- Beranda
- Berita dan Politik
Obama Membuka Jalan Bagi Donald Trump, Bagaimana Dengan Jokowi? (Opini Pribadi)
...
TS
lonelylontong
Obama Membuka Jalan Bagi Donald Trump, Bagaimana Dengan Jokowi? (Opini Pribadi)

Gbr diambil dr : cnbc.com
Kepribadian manusia memang berbeda-beda, namun mereka berangkat dari pengembangan naluri dasar, interaksi sosial, dan proses bernalar yang kurang lebih sama.
Setidaknya itulah dasar pengembangan ilmu sosial, antropologi, psikologi, dsb.
Dengan menganalisa dan memahami pola perilaku dan apa yang menyebabkan perilaku tersebut terjadi, maka kita bisa berusaha memprediksi apa yang akan terjadi dalam satu kelompok masyarakat, dengan cara membandingkan-nya dengan kejadian yang sebelumnya pernah terjadi, dan memiliki pola yang serupa.
Di sini saya ingin mencoba menyajikan adanya beberapa kesamaan antara yang terjadi di US, yang membuka jalan bagi Donald Trump pada tampuk kekuasaan.
Dengan keadaan di negara kita sendiri.
Karena saya bukan ahlinya, tentu akan ada banyak kekurangan dalam pengamatan dan analisa saya.
Sadar akan hal itu, saya terbuka pada kritikan dan masukan.
---
Ketika orang Amerika memilih Donald Trump, yang terpikir di benak saya pertama kali adalah, orang Amerika sudah kehilangan akal sehatnya.
Tetapi ketika saya berusaha memahami-nya, saya pikir saya bisa mengerti, mengapa dalam situasi seperti saat itu, ada sejumlah besar orang memilih Trump daripada Hillary.
Dan menurut saya ada beberapa persamaan dengan situasi di negara kita sendiri pada saat ini.
Kemiripan pertama,
Kekecewaan, demi kekecewaan, mungkin itulah yang dirasakan rakyat Amerika terhadap pemerintahan-nya selama bertahun-tahun.
Dari satu presiden ke presiden yang berikutnya.
Pada umumnya mereka yang terpilih, memiliki jejak keluarga yang jelas. Memiliki rekam jejak yang sepertinya menjanjikan, namun dalam perjalanan-nya tidak lepas dari skandal yang membuat rakyat merasa tertipu.
Hal ini mirip dengan kekecewaan rakyat Indonesia, dan hilangnya kepercayaan rakyat pada badan-badan negara.
Euforia yang timbul pada saat momen reformasi, digantikan dengan kekecewaan, ketika sosok-sosok yang diharapkan, dan digadang-gadang akan membawa perubahan, ternyata lebih sibuk dengan permainan kekuasaan.
Tokoh-tokoh ini memiliki sejarah keluarga, dan/atau rekam jejak yang dirasa menjanjikan. Namun ketika mereka mendapatkan kesempatan untuk memegang amanah, maka kebanyakan yang terlihat justru ambisi pribadi dan permainan politik.
Orang-orang yang dipandang baik, justru tercungkil keluar oleh persekutuan para Sengkuni.
Sosok jenderal yang gagah, yang diharapkan ketegaaan dan terobosannya, ternyata lebih banyak bermain gitar dan mengais belas kasihan.
---++---
Kemiripan kedua,
Meskipun Amerika termasuk negara yang kaya raya, namun bukan berarti mereka sudah bebas dari masalah sosial.
Seperti juga di Indonesia, ada kesenjangan, ada isu rasialisme, dan ada sejarah kelam yang belum sepenuhnya tuntas. (Menurut saya harus dipahami bahwa "kaya" itu sesuatu yang relatif. Dia ada dengan tolok ukur, kekayaan orang lain.)
Kemudian sering di Indonesia, kita membayangkan di Amerika sebagai negara maju, tempat di mana ilmu pengetahuan berkembang, penduduk-nya tidak lagi fanatik dengan agama.
Pada kenyataan-nya sampai 2019, setidaknya 65% penduduk Amerika, beragama Kristen, dan sebagian dari mereka cukup fanatik, bahkan masih menolak beberapa teori ilmiah seperti teori evolusi.
Contoh lain tentang ke-fanatik-an mereka, adalah larisnya novel berseri : The left behind. Yg penulisnya sendiri meng-klaim bahwa novel tersebut ditulis berdasarkan nubuat dari Alkitab, tentang akhir jaman.
---++---
Kemiripan ketiga,

