Kaskus

Story

EnisutriAvatar border
TS
Enisutri
Kumcer Opera Tuhan
Kumcer Opera Tuhan
sumber: pinterest


Terlalu Cerdas

Di pinggiran kota Pontianak, hiduplah sepasang suami istri sebut saja namanya Rome dan Juli, mereka dikaruniai seorang anak perempuan dengan nama Esmeralda, umur Esmeralda masih 14 bulan. Setiap malam Esmeralda tak henti menangis, kemungkinan diganggu oleh makhluk astral yang mendiami rumah mereka. Maklum rumah mereka dari mulai ditempati tak pernah digunakan untuk mengaji. Jangankan mengaji, untuk sholat saja tidak pernah.


Sore itu, Rome sedang duduk di ruang tamu, dengan kaki sebelah kiri menumpang ke kaki kanannya, sambil asyik stalking ponsel baru yang harganya diatas 5 jeti. Juli istrinya menghampirinya, dia kelihatan kelelahan terlihat hitam pada lingkar matanya, pertanda dia kurang tidur.


“Bang, gimane nasib budak kite, tiap hari Esmeralda nangis, saye rase kite harus bawa dia ke orang pintar,” kata Juli kepada suaminya, yang sedari tadi hanya melihat layar ponsel sambil senyum-senyum sendiri.


“Bang Rome dengar cakap saye tak?” ucap Juli sambil menggoyangkan badan Rome.


“Iye abang dengar,” kata Romi tapi tetap saja matanya tidak beralih dari layar ponselnya.


“Saye cakap ape?” kata Juli ingin tahu.


Rome pun meletakkan ponselnya di atas meja, ia mengalihkan pandangannya ke arah istrinya.


“Kite mau bawa kemane lagi?” tanya Rome dengan nada serius.


“kite bawa Esmeralda ke tempat Pak Yai bang, biar nanti didoain, takutnye ada yang gangu die Bang,” kata Juli dengan memelas.


“Abang takut kalo ke rumahnye Pak Yai takut disuruh sholat Dek,” kata Rome menanggapi.


“Kite tak perlu bilang kalo kite tak pernah sholat Bang, saye rase, pak yai tak tanye-tanye soal itu,” jawab Juli.


“iye lah, kalo begitu kite ke rumahnye, lagian Abang kesian lihat Esmeralda nangis terus,” kata Rome sambil beranjak dari tempat duduknya.


Rome mengambil kunci mobilnya, yang ia letakkan diatas lemari.


“Mane Esmeralda Dek?” tanya Rome.

“Budaknye tidor,” jawab Juli.

“Ye sudah, Abang berangkat sendiri saje ye, Adek tunggu die aje di rumah,” kata Rome sambil berpamitan.


“yeelah Bang,” kata Juli menuruti perkataan suaminya.


Rome mengendarai mobilnya menuju ke rumah Pak Kiyai, sampai di halaman depan rumah Pak Kiyai, ia memarkir mobilnya, sebelum turun ia mengambil peci yang diselipkan di bagian belakang kursi. Mungkin biar terlihat agamis kali ya.


Assalamuallaikum,” ucap salam Rome sambil mengetuk pintu.


“Wa’alaikumusallam,” jawab seseorang yang berada di dalam.


Pintu di buka, sosok laki-laki berumuran setengah abad, dengan sorban di kepalanya keluar dan mempersilakan masuk. Rome pun masuk dan duduk di kursi dari anyaman rotan.


Tanpa basa-basi, Rome menceritakan semua kejadian yang dialami Esmeralda, yang tak henti menangis mulai senja sampai pagi hari. Pak Kiyai memberikan saran kepada Rome, Rome manggut-manggut tanda mengerti. Ia kemudian berpamitan.


Sampai di rumah Rome langsung masuk kamar. Juli langsung menghadangnya dengan pertanyaan.


“Sudah ke, Bang?” tanya Juli penasaran.

“Beres, Adek tak perlu khawatir lagi ye,” jawab Rome.

“La mane air putihnye Bang, biasanye Pak Yai kasih,” tanya Juli lagi.

“Pak Yai ndak ade kasih, tenan saje Dek, Abang sudah dikaseh tau caranye, pasti para setan pade kabor,” kata Rome meyakinkan istrinya.


***

Malam itu, Esmeralda tak lagi menangis, ia pun bisa tidur nyenyak demikian juga dengan Rome dan Juli.


Padi harinya Juli membangunkan Rome,”Bang, bangun dah pagi,” kata Juli sambil menggoyangkan badan Rome.

“Bang, Juli penasaran, begimane care Abang usir itu setan dari rumah kite,” tanya Juli.
Rome pun berusaha bangun, dia semangat untuk memberi tahu Juli.

“Adek ingin tau ke?” tanya Rome sambil tersenyum.

“Yuk, ikot Abang,” katanya lagi.
Rome mengajak Juli ke ruang tengah, menuju ke sebuah meja yang ada di pojok ruangan itu.

“Nah ini die yang menolong kite ngusir setan,” kata Rome sambil mengacungkan ponselnya.

“Mane ade Bang ponsel bisa ngusir setan?” tanya Juli heran.

“Yelah, tadi malem kan ponsel abang setting orang mengaji, tak putus, jadi setan pade pegi,” kata Rome dengan mantap.

“Emangnye Pak Yai bilang begitu ke?” tanya Juli masih heran.

“Tak ade bilang gitu, tapi, Pak Yai cume bilang rumah suruh buat ngaji, kan Adek tahu sendiri Abang tak bise mengaji, jadi Abang usahelah download orang mengaji, lalu abang puter malemnye, terus Abang tidor same Adek,” kata Rome dengan nada mantap.

Juli hanya manggut-manggut membenarkan perkataan suaminya.


Selesai

Index Kumcer Opera Tuhan

Cerita lainnya

Sepeda dari Bapak
Diubah oleh Enisutri 23-01-2020 10:54
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
indrag057Avatar border
indrag057 dan 19 lainnya memberi reputasi
18
1.9K
46
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
EnisutriAvatar border
TS
Enisutri
#2
Sepeda dari Bapak
kaskus-image
Source: pinterest

Hujan dari tadi malam berangsur-angsur reda, kini hanya tinggal titik-titik dan genangan air di pelataran depan rumah.


“Hanin, ayo ikut Bapak, ke pasar,” ajak Bapak.

“iya, Pak,” kataku sambil berlari menghampiri bapak yang sedang menuntun sepeda tuanya.

Itu adalah sepeda kesayangan bapak, entah keluaran tahun berapa, tapi sepeda itu sangat membantu bapak untuk menjual hasil karya bapak yaitu membuat centong nasi dari kayu mahoni.


Setiap dua hari sekali bapak setor ke pengepul di pasar, centong buatan bapak banyak peminatnya, karena di samping buatannya halus dan rapi, harganya juga sangat terjangkau. Jika hari libur seperti sekarang ini, aku selalu di ajak bapak ke pasar.


“Hanin, nanti mau minta dibelikan apa kalau sampai pasar?” tanya bapak.

“Hanin, mau beli cenil, Pak,” kataku sambil tersenyum.

Bapak mengayun sepeda dan aku duduk di atas stang depan. Kami menyusuri jalan yang belum diaspal menuju pasar.


***


Sampai di pasar bapak membawa centong pada pengepul.


“Berapa buah Pak, centongnya?” kata si Pengepul.

“30 buah,” jawab bapak.

“Satu bijinya, saya harga 500 rupiah Pak, jadi totalnya, 15 ribu rupiah,” kata si Pengepul itu sambil mengeluarkan uang kertas pecahan 500 rupiah.


Bapak menerimanya, dan tak lupa mengucapkan terima kasih. 15 ribu rupiah adalah jumlah yang besar bagi keluarga kami, sebab dahulu pecahan uang terkecil adalah pecahan 25 rupiah.


Sebelum pulang, tak lupa bapak membelikan aku cenil, dan beberapa sayuran untuk diolah oleh Ibuku nantinya.


Aku berjalan melihat-lihat toko yang berjajar di pasar, aku berhenti pada toko yang menjual sepeda.


“Hanin, ayo pulang,” kata bapak sambil menepuk pundakku.

“Iya, Pak,” kataku dengan mata masih melihat sepeda baru yang disusun rapi.

“Kamu pengen punya sepeda Han?” tanya bapak.

“Nanti kalau kamu sudah kelas 6, Bapak belikan sepeda ya,” ujar bapak.
Aku mengangguk, dan mengikuti ajakan bapak untuk pulang.


***


Tahun ajaran dimulai. Kini aku naik ke kelas 6. Aku senang sekali karena aku bisa menagih janji bapak untuk dibelikan sepeda. Sebab, hanya aku saja yang belum bisa naik sepeda. Teman-temanku sudah mahir naik sepeda, mereka dibelikan orang tuanya sejak kelas 1 SD. Ya, maklum aku terlahir di keluarga kurang mampu, penghasilan bapak hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.


***


Aku berada di kamar dan mendengar obrolan ibu dan bapak di ruang tamu.


“Pak, persediaan beras kita sudah habis, bagaimana, apa kita cari pinjaman,” kata ibuku.

“Jangan Bu, Bapak takut tidak bisa mengembalikannya, biar Bapak usahakan nanti,”

“Tapi Pak, sekarang centong buatan Bapak sudah tidak selaris dulu, karena sekarang sudah banyak centong dari bahan plastik buatan pabrik, kalo cuma mengandalkan hasil dari centong, nama bisa, lagian Bapak sudah seminggu ini tidak ada pesanan,” kata Ibu.

“Iya, Bapak tahu, Bapak juga sudah janji dengan Hanin, kalau dia naik kelas 6 akan membelikannya sepeda. Kasihan dia belum bisa naik sepeda, apalagi nanti kalau meneruskan ke SMP, jauh tidak bisa dijangkau dengan jalan kaki.” Kata bapak menanggapi.


Aku mendengar percakapan bapak dan ibu, kuurungkan niatku untuk menagih janji.


***


“Ibu, Hanin, Bapak pergi merantau dulu, ikut rombongan Pak Kari, ke Sibur, mau diajak buka lahan untuk tambak udang, doain Bapak ya ... Bapak tidak lama kok perginya, selama 3 bulan saja, ini ada sedikit uang untuk pengagang ibu, ini uang muka dari Pak Kari,” kata bapak sambil menyodorkan uang kertas 100.000 rupiah bergambar presiden Suharto.


“Mudah- mudahan cukup ya Bu, sampai Bapak pulang,” kata bapak lagi.


Ibuku mengangguk, kami berpelukan dan suasana haru mengatar kepergiaan bapak untuk mencari nafkah dan mewujudkan impianku.


***


Tiga bulan lamanya bapak merantau. Aku dan ibu hanya bisa berdoa untuk keselamatan bapak. Karena waktu itu belum ada ponsel atau sejenisnya. Kami hanya menunggu.


Siang itu aku pulang dari sekolah, sesampainya di rumah, aku melihat ada sepeda terparkir di teras. Langsung aku berlari mendekat, menyentuh sepeda itu, kupanggil ibu dengan lantang.


“Ibu ... Ibu ... ini sepeda siapa?” kataku masih sambil memegangi sepeda itu.


Ibuku keluar, dan tersenyum, namun kulihat ia baru saja mengelap air matanya, mungkin karena terharu. Aku senang sekali, kubunyikan belnya berulangkali. Aku mendengar suara bel sepeda yang aku rindukan.


“Bu, Bapak sudah datang ya,” tanyaku sumringah.

“Iya, itu Bapak ada di dalam,” Jawab Ibuku.

“Baaapppaakk ...,” aku berlari masuk ke dalam rumah, kutemui bapak yang sedang duduk di kursi kayu.

“Bapak, terima ka ... “ aku tidak jadi meneruskan kataku, karena aku terkejut melihat jari-jari bapak diperban. Aku lalu menghampirinya.

“Tangan Bapak kenapa?” tanyaku sambil menangis.

“Tidak apa-apa Hanin,” kata bapak menenangkan. Aku pegang tangan bapak kulihat dengan seksama.

“Sudah, Bapak tidak apa-apa, hanya semua kuku Bapak copot, karena dipakai untuk mengeruk tanah gambut, nanti juga tumbuh lagi,” Kata bapak sambil tersenyum dan membelai rambutku.

“Ini gara-gara Hanin ya Pak, yang ingin punya sepeda, maafkan Hanin Pak,” kataku sambil tersedu-sedu.

“Suatu kebanggaan buat Bapak, bisa membelikan kamu sepeda, orang tua akan melakukan apapun untuk kebahagiaan anaknya,” kata bapak dengan mata berkaca-kaca.

“Terima kasih Pak, Hanin janji akan merawat sepeda itu dengan baik, karena Hanin tahu pengorbanan Bapak untuk dapat membeli sepada itu. Kupeluk Bapak dengan erat, beruntungnya aku menjadi anaknya, hanya doa yang bisa aku sematkan untuk beliau, semoga bapak selalu diberi kesehatan dan jika aku dewasa bisa menjadi kebanggaan beliau. Aamiin.


Selesai
Diubah oleh Enisutri 30-12-2019 12:40
sofiayuan
IztaLorie
indrag057
indrag057 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.