- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#2
BAB I Part 2
iii.
Di balik layar kaca mobil yang membuat dunia luar menjadi gelap, mataku sekali berfokus kepada berbagai mobil dengan berbagai ukurannya mulai dari yang kecil hingga mobil besar melewati jalan yang cukup lancar dan tidak terlalu ramai. Bahuku bersandar di bagian pintu dan menempelkan ujung keningku di jendela, tarikan nafas kuambil dalam dalam namun lambat sampai seluruh paru paruku terisi penuh dan mengeluarkan semuanya sekaligus dengan membuka lebar mulutku dan menghembuskan segalanya, membuat titik titik kecil embun membulat di jendela.
“Hei kau baik baik saja?” tanya Dito.
Mataku berubah dari posisi malas ke sedikit terbuka dan melirik wajah Dito yang sedang memperhatikanku lewat kaca dalam mobilnya. “Oh… tidak ada apa apa, hanya kebiasaanku saja, selalu begini.” Balasku dengan tenang.
“Walaupun ini bukan kali pertama kita bertemu, rasanya asing jika melihatmu diam dan tidak banyak omong.” Ungkap Dito sambil kembali mencengkram setir dan memfokuskan pandangannya ke jalan.
“Ya ... sebenarnya aku ini orangnya diam jika tidak diajak berbicara,” jawabku
Dito bergumam. “Kenapa kau tidak coba saja baca buku atau bermain game di mobil agar mataku tidak tidak menabrak sesuatu karena bosan melihatmu.”
“Memangnya apa bacaan menarik saat ini?”
“Memang sebenarnya tidak banyak, namun dalam beberapa kasus bulan bulan ini dimana beberapa orang ditemukan tewas di beberapa lokasi dengan kondisi yang sama.”
“Memangnya ada penyakit jenis baru?” tanyaku dengan mulai masuk ke dunianya tanpa merubah posisiku semula.
“Tidak … ini bukan penyakit ... melainkan seperti dibunuh namun dengan metode yang sama tetapi sepertinya korban dipilih secara acak,” jelas Dito.
“Seperti apa mereka ditemukannya?”
“Mereka tewas dalam kondisi tubuh memerah hampir diseluruh tubuh dan badan mereka menjadi membengkak.”
Mataku kali ini menaruh perhatian di wajah Dito dengan tatapan tajam.
“Setelah dilakukan otopsi, polisi melakukan klarifikasi bahwa mereka tewas bukan karena tubuh mereka yang berubah dengan tidak wajar, melainkan karena dehidrasi berat dan suhu tubuh naik secara drastis yang membuat jantung mereka berdetak dengan sangat cepat sampai sampai mereka kesulitan bernafas dan akhirnya tewas.” Jelas Dito dengan lengkap.
“Lalu apa ditemukan penyebab kenapa mereka bisa begitu?”
“Belum diketahui secara pasti, namun yang kutahu, beberapa diantara mereka semua rata rata sudah mengganti organ tubuh mereka dengan yang baru.”
“Pantas saja kau membicarakan hal ini,” balasku dengan melepas sedikit udara dari hidungku dan sedikit meredupkan mataku.
“Ya tentu saja hal ini sangat penting bukan dengan begini diriku bisa memperkuat alasan untuk melakukan kerjasama dengan PT Sampuna,” jelas Dito dengan sedikit seringai di wajahnya.
“Bukankah kau sedikit terlihat seperti orang sakit mental saat kau bilang seperti itu,” tukasku
“Bukan begitu, hanya saja diriku sedang kepikiran untuk mengambil kesempatan melangkah sebelum hal hal buruk yang berkepanjangan akan terjadi. Lagipula aku sudah menyiapkan beberapa jawaban yang sangat tepat saat pertanyaan pers akan muncul nanti,” terangnya.
“Ya aku bisa melihat jawabannya hanya dengan melihat wajahmu sekarang.” Mataku masih melihat wajah Dito dengan serius sambil sedikit menampilkan seringai yang semakin kusadari sepertinya ada bahaya dibalik seringainya itu.
