- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] Always Be My Baby
...
TS
saleskambing
[TAMAT] Always Be My Baby
![[TAMAT] Always Be My Baby](https://s.kaskus.id/images/2019/03/21/8577467_201903211113170946.png)
Mulustrasi, sumber
Tokoh dan karakter di cerita ini diambil dari cerita ini, boleh dibaca dulu biar tau, tapi lebih baik nggak usah.
Spoiler for Part 1:
Aku menurunkan bocah kecil ini dari gendongan, sedikit berjongkok agar bisa merapikan setelan seragamnya yang agak sedikit berantakan, lalu mulai memandangnya, persis seperti apa yang sedang dilakukan oleh orang tua lain yang juga ada di sini.
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
***
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
***
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
Quote:
You'll always be apart of me
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
🎶 Always Be My Baby - David Cook
Diubah oleh saleskambing 19-11-2025 13:09
jenggalasunyi dan 58 lainnya memberi reputasi
55
57.9K
Kutip
335
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saleskambing
#232
Part 11
I'm holding on your rope
Got me ten feet off the ground
And I'm hearing what you say, but I just can't make a sound
You tell me that you need me
Then you go and cut me down, but wait
You tell me that you're sorry
Didn't think I'd turn around, and say
That it's too late to apologize, it's too late
I said it's too late to apologize, it's too late
Apologize (feat. OneRepublic) - Timbaland
Spoiler for :
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk Tuhan yang nggak pernah ada puasnya. Ada yang udah punya pekerjaan bagus, tapi masih pengen punya jabatan tinggi. Ada yang udah punya jabatan tinggi, tapi masih ngincer posisi paling tinggi. Ada yang rela operasi hidung biar jadi mancung dan keliatan ganteng, ada juga yang rela suntik silikon biar keliatan makin gede, sampe yang udah ganteng pun kadang masih aja nggak puas dan rela ngelakuin apa aja, termasuk operasi kelamin biar keliatan cantik. Sifat seperti ini sebenarnya bisa berarti bagus di beberapa situasi. Tetapi disisi lain, hal ini juga bisa membuat manusia kurang bersyukur atas apa yang sudah ia miliki. Dan sebagai manusia biasa (yang tampan sekaligus rupawan), aku kadang juga merasakan hal yang sama.
Memiliki istri yang gemesin plus cantiknya kurangajar seperti Dhara, nyatanya tetap nggak membuatku merasa puas. Ya emang sih, aku selalu dibuat 'puas' olehnya setiap kali kita bertarung diatas ranjang. Tetapi diluar itu, sebagai manusia yang nggak pernah merasa puas, aku yang sebenarnya nggak tau diri ini masih saja mencari hal hal yang tidak kudapatkan darinya pada diri wanita idaman lain. Aku masih saja tergoda setiap kali Marcella datang dengan sikap manis, serta sifat lembutnya yang sama sekali tak kutemui pada diri Dhara yang liar dan banyak 'jutek' nya.
Sama seperti yang terjadi sore ini, bukannya bersiap siap untuk menjemput Dhara yang sebentar lagi akan pulang dari tempatnya bekerja, aku malah sedang berduaan dengan Marcella di sebuah penginapan murah yang biasa kita kunjungi saat kita sama sama sedang ingin bercengkerama dan 'bertukar' keringat. Aku sebenarnya seratus persen sadar bahwa ini adalah perbuatan yang sama sekali tidak dibenarkan untuk alasan apapun, tetapi setiap kali Marcella datang dengan mata teduh, suara lembut, serta kata kata "Faan.. aku kangeen." nya, aku bisa apa? Selain ikut dan larut dalam permainannya, sekaligus berharap kalau Dhara masih tetap tidak mengetahui perbuatanku. Yaa meski belakangan dia mulai agak agak curiga sih.
"faan.. " Ucapnya saat kita sedang sama sama berbaring di sebuah ranjang yang hanya muat untuk dua orang, dan hanya dilindungi oleh selembar selimut berwarna putih yang warnanya sudah mulai kusam dan kecoklatan ini.