Gbr diambil dr : tribunnews.com
Kekecewaan pada sosok tokoh-tokoh yang sudah ada, kemudian seperti mendapat jawaban, ketika muncul sosok lain, yang hadir dari luar lingkaran tersebut.
Di Amerika kehadiran Obama seperti jawaban di tengah kekecewaan. Kemampuan-nya berpidato dan mengemukakan gagasan-gagasan yang berpihak pada wong cilik, membuat dia menjadi idola mayoritas rakyat Amerika pada masanya.
Tetapi lepas dari program yang dia sampaikan, mungkin latar belakang dia yang "bersih" dari lingkungan politik adalah daya tarik yang terbesar.
Citra politik sebagai sesuatu yang kotor, sudah terbentuk dari skandal-skandal yang bermunculan dari satu presiden ke presiden berikutnya.
Dan sekarang hadir, satu sosok yang bukan berasal dari keluarga politikus.
Hal yang sama bisa kita tarik garis-garis persamaan-nya dengan hadirnya Presiden Jokowi ke dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Rakyat yang sudah begahdengan politikus, mendapatkan harapannya pada sosok Jokowi, yang dipersepsikan lahir dari rakyat kecil, kalangan keluarga biasa yang tidak ada sangkut pautnya dengan kekuasaan di masa lalu.
Konsep blusukan, sederhana dan merakyat. Meskipun coba ditiru oleh politikus lain, tidak berefek sebesar ketika Jokowi, si penjual mebel, yang melakukan-nya.
---++---
Kemiripan ke-empat
Obama yang digadang-gadang akan membela rakyat kecil. Menghentikan pengiriman tentara US keluar negeri, dan serangkaian harapan lainnya. Ternyata tidak sepenuhnya menjawab harapan rakyat tersebut.
Euforia sesaat itu dihadapkan pada realita yang keras.
Sebuah utopia belaka, karena realita politik, realita permasalahan sebuah negara, realita tentang politik antar bangsa, tidaklah semanis puisi gubahan Kahlil Gibran, atau lagu "Imagine" ciptaan John Lennon.
Obama tetap harus melakukan "transaksi" dan tawar menawar, agar sebagian dari program yang dia canangkan bisa berjalan.
Artinya ada pula yang harus dia korbankan. Ada janji yang harus dia ingkari.
Inilah realita-nya, dan sebagian orang kemudian jadi kecewa karena-nya. Ditambah dengan permasalahan ekonomi yang mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan, bahkan rumah mereka.
Hal yang serupa bisa kita saksikan dalam era kepemimpinan Jokowi. Idealisme yang dibawa, terbentur keras pada realita politik.
Mulai dari pemilihan menteri dalam kabinet yang sarat bau transaksional.
Program-program yang bagus pada saat disajikan di masa kampanye, kemudian harus dihadapkan pada kenyataan ekonomi (pembangunan infrastruktur yang dibiayai hutang, penghapusan subsidi BBM yang tidak terbukti bisa meringankan beban anggaran, BPJS yang terkendala pembiayaan, dst).
Seperti pada pemerintahan Obama, sebagian pendukung Jokowi juga tidak puas dengan kinerja-nya. Meskipun saya tidak tahu jumlah-nya, apakah cukup besar atau tidak, tapi setidaknya euforia sudah berlalu, dan wajar bila masyarakat kembali menjejak pada realita.
---+++---
Obama membuka jalan bagi Donald Trump.

Gbr diambil dr : merahputih.com
Jalan bagi "Sang Joker" untuk naik ke atas panggung sekarang terbuka, dan yang menyiapkan jalan-nya adalah Obama sebagai "harapan terakhir" akan terjadinya perubahan.
Kegagalan Obama untuk memenuhi semua janjinya, menimbulkan perasaan/persepsi akan roda-roda pemerintahan dan kenegaraan yang sudah terlalu bebal. Sistem yang sudah membatu dan tercetak kuat.
Jika seorang yang cerdas tidak bisa membongkar (ingat lagu Iwan Fals, bongkar!), mungkin justru seseorang yang kasar, tidak ber-sopan santun, seseorang yang labrak sana-sini, sosok yang anarkis dan tidak bermain sesuai aturan.
Mungkin sosok seperti itulah yang diperlukan.
Salah satu fakta yang mencengangkan tentang Donald Trump, adalah kebohongan yang dia lontarkan ke publik. Sebegitu masif-nya dan sebegitu liar-nya dia melontarkan hoax, hingga beberapa jurnalis sampai menghitung jumlah kebohongan yang dia lontarkan selama 100 hari dia menjabat.
Jumlahnya pun sangat mencengangkan, terhitung setidaknya 490 kebohongan, dal waktu 100 hari.
Dan kebiasaan ini sudah dia lakukan semasa kampanye, dan bukan suatu rahasia, bahkan bagi mereka yang memilih Donald Trump.
Akan tetapi kebohongan yang disajikan secara terang-benderang, ala gertak sambal di warung kopi, justru menimbulkan simpati, pada mereka yang sudah lelah mendengarkan basa-basi akan perubahan.
Mungkin keputus asa-an, atau kegeraman. Mungkin perasaan kalah pada keadaan yang sepertinya sudah disetting untuk membuat mereka kalah.
Keberadaan Donald Trump yang seperti badai perusak, justru mereka harapkan.
"Kalau tidak bisa dibenahi, biar rusak sekalian.", mungkin itu yang terbetik dalam benak mereka.
Nah, jika kegagalan Barrack Obama membuka jalan bagi Donald Trump.
Apakah "kegagalan" Jokowi akan membuka jalan bagi "Sang Joker" versi Indonesia?
Akhir kata :"Jamane jaman edan, sing ra edan, ra keduman.
Ning sabegja-begjane wong edan, luwih begja wong sing waras lan eling Gusti Pangeran."
Sumber referensi :
1. https://www.washingtonpost.com/graph.../trump-claims/
2. https://www.detroitnews.com/story/ne...lint/83954758/
3. http://inthesetimes.com/article/1980...t-barack-obama
4. https://tirto.id/survei-jokowi-unggu...an-rendah-dkZo
tien212700 dan 5 lainnya memberi reputasi
4
1.6K
27
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
691.2KThread•54.9KAnggota
Tampilkan semua post
Rasuna
#11
kalau 2024 trumpnya indonesia janji bakal membantai kadrun dan khilacuck, anti china, nasionalis, dan anti pribumi korupsi ya gw pilih lah
:
:0
Tutup