Kaskus

Story

nofivinovieAvatar border
TS
nofivinovie
Kunikahi Sahabatku
Kunikahi Sahabatku




Nimas tertegun di ranjang pengantinnya.

Dari sana ia bisa melihat Saga yang pulas di sofa ruangan itu. Wajah pria itu terlihat tenang, napasnya teratur, hanya poninya yang tampak agak berantakan. Kemeja putih bekas akad masih melekat di tubuhnya.

Di matanya, Saga tidak lebih dari sahabat.

Namun, aksi heroiknya kemarin sungguh membuat Nimas tidak enak hati.

Semua berawal dari kaburnya Andre di hari pernikahan. Harusnya dia yang kini berada di kamar itu bersama Nimas, bukan Saga. Harusnya Nimas tidak mengorbankan Saga demi menutupi rasa malu keluarganya.

Saga, teman Nimas sejak kecil.

Sejak dulu, laki-laki itu rela melakukan apa saja untuk Nimas. Saga belajar bela diri untuk melindungi Nimas dari anak-anak yang suka mengganggunya. Saga dan Nimas seolah tidak pernah terpisahkan.

Namun, saat keduanya beranjak dewasa, semua mulai berubah. Nimas dan Saga menjadi jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Hingga suatu hari Nimas bertemu Andre dan menjalin hubungan serius.

"Udah bangun?" Lamunan Nimas buyar saat sebuah suara serak yang begitu dikenalinya terdengar begitu dekat. Ia menoleh ke sumber suara.

"Eh, u-udah, Ga."

Kaku. Sunyi. Namun, Saga terlihat begitu tenang. Laki-laki itu mendekati ranjang.

"Boleh gue duduk di sini?"

Mereka berpandangan sejenak.

"Duduk aja." Sekuat tenaga Nimas menahan gejolak dalam hatinya. Pada situasi normal, Nimas akan baik-baik saja duduk berdekatan dengan Saga.

Namun, saat ini situasinya berbeda. Mereka berada di kamar pengantin. Kamar mereka berdua. Kamar pengantin yang bahkan spreinya masih putih bersih dan rapi. Cahaya redup dari lampu tidur membuat suasana makin mendebarkan bagi keduanya. Suasana yang harusnya romantis justru menjadi hal yang meresahkan mereka.

"Apa rencana lo ke depan?" tanya Saga hati-hati. Laki-laki itu tentu tidak mau Nimas salah tangkap dengan maksud pertanyaannya. Bagaimana pun pernikahan ini hanya demi meyelamatkan harga diri Nimas dan keluarganya.

Nimas masih membisu. Wajah sendunya belum hilang sejak kemarin. Namun, setidaknya air mata  sudah tidak lagi terlihat.

"Rencana apa maksud lo, Ga?" Nimas balik bertanya. Wajah ayunya sedikit mendongak.

Lagi-lagi keduanya beradu pandang. Namun, Saga cepat membuang pandangan ke arah meja rias demi meredam degup jantungnya yang tidak menentu. Saga menarik napas berat hingga terdengar di telinga Nimas.

"Kita nggak lagi main sandiwara, kan?"

Nimas tidak punya jawaban untuk pertanyaan Saga, setidaknya untuk saat ini. Nimas benar-benar merasa seperti terjebak akibat keputusannya sendiri. Sudah tepatkah keputusannya dengan menerima Saga?

Nimas masih diam.

Saga beranjak dari duduknya. Ia berjalan pelan dengan menyelipkan kedua telapak tangannya di saku celana. Laki-laki jangkung itu sepertinya ingin memberikan Nimas waktu untuk berpikir.

"Ga!" seru Nimas.

Saga yang tangannya hampir menyentuh gagang pintu, berhenti. Ia menoleh. Matanya menatap Nimas.

"Gue nggak peduli kita sandiwara atau enggak. Yang gue tahu, gue berusaha buat lo bahagia. Lupain aja pertanyaan gue tadi."

"Saga!" Nimas turun dari ranjang. Ia mendekati laki-laki yang kini sudah resmi menjadi suaminya itu, lalu berhenti tepat di depannya. "Gue egois banget, ya? Gue cuma mikirin perasaan gue dan keluarga."