"hmm.. "
Dia mulai mengetuk ngetukkan jarinya didadaku, sementara aku masih saja mengelusi rambut panjangnya dan menarik kepalanya agar sedikit merapat dan bersandar dibahuku.
"kamu pernah ngerasa takut atau khawatir ga?" tanyanya. "kalo diluar tiba tiba ada yang nge-razia kita gimana? "
"enggak tuh, biasa aja.. " Balas ku santai. "yang aku takutin, kalau yang dateng itu malah istriku, hehe.. "
"haha, dasar.. udah tau Dhara galaknya kaya macan betina masih aja berani main main.. "
"hehe, abis kamu juga cantiknya kelewatan sih.. " Ucapku sambil mencubit hidungnya. "kalau aku jadi suami kamu nih, sedetikpun nggak akan aku biarin kamu turun dari ranjang, hahaha.. "
"haha dasar.. itu emang kamu aja yang males kerja.. " Marcella tersenyum manis, lalu kemudian secara reflek menarik spot berwarna kecoklatan yang ada di dada sebelah kananku.
"Awww.. sakit cell, hahaha aku bales nih.. "
"ahahaha.. Irfaann.. Geli tau. "
"hahaha, oh iya cell, ini kamu baru bikin ya? " Tanyaku sambil menyentuh sebuah tato bergambar bunga mawar yang ada di perutnya. Perut yang masih cukup rata untuk ukuran wanita tiga puluhan seperti dirinya. Menandakan bahwa di usia tiga puluhan, usia yang biasanya sudah dianggap nggak penting oleh sebagian wanita perihal penampilannya, doi masih tetap concernpada bentuk tubuhnya.
"iyaah.. " jawabnya. "kenapa? jelek ya? "
"bagus kok.. " Jawabku jujur. "perut mulus begini sih jangankan ditato gambar bunga mawar, dikasih gambar kucing mati juga cocok cocok aja.. " Lanjut ku sambil mencoba mengelus perutnya. Lumayan, sekalian cari kesempatan.
"halah, bisa aja.. " Balasnya sambil menyandarkan kepalanya didadaku. "kalau kamu, ga pernah pengen punya tato ya fan? Padahal keren lho kalo badan kamu ditato.. "
"haha, badan lemak semua gini apa bagusnya sih cell.. "
"beneran faan, coba deh kasih gambar yang serem.. "
"hahaha, tapi jangan salah cell, dulu aku pernah kok punya tato.. " Sahut ku sambil menunjuk lengan sebelah kiriku. "nih disini nih, di sebelah sini dulu ada tato gambar kepala hiu. Serem ga tuh, Irfan Junior aja ampe nangis nangis kalo ngeliat tato ku. "
"oh ya? Terus sekarang tatonya mana fan? "
"ilang cell, dimakan kucing pas aku tinggal tidur.. "
"ahahaha.. dasarr.. bilang aja kalo emang ga pernah punya tato. wuu.. "
"hahaha, baru punya tato segitu aja sombong amat.. "
"biariin, wlee.. "
Kita kembali tertawa tawa, kembali bergumul hebat diatas ranjang yang makin lama makin terasa sempit ini. Selimut yang tadi sempat menutupi tubuh polos kita berdua kini juga telah menyingkir entah kemana. Sepertinya sudah tak ada lagi yang bisa mengusik kebersamaan kita. Bahkan udara dingin karena diluar sedang turun hujan pun tak mampu mengalahkan 'panas' nya pertarungan kita. Yang juga tidak cukup peduli meski sekarang posisi kita sudah mirip seperti roti tawar yang diolesi selai coklat karena perbedaan warna kulit kita yang memang cukup mencolok.
"hshh.. Ceell, ngomong ngomong, mmhh.. kata Dh.. Dhara kamu kemaren mampir ke rumah sakit ya.. "
"shhh.. iya fan.. " Jawabnya sambil mendesah. Kemudian tiba tiba menepuk pahaku. "aww mmhh.. jangan dalem dalem. "
"ohh, hngg.. ngapain emang ke rumah sakit? ke poli kandungan segala pula.. "
"... "
"hahh.. hahh.. jangan jangan, kamu hahh.. hamil ya cell? "
"hahh.. ehmh.. hamil? "
"iyaahh.. ceell, malah balik nanya. "
"aww.. siapa yang hamil faan, orang aku kesana cuma nemuin temen. Kebetulan dia kerja disana, di poli kandungan."
