Kaskus

Story

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:



Quote:



Quote:


Quote:


PROLOG

i.


Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.



Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis. 



ii.

 

Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.



Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.



Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.



Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu. 



Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.



“Toilet,” balasku singkat.



“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.



“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”



“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya



“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“Untuk melamar kerja?”



“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudmu dengan kita?”



“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”



“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”



“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.



“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.



“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



“Sialan kau mengerjaiku.”



“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.



Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
pintokowindardiAvatar border
pulaukapokAvatar border
aripinastiko612Avatar border
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread1Anggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#1
BAB I - Permulaan Semuanya


i.


Aku benci sekali saat mentari pagi masuk menyinari lantai putih yang silau, memantul ke arah mataku. Hari yang sama selalu terjadi setiap hari, sebagai dampak dari penyakit bawaanku yaitu rasa malas, mungkin itu bawaan genetik. Namun tidak ada hari yang paling membahagiakan selain hari ini.


Aku telah lulus dari suatu perguruan tinggi negeri ternama di bekas ibukota negara ini. Kota yang hanya menjadi menjadi tempat dimana para pejabat pejabat dan orang orang kaya sekarang bersantai serta menghabiskan waktunya disini, disamping sebutan baru kota ini menjadi kota pendidikan juga kota budaya. Tidak banyak orang yang pindah, mereka yang menetap berusaha semampu mungkin untuk bertahan hidup dan menikmatinya. Aku juga menjadi salah satu orang yang berada diantara mereka.


Saat orang tuaku meninggal karena kecelakaan, warisan mereka dari awal sudah diserahkan kepada pamanku. Aku sebenarnya belum mengerti apakah dia benar benar pamanu atau bukan, karena aku juga pernah sekali diberitahu tentang silsilah keluargaku dan aku bahkan tidak bisa menemukan adanya kecocokan ataupun namanya pada pohon keluarga kami. Aku rasa orang tuaku bukan menyerahkan warisan mereka, dan mungkin membayar hutang hutang mereka sehingga mereka tidak bisa mewariskan apapun kepadaku.


Namun pamanku yang kukenal cukup baik kepadaku, dan sampai sekarang pun dia tetap mengurusku walau tidak banyak. Namun berkatnya kau diriku bisa jadi merasakan kerasnya hidup dan hidup mandiri. Saat SMA aku dimasukkan ke pondok pesantren dan hanya diberikan uang jajan tanpa sekalipun dia menjengukku, bahkan hanya dua kali dia masuk ke pesantrenku yaitu saat memasukan ku dan terakhir kali saat menjemputku saat aku sudah lulus. Cukup kacau, namun dia tetap baik padaku sampai sekarang, ya memang hanya dia satu satunya harapan diriku pada saat itu.


Setelah lulus, aku mendaftar ke sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Dia menyuruhku mengambil jurusan komputer karena pamanku yang menyuruhnya agar aku kedepannya dapat bekerja ke perusahaan miliknya. Hanya beberapa kali aku pergi ke rumah paman, namun aku tidak pernah berjumpa dengannya di rumah mewahnya itu, hanya anaknya yang sudah dewasa yang songong yang malah menyapaku yang pada akhirnya membuatku tak betah berlama lama. Selebihnya kegiatanku hanya kuliah selama empat tahun aku tinggal di sebuah kosan sendirian.


Kehidupanku di kampus sebenarnya tidak ada yang spesial. Aku pemalas, dan juga hanya melakukan pergaulan sekedar saja dan tidak ada yang spesial antara diriku dengan kampusku dan juga kehidupanku diantaranya. Satu satunya yang membuat kampus ini sedikit menarik adalah dimana ekspektasi yang ada di otakku sangat berbeda dengan yang ku lihat di film film atau drama dimana yang bertebaran bukan wajah wajah ceria. Tapi ini, wajah dimana orang seperti telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya dan bersiap di rumah untuk melakukan bunuh diri, tidak jadi, lalu esok harinya iya kembali lagi dan melakukan hal yang sama berulang kali.


Di antara wajah wajah penuh lesu dan lemas, beberapa dari mereka tetap bisa menampilkan wajah ceria dengan penuh harapan di masa depan. Hal hal itu yang selalu membuat tempat ini jauh lebih menarik, melihat orang orang berusaha untuk ceria.


Dalam wajah wajah ceria yang mungkin palsu tersebut, salah satunya mungkin bisa kusebut jujur, atau mungkin hanya satu satunya. Dia adalah yang menjadi penyejuk sekaligus penentram hatiku saat diriku merasakan sesalnya dilahirkan. Dia seorang gadis yang dari dulu entah kenapa selalu sekoah bersamaku sejak kami kecil. melihat kecantikannya tumbuh merupakan suatu kegembiraan tersendiri bagi pria muda sepertiku.


Namanya adalah Dewi Adriani Indah Lakeswara. Nama yang cocok Dewi itu sangat tepat dan menampakan sebagaimana anggun dan cantiknya dirinya sebagai perempuan. wajah yang bersih, bening, tidak terlalu manis namun sangat cantik. Dengan wajah berbentuk hati, kening yang tidak lebar, dagu runcing, serta wajah yang tidak terlalu tipis melihat pipi tirusnya yang berisi dengan rona di pipinya yang kemerahan selama berada di pandanganku, dan juga alis melengkung teratur yang rapi tergaris di atas matanya yang hitam kecoklatan serta bibir yang cukup tipis di bawah hidung yang runcing dengan dagu terbelah. Hal itu semua terbalut dengan hijab yang ia kenakan setiap harinya.


Namun yang membuatku cukup heran adalah dimana saat kami sekarang juga masuk universitas yang sama namun jurusan yang dia ambil adalah kedokteran, kami tetap sering bertemu dan sering mengobrol bersama padahal jarak antara fakultas kami cukup jauh. Entah keberuntungan macam apa yang menghampiriku bisa selalu mengobrol bersama dan selalu bisa melihatnya hampir setiap minggunya atau memang ini takdir yang menentukan nasib kita nanti juga akan selalu bersama. Aku tidak paham permainan apa yang diberikan tuhan kepadaku saat ini.


ii.


Daun daun berterbangan di antara jajaran pohon pohon yang sudah kehilangan banyak sekali rambut yang sudah menguning di antara lautan orange kecoklatan yang berserakan di atas tanah. Musim kemarau hari ini adalah saat kelulusanku dari kampus ini, dimana hatiku kebingungan memilih suka atau duka. Setiap tahunnya saat aku lulus dari SD hingga sekarang, aku selalu tanpa ditemani orang tua, maupun kerabat untuk melihat kelulusanku. Dimana yang hanya bisa kulihat saat orang tua bergembira, bercengkrama dengan wajah berseri seri antara orang tua dengan anaknya yang mengenakan jas hitam dan topi toganya, dibarengi dengan senyum kebersamaan. Memang terdengar seperti kekanak-kanakan, namun terkadang hal simpel seperti itulah yang sangat aku butuhkan.


Diriku sekarang menyendiri, menyingkir dari kerumunan, menundukan wajah sambil memegang rapot hitam dengan jas hitam terlipat rapi diatas toga di pangkuanku. Hal yang mungkin hampir setiap tahun kulakukan untuk menghilangkan rasa iri kepada anak anak lainnya. Kali ini aku terduduk di kursi besi kosong di pinggir jalan kampus di bawah teduhnya atap halte yang menghalangi panasnya sinar mentari terik tanpa adanya angin sama sekali, sesekali melihat jalanan yang cukup ramai oleh kendaraan yang sepertinya mereka sudah menyelesaikan urusan di tempat ini dan melanjutkan kegiatan mereka kembali.


Kali ini telingaku menangkap suara angin yang cukup kencang, bersama suara ombak daun yang terseret derasnya angin yang datang. Sedikit menyejukkan pendengaranku, membuat wajahku berpaling ke atas sambil memejam mata, memenuhi paru paruku udara yang tercampur bau tanah. Dalam kondisi hampir mendekati ketenangan penuh, diriku dibuat terfokus saat seseorang tiba tiba saja duduk disampingku tanpa kusadari. Mataku langsung terbuka lebar saat melihat dirinya memberikan tatapan lembut disertai seringai pada wajahnya dengan menyembunyikan sesuatu dibalik punggungnya.


“Apa.. yang kau lakukan… disini Dewi?.” tanyaku dengan terbatah batah sambil memperhatikan kerudung berwarna pinknya dengan baju pitih serta rok birunya yang melebar ke bawah, menutup seluruh auratnya.


Dewi tersenyum dengan sedikit rona merah di wajahnya. “Sedang mencoba menghibur seseorang yang sedang sedih dihadapanku”.


“Bukankah seharusnya kau sekarang bersama kakekmu?” tanyaku dengan mata memperhatikan sekeliling.


“Kakek sedang sakit, jadi aku sekarang sedang bersama saudara saudaraku,” ungkap Dewi.


Kenapa kau sendirian kemari. Aku merasa tidak enakan untuk bertanya lagi, lagi pula dia bilang dia datang kesini karena aku. Nanti aku dikira mengusir dirinya.


Seketika mataku menyempit. “Oh iya.. tunggu dulu ... kau kan belum lulus … jadi kau kemari … mungkin karena saudaramu ya?” tanyaku dengan nada yang sedikit tinggi.


Dewi memejamkan matanya sambil menghalangi senyumnya dengan tangannya. “Kau ada benarnya. Namun aku jujur ingin bertemu denganmu Jaya.”


Alisku berkerut dan senyum sinis kuberikan padanya.


“Aku tau kau tidak akan percaya jaya tapi beneran kok, sungguh,” tegas Dewi.


Kali ini aku masih sama dengan wajahku tadi namun tanganku kali ini sudah terlipat sesaat mendengar perkataannya.


Seketika Dewi mengeluarkan benda yang ia sembunyikan di balik punggungnya. Sebuah buket bunga tersusun rapih berbalut kertas kardus berwarna coklat dengan beruang kecil memakai toga dan jas hitam duduk diatas bunga bunga tersebut. Lalu ia menyerahkannya ke hadapanku dengan senyum yang teramat manis.


Mataku terbuka lebar. “Ini untukku ... Beneran?” tanyaku dengan tubuh yang membeku.


“Tentu saja, memangnya untuk siapa lagi yang disini,” balas Dewi.


Kali ini aku sama sekali tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun dari mulutku. Hanya bisa terdiam dan sedikit menganga menampilkan secuil ujung gigiku padanya.


Seketika ketegangan pada diriku hilang saat telepon berbunyi di gelangnya. lalu Dewi menjawabnya dengan menekan earphone di balik kerudungnya. Rauh rona merahnya berubah menjadi cemberut yang tetap menampilkan merah apel pada pipinya.


“Sepertinya aku tidak bisa lama lama ya Jaya, saudaraku menungguku,” balasnya dengan memalingkan wajah ke bawah sedikit memperlihatkan wajah sedihnya.


Lenganku kuangkat pelan, sedikit gemetar sambil menunjukan tapak tanganku ke hadapannya dengan sedikit seringai. “Tidak apa apa Dewi. Aku tidak memaksamu kok.” Ucapku dengan nada yang pelan.


“Kalau begitu sekarang aku yang memaksamu untuk mengambil bunga ini.” Dengan cepat Dewi mengambil tanganku yang masih tergantung lalu menaruh buket bunga diatasnya. kemudian dengan sigap ia berdiri dan merapikan celana yang kukira roknya itu, berlari kecil melewati deburan daun daun kering terbawa angin ke kerumunan jas hitam sambil melambaikan tangannya dengan senyum sampai dia menghilang dari pandanganku ditelan kerumunan orang orang, diriku bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal.


Disaat kondisi sudah hanya diriku bersama dengan kursi kosong di sebelahku bersama buket bunga di tanganku, menunggu dan menunggu hingga seketika sebuah mobil sedan hitam mengkilap yang kukenal berhenti di hadapanku tanpa suara bising dari mesinnya. Lalu jendela depan terbuka dengan perlahan menampilkan wajah Dito yang sedang duduk sambil merapikan rambutnya keatas dengan kedua tangannya.


Dito menggeleng geleng. “ Sepertinya ada yang sedang berbahagia disini ya.”


“Untuk apa kau membuka jendela dan merapikan rambut. Apa kau sedang mengincar ibu ibu disini,” ejekku.


Dito mengerutkan dahinya dan menatap tajam ke arahku. “Oke kau menang, cepat masuk,” tegas Dito.
Diubah oleh amriakhsan 01-01-2020 01:41
erman123
rijalbegundal
aripinastiko612
aripinastiko612 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.