- Beranda
- Stories from the Heart
[cinta. horror. roman] - The Second
...
TS
abangruli
[cinta. horror. roman] - The Second
![[cinta. horror. roman] - The Second](https://s.kaskus.id/images/2019/11/14/10479605_20191114110217.jpg)
“Kamu tidak perlu memilih dia atau aku.
Pilih dia saja.
Tak perlu kamu khawatirkan aku.
Aku cuma minta satu hal.
Maukah kamu sebut namaku dalam doa-doamu?”
***
Chapter 1 – Awal Kisah
Pukul 01.34 dini hari. Aku sendirian di kamar. Duduk tegak lurus dengan pandangan penuh ke layar laptop. Jemari kubiarkan menari di keyboard, mengetik setiap detik kisah hidup yang aku alami. Tentu saja nama-namanya aku pilih yang lebih keren, kota tempat kejadian aku geser beberapa ratus kilometer dari aslinya dan penggambaran para tokoh aku percantik dan perganteng sekian persen. Seolah menjadi kisah fiksi. Padahal tidak. Hanya saja aku tak ingin mereka tahu bahwa itu kisah asli.
Jemariku terus mengetik hingga mendadak aku merasa dingin. Tercium wangi yang khas.
Aha. Dia sudah datang.
“Hai apa kabar..” tanyaku sambil terus menatap layar. Tak perlu menengok agar aku tak tebuai dalam keindahan yang memabukkan. Tapi dari bayang-bayang yang memantul di layar, bisa terlihat siluetnya yang menarik. Suara lembut menjawab terdengar seolah tepat disampingku, padahal dia masih dibelakang, “kangen kamu..”
Tanpa sadar aku tersenyum. Entah dari siapa mahluk itu belajar merayu orang. Teringat beberapa bulan lalu saat dia pertama kali menyapa aku.
***
“Hai..” suara lembut seorang wanita dari belakang. Aku kaget dan segera menoleh. Terlihat seorang gadis menatap mataku dengan ceria. Senyumnya mengembang sempurna memamerkan deretan giginya yang rapi. Kulitnya putih, tubuhnya wangi. Rambutnya lurus sepundak khas remaja yang energik, yang tak ingin gerak geriknya terganggu oleh rambut panjang. Poninya yang aduhai, yang bikin aku terpesona sekian detik menatapnya. Aku memang sangat mudah jatuh cinta pada poni yang menghias kening seorang gadis. Membuat ia terlihat lebih feminin. Bajunya pun casual, kaos pink sedikit ketat dengan celana jeans yang pas di kaki jenjangnya. Sepatu kets warna pink menghiasi ujungnya.
Indah.
Harusnya moment tersebut menjadi moment yang sangat indah. Sayang, keindahan tersebut agak ternoda dengan waktu dan lokasi pertemuan yang tidak tepat. Aku melihat angka digital pada pergelangan tangan.
Pukul 01.20 di pinggir kompleks.
Komplek perumahan? Sayangnya bukan. Aku sedang berjalan melewati komplek pemakaman. Dengan tergesa-gesa karena tak ingin mengganggu keheningan kompleks tersebut. Ini terjadi karena aku harus lembur, pulang malam, sialnya mobilku mogok kehabisan bensin 1 kilometer dari rumah. Panggil ojek online gak bisa gegara handphone yang mati. Terpaksa jalan toh hanya 1 kilometer. Hanya saja aku memang harus melewati pemakaman untuk mencapai rumah. Ya sudah daripada tidur di mobil aku pun memutuskan untuk jalan. Bertekad setengah berlari saat melewati kuburan.
Tapi kini aku dapati bukannya berjalan terburu-buru seperti rencana awal, aku malah sedang mematung memandang seorang gadis. Gadis yang indah tapi di waktu dan background lokasi yang salah.
“Kami jin ya?” aku bertanya sambil tertawa. Berharap ia tertawa dan menggeleng.
Tapi ia hanya tertawa. Renyah. Tawa yang bikin lega, karena jauh dari kesan menakutkan. Masa sih kuntilanak ketawanya bikin gemes gitu.
“Kamu tinggal dimana sih, kok jam segini masih disini..” tanyaku. Pertanyaan bodoh yang seharusnya tak pernah aku lontarkan.
“Aku tinggal disini” jawabnya sambil tersenyum.
Anjay! Aku terdiam, seketika aku bisa merasakan rona hangat dari wajahku seperti terhisap habis dan menyisakan pucat pasi yang luar biasa, “ka.. kamu becanda?”