"eh, jadi kamu nggak hamil cell? "
"ya engga.. " Jawabnya kemudian, yang sedikit banyak juga membuatku merasa lega. Ternyata Cella nggak hamil, dan nggak ada sesuatu yang harus ku khawatirkan secara berlebihan. Lagian kalau dipikir pikir mau hamil atau enggak sebenarnya juga bukan urusanku, lha dia kan punya suami.
"emang kenapa sih? "
"eh, nggak papa kok.. " Jawabku, sambil terus bergerak dan mulai sedikit menggodanya. "ya kalo gituu.. "
"emhh..? " Tanyanya.
"kita bikin anak yuk cell.. "
"eh.. ehm.. aaww.. Irfaannn, jangan didaleem.. aku ga mau punya anak dari cowo jelekk kaya kamuu ! "
Setelah selesai 'kopdar' dan COD (Cum On Delivery) dengan Marcella, aku kemudian buru buru menggeber mobil kreditanku menuju rumah sakit. Keasikan meladeni permainannya membuat aku lupa kalau mungkin sekarang Dhara sedang menungguku sambil memasang tampangnya yang paling mengerikan. Menghadapi wanita seperti Dhara, telat menjemputnya setengah jam adalah sebuah masalah besar. Yaa walau aku yakin semua orang juga nggak akan semudah itu men-tolerir keterlambatan setengah jam lebih sih. Tapi berurusan dengan Dhara, tingkat ke-ngeriannya seketika naik tiga kali lipat dibanding orang normal.
Aku akhirnya tiba di rumah sakit sekitar lima belas menit kemudian, saat keterlambatanku menjemputnya tepat tiga perempat jam lebih. Saat itu guyuran hujan yang tadi menemaniku bersama Marcella sudah mulai mereda. Aku memarkirkan mobil, lalu berjalan kedalam untuk bersiap menerima omelan istriku gara gara suaminya yang tampan dan setia ini terlambat menjemputnya.
Namun, setelah beberapa kali berkeliling area rumah sakit aku sama sekali nggak menjumpai sosoknya. Aku sudah beberapa kali memeriksa ruangan para perawat, beberapa kali menghampiri ruang pemeriksaan, aku sudah mengecek kantin rumah sakit, aku bahkan beberapa kali sudah menengok ke kamar mayat sekedar memastikan barangkali istriku sedang ada disana, namun nihil. Sudah setengah jam aku disini, dan belum ada sama sekali tanda tanda bahwa Dhara akan kutemukan. Ah, jangan jangan marah nih..
Saat sudah mulai capek nyari Dhara yang nggak kunjung keliatan batang hidungnya yang manis, aku kemudian bertemu salah seorang satpam rumah sakit yang sedang asik berkeliling sambil sesekali menggoda suster suster muda yang kebetulan lewat. Namanya, sebut saja bang Junaedi, tapi doi lebih suka dipanggil Juna, biar kayak chef ganteng yang sering marah marah di TV katanya. Aku kemudian berjalan menghampirinya..
"hoi bang.. "
"eh, mas Irpan.. " Sahutnya, masih sambil sesekali bersiul ketika ada suster yang lewat. "kok balik lagi kesini sih? "
"eh, balik lagi? " Tanyaku sedikit terkejut. "lha saya kan baru mau jemput istri saya.. "
"lho, suster Rara kan daritadi udah pulang mas.. "
"heh, udah pulang? " Tanyaku makin terkejut. "sama siapa bang? "
"ehm, bareng sama dokter Rangga kayaknya.. "
"HAH? SAMA SI DOKTER SERANGGA? " Sahut ku masih terkejut, kali ini sekalian campur emosi. "KURANGAJAR!! "
"eh, maksudnya apaan nih.. "
"eh, yang kurangajar bukan abang kok. Yaudah, makasih ya bang. Saya pergi dulu.. "
Aku kemudian buru buru menggeber mobilku menuju.. entah kemana. Karena saat itu aku sedang emosi setelah tahu kalau tanpa sepengetahuan ku Dhara ternyata malah pulang dengan dokter sialan itu. Aku tak terlalu peduli meski mobilku beberapa kali hampir saja menyenggol emak emak yang sedang asik ngobrol ditengah jalan. Pikiranku benar benar kacau dengan Dhara, dokter serangga, dan bayangan tentang apa saja yang sekarang sedang mereka lakukan bersama. Aku benar benar nggak akan bisa terima, andai Dhara dan si Rangga kampret itu diam diam bermain api dibelakangku.
