- Beranda
- Stories from the Heart
TEROR HANTU DEWI
...
TS
mahadev4
TEROR HANTU DEWI
Cerita ini adalah murni fiksi dan imajinasi saya semata, ini adalah Cerita Horor pertama yang saya buat, maka jika banyak kekurangan disana sini saya mohon maaf dan sangat berharap kritik dan sarannya. Dan Kisah ini saya persembahkan Untuk Novia Evadewi, yang novel horornya sederhana namun begitu mencekam nuansa horornya.
Cerita ini saya beri judul "Teror Hantu Dewi", selamat membaca.
=====================================
Daftar Lengkap serinya :
Prolog
Part 1 Malam Jahanam
Part 2 Penantian Mencekam
Part 3 Geger Mayat Dewi
Part 4 Penguburan Mayat Dewi
Part 5 Teror di Tumah Tua
Part 6 Teror yang Berlanjut
Part 7 Pembalasan Dewi
Part 8 A Hantu Dewi Meneror Lagi
Part 8 B Hantu Dewi Meneror Lagi
Part 9 A Geger di Makam Dewi
Part 9 B Geger di Makam Dewi
Part 9 C Geger di Makam Dewi
Part 9 D Geger di Makam Dewi
Part 10 Menguak Tirai Gelap
Part 11 Keris Kiayi Pancasona
Part 12 Pertarungan Terakhir (Tamat)
=============================

Cerita ini saya beri judul "Teror Hantu Dewi", selamat membaca.
=====================================
Daftar Lengkap serinya :
Prolog
Part 1 Malam Jahanam
Part 2 Penantian Mencekam
Part 3 Geger Mayat Dewi
Part 4 Penguburan Mayat Dewi
Part 5 Teror di Tumah Tua
Part 6 Teror yang Berlanjut
Part 7 Pembalasan Dewi
Part 8 A Hantu Dewi Meneror Lagi
Part 8 B Hantu Dewi Meneror Lagi
Part 9 A Geger di Makam Dewi
Part 9 B Geger di Makam Dewi
Part 9 C Geger di Makam Dewi
Part 9 D Geger di Makam Dewi
Part 10 Menguak Tirai Gelap
Part 11 Keris Kiayi Pancasona
Part 12 Pertarungan Terakhir (Tamat)
=============================

Diubah oleh mahadev4 31-05-2022 17:52
sampeuk dan 38 lainnya memberi reputasi
35
27K
192
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
mahadev4
#96
TEROR HANTU DEWI - Part 9 A
-Geger di Makam Dewi
Sebuah mobil keluar meninggalkan Desa Medasari, di dalamnya adalah Pak Hendarto, bersama anak lelakinya Agung, Agung duduk dengan meringkuk di kursi belakang, tangannya mendekap ke kaki, matanya nanar memandang kesekelingnya, seakan-akan ia takut sesuatu yang mengancam jiwanya datang dan menghabisinya dengan sekejapan mata, wajah Agung tampak pucat karena ketakutan yang sejak kemarin ia tahankan, ia yakin bahwa kematian Ilung bukanlah kematian karena perbuatan manusia biasa, ia sudah melihat sendiri bagaimana Ilung pernah berkelahi yang mana lawannya membawa senjata tajam berupa golok sedangkan Ilung hanya bermodalkan tangan kosong saja, beberapa kali golok ditangan musuhnya bersarang di tubuhnya, namun hanya bajunya saja yang menjadi koyak, tubuhnya yang terkena sabetan golok hanya memerah namun tak setetes pun darah keluar dari tubuhnya, tentu saja hal itu membuat nyali lawannya ciut yang akhirnya di buat jadi bulan-bulanan Ilung. Tak mungkin manusia biasa yang membunuh ilung, dan kejadian yang tadi dialaminya, yaitu kopinya yang berubah jadi darah itu sudah cukup menyadarkan Agung kalau kini nyawanya dalam ancaman, pelakunya jelas adalah Hantu Dewi yang menuntut balas, Ruh nya tentulah tidak tenang sebelum dendamnya terbalaskan.
Mobil yang membawa Pak Hendarto dan Agung berjalan melewati Perkebunan Kelapa Sawit, sekitar satu jam perjalanan mereka berhenti di sebuah Desa yang asing bagi Agung.
'Ayo Gung, turun" kata Pak Hendarto.
Agung tampak ragu, namun tatapan tajam Bapaknya itu membuatnya begitu segan, ia pun turun, mereka menuju sebuah rumah papan yang pagarnya terbuat dari bambu-bambu yang di cat warna putih.
Belum lagi Pak Hendarto mengetuk pintu, dari dalam terdengar suara berat seorang lelaki, "Masuklah, Hendar, sejak tadi aku sudah menunggumu."
Pak Hendarto membuka pintu yang saat itu tidak tertutup rapat, waktu menunjukkan pukul satu dini hari.
Agung melirik jam dinding tua yang tergantung di dinding yang hanya terbuat dari papan.
Sementara di kursi ruang depan itu duduk seorang lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam, memakai blangkon.
"Sejak tadi aku merasakan bahwa kamu akan datang makanya sengaja aku menunggumu disini. Langsung saja katakan ada apa?"
"Begini, Kang, sore tadi anakku ini mengalami kejadian aneh, yang mana kopi yang akan diminumnya terlihat berubah menjadi darah, dan memang anakku sejak kemarin sikapnya berubah, ia hanya mengurung diri dikamarnya seharian. Apa yang sebenarnya terjadi, Kang? apakah ada Makhluk halus yang mengganggunya? atau apa?"
"Sebentar, Hendar. Siapa nama anakmu ini?, aku lupa."
Agung, Kang. Lengkapnya Agung Bagaskara."
"Kemarikan tanganmu, Gung."
Agung mengulurkan tangannya, lelaki berpakaian hitam itu menyalami Agung, kedua matanya terpejam, sesekali ia mengerutkan wajahnya, kadang ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu berlangsung sekitar lima menitan, kemudian ia melepaskan tangan Agung.