Ayo mengangguklah! Angguklah!
Sayang seribu sayang, bukannya mengangguk ia malah mengegeleng. Sambil terus tersenyum ia berkata “aku gak becanda, aku memang tinggal disini...”
Seolah belum puas melihat kengerianku, ia perjelas dimana ia tinggal, “itu di pohon kamboja sebelah sana”
Sungguh ingin rasanya kutempeleng bocah kurang ajar itu, seenaknya bikin air pipisku mendadak ingin keluar. Walaupun cantik tapi kalau bikin aku kencing dicelana harus diberi pelajaran. Tapi jangankan menampar, menggerakkan tangan saja aku gagal, “ini prank ya?”
“kalau prank aku pasti pakai kostum pocong atau suster ngesot atau apalah yang serem-serem..” ia terdiam sebentar, seolah sedang berpikir, “atau kamu mau lihat aku berubah pakai kostum itu?”
Aku terdiam bagai lumpuh. Lututku lemas, lidahku kelu.
“Gak lah, aku gak mau kamu takut. Aku begini karena aku tahu selera kamu. Aku tahu kamu suka cewek berponi, aku tahu kamu suka cewek casual, aku tahu kamu suka cewek yang ceria. Karena itu aku menjadi seperti ini...karena aku...”
Terdiam sejenak, “karena aku suka kamu..” jawabnya dengan mata yang luar biasa indah.
Aku ternganga. Aku pasti mimpi. Berdiri mematung di pinggir kuburan dengan sesosok mahluk entah apa yang sedang menyatakan cinta padaku. Ini pasti mimpi.
Mimpi romantis yang sayangnya bergenre horror.
Akhirnya aku merasakan kehangatan dipangkal celanaku. Anjay!
[bersambung]
INDEX
Chapter 2 - Pingsan
Chapter 3 - Rumah Sakit
Chapter 4 - Namaku Danang
Chapter 5 - Namanya Rhea
Chapter 6 - Maudy dan 'Maudy'
Chapter 7 - The Second
Chapter 8 - Konser
Chapter 9 - Bertemu Wulan
Chapter 10 - Rumah Sakit (Lagi)
Chapter 11 - Aku dan Rhea dan Satunya Lagi
Chapter 12 - Menggapai Dirinya
Chapter 13 - Dinner with Rhea
Chapter 14 - Wulan versus Rhea Featuring Vania
Chapter 15 - ..........................
Chapter 16 - Rindu
Chapter 17 - Semakin Rindu
Chapter 18 - Melepas Rindu
Chapter 19 - Maafkan Aku lah Bang!
Chapter 20 - Menusuk Tepat di Hati
Chapter 21 - Seribu Alasan Satu Jawaban
Chapter 22 - Belajar Mencintai
Chapter 23 - Would You?
Chapter 24 - The Show Must Go On
Chapter 25 - Tragedi
Chapter 26 - Mimpi
Chapter 27 - Arti Cinta
Chapter 28 - Sad Session
Chapter 29 - Stories of My Life
Chapter 30 - Dua Puluh Tahun Lalu
Chapter 31 - Who Are You?
Chapter 32 - Mya dan Temannya
Chapter 33 - Tok Tok Tok!
Chapter 34 - Menjelang Pertemuan
Chapter 35 - Wajah Itu
Chapter 36 - Pending
Chapter 37 - Dinner for Three
Chapter 38 - Bla Bla Bla
Chapter 39 - Little Heart
Chapter 40 - This Will Be a Long Nite
Chapter 41 - Story from My Side
Chapter 42 - Story from Vania's Side
Chapter 43 - Deja Vu
Chapter 44 - Permintaan Terakhir
Chapter 45 - One Last Dance
Bonus - Behind The Story [Road to Final Chapter]
Chapter 46 - Reality
Chapter 47 - No More Mr. Nice Guy
Chapter 48 - Shocking Reality
Session 2 - The Second - The Killing Rain
Klik dimari bro untuk lanjut ke Session 2
Enjoy the stories gaesss..
Jangan lupa cendol, subcribe dan shareee yaaaaa...
Ruli Amirullah
Diubah oleh abangruli 21-07-2024 16:25
pulaukapok dan 89 lainnya memberi reputasi
88
52.4K
945
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
abangruli
#109
Chapter 15 – ..................
Aku siuman dengan keadaan tersiksa lahir batin. Kepala berat, badan remuk redam, perasaan kacau balau. Tangan terasa sakit akibat infus yang menjuntai dengan kepala jarumnya menusuk punggung lenganku.
Mataku perlahan memandang sekeliling. Berharap ada di sebuah kamar hotel bintang 5, atau di kapal pesiar yang lagi keliling Eropa, atau di kursi pesawat terbang yang sedang mengangkasa menuju benua Amerika.
Ngimpi! Erangku kesal. Karena yang ada dihadapan adalah kamar rumah sakit yang masih sama dengan terakhir aku lihat. Kenapa hidupku Cuma ada dua settingan sih? Kuburan atau rumah sakit.
Aku menoleh ke sebelah kanan melihat siapa yang sedang duduk di bangku. Ternyata adikku.
“Eh Abang... udah sadar lagi bang?”
“Belum... “ jawabku asal. Aku mencoba duduk tapi rasanya berat sekali. Seperti ada Thanos duduk di dadaku. Eh Thanos? Aku jadi teringat semuanya. Rhea, Wulan, Suster, Vania, Ayahku dan Mas Lanang. Pertempuran hebat yang terjadi semalem. Pemenggalan kepala Wulan. Bagaimana kabar itu semua?!, “Vania gimana?”
“Vania sempat pingsan tapi gak lama kok, Cuma 3 jam lah.. susternya yang agak lama sampe 1 hari..” jawab Maudy.
Ebused?! Satu hari?! “Lha emang sekarang hari apa? Udah berapa hari aku pingsan?!”
“Wah kalo mas Danang udah pingsan 2 hari! Paling lama pingsan.. awalnya malah lucu sambil senyum-senyum hihi..” cerita Maudy sambil cekikikan. Kadang ketawanya dia lebih mirip setan dibanding ketawanya Rhea, “Kak Vania ternyata hebat ya kak. Kuat! Dia bisa nahan suster yang kesurupan sendirian, padahal ayah aja harus ama kak Lanang untuk bisa nahan tuh suster..”
Ternyata tak ada yang tahu kalau Vania pun sebenarnya kerasukan ,“Kamu tuh kayaknya beberapa hari ini bahagia banget ya.. liat kakaknya babak belur...” protesku sengit. Aku membetulkan letak kepalaku di bantal agar terasa lebih nyaman. Baru aku hendak membuka mulut untuk bertanya, tiba-tiba pintu terbuka dan masuk Vania ke dalam kamar. Cantik seperti biasa. Ah aku jadi salting, apalagi kalau teringat dia sebenarnya sudah memutuskan hubungan, “Eh Va..... gimana kabar kamu..”
“Aku baik.. kabar kamu gimana? Dari kemarin aku dateng kamu masih pingsan terus..”
“Ya gitu deh....” aku terdiam. Masih terasa lemas sekaligus gugup.
Vania menengok ke Maudy dan berkata pelan, “Maudy.. boleh gak aku minta waktu sebentar? Aku mau bicara sama mas Danang...”
Wajah Maudy girang mendengar permintaan itu, “Wah silahkan mbakku yang cantik! Kalau bisa sekalian setengah hari yaaa... aku mau pulang. aku capek disini terus. Gak ada yang ganteng..”
“Haha.. ya udah pulang sanah. Mas Danang mah gak usah ditungguin Dy, wong yang jagain dia banyak kok.. hihi..” jawab Vania penuh arti. Sial, dia sepertinya tahu masalahku.
Tak sampai lima menit Vania sudah menghilang dari kamar, sepertinya ia beneran bersyukur bisa bebas tugas. Kini tinggal aku dan Vania. Berdua. Eh tunggu apakah Rhea ada? Aku tak melihatnya, juga tak mendengar suaranya. Juga tak mencium wanginya. Apa kabar ya Rhea?
Vania terdiam memandang wajahku, membuat aku semakin gelisah. Apa yang hendak dia katakan, “Kenapa Va? Kok diam aja?”
“Aku... kemarin sudah bicara panjang lebar dengan Rhea...”
Maakkk Dhieeeggg. Anjrit. Ngomong apa aja mereka? “Kamu ketemu dia?”
“Gak, aku gak bisa liat. Dan dia pun tidak menampakkan dirinya. Dia Cuma berbicara dengan aku. Tentang kamu dan hubungan kalian selama ini...”
“Trus...” Aku kok mendadak punya perasaan gak enak melihat betapa tenangnya wajah Vania.
“Dia sudah cerita bagaimana dia memang dekat dengan kamu, tentang dia yang ngejar-ngejar kamu, tentang kamu yang menolak untuk lebih jauh menjalin hubungan dengan dia, tentang betapa mudahnya ia jatuh cinta pada manusia... dia ternyata player yah.. haha.. ada-ada aja.. kamu tahu kan dia player?!” cerita Vania tanpa ada rasa cemburu.
“Iya.. aku tahu..” jawabku bingung.
“Dia juga cerita tentang tujuan utama dia deketin kamu tuh untuk ngejaga kamu dari Wulan. Kamu tau gak kalau Wulan itu jin jahat yang suka ngambil jiwa manusia. Nah Alhamdulillah Rhea akhirnya berhasil membunuh Wulan. Jadi selesai sudah misi dia..”
“Oh iya?!” ini aku yang belum tahu. Misi? Misi apaan? Mission imposible?
“Iya. Dia mohon supaya aku balik lagi sama kamu. Karena kamu gak salah kok. Dia aja yang kemaren-kemaren emang kecentilan. Yang harusnya jagain kamu eh malah jatuh cinta sama kamu. Dia juga ngaku terpaksa pakai sihir untuk mempengaruhi kamu. Gitu kata dia. Trus dia janji gak akan lagi bertemu dengan kamu karena toh emang tugas dia sudah selesai. Dia ada tugas lain. Lucu ya, jin kok banyak tugasnya, mungkin di dunia jin dia semacam polisi kali ya..”
Kurang lebihnya mungkin itu yang diucapkan Vania. Aku tak bisa fokus karena pikiranku mendadak kalut mendengar kalimat – dia janji gak akan bertemu dengan kamu lagi –
“Dia bilang gini,....Vania kamu gak usah khawatir. Aku gak akan ganggu mas Danang lagi. Aku punya tugas lain dan paling aku akan jatuh cinta lagi pada manusia itu. Itulah kelemahanku Vania, mudah jatuh cinta... gitu kata dia..”
Aku... terhenyak dalam arti sebenarnya. Bukan lebay bukan berlebihan. Tapi aku benar-benar kaget mendengar cerita Vania. Apa maksud Rhea?!
“Dan dia akhirnya titip salam buat kamu. Dia bilang, mas Danang ati-ati jangan sering bengong biar gak kerasukan lagi.. hihii.. ada-ada aja tuh jin. Lucu juga dia..”
Vania tertawa dan aku rasanya ingin menangis.
Ingin marah.
Ingin menampar Rhea yang dengan seenaknya ngomong seperti itu.
“Aku.. aku masih lemas Vania..” ujarku pelan. Seolah lemas padahal dada bergemuruh ingin berteriak kencang memanggil nama Rhea yang lancang itu.
“Oh iya mas tidur aja dulu.. aku tunggu disini sampai Maudy datang lagi...” kata Vania sambil duduk di bangku yang tadi dipakai oleh Maudy.
Ah Vania baik sekali pikirku sambil memejamkan mata. Tapi sedetik kemudian aku kembali ingin berteriak. Rheaaaaaa.............. berani-beraninya kamu pergi dari kehidupanku setelah semua ini! Kemana kamu Rheaaaaa....!!!!!
Rheaaaa....!!!
Aku berteriak dalam sunyi.
Kemudian membalikkan tubuhku.
Membelakangi Vania.
Ke arah jendela. Dan tiba-tiba aku melihat bayang-bayang tipis disana. Diluar jendela. Menatapku sambil tersenyum manis, Itu Rhea! Itu Rhea! Senyumku mengembang, tapi kemudian dengan tatapan Rhea aku seolah mengerti apa yang sedang dia ingin katakan. Entah bagaimana aku seolah mendengar suara Rhea dibenakku.. sangat jelas...
Kamu tidak perlu memilih dia atau aku.
Pilih dia saja.
Tak perlu kamu khawatirkan aku.
Aku cuma minta satu hal.
Maukah kamu sebut namaku dalam doa-doamu?”
Aku mengangguk. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku mengangguk karena aku tahu dengan begitu aku akan melihat senyumnya sekali lagi.
Benar saja. Dia kembali tersenyum manis melihat aku mengangguk. Manis luar biasa.
Dan kemudian, bayang tipis itu semakin menipis dan menghilang. Hilang sempurna.
Aku terdiam. Sedih luar biasa. Untung posisiku membelakangi Vania. Jadi ia tidak perlu melihat, ada setetes air yang mengalir dari sudut mataku.
[Bersambung]
Aku siuman dengan keadaan tersiksa lahir batin. Kepala berat, badan remuk redam, perasaan kacau balau. Tangan terasa sakit akibat infus yang menjuntai dengan kepala jarumnya menusuk punggung lenganku.