Capek muter muter nggak jelas dan nggak nemuin apa apa, aku kemudian mulai mengarahkan mobilku menuju rumah emak untuk menjemput Irfan terlebih dahulu. Lalu tanpa banyak bicara kembali mengarahkannya menuju rumah.
"bunda mana yah? Tadi katanya ayah pergi buat jemput bunda.. " Tanyanya saat aku sedang membuka pintu rumah.
"emm.. bunda lagi pergi sebentar. Udah, kamu masuk duluan aja. " Balas ku sambil mengelus kepalanya. Dia hanya tersenyum, lalu berjalan masuk. Sementara aku masih duduk di teras depan sambil terus mencoba menghubungi ponsel Dhara, yang sedari tadi tetap saja nggak ada jawaban.
Saat udah capek nunggu dan nyaris ketiduran, Dhara akhirnya pulang juga. Saat itu dia terlihat sedang turun dari sebuah SUV berwarna hitam, dia juga terlihat sedang melempar senyum dan melambaikan tangan pada pengemudi yang ada di dalamnya. Melihat hal itu, aku dan kepalaku yang masih dikelilingi rasa emosi langsung berjalan menghampiri keduanya. Aku langsung menggenggam tangan Dhara, menyeretnya sedikit, lalu menggedor gedor kaca mobil yang terasa cukup tebal ini.
BRAKK! BRAKK! BRAKK!
"ANJIINGG, KELUAR LU!! "
Dia mulai membuka pintu mobilnya secara perlahan, sementara aku yang nggak sabar langsung meraih kerah kemejanya dan menariknya keluar dari mobil.
BUGHH! BUGH! BUUGGHH!!
"kurangajar lu ya, berani beraninya lu bawa kabur istri gua. Nggak nyadar apa kalo dia udah punya suami. Bangs4t, ga ada otak emang lu.. "
BUGH! BUGHH! BUGH!!
Dia langsung tersungkur setelah menerima beberapa kali bogeman tanganku. Serangan ku yang terkesan tiba tiba itu membuat dia sama sekali nggak punya kesempatan untuk membalas. Darah segar mulai mengalir dari rongga hidungnya, sesuatu yang sama sekali nggak membuatku berniat untuk menghentikan aksi gila ku.
BUUGGHH!!
BUUGGHH!!
"Udah? " Tanya Dhara sambil mulai berjalan untuk menolong si Rangga sialan itu. "udah puas kamu fan? udah puas, hah? "
".. " Aku masih terpaku melihat sosoknya, melihat betapa cekatan nya istriku memberikan pertolongan pertama pada wajah tampan yang kini sedang babak belur itu.
"aku ga nyangka ya, kalau kamu ternyata masih se-childish ini.. ". Lanjutnya, kali ini sambil menahan butiran airmatanya yang mau jatuh, meski akhirnya gagal.
"sebenernya yang childish itu siapa? " Aku akhirnya membuka suara, mengeluarkan sisa sisa emosi yang masih ada. "aku, atau kamu yang diem diem malah pergi berdua sama dokter sialan ini? "
".. " Dhara masih mencoba mengobati dokter Rangga, sambil juga menahan isak tangisnya yang mulai lirih terdengar. Andai saat itu bukan emosi yang menguasai kepalaku, aku mungkin sudah meraih tubuhnya dan memeluknya dengan erat agar airmatanya tidak tumpah.