"Semua udah kejadian. Pilihannya hanya dua. Kita tetap bersandiwara atau belajar menerima. Itu aja, nggak ada yang lain."

Nimas tertegun mendengar jawaban Saga.

Akhirnya, Nimas hanya mampu menatap punggung sahabatnya yang berlalu. Keresahannya semakin menjadi. Pilihan yang mereka miliki memang hanya pura-pura atau belajar menerima, seperti yang Saga katakan.

Bersambung.

Sumber Gambar: ini

Bab 2

Bab 3

Bab 4

Bab 5

Bab 6

Bab 7

Bab 8

Bab 9

Bab 10

Bab 11

Bab 12

Bab 13

Bab 14

Bab 15

Bab 16
bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23 (Ending)
Baca juga kisah cinta yang sesat di sini: Sisi Lain Seorang Pelakor
Diubah oleh nofivinovie 01-04-2020 03:53
tarigannaAvatar border
disya1628Avatar border
efti108Avatar border
efti108 dan 97 lainnya memberi reputasi
98
69.1K
401
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.4KAnggota
Tampilkan semua post
nofivinovieAvatar border
TS
nofivinovie
#224
Bab 21
kaskus-image

Senja di ujung mata Nimas makin nyata.

Wanita itu masih terduduk lesu di balkon kamarnya. Sudah seminggu sejak pagi itu. Pagi di mana ia dan Saga bertengkar hebat.

Jika dipikir-pikir, itu pertama kalinya mereka bertikai. Tentu saja mereka sebelumnya baik-baik saja. Nyaris tidak pernah cekcok.

Berhari-hari lamanya Nimas mencoba mencerna.

Ia tidak ingin ditemui siapa pun. Wanita itu hanya ingin sendiri. Meski berkali-kali Gayatri dan Marini datang untuk mengajaknya bicara.

Nimas hanya diam. Ia juga mematikan ponsel. Hari-harinya seminggu ini hanya dihabiskan untuk merenung. Bahkan, ia benar-benar membatasi aktivitas.

Gairah hidup Nimas redup seketika.

Sifat cerewet dan usil yang biasa melekat seolah-olah hilang. Terhapus begitu saja. Ini membuat orang terdekatnya kelimpungan.

"Nduk, Papa mau bicara. Kamu ada waktu?" Suara halus Sasongko tiba-tiba membuyarkan lamunan anak bungsunya. Wanita muda itu beringsut, kemudian mengangguk tanpa menoleh.

Hening.

Sasongko yang baru saja pulih, memaksakan diri untuk berbicara serius dengan sang anak. Tetapi, ternyata mental laki-laki lima puluhan tahunan itu tidak sekuat yang diinginkan. Lindahnya kelu.

"Papa mau bicara apa?"

Nimas menatap sang ayah yang terlihat ragu.

"Tapi kamu janji, jangan marah!" ucap Sasongko.

Nimas mengangguk.

"Nimas akan berusaha, Pa. Mau bicara tentang apa? Ada hubungannya sama Saga?"

Mendengar pertanyaan Nimas membuat senyuman terbit di bibir tebal Sasongko. Ia senang akhirnya Nimas membuka diri untuk berbicara. Laki-laki berkaca mata minus itu duduk di kursi sebelah kanan Nimas. Keduanya sama-sama menatap temaram di ufuk barat. Menikmati dalam kecamuk rasa yang berbeda.

"Tentu saja ada hubungannya dengan suamimu."

"Langsung saja, Pa!"

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi?"

"Kami tidak cocok."

"Kok bisa? Bukankah kalian begitu dekat? Kalian sudah sama-sama tahu baik buruk pribadi masing-masing."

"Menikah tidak sama dengan bersahabat."

"Apa bedanya?"

"Banyak, Pa. Apa Nimas harus sebutin satu-satu?" Nimas tidak percaya dengan pertanyaan konyol ayahnya. Baginya, semua orang tahu, bersahabat tidaklah sama dengan menikah. Dasar hubungan keduanya sangat berbeda.