Sekarang kami sepertinya sudah mulai dekat dengan rumah Dito atau bisa kusebut rumah pamanku. Sinar mentari terik yang bermunculan secara teratur menembus lorong lorong jalan layang di atas kami dengan pepohonan rindang dan lebat di pinggiran trotoar dimana langkah langkah kaki orang orang sedang menikmati teduhnya kota ini meski di siang hari terik. Aku masih teringat cerita kakekku saat kota ini menjadi kota yang sangat kotor, debu bertebaran dimana mana dan mungkin untuk berjalan kaki setiap hari seperti orang orang sekarang ini lakukan mungkin akan menyebabkan masalah penyakit paru paru serius dan malah membunuh mereka sendiri padahal yang mereka inginkan dari berjalan adalah untuk menghilangkan penat dan penyakit mereka, ironis.
“Kita hampir sampai kawan, apa kau masih ingat jalannya?” tanya Dito.
Aku bergumam. “Aku ragu, tapi sepertinya masih ada sedikit gambaran di otakku.”
“Baiklah kalau begitu kita lihat sebaik apa kemampuan mengingatmu, jika tidak maka kita akan kembali ke kampusmu dan aku akan membayar Rektormu agar mencabut surat kelulusanmu,” tukas Dito.
“Sepertinya kau meremehkanku sekali ya,” balasku dengan seringai sinis kepadanya.
Dito menarik tangannya, memutar stir saat di belokan sebuah jembatan yang dijujung jembatan ada gapura besar dan menjulang setinggi sekitar 5 meter kurasa, berwarna putih dengan patung garuda hitam yang mengepakkan sayapnya. Kemudian Dito menggapai rem tangan dengan tangan kirinya yang besar itu dan memberhentikan mobil hitamnya di atas jembatan, tepatnya di pinggir jembatan tersebut. Beberapa orang yang sedang bersantai di atas jembatan memandangi sungai ciliwung dengan dan terlihat dari gerakan tangan mereka seperti sedang melempar sesuatu butiran butiran besar berulang ulang, seperti sedang melempar makanan ikan ke sungai, selama ini aku baru tahu ada kebiasaan seperti ini disini rupanya.
“Kau siap?”
“Kenapa kau harus melakukan hal yang tidak penting seperti ini.”
“Suatu saat ini akan menjadi hal yang sangat penting bagimu dan jangan pernah kau lupakan.”
Mataku sedikit menyerngit. “Baikah kalau kau sampai segitunya.” Aku menarik badaku dari posisi santainya dan menyambut gagang pintu dengan alu menariknya perlahan. Sinar terik langsung menyerang mataku, membuatku harus terpejam beberapa detik dan tertahan di pintu beberapa saat sampai mataku menyiapkan keberaniannya untuk membuka dan yang kudapatkan adalah pemandangan indah yang sepertinya pernah kulihat di beberapa film. sebuah aliran sungai yang berwarna biru tua, tidak kotor atau ada sampah sepanjang mata memandang, pinggirannya atau tepatnya di atas aliran sungai ini ditumbuhi pepohonan hijau yang sepertinya dari mataku melihat susunan akarnya ini adalah pohon mangrove yang disusun sedemikian rupa hingga tidak terlihat seperti pohon yang liar.
Angin bertiup agak kencang membuat sedikit gelombang kecil di sungai yang tenang, Aku mengambil langkah pelan sampai ke pinggir pembatas jembatan dan menarik nafas dalam dalam, memenuhi paru-paruku dengan seluruh udara segar yang ada. Pandanganku teralih saat mendengar suara percikan air yang cukup ramai seperti sedang ada gelombang kecil di bawah sana. Segerombolan ikan yang membuka mulutnya dan melahap makanan yang dilempar tadi lalu kembali kedalam air dan lalu muncul lagi untuk melakukan hal yang sama namun kali ini banyak sekali saingan dari ikan ikan lainnya yang berebut makanan juga. Jika sungai ini langsung terhubung ke laut, maka ini mungkin ikan air payau.