"Aku tau kok, kalau aku sama sekali nggak ada apa apanya dibanding dia. Aku juga tau, kalau laki laki kaya aku ini sama sekali nggak pantes bersanding sama kamu.. "
"hiks.. hiks.. "
"Tapi bukan gini raa.. Bukan gini caranya kamu perlakuin aku, bukan ginii.. "
"huu.. huu.. " Tangisnya semakin pecah, tetapi Dhara kemudian malah menatap tajam kearahku. "terus gimana fan..? "
".. "
"hiks hiks.. terus gimana, caranya perlakuin kamu? "
".. "
Dhara mulai bangkit, kebetulan acara mengobati dokter Rangga sialan itu sepertinya juga sudah selesai. Dia masih mencoba menatap tajam kearahku, matanya yang terlihat sembab dan memerah kini juga mulai mendominasi pandanganku. Entah kenapa, aku yang sebenarnya sedang emosi ini malah seperti sedikit takut saat melihat tatapan matanya.
"hiks.. hiks.. sama seperti kamu perlakuin Marcella, diem diem dibelakang aku, iya fan? "
Memiliki istri yang gemesin plus cantiknya kurangajar seperti Dhara, nyatanya tetap nggak membuatku merasa puas. Ya emang sih, aku selalu dibuat 'puas' olehnya setiap kali kita bertarung diatas ranjang. Tetapi diluar itu, sebagai manusia yang nggak pernah merasa puas, aku yang sebenarnya nggak tau diri ini masih saja mencari hal hal yang tidak kudapatkan darinya pada diri wanita idaman lain. Aku masih saja tergoda setiap kali Marcella datang dengan sikap manis, serta sifat lembutnya yang sama sekali tak kutemui pada diri Dhara yang liar dan banyak 'jutek' nya.
Sama seperti yang terjadi sore ini, bukannya bersiap siap untuk menjemput Dhara yang sebentar lagi akan pulang dari tempatnya bekerja, aku malah sedang berduaan dengan Marcella di sebuah penginapan murah yang biasa kita kunjungi saat kita sama sama sedang ingin bercengkerama dan 'bertukar' keringat. Aku sebenarnya seratus persen sadar bahwa ini adalah perbuatan yang sama sekali tidak dibenarkan untuk alasan apapun, tetapi setiap kali Marcella datang dengan mata teduh, suara lembut, serta kata kata "Faan.. aku kangeen." nya, aku bisa apa? Selain ikut dan larut dalam permainannya, sekaligus berharap kalau Dhara masih tetap tidak mengetahui perbuatanku. Yaa meski belakangan dia mulai agak agak curiga sih.
"faan.. " Ucapnya saat kita sedang sama sama berbaring di sebuah ranjang yang hanya muat untuk dua orang, dan hanya dilindungi oleh selembar selimut berwarna putih yang warnanya sudah mulai kusam dan kecoklatan ini.
"hmm.. "
Dia mulai mengetuk ngetukkan jarinya didadaku, sementara aku masih saja mengelusi rambut panjangnya dan menarik kepalanya agar sedikit merapat dan bersandar dibahuku.
"kamu pernah ngerasa takut atau khawatir ga?" tanyanya. "kalo diluar tiba tiba ada yang nge-razia kita gimana? "
"enggak tuh, biasa aja.. " Balas ku santai. "yang aku takutin, kalau yang dateng itu malah istriku, hehe.. "
"haha, dasar.. udah tau Dhara galaknya kaya macan betina masih aja berani main main.. "
"hehe, abis kamu juga cantiknya kelewatan sih.. " Ucapku sambil mencubit hidungnya. "kalau aku jadi suami kamu nih, sedetikpun nggak akan aku biarin kamu turun dari ranjang, hahaha.. "
"haha dasar.. itu emang kamu aja yang males kerja.. " Marcella tersenyum manis, lalu kemudian secara reflek menarik spot berwarna kecoklatan yang ada di dada sebelah kananku.
"Awww.. sakit cell, hahaha aku bales nih.. "
"ahahaha.. Irfaann.. Geli tau. "
"hahaha, oh iya cell, ini kamu baru bikin ya? " Tanyaku sambil menyentuh sebuah tato bergambar bunga mawar yang ada di perutnya. Perut yang masih cukup rata untuk ukuran wanita tiga puluhan seperti dirinya. Menandakan bahwa di usia tiga puluhan, usia yang biasanya sudah dianggap nggak penting oleh sebagian wanita perihal penampilannya, doi masih tetap concernpada bentuk tubuhnya.