Lelaki itu bangkit dan beranjak keluar rumah.
"Kang Sukir, sampeyan mau kemana?"
"Kalau mau ikut lihat saja dan jangan bersuara."
Pak Hendarto dan Agung mengikuti Kang Sukir keluar rumah.
Lelaki yang di panggil Sukir itu beranjak ke halaman rumahnya yang luas, tepat di tengah-tengah ia berhenti, mulutnya berkomat-kamit, tak jelas apakah ia sedang membaca mantra ataukah sedang berbicara dengan sosok yang tak kasat mata.
Udara di halaman rumah Kang Sukir tiba tiba berubah menjadi sangat dingin, dari jauh tiba-tiba suara lolongan anjing terdengar panjang melengking, lolongannya membahasakan rasa ketakutan yang mendalam.
Pak Hendarto menggigil, bukan karena dinginnya suasana, namun karena ia tahu bahwa sebentar lagi akan ada Makhluk Ghaib yang hadir di situ.
Agung hanya menatap semuanya dengan tatapan bingung, semuanya berlangsung cepat, ia sendiri tak tahu bahwa Bapaknya punya kenalan seorang lelaki yang di panggil Sukir itu.
Ia tak pernah melihat Bapaknya bertemu langsung dengan lelaki itu seumur hidupnya kecuali disini, lelaki itu pun tak pernah berkunjung kerumahnya, tetapi entah kalau Bapaknya sendiri yang justru sering datang kesini.
Seketika tanah di sekitar halaman depan itu seperti bergetar, bagaikan di hantam sesuatu yang berat sekali, terdengar suara geraman yang terdengar halus namun suaranya sungguh menggetarkan hati dan menciutkan nyali siapapun yang mendengarnya.
“Pergilah sekarang. dan jaga, sampai aku datang,” kata Kang Sukir, tangannya di tangkupkan di dadanya seperti seseorang yang menjura hormat, kembali tanah bergetar, tak lama udara yang semula dingin itu pun kembali normal seperti biasa, begitupun lolongan anjing yang suaranya terdengar pilu itu pun tak terdengar lagi.
'Mari kita masuk," mereka bertiga kembali masuk, sesampainya di dalam Kang Sukir menatap Agung, "Kamu duduk saja dulu disini, dan kamu Hendarto, ikut aku."
Kang Sukir dan Pak Hendarto masuk ke dalam sebuah ruangan, Agung yang penasaran dengan apa yang di lakukan Bapaknya dan lelaki itu tak bisa berbuat apa-apa, ia tak berani beranjak dari duduknya. Ada perasaan tenang di ruangan itu, untuk sementara ia merasakan perasaan aman, di tatapnya pajangan Wayang yang ada di dinding ruangan, ia melihat sebuah Wayang Gunungan yang diapit Wayang Semar dan Wayang Arjuna, tampaknya itu dari kulit asli.
Setengah jam kemudian Bapaknya dan Kang Sukir keluar dari kamar.
"Jadi kira-kira apakah ada kemungkian di musnahkan, Kang," tanya Pak Hendarto.
"Sulit tampaknya, Hendar. Satu Kuntilanak saja sudah berbahaya, yang ini malah dua, dam mereka menjadi satu saling menguatkan, kalau bukan ulah Dukun dengan kemampuan yang sangat tinggi tentu mustahil bisa melakukannya. Tetapi besok sore aku pasti jadi kerumahmu, mungkin aku tidak sendiri, aku akan mengajak juga Yudistira, ia banyak berpengalaman dalam hal menghancurkan Makhluk halus yang membandel," kata Kang Sukir.
"Kalau begitu aku pamit dulu, Kang." Pak Hendarto mengeluarkan sebuah amplop tebal yang segera di berikannya pada Kang Sukir, Kang Sukir menolaknya, seberapa kukuh pun ia memaksa agar Kang Sukir mau menerima uang itu, Kang Sukir tetap kukuh juga menolak.
"Kalau memang mau memberi ya nanti sajalah, jika semuannya sudah selesai dan Makhluk itu sudah kumusnahkan."
Pak Hendarto dan Agung segera meninggalkan rumah Kang Sukir. Segudang pertanyaan bergelayut di dalam benak Agung.
Siapa sebenarnya Kang Sukir?
============================
Sepanjang perjalanan pulang Agung tampak lebih tenang, apalagi tadi Bapaknya memberikan sebuah kalung yang terbuat dari benang hitam yang di rajut, di kalung itu terdapat buntalan terbuat dari kain hitam, menurut Bapaknya itu tadi yang di buat oleh Kang Sukir di dalam kamarnya, di buat khusus untuk Agung agar ia tak lagi di ganggu oleh Makhluk makhluk halus.
'Kalau yang tadi itu, Pak. Yang di halaman rumahnya, aku sangat takut mendengar dentuman tanah yang membuat tanah bergetar seperti ada lindu yang cukup kuat. Apa yang di lakukan Kang Sukir?" tanya Agung meluapkan rasa penasaran yang sejak tadi dia tahankan.
Sambil tatapannya lurus menatap remangnya Jalan berbatu di area Kebun Sawit itu, Pak Hendarto menjawab. "Yang tadi itu Kang Sukir memanggi Jinnya yang bentuknya tinggi besar, sekitar empat sampai lima Meter. Bisa di bilang Jin itu adalah Raja Jin, karena ia membawahi lagi ratusan, mungkin ribuan Jin lain. Kang Sukir meminta Jin itu untuk membawa pasukannya menjaga rumah kita sementara waktu sampai besok Kang Sukir sendiri yang katanya akan membawa juga teman, Untuk membunuh 2 Kuntilanak yang menjadi satu itu."
"Hebat ya, Pak. Kang Sukir itu, selain Sakti ia juga penolong yang ikhlash, ia menolak waktu Bapak memberinya uang tadi.
Kali ini Bapaknya tertawa lebar. "Siapa bilang, Le, justru Kang Sukir itu mata duitan, sama Bapak saja ia segan, karena Bapaklah yang sudah membuatnya jadi sesakti itu."