“Itu adalah ikan bandeng,” ucap Dito.
Seketika mataku teralih kepadanya yang berjalan menghampiri pagar jembatan. Sepertinya dia membaca pikiranku. “Aku juga tahu itu ikan bandeng, tak perlu dijelaskan seperti bocah,” balasku.
“Kau ini kan memang bocah yang baru keluar dari goa, jadi jangan salahkan diriku jika berkata seperti itu,” jelas Dito.
Nafasku kali ini berhembus kencang dari hidungku. “Baiklah serahkan kuncinya segera.” tangan kananku kutarik panjang mengadahkan ke arah Dito yang disambutnya dengan seringai kecil dari wajahnya. Kemudian Dito memutar tangannya mengaktifkan HP di tangannya dan menggeser geser layar di kulitnya dan seketika notif masuk ke HPku.
“Sudah masuk kan?” tanya Dito dengan memperhatikan sekitarnya seperti tidak memperdulikan jawaban dariku.
Aku melihat HP gelangku untuk memastikan bahwa notifikasi yang masuk tadi berasal dari Dito. Langkahku kuputar dan membalikkan badanku lalu mengambil langkah menuju mobil. Sebelum aku masuk, aku memperhatikan bayangan wajahku dari kaca mobil, cukup jernih dan aku bisa melihat seluruh wajahku dari sini. Wajah yang kotak agak membulat dengan pipi yang agak tipis, serta rambut lebat yang lurus agak kasar, kususun menutupi keseluruhan keningku, melewati kedua alisku dan kurapikan menjadi tiga bagian agar tidak menutupi kedua mataku. Dengan mata yang tajam agak naik dan alis melengkung tebal di awal namun agak tipis di akhir serta hidung yang agak mancung dan tidak terlalu tajam. Lalu aku membungkuk dan mendekatkan lagi wajahku ke kaca dan dari sini bisa kulihat rona rona hitam kecil bekas jerawat di wajahku serta saat membuka bibirku yang bisa kulihat susunan gigi yang rapi serta kuat. Semua bisa kulihat dari sini kecuali bagian mata hitam pekatku yang tidak bisa kulihat dari kaca mobil ini.
“Hey, siapa yang suruh kau ngaca hah!” bentak Dito.
Mataku mengerut, menatap tajam ke Dito. “Santai sedikit lah.” Lalu dengan cepat punggung lenganku kuarahkan ke bagian gagang atas pintu dan bunyi beep kecil dari mobil berbunyi, menandakan pintu sudah terbuka dan tangan sigapku meraih gagang pintu dan kutarik perlahan, mata kiri ku sejenak menyerngit kecil melihat interior mobil yang bisa kubilang cukup mewah dan dan serba hitam dan merah tua jika dilihat dari posisi jadi sopir begini. Aku tidak bisa menjelaskan bagian ini karena sulit bagiku karena aku tidak begitu sering menggunakan mobil saat kuliah. Dengan sedikit kegembiraan kecil muncul di hatiku, tubuhku langsung masuk dan disambut dengan kursi yang lebih empuk dari kursi belakang. Sialan seleramu Dito.
kedua tapak tanganku meraih dan menggenggam setir, merasakan pegangan yang kokoh dan enak serta posisi tubuhku yang pas dengan tinggi setir memperlihatkan pandangan di depan secara keseluruhan dengan kaca yang lebih sedikit terang dari kaca belakang membuatku langsung nyaman saat baru saja duduk di singgasana yang sengaja Ia buat untuk dirinya. Lalu suara pintu mobil terbuka dari belakang, lalu Dito masuk dan langsung merebahkan dirinya ke seluruh kurs belakang yang lebar, mengambil posisi tidur.
“Kuberi waktu 10 menit untuk sampai, dan jangan sampai kepalaku terangkat dari kursi karena polisi tidur yang terlalu banyak disini yang membuatku mulas setelah sarapan,” ucap Dito.