"iyaah.. " jawabnya. "kenapa? jelek ya? "
"bagus kok.. " Jawabku jujur. "perut mulus begini sih jangankan ditato gambar bunga mawar, dikasih gambar kucing mati juga cocok cocok aja.. " Lanjut ku sambil mencoba mengelus perutnya. Lumayan, sekalian cari kesempatan.
"halah, bisa aja.. " Balasnya sambil menyandarkan kepalanya didadaku. "kalau kamu, ga pernah pengen punya tato ya fan? Padahal keren lho kalo badan kamu ditato.. "
"haha, badan lemak semua gini apa bagusnya sih cell.. "
"beneran faan, coba deh kasih gambar yang serem.. "
"hahaha, tapi jangan salah cell, dulu aku pernah kok punya tato.. " Sahut ku sambil menunjuk lengan sebelah kiriku. "nih disini nih, di sebelah sini dulu ada tato gambar kepala hiu. Serem ga tuh, Irfan Junior aja ampe nangis nangis kalo ngeliat tato ku. "
"oh ya? Terus sekarang tatonya mana fan? "
"ilang cell, dimakan kucing pas aku tinggal tidur.. "
"ahahaha.. dasarr.. bilang aja kalo emang ga pernah punya tato. wuu.. "
"hahaha, baru punya tato segitu aja sombong amat.. "
"biariin, wlee.. "
Kita kembali tertawa tawa, kembali bergumul hebat diatas ranjang yang makin lama makin terasa sempit ini. Selimut yang tadi sempat menutupi tubuh polos kita berdua kini juga telah menyingkir entah kemana. Sepertinya sudah tak ada lagi yang bisa mengusik kebersamaan kita. Bahkan udara dingin karena diluar sedang turun hujan pun tak mampu mengalahkan 'panas' nya pertarungan kita. Yang juga tidak cukup peduli meski sekarang posisi kita sudah mirip seperti roti tawar yang diolesi selai coklat karena perbedaan warna kulit kita yang memang cukup mencolok.
"hshh.. Ceell, ngomong ngomong, mmhh.. kata Dh.. Dhara kamu kemaren mampir ke rumah sakit ya.. "
"shhh.. iya fan.. " Jawabnya sambil mendesah. Kemudian tiba tiba menepuk pahaku. "aww mmhh.. jangan dalem dalem. "
"ohh, hngg.. ngapain emang ke rumah sakit? ke poli kandungan segala pula.. "
"... "
"hahh.. hahh.. jangan jangan, kamu hahh.. hamil ya cell? "
"hahh.. ehmh.. hamil? "
"iyaahh.. ceell, malah balik nanya. "
"aww.. siapa yang hamil faan, orang aku kesana cuma nemuin temen. Kebetulan dia kerja disana, di poli kandungan."
"eh, jadi kamu nggak hamil cell? "
"ya engga.. " Jawabnya kemudian, yang sedikit banyak juga membuatku merasa lega. Ternyata Cella nggak hamil, dan nggak ada sesuatu yang harus ku khawatirkan secara berlebihan. Lagian kalau dipikir pikir mau hamil atau enggak sebenarnya juga bukan urusanku, lha dia kan punya suami.
"emang kenapa sih? "
"eh, nggak papa kok.. " Jawabku, sambil terus bergerak dan mulai sedikit menggodanya. "ya kalo gituu.. "
"emhh..? " Tanyanya.
"kita bikin anak yuk cell.. "
"eh.. ehm.. aaww.. Irfaannn, jangan didaleem.. aku ga mau punya anak dari cowo jelekk kaya kamuu ! "
***
Setelah selesai 'kopdar' dan COD (Cum On Delivery) dengan Marcella, aku kemudian buru buru menggeber mobil kreditanku menuju rumah sakit. Keasikan meladeni permainannya membuat aku lupa kalau mungkin sekarang Dhara sedang menungguku sambil memasang tampangnya yang paling mengerikan. Menghadapi wanita seperti Dhara, telat menjemputnya setengah jam adalah sebuah masalah besar. Yaa walau aku yakin semua orang juga nggak akan semudah itu men-tolerir keterlambatan setengah jam lebih sih. Tapi berurusan dengan Dhara, tingkat ke-ngeriannya seketika naik tiga kali lipat dibanding orang normal.