Agung terpana tidak percaya, "Maksud Bapak? Bapak gurunya Kang sukir?"
Pak Hendarto tertawa lagi, "Bukan Le, Bapak bukan Gurunya, panjang ceritanya kalau Bapak harus ceritakan utuh semua, tapi intinya saja ya, dulu sebelum kamu lahir, Nella masih bayi saat itu. Istri Kang Sukir meninggal karena di Santet, ia begitu dendam pada orang yang menyantetnya, Kang Sukir adalah salah seorang pekerja teladan Bapak, orangnya rajin dan loyal sama Bapak, ia sudah seperti tangan kanan bagi Bapak, dengan kejadian itu ia meminta berhenti bekerja dan ingin berguru katanya.
Sebagai balas jasa Bapak atas sikap loyalnya itulah, Bapak yang membiayai perjalanannya mencari Guru, Bapak juga yang menanggung semua kebutuhannya waktu Kang Sukir melakukan Tirakat Topo, Puasa Patigeni selama 2 kali 40 malam.
Setelah ia lulus ia benar-benar menjadi orang yang sangat Sakti, ia bisa menyantet, ia kebal , dan juga bisa mengobati penyakit, tapi yang Bapak heran ia tidak mau menikah lagi, mungkin karena ia begitu sangat mencintai mendiang istrinya, sama seperti Bapak, Le.
Sejak Ibumu meninggal sewaktu melahirkan Yanti. Nah kembali ke cerita Kang Sukir.
Setelah Sakti ia memilih pindah, ya kerumah yang kita datangi tadi, banyak orang yang datang meminta bantuannya, mulai dari orang biasa sampai Pejabat Pemerintah."
Tak terasa mereka sudah sampai di rumah kembali.
Kali ini mereka merasakan hawa yang berbeda saat memasuki gerbang rumah.
Kalau saja mereka bisa melihat, saat itu rumah Pak Hendarto sudah di penuhi Jin-Jin bertubuh besar yang jumlahnya banyak.
=========================
Suasana pagi yang cerah, usai Sholat Shubuh berjamaah di Musholla Nurul Falah, Pras mengajak dua sahabatnya Bagus dan Rusdi untuk lari pagi mengitari Desa Medasari yang indah dan masih asri itu.
Bagi Bagus dan Rusdi yang biasa hidup di kerasnya kota besar, tentulah hal ini menjadi sesuatu yang baru, dan mereka langsung mengiyakan ajakan Pras itu.
Namun saat mereka akan melintasi Jalan yang mana di Jalan itu terlihat rumah besar milik Pak Hendarto, Bagus menghentikan larinya, di pandangnya Prasetyo kemudian bertanya.
"Kuwi omah gede ning ngarep iku duwek'e sopo Pras? (Itu rumah besar di depan sana milik siapa, Pras?" tanya Bagus. Pandangannya tajam menatap rumah itu.
"Oo kuwi omahe Pak Hendarto, wong paling sugih dek Deso Medasari iki, Koen takon ngono Gus, emange onok sing aneh ta? (Ooh itu rumahnya Pak Hendarto, Beliau memang orang terkaya di Desa Medasari ini. Kok kamu tanya begitu, Gus, emang ada yang aneh)?" jawab Prasetyo.
"Iya aneh. Itu rumah, tapi seperti Kerajaan Jin, banyak sekali Jin bertubuh besar yang berdiri dengan membawa tongkat di tangan kanan mereka, mereka tampaknya kurang senang melihat keberadaan kita disini."
"Huss.. Jangan ngomong aneh-aneh kamu, Gus, ini kita sedang di tanah orang, bukan di kampung kita sendiri," Rusdi mengingatkan sahabatnya yang memang terlalu terbuka itu.
"Lha justru itu masalahnya, Rus, karena di tanah orang maka banyak hal aneh yang kusaksikan di sini. Kamu inget kan waktu aku diminta paksa untuk menyembuhkan seorang anak yang sakit tapi Tidak Sakit itu?" kata Bagus pada Rusdi.
Rusdi Ingat Betul, Kejadiannya di Desa Jatisari, sekitar setengah tahun yang lalu. Kejadian yang ingin dilupakannya.
Prasetyo yang faham maksud Bagus langsung bertanya untuk memastikan. "Anak itu di Santet ya Gus?"
Bagus menatap wajah sahabatnya dengan serius, seakan tak yakin Prasetyo akan percaya pada ceritanya yang dianggap mustahil, "Yang ini lebih mengerikan dari santet, Pras... ."
“ASU!! Mlayu, Rus, Pras! (Anj*ng!! lari Rus, Pras!)” belum Bagus sempat menerangkan maksud perkataannya ia langsung berlari berbalik arah sambil memperingatkan dua temannya.
Prasetyo yang sejak awal mereka berhenti tadi sudah merasa ada yg gak beres secara reflek sudah memagari dirinya dengan pagar Ghaib, Pagar Ghaib adalah bagian dari Ilmu yang di pelajarinya di Al Hikmah.
Prasetyo dan Rusdi ikutan berlari mengejar Bagus yang sudah jauh di depan mereka, mereka tidak tahu apa yang di lihat Bagus sehingga ia berlari.
Namun Pras Sempat mengirimkan Pagar Ghaib sementara yang langsung membungkus kedua temannya itu, Bagus dan Rusdi.
Terdengar seperti suara bertubrukan yang cukup keras antara Bagus dengan sesuatu yang tak terlihat mata biasa. Bagus terhuyung namun tidak sampai jatuh.
“Panganen, Jancuk! (makan nih, Sialan)”, Bagus berbalik, jari telunjuk dan jari tengah lurus kedepan, dengan sikap seakan menusuk sesuatu. Cukup lama.
Prasetyo dan Rusdi berhasil menyusul Bagus.
“Jane ono opo to iki!”, tanya Rusdi yang penasaran.
Bagus hanya nyengir, “Wis yuk balik ning omahmu Pras, wetengku luwe iki, wis ono sarapan kan? (sudah yuk, kembali ke rumah kamu, Pras. perutku lapar nih, dah ada sarapan kan)”, Bagus tak menghiraukan pertanyaan sahabatnya.