Oh … ini alasan kenapa kursi ini sangat empuk. “Ok … siap kapten,” sahutku sambil menyalakan mesin, seketika mobil terasa sedikit terangkat membuatku terkagum sejenak merasakan hentakan tiba tiba saat berhenti lalu tanganku menarik perseneling mobil yang mantap ini dan menancap gas dengan perlahan.
iiii.
Setelah sampai di depan rumah berpagar dengan tembok putih bernoda bercak besar di sekitar tembok tinggi dengan duri duri berbentuk anak panah besi di atasnya, tubuh Dito langsung terbangun dari tidurnya layaknya robot dan langsung meraih pintu dan keluar dan berjalan menghampiri salah satu pintu gerbang besi besar sepanjang kira kira 4 meter lalu mendorongnya hingga terbuka penuh. Lalu dia berdiri sejenak dan beberapa kali mengedipkan matanya lalu membukanya secara lebar, mengumpulkan seluruh kesadarannya, hingga akhirnya tangannya menepuk keningnya pelan beberapa kali. Sepertinya dia melakukan sebuah kesalahan.
Wajahnya terarah kepadaku menembus jendela gelapnya, dari sini bisa kulihat muka kusutnya setengah sadar. Lalu dia melambaikan tangannya, menyuruhku masuk ke dalam segera.
Ujung jempol kakiku menginjak gas, ditahan dengan injakan rem yang berhenti persis di depan Dito. "Kau tidak apa apa?" tanyaku.
"Santai saja, jangan dipedulikan, cepat masuk," jawab datar Dito dengan tatapan kosong lurus ke depan sambil tetap melambaikan tangannya perlahan.
Mataku disuguhkan dengan pemandangan jalan aspal yang bersih dengan rerumputan yang agak menguning terhampar di sepanjang mata memandang dengan bermacam macam pepohonan terjejer rapi memutari rumah adat jawa besar yang berada di tengahnya. Aku masuk dengan perlahan sambil mataku memandangi sekeliling daerah rumah ini yang dibatasi tembok besar. Telingaku menangkap suara roda besi bergulir dari belakang dan melihat Dito dari spion saat dia mendorong gerbang tersebut.
Aku menghentikan mobil saat berada di depan salah satu pintu garasinya miliknya yang berada di sebelah rumahnya. Lalu Dito menghampiriku yang masih duduk santai di dalam mobil.
“Sepertinya kau betah sekali saat menggunakannya,” Sahut Dito.
“Ya … sekian lama tidak menaiki mobil, ini rasanya sangat enak untuk dinaiki,” kataku dengan seringai wajah penuh kepuasan.
“Dengan mobil ini, tidak ada perempuan yang menolakmu saat diajak jalan.”
“Aku tidak memikirkan hal seperti itu.”
“Oke oke … baiklah kita hentikan saja basa basinya kali ini, cepatlah masuk ke rumah!” tegas Dito.
Kakiku melangkah keluar mobil dan menghirup kembali udara segar selama berada di tempat ini, bagiku menghirup udara segar adalah hal yang sangat kuperlukan setiap waktunya. Dengan langkah pelan, kakiku menapak tangga kecil dari kayu yang mengarahkanku kepada daun pintu yang sangat besar dari kayu yang terlihat sangatlah tebal dan kokoh, jendela pada sisi kiri dan kanan, rasanya seluruh bagian rumah ini tersusun dari kayu dan keringat mereka yang bekerja menyusunnya dengan rapi. langkah kakiku berhenti saat berada tepat pintu dan menunggu Dito untuk menemaniku masuk.
“Tenang saja … tidak perlu malu, kalau kau berhenti di depan pintu seperti ini, nanti kau kesulitan mencari jodoh.”
“Eleh … tidak ada hubungannya sama sekali,” jawabku dengan tangan mendorong pintu dan mulai memasuki lorong rumah tua ini.
iii.