Aku akhirnya tiba di rumah sakit sekitar lima belas menit kemudian, saat keterlambatanku menjemputnya tepat tiga perempat jam lebih. Saat itu guyuran hujan yang tadi menemaniku bersama Marcella sudah mulai mereda. Aku memarkirkan mobil, lalu berjalan kedalam untuk bersiap menerima omelan istriku gara gara suaminya yang tampan dan setia ini terlambat menjemputnya.
Namun, setelah beberapa kali berkeliling area rumah sakit aku sama sekali nggak menjumpai sosoknya. Aku sudah beberapa kali memeriksa ruangan para perawat, beberapa kali menghampiri ruang pemeriksaan, aku sudah mengecek kantin rumah sakit, aku bahkan beberapa kali sudah menengok ke kamar mayat sekedar memastikan barangkali istriku sedang ada disana, namun nihil. Sudah setengah jam aku disini, dan belum ada sama sekali tanda tanda bahwa Dhara akan kutemukan. Ah, jangan jangan marah nih..
Saat sudah mulai capek nyari Dhara yang nggak kunjung keliatan batang hidungnya yang manis, aku kemudian bertemu salah seorang satpam rumah sakit yang sedang asik berkeliling sambil sesekali menggoda suster suster muda yang kebetulan lewat. Namanya, sebut saja bang Junaedi, tapi doi lebih suka dipanggil Juna, biar kayak chef ganteng yang sering marah marah di TV katanya. Aku kemudian berjalan menghampirinya..
"hoi bang.. "
"eh, mas Irpan.. " Sahutnya, masih sambil sesekali bersiul ketika ada suster yang lewat. "kok balik lagi kesini sih? "
"eh, balik lagi? " Tanyaku sedikit terkejut. "lha saya kan baru mau jemput istri saya.. "
"lho, suster Rara kan daritadi udah pulang mas.. "
"heh, udah pulang? " Tanyaku makin terkejut. "sama siapa bang? "
"ehm, bareng sama dokter Rangga kayaknya.. "
"HAH? SAMA SI DOKTER SERANGGA? " Sahut ku masih terkejut, kali ini sekalian campur emosi. "KURANGAJAR!! "
"eh, maksudnya apaan nih.. "
"eh, yang kurangajar bukan abang kok. Yaudah, makasih ya bang. Saya pergi dulu.. "
Aku kemudian buru buru menggeber mobilku menuju.. entah kemana. Karena saat itu aku sedang emosi setelah tahu kalau tanpa sepengetahuan ku Dhara ternyata malah pulang dengan dokter sialan itu. Aku tak terlalu peduli meski mobilku beberapa kali hampir saja menyenggol emak emak yang sedang asik ngobrol ditengah jalan. Pikiranku benar benar kacau dengan Dhara, dokter serangga, dan bayangan tentang apa saja yang sekarang sedang mereka lakukan bersama. Aku benar benar nggak akan bisa terima, andai Dhara dan si Rangga kampret itu diam diam bermain api dibelakangku.
Capek muter muter nggak jelas dan nggak nemuin apa apa, aku kemudian mulai mengarahkan mobilku menuju rumah emak untuk menjemput Irfan terlebih dahulu. Lalu tanpa banyak bicara kembali mengarahkannya menuju rumah.
"bunda mana yah? Tadi katanya ayah pergi buat jemput bunda.. " Tanyanya saat aku sedang membuka pintu rumah.
"emm.. bunda lagi pergi sebentar. Udah, kamu masuk duluan aja. " Balas ku sambil mengelus kepalanya. Dia hanya tersenyum, lalu berjalan masuk. Sementara aku masih duduk di teras depan sambil terus mencoba menghubungi ponsel Dhara, yang sedari tadi tetap saja nggak ada jawaban.