Mereka bertiga lantas berjalan pulang, nafas mereka masih tersengal akibat lari mendadak tadi.
“Matur suwun Pagar Ghaib'e (terima kasih pagar ghaibnya), kalau tidak sudah muntah darah aku tadi,” kata Bagus kepada Prasetyo.
"Sama-sama, Gus. Terima kasih sudah mengingatkan juga untuk lari." jawab Prasetyo.
"Koen perkuat meneh amalan dzikir'e yo, pagar Ghaibmu rodo lemah (kamu perkuat lagi mendzikirkan Amalannya ya. Pagar Ghaibmu sedikit lemah)," Nasehat Bagus pada Prasetyo.
“Baik, Gus.”
"Bersiap juga untuk nanti malam, rasanya akan ada kejadian besar malam ini," Bagus mengingatkan.
"Asu lah!" sungut Rusdi yang sejak tadi tak mengerti arah pembicaraan Bagus dan Prasetyo.
===============
Langit di Desa Medasari mulai gelap, mega mendung menyelimuti lagi suasana senja itu, Johan sedang menikmati kopi panasnya di warung Pak Harjo, disitu ia duduk sendirian.
Pak Harjo menghampiri, “Nak Johan, 2 orang teman sampeyan mati dalam keadaan mengenaskan dalam dua hari ini, kematiannya sangat tidak wajar, dan harinya tidak berselang lama lagi, kira-kira siapa ya pelaku pembunuhnya?”
"Mana saya tahu, Pak. Mungkin saja orang yang dendam pada mereka."
"Iya ya. Bisa jadi ada yang dendam pada mereka. Oh ya sudah beberapa hari ini juga kalau Bapak perhatikan Nak Agung juga tak kelihatan bareng-bareng lagi. Kemana ya anak itu?"
Johan tidak menjawab, karena ia sendiri memang tidak tahu keberadaan Agung, terakhir tadi pun saat ia menelponnya tak di angkat juga.
“Sialan bener si Agung, Yondi dan Ilung udah mati sama Hantunya Dewi, dia malah ngilang gak jelas, gak mungkin juga gw tanyain langsung ke rumahnya,” Batin Johan.
Pandangannya kosong menatap langit yang birunya telah pudar, berganti cahaya merah gelap yang sebentar lagi akan berubah gelap seluruhnya.
=====
Bagus duduk di teras rumah Prasetyo, duduk di sebelahnya adalah Prasetyo, sementara Rusdi masih mandi di belakang rumah.
Seorang gadis cantik berkaca mata lewat di depan rumah prasetyo dengan mengendarai sepeda motor.
“Nella! mau kemana sore-sore begini?!" Teriak Pras.
Gadis berkaca mata yang ternyata adalah Nella itu berhenti tanpa mematikan motornya, di bukanya helm lalu berpaling ke arah Prasetyo, "Eh Mas Pras, aku mau ke Kota, Mas, ada tugas Kampus yang mau di kerjakan bareng teman, kayaknya sih malam ini aku nginep, besok pulangnya."
Pras tersenyum,” Ya udah hati-hati saja di jalan. Soalnya sebentar lagi malam."
"Makasih, Mas, Nella berangkat dulu," Nella kembali mengenakan helm dan motor Nella segera berlalu menuju Kota.
Sudah berapa lama kamu ikut Al Hikmah, Pras?" tanya Bagus.
"Sekitar setengah tahun ini sih, itu juga saat ikut teman main ke Bandar Lampung, aku dikenalkan sama Abah. Dan Abahlah yang membuka segel di tubuhku. Hingga sekarang ini aku belum sempat kesana lagi, Gus."
"Kok kamu tertarik belajar Al Hikmah?" kembali Bagus bertanya.
"Menurutku sih, Gus, Ikhwan Al Hikmah itu rata-rata tawadhu', karena ilmu yang di pelajarinya gak bisa buat sombong, sebab ilmunya bisa di gunakan hanya ketika dalam keadaan terdesak, Gus. Kalau pun mereka latihan saling serang, itu biasanya yang menyerang menggunakan "Amarah Suci" agar kekuatan Hikmah yang diserang menjadi aktif," Terang Prasetyo.
"Hah... Amarah Suci?, baru dengar nih... ."
"Iya.. Amarah Suci, yaitu marah buatan, ada amalannya juga untuk mendatangkan Amarah suci, biasanya kalau seseorang yang sudah dimasuki Amarah Suci, saat menyerang seorang Ikhwan Al Hikmah yang tubuhnya di pagari dengan Pagar Ghaib maka si penyerang akan terpental, semakin hebat ia memaksa maju semakin kuat juga Pagar Ghaib itu mendorongnya, biasanya yang diserang akan membuat posisi tangannya seperti orang yang mendorong juga, ia tidak di perkenankan selama latihan itu untuk melakukan gerakan begini, dan begini," Lantas Prasetyo memberikan praktek bentuk tangan yang di maksud.
"Kok gak boleh, Pras?" tahu-tahu Rusdi sudah berdiri nongol di pintu depan, sudah selesai mandi rupanya.
"Karena kalau ia menggerakkan tangannya begini, maka penyerangnya, akan muntah darah, bahkan seisi perutnya bisa saja keluar semua, bisa mati, Rus."
"Serem sekali. Kalau begini juga gak boleh kenapa, Pras?" Rusdi menunjukkan gerakan yang tadi di peragakan Prasetyo.
"Yang itu lebih seram lagi malah. Jantung lawan bisa pecah dan meninggal dunia seketika."
Rusdi merinding mendengarnya, sementara Bagus tampak senyum-seyum sendiri.
"Lapo koen ngguyu-ngguyu?, edan! (ngapain kamu ketawa begitu? gila!)" tanya Rusdi pada Bagus.
Pras yang matanya melihat gerakan tangan Bagus langsung menangkap maksud Bagus senyum-senyum sendiri itu.
"Nah mirip seperti itulah, Gus."