Mataku perlahan memandang sekeliling. Berharap ada di sebuah kamar hotel bintang 5, atau di kapal pesiar yang lagi keliling Eropa, atau di kursi pesawat terbang yang sedang mengangkasa menuju benua Amerika.
Ngimpi! Erangku kesal. Karena yang ada dihadapan adalah kamar rumah sakit yang masih sama dengan terakhir aku lihat. Kenapa hidupku Cuma ada dua settingan sih? Kuburan atau rumah sakit.
Aku menoleh ke sebelah kanan melihat siapa yang sedang duduk di bangku. Ternyata adikku.
“Eh Abang... udah sadar lagi bang?”
“Belum... “ jawabku asal. Aku mencoba duduk tapi rasanya berat sekali. Seperti ada Thanos duduk di dadaku. Eh Thanos? Aku jadi teringat semuanya. Rhea, Wulan, Suster, Vania, Ayahku dan Mas Lanang. Pertempuran hebat yang terjadi semalem. Pemenggalan kepala Wulan. Bagaimana kabar itu semua?!, “Vania gimana?”
“Vania sempat pingsan tapi gak lama kok, Cuma 3 jam lah.. susternya yang agak lama sampe 1 hari..” jawab Maudy.
Ebused?! Satu hari?! “Lha emang sekarang hari apa? Udah berapa hari aku pingsan?!”
“Wah kalo mas Danang udah pingsan 2 hari! Paling lama pingsan.. awalnya malah lucu sambil senyum-senyum hihi..” cerita Maudy sambil cekikikan. Kadang ketawanya dia lebih mirip setan dibanding ketawanya Rhea, “Kak Vania ternyata hebat ya kak. Kuat! Dia bisa nahan suster yang kesurupan sendirian, padahal ayah aja harus ama kak Lanang untuk bisa nahan tuh suster..”
Ternyata tak ada yang tahu kalau Vania pun sebenarnya kerasukan ,“Kamu tuh kayaknya beberapa hari ini bahagia banget ya.. liat kakaknya babak belur...” protesku sengit. Aku membetulkan letak kepalaku di bantal agar terasa lebih nyaman. Baru aku hendak membuka mulut untuk bertanya, tiba-tiba pintu terbuka dan masuk Vania ke dalam kamar. Cantik seperti biasa. Ah aku jadi salting, apalagi kalau teringat dia sebenarnya sudah memutuskan hubungan, “Eh Va..... gimana kabar kamu..”
“Aku baik.. kabar kamu gimana? Dari kemarin aku dateng kamu masih pingsan terus..”
“Ya gitu deh....” aku terdiam. Masih terasa lemas sekaligus gugup.
Vania menengok ke Maudy dan berkata pelan, “Maudy.. boleh gak aku minta waktu sebentar? Aku mau bicara sama mas Danang...”
Wajah Maudy girang mendengar permintaan itu, “Wah silahkan mbakku yang cantik! Kalau bisa sekalian setengah hari yaaa... aku mau pulang. aku capek disini terus. Gak ada yang ganteng..”
“Haha.. ya udah pulang sanah. Mas Danang mah gak usah ditungguin Dy, wong yang jagain dia banyak kok.. hihi..” jawab Vania penuh arti. Sial, dia sepertinya tahu masalahku.
Tak sampai lima menit Vania sudah menghilang dari kamar, sepertinya ia beneran bersyukur bisa bebas tugas. Kini tinggal aku dan Vania. Berdua. Eh tunggu apakah Rhea ada? Aku tak melihatnya, juga tak mendengar suaranya. Juga tak mencium wanginya. Apa kabar ya Rhea?
Vania terdiam memandang wajahku, membuat aku semakin gelisah. Apa yang hendak dia katakan, “Kenapa Va? Kok diam aja?”
“Aku... kemarin sudah bicara panjang lebar dengan Rhea...”
Maakkk Dhieeeggg. Anjrit. Ngomong apa aja mereka? “Kamu ketemu dia?”
“Gak, aku gak bisa liat. Dan dia pun tidak menampakkan dirinya. Dia Cuma berbicara dengan aku. Tentang kamu dan hubungan kalian selama ini...”
“Trus...” Aku kok mendadak punya perasaan gak enak melihat betapa tenangnya wajah Vania.