Di balik layar kaca mobil yang membuat dunia luar menjadi gelap, mataku sekali berfokus kepada berbagai mobil dengan berbagai ukurannya mulai dari yang kecil hingga mobil besar melewati jalan yang cukup lancar dan tidak terlalu ramai. Bahuku bersandar di bagian pintu dan menempelkan ujung keningku di jendela, tarikan nafas kuambil dalam dalam namun lambat sampai seluruh paru paruku terisi penuh dan mengeluarkan semuanya sekaligus dengan membuka lebar mulutku dan menghembuskan segalanya, membuat titik titik kecil embun membulat di jendela.
“Hei kau baik baik saja?” tanya Dito.
Mataku berubah dari posisi malas ke sedikit terbuka dan melirik wajah Dito yang sedang memperhatikanku lewat kaca dalam mobilnya. “Oh… tidak ada apa apa, hanya kebiasaanku saja, selalu begini.” Balasku dengan tenang.
“Walaupun ini bukan kali pertama kita bertemu, rasanya asing jika melihatmu diam dan tidak banyak omong.” Ungkap Dito sambil kembali mencengkram setir dan memfokuskan pandangannya ke jalan.
“Ya ... sebenarnya aku ini orangnya diam jika tidak diajak berbicara,” jawabku
Dito bergumam. “Kenapa kau tidak coba saja baca buku atau bermain game di mobil agar mataku tidak tidak menabrak sesuatu karena bosan melihatmu.”
“Memangnya apa bacaan menarik saat ini?”
“Memang sebenarnya tidak banyak, namun dalam beberapa kasus bulan bulan ini dimana beberapa orang ditemukan tewas di beberapa lokasi dengan kondisi yang sama.”
“Memangnya ada penyakit jenis baru?” tanyaku dengan mulai masuk ke dunianya tanpa merubah posisiku semula.
“Tidak … ini bukan penyakit ... melainkan seperti dibunuh namun dengan metode yang sama tetapi sepertinya korban dipilih secara acak,” jelas Dito.
“Seperti apa mereka ditemukannya?”
“Mereka tewas dalam kondisi tubuh memerah hampir diseluruh tubuh dan badan mereka menjadi membengkak.”
Mataku kali ini menaruh perhatian di wajah Dito dengan tatapan tajam.
“Setelah dilakukan otopsi, polisi melakukan klarifikasi bahwa mereka tewas bukan karena tubuh mereka yang berubah dengan tidak wajar, melainkan karena dehidrasi berat dan suhu tubuh naik secara drastis yang membuat jantung mereka berdetak dengan sangat cepat sampai sampai mereka kesulitan bernafas dan akhirnya tewas.” Jelas Dito dengan lengkap.
“Lalu apa ditemukan penyebab kenapa mereka bisa begitu?”
“Belum diketahui secara pasti, namun yang kutahu, beberapa diantara mereka semua rata rata sudah mengganti organ tubuh mereka dengan yang baru.”
“Pantas saja kau membicarakan hal ini,” balasku dengan melepas sedikit udara dari hidungku dan sedikit meredupkan mataku.
“Ya tentu saja hal ini sangat penting bukan dengan begini diriku bisa memperkuat alasan untuk melakukan kerjasama dengan PT Sampuna,” jelas Dito dengan sedikit seringai di wajahnya.
“Bukankah kau sedikit terlihat seperti orang sakit mental saat kau bilang seperti itu,” tukasku
“Bukan begitu, hanya saja diriku sedang kepikiran untuk mengambil kesempatan melangkah sebelum hal hal buruk yang berkepanjangan akan terjadi. Lagipula aku sudah menyiapkan beberapa jawaban yang sangat tepat saat pertanyaan pers akan muncul nanti,” terangnya.
“Ya aku bisa melihat jawabannya hanya dengan melihat wajahmu sekarang.” Mataku masih melihat wajah Dito dengan serius sambil sedikit menampilkan seringai yang semakin kusadari sepertinya ada bahaya dibalik seringainya itu.