"Apaan sih?" tanya Rusdi gak nyambung.
"Tapi Gus, kamu tadi terhuyung waktu lari? Jangan-jangan… ."
Wajah Bagus jadi pucat, Bagus hanya mengangguk.
"Tampaknya tebakanmu gak salah, Pras, tapi seranganku tadi sudah cukup melumpuhkan Makhluk besar itu, tidak sampai membunuhnya."
"Halaah... terserah lah kalian mau ngomongin apa, minta rokoknya, Pras."
Baru saja Rusdi menyalakan rokoknya, Bagus merampas dan mematikannya di asbak, "Wis Adzan, Su, ngrokok'e mengko maneh, Sholat sek. (sudah Adzan, nj*ng, merokoknya nanti saja, Sholat dulu)"
Ya. Saat itu sudah terdengar lantunan suara Adzan dari Musholla Nurul Falah.
Ketiga pemuda itu lantas berangkat untuk Sholat Maghrib berjama'ah.
========
akan lanjut di update kisahnya di Part 9 B
NB: Foto adalah suasana saat pemakaman jenazah Alm KH Masuddin Burhan, Pembina dan Perawat Perguruan Al Hikmah Lampung.

Sebuah mobil keluar meninggalkan Desa Medasari, di dalamnya adalah Pak Hendarto, bersama anak lelakinya Agung, Agung duduk dengan meringkuk di kursi belakang, tangannya mendekap ke kaki, matanya nanar memandang kesekelingnya, seakan-akan ia takut sesuatu yang mengancam jiwanya datang dan menghabisinya dengan sekejapan mata, wajah Agung tampak pucat karena ketakutan yang sejak kemarin ia tahankan, ia yakin bahwa kematian Ilung bukanlah kematian karena perbuatan manusia biasa, ia sudah melihat sendiri bagaimana Ilung pernah berkelahi yang mana lawannya membawa senjata tajam berupa golok sedangkan Ilung hanya bermodalkan tangan kosong saja, beberapa kali golok ditangan musuhnya bersarang di tubuhnya, namun hanya bajunya saja yang menjadi koyak, tubuhnya yang terkena sabetan golok hanya memerah namun tak setetes pun darah keluar dari tubuhnya, tentu saja hal itu membuat nyali lawannya ciut yang akhirnya di buat jadi bulan-bulanan Ilung. Tak mungkin manusia biasa yang membunuh ilung, dan kejadian yang tadi dialaminya, yaitu kopinya yang berubah jadi darah itu sudah cukup menyadarkan Agung kalau kini nyawanya dalam ancaman, pelakunya jelas adalah Hantu Dewi yang menuntut balas, Ruh nya tentulah tidak tenang sebelum dendamnya terbalaskan.
Mobil yang membawa Pak Hendarto dan Agung berjalan melewati Perkebunan Kelapa Sawit, sekitar satu jam perjalanan mereka berhenti di sebuah Desa yang asing bagi Agung.
'Ayo Gung, turun" kata Pak Hendarto.
Agung tampak ragu, namun tatapan tajam Bapaknya itu membuatnya begitu segan, ia pun turun, mereka menuju sebuah rumah papan yang pagarnya terbuat dari bambu-bambu yang di cat warna putih.
Belum lagi Pak Hendarto mengetuk pintu, dari dalam terdengar suara berat seorang lelaki, "Masuklah, Hendar, sejak tadi aku sudah menunggumu."
Pak Hendarto membuka pintu yang saat itu tidak tertutup rapat, waktu menunjukkan pukul satu dini hari.
Agung melirik jam dinding tua yang tergantung di dinding yang hanya terbuat dari papan.
Sementara di kursi ruang depan itu duduk seorang lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam, memakai blangkon.
"Sejak tadi aku merasakan bahwa kamu akan datang makanya sengaja aku menunggumu disini. Langsung saja katakan ada apa?"
"Begini, Kang, sore tadi anakku ini mengalami kejadian aneh, yang mana kopi yang akan diminumnya terlihat berubah menjadi darah, dan memang anakku sejak kemarin sikapnya berubah, ia hanya mengurung diri dikamarnya seharian. Apa yang sebenarnya terjadi, Kang? apakah ada Makhluk halus yang mengganggunya? atau apa?"
"Sebentar, Hendar. Siapa nama anakmu ini?, aku lupa."
Agung, Kang. Lengkapnya Agung Bagaskara."
"Kemarikan tanganmu, Gung."
Agung mengulurkan tangannya, lelaki berpakaian hitam itu menyalami Agung, kedua matanya terpejam, sesekali ia mengerutkan wajahnya, kadang ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu berlangsung sekitar lima menitan, kemudian ia melepaskan tangan Agung.
Lelaki itu bangkit dan beranjak keluar rumah.
"Kang Sukir, sampeyan mau kemana?"
"Kalau mau ikut lihat saja dan jangan bersuara."
Pak Hendarto dan Agung mengikuti Kang Sukir keluar rumah.
Lelaki yang di panggil Sukir itu beranjak ke halaman rumahnya yang luas, tepat di tengah-tengah ia berhenti, mulutnya berkomat-kamit, tak jelas apakah ia sedang membaca mantra ataukah sedang berbicara dengan sosok yang tak kasat mata.
Udara di halaman rumah Kang Sukir tiba tiba berubah menjadi sangat dingin, dari jauh tiba-tiba suara lolongan anjing terdengar panjang melengking, lolongannya membahasakan rasa ketakutan yang mendalam.
Pak Hendarto menggigil, bukan karena dinginnya suasana, namun karena ia tahu bahwa sebentar lagi akan ada Makhluk Ghaib yang hadir di situ.
Agung hanya menatap semuanya dengan tatapan bingung, semuanya berlangsung cepat, ia sendiri tak tahu bahwa Bapaknya punya kenalan seorang lelaki yang di panggil Sukir itu.
Ia tak pernah melihat Bapaknya bertemu langsung dengan lelaki itu seumur hidupnya kecuali disini, lelaki itu pun tak pernah berkunjung kerumahnya, tetapi entah kalau Bapaknya sendiri yang justru sering datang kesini.
Seketika tanah di sekitar halaman depan itu seperti bergetar, bagaikan di hantam sesuatu yang berat sekali, terdengar suara geraman yang terdengar halus namun suaranya sungguh menggetarkan hati dan menciutkan nyali siapapun yang mendengarnya.
“Pergilah sekarang. dan jaga, sampai aku datang,” kata Kang Sukir, tangannya di tangkupkan di dadanya seperti seseorang yang menjura hormat, kembali tanah bergetar, tak lama udara yang semula dingin itu pun kembali normal seperti biasa, begitupun lolongan anjing yang suaranya terdengar pilu itu pun tak terdengar lagi.
'Mari kita masuk," mereka bertiga kembali masuk, sesampainya di dalam Kang Sukir menatap Agung, "Kamu duduk saja dulu disini, dan kamu Hendarto, ikut aku."
Kang Sukir dan Pak Hendarto masuk ke dalam sebuah ruangan, Agung yang penasaran dengan apa yang di lakukan Bapaknya dan lelaki itu tak bisa berbuat apa-apa, ia tak berani beranjak dari duduknya. Ada perasaan tenang di ruangan itu, untuk sementara ia merasakan perasaan aman, di tatapnya pajangan Wayang yang ada di dinding ruangan, ia melihat sebuah Wayang Gunungan yang diapit Wayang Semar dan Wayang Arjuna, tampaknya itu dari kulit asli.
Setengah jam kemudian Bapaknya dan Kang Sukir keluar dari kamar.
"Jadi kira-kira apakah ada kemungkian di musnahkan, Kang," tanya Pak Hendarto.
"Sulit tampaknya, Hendar. Satu Kuntilanak saja sudah berbahaya, yang ini malah dua, dam mereka menjadi satu saling menguatkan, kalau bukan ulah Dukun dengan kemampuan yang sangat tinggi tentu mustahil bisa melakukannya. Tetapi besok sore aku pasti jadi kerumahmu, mungkin aku tidak sendiri, aku akan mengajak juga Yudistira, ia banyak berpengalaman dalam hal menghancurkan Makhluk halus yang membandel," kata Kang Sukir.
"Kalau begitu aku pamit dulu, Kang." Pak Hendarto mengeluarkan sebuah amplop tebal yang segera di berikannya pada Kang Sukir, Kang Sukir menolaknya, seberapa kukuh pun ia memaksa agar Kang Sukir mau menerima uang itu, Kang Sukir tetap kukuh juga menolak.
"Kalau memang mau memberi ya nanti sajalah, jika semuannya sudah selesai dan Makhluk itu sudah kumusnahkan."
Pak Hendarto dan Agung segera meninggalkan rumah Kang Sukir. Segudang pertanyaan bergelayut di dalam benak Agung.
Siapa sebenarnya Kang Sukir?
============================
Sepanjang perjalanan pulang Agung tampak lebih tenang, apalagi tadi Bapaknya memberikan sebuah kalung yang terbuat dari benang hitam yang di rajut, di kalung itu terdapat buntalan terbuat dari kain hitam, menurut Bapaknya itu tadi yang di buat oleh Kang Sukir di dalam kamarnya, di buat khusus untuk Agung agar ia tak lagi di ganggu oleh Makhluk makhluk halus.
'Kalau yang tadi itu, Pak. Yang di halaman rumahnya, aku sangat takut mendengar dentuman tanah yang membuat tanah bergetar seperti ada lindu yang cukup kuat. Apa yang di lakukan Kang Sukir?" tanya Agung meluapkan rasa penasaran yang sejak tadi dia tahankan.
Sambil tatapannya lurus menatap remangnya Jalan berbatu di area Kebun Sawit itu, Pak Hendarto menjawab. "Yang tadi itu Kang Sukir memanggi Jinnya yang bentuknya tinggi besar, sekitar empat sampai lima Meter. Bisa di bilang Jin itu adalah Raja Jin, karena ia membawahi lagi ratusan, mungkin ribuan Jin lain. Kang Sukir meminta Jin itu untuk membawa pasukannya menjaga rumah kita sementara waktu sampai besok Kang Sukir sendiri yang katanya akan membawa juga teman, Untuk membunuh 2 Kuntilanak yang menjadi satu itu."
"Hebat ya, Pak. Kang Sukir itu, selain Sakti ia juga penolong yang ikhlash, ia menolak waktu Bapak memberinya uang tadi.
Kali ini Bapaknya tertawa lebar. "Siapa bilang, Le, justru Kang Sukir itu mata duitan, sama Bapak saja ia segan, karena Bapaklah yang sudah membuatnya jadi sesakti itu."
Agung terpana tidak percaya, "Maksud Bapak? Bapak gurunya Kang sukir?"
Pak Hendarto tertawa lagi, "Bukan Le, Bapak bukan Gurunya, panjang ceritanya kalau Bapak harus ceritakan utuh semua, tapi intinya saja ya, dulu sebelum kamu lahir, Nella masih bayi saat itu. Istri Kang Sukir meninggal karena di Santet, ia begitu dendam pada orang yang menyantetnya, Kang Sukir adalah salah seorang pekerja teladan Bapak, orangnya rajin dan loyal sama Bapak, ia sudah seperti tangan kanan bagi Bapak, dengan kejadian itu ia meminta berhenti bekerja dan ingin berguru katanya.
Sebagai balas jasa Bapak atas sikap loyalnya itulah, Bapak yang membiayai perjalanannya mencari Guru, Bapak juga yang menanggung semua kebutuhannya waktu Kang Sukir melakukan Tirakat Topo, Puasa Patigeni selama 2 kali 40 malam.
Setelah ia lulus ia benar-benar menjadi orang yang sangat Sakti, ia bisa menyantet, ia kebal , dan juga bisa mengobati penyakit, tapi yang Bapak heran ia tidak mau menikah lagi, mungkin karena ia begitu sangat mencintai mendiang istrinya, sama seperti Bapak, Le.
Sejak Ibumu meninggal sewaktu melahirkan Yanti. Nah kembali ke cerita Kang Sukir.
Setelah Sakti ia memilih pindah, ya kerumah yang kita datangi tadi, banyak orang yang datang meminta bantuannya, mulai dari orang biasa sampai Pejabat Pemerintah."
Tak terasa mereka sudah sampai di rumah kembali.
Kali ini mereka merasakan hawa yang berbeda saat memasuki gerbang rumah.
Kalau saja mereka bisa melihat, saat itu rumah Pak Hendarto sudah di penuhi Jin-Jin bertubuh besar yang jumlahnya banyak.
=========================
Suasana pagi yang cerah, usai Sholat Shubuh berjamaah di Musholla Nurul Falah, Pras mengajak dua sahabatnya Bagus dan Rusdi untuk lari pagi mengitari Desa Medasari yang indah dan masih asri itu.
Bagi Bagus dan Rusdi yang biasa hidup di kerasnya kota besar, tentulah hal ini menjadi sesuatu yang baru, dan mereka langsung mengiyakan ajakan Pras itu.
Namun saat mereka akan melintasi Jalan yang mana di Jalan itu terlihat rumah besar milik Pak Hendarto, Bagus menghentikan larinya, di pandangnya Prasetyo kemudian bertanya.
"Kuwi omah gede ning ngarep iku duwek'e sopo Pras? (Itu rumah besar di depan sana milik siapa, Pras?" tanya Bagus. Pandangannya tajam menatap rumah itu.
"Oo kuwi omahe Pak Hendarto, wong paling sugih dek Deso Medasari iki, Koen takon ngono Gus, emange onok sing aneh ta? (Ooh itu rumahnya Pak Hendarto, Beliau memang orang terkaya di Desa Medasari ini. Kok kamu tanya begitu, Gus, emang ada yang aneh)?" jawab Prasetyo.
"Iya aneh. Itu rumah, tapi seperti Kerajaan Jin, banyak sekali Jin bertubuh besar yang berdiri dengan membawa tongkat di tangan kanan mereka, mereka tampaknya kurang senang melihat keberadaan kita disini."
"Huss.. Jangan ngomong aneh-aneh kamu, Gus, ini kita sedang di tanah orang, bukan di kampung kita sendiri," Rusdi mengingatkan sahabatnya yang memang terlalu terbuka itu.
"Lha justru itu masalahnya, Rus, karena di tanah orang maka banyak hal aneh yang kusaksikan di sini. Kamu inget kan waktu aku diminta paksa untuk menyembuhkan seorang anak yang sakit tapi Tidak Sakit itu?" kata Bagus pada Rusdi.
Rusdi Ingat Betul, Kejadiannya di Desa Jatisari, sekitar setengah tahun yang lalu. Kejadian yang ingin dilupakannya.
Prasetyo yang faham maksud Bagus langsung bertanya untuk memastikan. "Anak itu di Santet ya Gus?"
Bagus menatap wajah sahabatnya dengan serius, seakan tak yakin Prasetyo akan percaya pada ceritanya yang dianggap mustahil, "Yang ini lebih mengerikan dari santet, Pras... ."
“ASU!! Mlayu, Rus, Pras! (Anj*ng!! lari Rus, Pras!)” belum Bagus sempat menerangkan maksud perkataannya ia langsung berlari berbalik arah sambil memperingatkan dua temannya.
Prasetyo yang sejak awal mereka berhenti tadi sudah merasa ada yg gak beres secara reflek sudah memagari dirinya dengan pagar Ghaib, Pagar Ghaib adalah bagian dari Ilmu yang di pelajarinya di Al Hikmah.
Prasetyo dan Rusdi ikutan berlari mengejar Bagus yang sudah jauh di depan mereka, mereka tidak tahu apa yang di lihat Bagus sehingga ia berlari.
Namun Pras Sempat mengirimkan Pagar Ghaib sementara yang langsung membungkus kedua temannya itu, Bagus dan Rusdi.
Terdengar seperti suara bertubrukan yang cukup keras antara Bagus dengan sesuatu yang tak terlihat mata biasa. Bagus terhuyung namun tidak sampai jatuh.
“Panganen, Jancuk! (makan nih, Sialan)”, Bagus berbalik, jari telunjuk dan jari tengah lurus kedepan, dengan sikap seakan menusuk sesuatu. Cukup lama.
Prasetyo dan Rusdi berhasil menyusul Bagus.
“Jane ono opo to iki!”, tanya Rusdi yang penasaran.
Bagus hanya nyengir, “Wis yuk balik ning omahmu Pras, wetengku luwe iki, wis ono sarapan kan? (sudah yuk, kembali ke rumah kamu, Pras. perutku lapar nih, dah ada sarapan kan)”, Bagus tak menghiraukan pertanyaan sahabatnya.
Mereka bertiga lantas berjalan pulang, nafas mereka masih tersengal akibat lari mendadak tadi.
“Matur suwun Pagar Ghaib'e (terima kasih pagar ghaibnya), kalau tidak sudah muntah darah aku tadi,” kata Bagus kepada Prasetyo.
"Sama-sama, Gus. Terima kasih sudah mengingatkan juga untuk lari." jawab Prasetyo.
"Koen perkuat meneh amalan dzikir'e yo, pagar Ghaibmu rodo lemah (kamu perkuat lagi mendzikirkan Amalannya ya. Pagar Ghaibmu sedikit lemah)," Nasehat Bagus pada Prasetyo.
“Baik, Gus.”
"Bersiap juga untuk nanti malam, rasanya akan ada kejadian besar malam ini," Bagus mengingatkan.
"Asu lah!" sungut Rusdi yang sejak tadi tak mengerti arah pembicaraan Bagus dan Prasetyo.
===============
Langit di Desa Medasari mulai gelap, mega mendung menyelimuti lagi suasana senja itu, Johan sedang menikmati kopi panasnya di warung Pak Harjo, disitu ia duduk sendirian.
Pak Harjo menghampiri, “Nak Johan, 2 orang teman sampeyan mati dalam keadaan mengenaskan dalam dua hari ini, kematiannya sangat tidak wajar, dan harinya tidak berselang lama lagi, kira-kira siapa ya pelaku pembunuhnya?”
"Mana saya tahu, Pak. Mungkin saja orang yang dendam pada mereka."
"Iya ya. Bisa jadi ada yang dendam pada mereka. Oh ya sudah beberapa hari ini juga kalau Bapak perhatikan Nak Agung juga tak kelihatan bareng-bareng lagi. Kemana ya anak itu?"
Johan tidak menjawab, karena ia sendiri memang tidak tahu keberadaan Agung, terakhir tadi pun saat ia menelponnya tak di angkat juga.
“Sialan bener si Agung, Yondi dan Ilung udah mati sama Hantunya Dewi, dia malah ngilang gak jelas, gak mungkin juga gw tanyain langsung ke rumahnya,” Batin Johan.
Pandangannya kosong menatap langit yang birunya telah pudar, berganti cahaya merah gelap yang sebentar lagi akan berubah gelap seluruhnya.
=====
Bagus duduk di teras rumah Prasetyo, duduk di sebelahnya adalah Prasetyo, sementara Rusdi masih mandi di belakang rumah.
Seorang gadis cantik berkaca mata lewat di depan rumah prasetyo dengan mengendarai sepeda motor.
“Nella! mau kemana sore-sore begini?!" Teriak Pras.
Gadis berkaca mata yang ternyata adalah Nella itu berhenti tanpa mematikan motornya, di bukanya helm lalu berpaling ke arah Prasetyo, "Eh Mas Pras, aku mau ke Kota, Mas, ada tugas Kampus yang mau di kerjakan bareng teman, kayaknya sih malam ini aku nginep, besok pulangnya."
Pras tersenyum,” Ya udah hati-hati saja di jalan. Soalnya sebentar lagi malam."
"Makasih, Mas, Nella berangkat dulu," Nella kembali mengenakan helm dan motor Nella segera berlalu menuju Kota.
Sudah berapa lama kamu ikut Al Hikmah, Pras?" tanya Bagus.
"Sekitar setengah tahun ini sih, itu juga saat ikut teman main ke Bandar Lampung, aku dikenalkan sama Abah. Dan Abahlah yang membuka segel di tubuhku. Hingga sekarang ini aku belum sempat kesana lagi, Gus."
"Kok kamu tertarik belajar Al Hikmah?" kembali Bagus bertanya.
"Menurutku sih, Gus, Ikhwan Al Hikmah itu rata-rata tawadhu', karena ilmu yang di pelajarinya gak bisa buat sombong, sebab ilmunya bisa di gunakan hanya ketika dalam keadaan terdesak, Gus. Kalau pun mereka latihan saling serang, itu biasanya yang menyerang menggunakan "Amarah Suci" agar kekuatan Hikmah yang diserang menjadi aktif," Terang Prasetyo.
"Hah... Amarah Suci?, baru dengar nih... ."
"Iya.. Amarah Suci, yaitu marah buatan, ada amalannya juga untuk mendatangkan Amarah suci, biasanya kalau seseorang yang sudah dimasuki Amarah Suci, saat menyerang seorang Ikhwan Al Hikmah yang tubuhnya di pagari dengan Pagar Ghaib maka si penyerang akan terpental, semakin hebat ia memaksa maju semakin kuat juga Pagar Ghaib itu mendorongnya, biasanya yang diserang akan membuat posisi tangannya seperti orang yang mendorong juga, ia tidak di perkenankan selama latihan itu untuk melakukan gerakan begini, dan begini," Lantas Prasetyo memberikan praktek bentuk tangan yang di maksud.
"Kok gak boleh, Pras?" tahu-tahu Rusdi sudah berdiri nongol di pintu depan, sudah selesai mandi rupanya.
"Karena kalau ia menggerakkan tangannya begini, maka penyerangnya, akan muntah darah, bahkan seisi perutnya bisa saja keluar semua, bisa mati, Rus."
"Serem sekali. Kalau begini juga gak boleh kenapa, Pras?" Rusdi menunjukkan gerakan yang tadi di peragakan Prasetyo.
"Yang itu lebih seram lagi malah. Jantung lawan bisa pecah dan meninggal dunia seketika."
Rusdi merinding mendengarnya, sementara Bagus tampak senyum-seyum sendiri.
"Lapo koen ngguyu-ngguyu?, edan! (ngapain kamu ketawa begitu? gila!)" tanya Rusdi pada Bagus.
Pras yang matanya melihat gerakan tangan Bagus langsung menangkap maksud Bagus senyum-senyum sendiri itu.
"Nah mirip seperti itulah, Gus."
"Apaan sih?" tanya Rusdi gak nyambung.
"Tapi Gus, kamu tadi terhuyung waktu lari? Jangan-jangan… ."
Wajah Bagus jadi pucat, Bagus hanya mengangguk.
"Tampaknya tebakanmu gak salah, Pras, tapi seranganku tadi sudah cukup melumpuhkan Makhluk besar itu, tidak sampai membunuhnya."
"Halaah... terserah lah kalian mau ngomongin apa, minta rokoknya, Pras."
Baru saja Rusdi menyalakan rokoknya, Bagus merampas dan mematikannya di asbak, "Wis Adzan, Su, ngrokok'e mengko maneh, Sholat sek. (sudah Adzan, nj*ng, merokoknya nanti saja, Sholat dulu)"
Ya. Saat itu sudah terdengar lantunan suara Adzan dari Musholla Nurul Falah.
Ketiga pemuda itu lantas berangkat untuk Sholat Maghrib berjama'ah.
========
akan lanjut di update kisahnya di Part 9 B
NB: Foto adalah suasana saat pemakaman jenazah Alm KH Masuddin Burhan, Pembina dan Perawat Perguruan Al Hikmah Lampung.

Diubah oleh mahadev4 21-12-2019 12:06
sampeuk dan 16 lainnya memberi reputasi
17