“Dia sudah cerita bagaimana dia memang dekat dengan kamu, tentang dia yang ngejar-ngejar kamu, tentang kamu yang menolak untuk lebih jauh menjalin hubungan dengan dia, tentang betapa mudahnya ia jatuh cinta pada manusia... dia ternyata player yah.. haha.. ada-ada aja.. kamu tahu kan dia player?!” cerita Vania tanpa ada rasa cemburu.
“Iya.. aku tahu..” jawabku bingung.
“Dia juga cerita tentang tujuan utama dia deketin kamu tuh untuk ngejaga kamu dari Wulan. Kamu tau gak kalau Wulan itu jin jahat yang suka ngambil jiwa manusia. Nah Alhamdulillah Rhea akhirnya berhasil membunuh Wulan. Jadi selesai sudah misi dia..”
“Oh iya?!” ini aku yang belum tahu. Misi? Misi apaan? Mission imposible?
“Iya. Dia mohon supaya aku balik lagi sama kamu. Karena kamu gak salah kok. Dia aja yang kemaren-kemaren emang kecentilan. Yang harusnya jagain kamu eh malah jatuh cinta sama kamu. Dia juga ngaku terpaksa pakai sihir untuk mempengaruhi kamu. Gitu kata dia. Trus dia janji gak akan lagi bertemu dengan kamu karena toh emang tugas dia sudah selesai. Dia ada tugas lain. Lucu ya, jin kok banyak tugasnya, mungkin di dunia jin dia semacam polisi kali ya..”
Kurang lebihnya mungkin itu yang diucapkan Vania. Aku tak bisa fokus karena pikiranku mendadak kalut mendengar kalimat – dia janji gak akan bertemu dengan kamu lagi –
“Dia bilang gini,....Vania kamu gak usah khawatir. Aku gak akan ganggu mas Danang lagi. Aku punya tugas lain dan paling aku akan jatuh cinta lagi pada manusia itu. Itulah kelemahanku Vania, mudah jatuh cinta... gitu kata dia..”
Aku... terhenyak dalam arti sebenarnya. Bukan lebay bukan berlebihan. Tapi aku benar-benar kaget mendengar cerita Vania. Apa maksud Rhea?!
“Dan dia akhirnya titip salam buat kamu. Dia bilang, mas Danang ati-ati jangan sering bengong biar gak kerasukan lagi.. hihii.. ada-ada aja tuh jin. Lucu juga dia..”
Vania tertawa dan aku rasanya ingin menangis.
Ingin marah.
Ingin menampar Rhea yang dengan seenaknya ngomong seperti itu.
“Aku.. aku masih lemas Vania..” ujarku pelan. Seolah lemas padahal dada bergemuruh ingin berteriak kencang memanggil nama Rhea yang lancang itu.
“Oh iya mas tidur aja dulu.. aku tunggu disini sampai Maudy datang lagi...” kata Vania sambil duduk di bangku yang tadi dipakai oleh Maudy.
Ah Vania baik sekali pikirku sambil memejamkan mata. Tapi sedetik kemudian aku kembali ingin berteriak. Rheaaaaaa.............. berani-beraninya kamu pergi dari kehidupanku setelah semua ini! Kemana kamu Rheaaaaa....!!!!!
Rheaaaa....!!!
Aku berteriak dalam sunyi.
Kemudian membalikkan tubuhku.
Membelakangi Vania.
Ke arah jendela. Dan tiba-tiba aku melihat bayang-bayang tipis disana. Diluar jendela. Menatapku sambil tersenyum manis, Itu Rhea! Itu Rhea! Senyumku mengembang, tapi kemudian dengan tatapan Rhea aku seolah mengerti apa yang sedang dia ingin katakan. Entah bagaimana aku seolah mendengar suara Rhea dibenakku.. sangat jelas...
Kamu tidak perlu memilih dia atau aku.
Pilih dia saja.
Tak perlu kamu khawatirkan aku.
Aku cuma minta satu hal.
Maukah kamu sebut namaku dalam doa-doamu?”
Aku mengangguk. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku mengangguk karena aku tahu dengan begitu aku akan melihat senyumnya sekali lagi.
Benar saja. Dia kembali tersenyum manis melihat aku mengangguk. Manis luar biasa.
Dan kemudian, bayang tipis itu semakin menipis dan menghilang. Hilang sempurna.
Aku terdiam. Sedih luar biasa. Untung posisiku membelakangi Vania. Jadi ia tidak perlu melihat, ada setetes air yang mengalir dari sudut mataku.
[Bersambung]
lsenseyel dan 24 lainnya memberi reputasi
25
Tutup