Saat udah capek nunggu dan nyaris ketiduran, Dhara akhirnya pulang juga. Saat itu dia terlihat sedang turun dari sebuah SUV berwarna hitam, dia juga terlihat sedang melempar senyum dan melambaikan tangan pada pengemudi yang ada di dalamnya. Melihat hal itu, aku dan kepalaku yang masih dikelilingi rasa emosi langsung berjalan menghampiri keduanya. Aku langsung menggenggam tangan Dhara, menyeretnya sedikit, lalu menggedor gedor kaca mobil yang terasa cukup tebal ini.
BRAKK! BRAKK! BRAKK!
"ANJIINGG, KELUAR LU!! "
Dia mulai membuka pintu mobilnya secara perlahan, sementara aku yang nggak sabar langsung meraih kerah kemejanya dan menariknya keluar dari mobil.
BUGHH! BUGH! BUUGGHH!!
"kurangajar lu ya, berani beraninya lu bawa kabur istri gua. Nggak nyadar apa kalo dia udah punya suami. Bangs4t, ga ada otak emang lu.. "
BUGH! BUGHH! BUGH!!
Dia langsung tersungkur setelah menerima beberapa kali bogeman tanganku. Serangan ku yang terkesan tiba tiba itu membuat dia sama sekali nggak punya kesempatan untuk membalas. Darah segar mulai mengalir dari rongga hidungnya, sesuatu yang sama sekali nggak membuatku berniat untuk menghentikan aksi gila ku.
BUUGGHH!!
BUUGGHH!!
"Udah? " Tanya Dhara sambil mulai berjalan untuk menolong si Rangga sialan itu. "udah puas kamu fan? udah puas, hah? "
".. " Aku masih terpaku melihat sosoknya, melihat betapa cekatan nya istriku memberikan pertolongan pertama pada wajah tampan yang kini sedang babak belur itu.
"aku ga nyangka ya, kalau kamu ternyata masih se-childish ini.. ". Lanjutnya, kali ini sambil menahan butiran airmatanya yang mau jatuh, meski akhirnya gagal.
"sebenernya yang childish itu siapa? " Aku akhirnya membuka suara, mengeluarkan sisa sisa emosi yang masih ada. "aku, atau kamu yang diem diem malah pergi berdua sama dokter sialan ini? "
".. " Dhara masih mencoba mengobati dokter Rangga, sambil juga menahan isak tangisnya yang mulai lirih terdengar. Andai saat itu bukan emosi yang menguasai kepalaku, aku mungkin sudah meraih tubuhnya dan memeluknya dengan erat agar airmatanya tidak tumpah.
"Aku tau kok, kalau aku sama sekali nggak ada apa apanya dibanding dia. Aku juga tau, kalau laki laki kaya aku ini sama sekali nggak pantes bersanding sama kamu.. "
"hiks.. hiks.. "
"Tapi bukan gini raa.. Bukan gini caranya kamu perlakuin aku, bukan ginii.. "
"huu.. huu.. " Tangisnya semakin pecah, tetapi Dhara kemudian malah menatap tajam kearahku. "terus gimana fan..? "
".. "
"hiks hiks.. terus gimana, caranya perlakuin kamu? "
".. "
Dhara mulai bangkit, kebetulan acara mengobati dokter Rangga sialan itu sepertinya juga sudah selesai. Dia masih mencoba menatap tajam kearahku, matanya yang terlihat sembab dan memerah kini juga mulai mendominasi pandanganku. Entah kenapa, aku yang sebenarnya sedang emosi ini malah seperti sedikit takut saat melihat tatapan matanya.
"hiks.. hiks.. sama seperti kamu perlakuin Marcella, diem diem dibelakang aku, iya fan? "
Quote:
I'm holding on your rope
Got me ten feet off the ground
And I'm hearing what you say, but I just can't make a sound
You tell me that you need me
Then you go and cut me down, but wait
You tell me that you're sorry
Didn't think I'd turn around, and say
That it's too late to apologize, it's too late
I said it's too late to apologize, it's too late
Apologize (feat. OneRepublic) - Timbaland
Diubah oleh saleskambing 19-12-2024 15:30
jenggalasunyi dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas