mengucilkan.
"Aku tak apa, jika tak ada yang mau menyapa. Aku kasihan Sinan, bagaimana jika Sinan tak punya teman." Terdengar isak tangis ibu yang tak sanggup terbendung malam itu.
"Sabar, Bu. Sabar! Ini ujian. Nanti akan berakhir dengan sendirinya. Asal kita baik saja dengan sekitar. Mau mereka seburuk apapun pada kita, tetap kita tanggapi hal-hal positif," ujar Ayah lirih.
Sesaat setelah kudengar obrolan itu, sepintas kepalaku berdenyut. Entah kenapa, seperti ada energi yang menarikku berjalan ke luar. "B-bu, Bu ...." Bahkan untuk memanggil pun, bibir kelu. Kakiku seperti ditarik paksa, sehingga aku melangkah jauh tak terasa. Tapak kaki menjangkah cepat melewati perkebunan tebu di belakang rumah. Udara yang dingin merasuk, membuatku menggigil tiba-tiba. Langkah tercekat setelah kilauan merah menyala di bawah sana. Apa itu?
Dulu kukira kunang-kunang, tapi kok merah? Di saat aku mulai merasakan ketakutan, sebuah bisikan merasuk dalam membran telinga. "Ambil, Sinan! Ambil milikmu!"
Sumpah, aku gemetar luar biasa. Mengingat suasana gelap gulita. Aku pun seorang diri.
bersambung
kicquck dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Tutup