Sekarang kami sepertinya sudah mulai dekat dengan rumah Dito atau bisa kusebut rumah pamanku. Sinar mentari terik yang bermunculan secara teratur menembus lorong lorong jalan layang di atas kami dengan pepohonan rindang dan lebat di pinggiran trotoar dimana langkah langkah kaki orang orang sedang menikmati teduhnya kota ini meski di siang hari terik. Aku masih teringat cerita kakekku saat kota ini menjadi kota yang sangat kotor, debu bertebaran dimana mana dan mungkin untuk berjalan kaki setiap hari seperti orang orang sekarang ini lakukan mungkin akan menyebabkan masalah penyakit paru paru serius dan malah membunuh mereka sendiri padahal yang mereka inginkan dari berjalan adalah untuk menghilangkan penat dan penyakit mereka, ironis.
“Kita hampir sampai kawan, apa kau masih ingat jalannya?” tanya Dito.
Aku bergumam. “Aku ragu, tapi sepertinya masih ada sedikit gambaran di otakku.”
“Baiklah kalau begitu kita lihat sebaik apa kemampuan mengingatmu, jika tidak maka kita akan kembali ke kampusmu dan aku akan membayar Rektormu agar mencabut surat kelulusanmu,” tukas Dito.
“Sepertinya kau meremehkanku sekali ya,” balasku dengan seringai sinis kepadanya.
Dito menarik tangannya, memutar stir saat di belokan sebuah jembatan yang dijujung jembatan ada gapura besar dan menjulang setinggi sekitar 5 meter kurasa, berwarna putih dengan patung garuda hitam yang mengepakkan sayapnya. Kemudian Dito menggapai rem tangan dengan tangan kirinya yang besar itu dan memberhentikan mobil hitamnya di atas jembatan, tepatnya di pinggir jembatan tersebut. Beberapa orang yang sedang bersantai di atas jembatan memandangi sungai ciliwung dengan dan terlihat dari gerakan tangan mereka seperti sedang melempar sesuatu butiran butiran besar berulang ulang, seperti sedang melempar makanan ikan ke sungai, selama ini aku baru tahu ada kebiasaan seperti ini disini rupanya.
“Kau siap?”
“Kenapa kau harus melakukan hal yang tidak penting seperti ini.”
“Suatu saat ini akan menjadi hal yang sangat penting bagimu dan jangan pernah kau lupakan.”
Mataku sedikit menyerngit. “Baikah kalau kau sampai segitunya.” Aku menarik badaku dari posisi santainya dan menyambut gagang pintu dengan alu menariknya perlahan. Sinar terik langsung menyerang mataku, membuatku harus terpejam beberapa detik dan tertahan di pintu beberapa saat sampai mataku menyiapkan keberaniannya untuk membuka dan yang kudapatkan adalah pemandangan indah yang sepertinya pernah kulihat di beberapa film. sebuah aliran sungai yang berwarna biru tua, tidak kotor atau ada sampah sepanjang mata memandang, pinggirannya atau tepatnya di atas aliran sungai ini ditumbuhi pepohonan hijau yang sepertinya dari mataku melihat susunan akarnya ini adalah pohon mangrove yang disusun sedemikian rupa hingga tidak terlihat seperti pohon yang liar.
Angin bertiup agak kencang membuat sedikit gelombang kecil di sungai yang tenang, Aku mengambil langkah pelan sampai ke pinggir pembatas jembatan dan menarik nafas dalam dalam, memenuhi paru-paruku dengan seluruh udara segar yang ada. Pandanganku teralih saat mendengar suara percikan air yang cukup ramai seperti sedang ada gelombang kecil di bawah sana. Segerombolan ikan yang membuka mulutnya dan melahap makanan yang dilempar tadi lalu kembali kedalam air dan lalu muncul lagi untuk melakukan hal yang sama namun kali ini banyak sekali saingan dari ikan ikan lainnya yang berebut makanan juga. Jika sungai ini langsung terhubung ke laut, maka ini mungkin ikan air payau.
“Itu adalah ikan bandeng,” ucap Dito.
Seketika mataku teralih kepadanya yang berjalan menghampiri pagar jembatan. Sepertinya dia membaca pikiranku. “Aku juga tahu itu ikan bandeng, tak perlu dijelaskan seperti bocah,” balasku.
“Kau ini kan memang bocah yang baru keluar dari goa, jadi jangan salahkan diriku jika berkata seperti itu,” jelas Dito.
Nafasku kali ini berhembus kencang dari hidungku. “Baiklah serahkan kuncinya segera.” tangan kananku kutarik panjang mengadahkan ke arah Dito yang disambutnya dengan seringai kecil dari wajahnya. Kemudian Dito memutar tangannya mengaktifkan HP di tangannya dan menggeser geser layar di kulitnya dan seketika notif masuk ke HPku.
“Sudah masuk kan?” tanya Dito dengan memperhatikan sekitarnya seperti tidak memperdulikan jawaban dariku.
Aku melihat HP gelangku untuk memastikan bahwa notifikasi yang masuk tadi berasal dari Dito. Langkahku kuputar dan membalikkan badanku lalu mengambil langkah menuju mobil. Sebelum aku masuk, aku memperhatikan bayangan wajahku dari kaca mobil, cukup jernih dan aku bisa melihat seluruh wajahku dari sini. Wajah yang kotak agak membulat dengan pipi yang agak tipis, serta rambut lebat yang lurus agak kasar, kususun menutupi keseluruhan keningku, melewati kedua alisku dan kurapikan menjadi tiga bagian agar tidak menutupi kedua mataku. Dengan mata yang tajam agak naik dan alis melengkung tebal di awal namun agak tipis di akhir serta hidung yang agak mancung dan tidak terlalu tajam. Lalu aku membungkuk dan mendekatkan lagi wajahku ke kaca dan dari sini bisa kulihat rona rona hitam kecil bekas jerawat di wajahku serta saat membuka bibirku yang bisa kulihat susunan gigi yang rapi serta kuat. Semua bisa kulihat dari sini kecuali bagian mata hitam pekatku yang tidak bisa kulihat dari kaca mobil ini.
“Hey, siapa yang suruh kau ngaca hah!” bentak Dito.
Mataku mengerut, menatap tajam ke Dito. “Santai sedikit lah.” Lalu dengan cepat punggung lenganku kuarahkan ke bagian gagang atas pintu dan bunyi beep kecil dari mobil berbunyi, menandakan pintu sudah terbuka dan tangan sigapku meraih gagang pintu dan kutarik perlahan, mata kiri ku sejenak menyerngit kecil melihat interior mobil yang bisa kubilang cukup mewah dan dan serba hitam dan merah tua jika dilihat dari posisi jadi sopir begini. Aku tidak bisa menjelaskan bagian ini karena sulit bagiku karena aku tidak begitu sering menggunakan mobil saat kuliah. Dengan sedikit kegembiraan kecil muncul di hatiku, tubuhku langsung masuk dan disambut dengan kursi yang lebih empuk dari kursi belakang. Sialan seleramu Dito.
kedua tapak tanganku meraih dan menggenggam setir, merasakan pegangan yang kokoh dan enak serta posisi tubuhku yang pas dengan tinggi setir memperlihatkan pandangan di depan secara keseluruhan dengan kaca yang lebih sedikit terang dari kaca belakang membuatku langsung nyaman saat baru saja duduk di singgasana yang sengaja Ia buat untuk dirinya. Lalu suara pintu mobil terbuka dari belakang, lalu Dito masuk dan langsung merebahkan dirinya ke seluruh kurs belakang yang lebar, mengambil posisi tidur.
“Kuberi waktu 10 menit untuk sampai, dan jangan sampai kepalaku terangkat dari kursi karena polisi tidur yang terlalu banyak disini yang membuatku mulas setelah sarapan,” ucap Dito.
Oh … ini alasan kenapa kursi ini sangat empuk. “Ok … siap kapten,” sahutku sambil menyalakan mesin, seketika mobil terasa sedikit terangkat membuatku terkagum sejenak merasakan hentakan tiba tiba saat berhenti lalu tanganku menarik perseneling mobil yang mantap ini dan menancap gas dengan perlahan.
iiii.
Setelah sampai di depan rumah berpagar dengan tembok putih bernoda bercak besar di sekitar tembok tinggi dengan duri duri berbentuk anak panah besi di atasnya, tubuh Dito langsung terbangun dari tidurnya layaknya robot dan langsung meraih pintu dan keluar dan berjalan menghampiri salah satu pintu gerbang besi besar sepanjang kira kira 4 meter lalu mendorongnya hingga terbuka penuh. Lalu dia berdiri sejenak dan beberapa kali mengedipkan matanya lalu membukanya secara lebar, mengumpulkan seluruh kesadarannya, hingga akhirnya tangannya menepuk keningnya pelan beberapa kali. Sepertinya dia melakukan sebuah kesalahan.
Wajahnya terarah kepadaku menembus jendela gelapnya, dari sini bisa kulihat muka kusutnya setengah sadar. Lalu dia melambaikan tangannya, menyuruhku masuk ke dalam segera.
Ujung jempol kakiku menginjak gas, ditahan dengan injakan rem yang berhenti persis di depan Dito. "Kau tidak apa apa?" tanyaku.
"Santai saja, jangan dipedulikan, cepat masuk," jawab datar Dito dengan tatapan kosong lurus ke depan sambil tetap melambaikan tangannya perlahan.
Mataku disuguhkan dengan pemandangan jalan aspal yang bersih dengan rerumputan yang agak menguning terhampar di sepanjang mata memandang dengan bermacam macam pepohonan terjejer rapi memutari rumah adat jawa besar yang berada di tengahnya. Aku masuk dengan perlahan sambil mataku memandangi sekeliling daerah rumah ini yang dibatasi tembok besar. Telingaku menangkap suara roda besi bergulir dari belakang dan melihat Dito dari spion saat dia mendorong gerbang tersebut.
Aku menghentikan mobil saat berada di depan salah satu pintu garasinya miliknya yang berada di sebelah rumahnya. Lalu Dito menghampiriku yang masih duduk santai di dalam mobil.
“Sepertinya kau betah sekali saat menggunakannya,” Sahut Dito.
“Ya … sekian lama tidak menaiki mobil, ini rasanya sangat enak untuk dinaiki,” kataku dengan seringai wajah penuh kepuasan.
“Dengan mobil ini, tidak ada perempuan yang menolakmu saat diajak jalan.”
“Aku tidak memikirkan hal seperti itu.”
“Oke oke … baiklah kita hentikan saja basa basinya kali ini, cepatlah masuk ke rumah!” tegas Dito.
Kakiku melangkah keluar mobil dan menghirup kembali udara segar selama berada di tempat ini, bagiku menghirup udara segar adalah hal yang sangat kuperlukan setiap waktunya. Dengan langkah pelan, kakiku menapak tangga kecil dari kayu yang mengarahkanku kepada daun pintu yang sangat besar dari kayu yang terlihat sangatlah tebal dan kokoh, jendela pada sisi kiri dan kanan, rasanya seluruh bagian rumah ini tersusun dari kayu dan keringat mereka yang bekerja menyusunnya dengan rapi. langkah kakiku berhenti saat berada tepat pintu dan menunggu Dito untuk menemaniku masuk.
“Tenang saja … tidak perlu malu, kalau kau berhenti di depan pintu seperti ini, nanti kau kesulitan mencari jodoh.”
“Eleh … tidak ada hubungannya sama sekali,” jawabku dengan tangan mendorong pintu dan mulai memasuki lorong rumah tua ini.
Diubah oleh amriakhsan 30-12-2019 09:10
aripinastiko612 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