"Sebut saja, biar Papa paham!" perintah Sasongko lembut. Laki-laki itu merasakan nada lain dalam kalimat tanya yang dilontarkan sang putri.

"Pa, menikah itu butuh komitmen. Menikah juga harus sama-sama cinta. Menikah itu wajib mengerti satu sama lain. Menerima kekurangan dan kebaikan secara bersamaan. Nggak bisa hanya baiknya aja."

"Lalu, bersahabat tidak kah perlu hal-hal itu?"

Nimas terdiam, padahal tadinya bibir merah itu sudah terbuka untuk menyangkal.

"Maksud Papa apa sebenarnya?"

"Kalian bersahabat baik, sudah tahu baik buruknya masing-masing. Harusnya lebih paham bagaimana menyikapi perselisihan. Bukannya saling diam dan menjauh. Kecuali kalau memang kalian benar-benar tidak ingin hidup bersama. Apa boleh buat? Apa pun itu, Papa percaya Nimas lebih tahu yang terbaik. Papa akan dukung apa saja yang Nimas putuskan."

"Termasuk kalau Nimas mau cerai?"

***

Saga tampak bolak-balik menoleh pada layar ponsel yang sengaja ia letakkan di dekat komputer jinjing. Mata sipit berpupil coklat begitu awas pada deretan angka yang berjejer di kolom-kolom aplikasi exel. Daftar pesanan lengkap dengan rupiah yang telah diterimanya, dibaca satu demi satu.

Saga juga memeriksa laporan permintaan bunga untuk bulan depan, biaya operasional, dan juga pengajuan gaji untuk para pekerjanya. Semua ia lakukan dengan ketelitian tingkat tinggi. Setelah ia yakin tidak ada kesalahan, maka ia bubuhkan tanda tangan digitalnya di kolom persetujuan.

Minggu ini merupakan pekan berat untuk laki-laki itu. Ini pertama kali dalam hidupnya bertengkar dengan Nimas. Apalagi hubungan keduanya kini adalah suami istri. Nimas sama sekali tidak berusaha menghubunginya sepekan ini. Bukan ia tidak ingin tahu keadaan Nimas saat ini, tetapi menurutnya, menghubungi Nimas di kala emosi meraja bukanlah pilihan bijak. Saga hanya berharap, Nimas segera menghubunginya.

Sayangnya, seminggu yang ditunggu tidak membuahkan hasil. Sedangkan, ia harus pergi ke luar pulau untuk mengurus bisnis lain. Bukan untuk waktu seminggu atau dua minggu, melainkan lebih bisa berbulan-bulan.

Saga tentu tidak ingin pergi dalam keadaan seperti saat ini. Ia terlalu takut untuk menyakiti wanita pujaannya terlalu dalam. Saga kini was-was karena Nimas benar-benar seperti tidak peduli kepadanya. Hanya ada satu kemungkinan, Nimas benar-benar terluka. Untuk itu, Saga mulai mempertimbangkan langkah apa yang tepat. Mungkin, datang kepada wanita itu dan meminta maaf dengan tulus adalah jalan terbaik.

Setelah pertimbangannya mantap, Saga bergegas menuju meja rias di mana terletak dua kotak cincin yang tempo hari ditinggalkan Nimas. Ia menghela napas. Bagaimana pun, Nimas kini adalah istrinya.

Laki-laki itu meraih kedua benda tersebut dan memasukkannya ke tas kecil.

Tas yang selalu ia bawa ke mana-mana.

Saga keluar kamar dan mencari maminya.

Wanita yang masih terlihat cantik itu sedang menatap layar televisi, menonton acara diskusi para pengacara. Jika sudah begitu, anaknya datang pun wanita itu seolah-olah tidak peduli. Jiwanya seolah tercurah sepenuhnya ke dalam ajang tersebut.

"Mami, Saga ke tempat Nimas dulu."

Begitulah kalimat Saga yang merasa terasing.

Tidak ada jawaban.

Saga geleng-geleng.

Tidak ingin mengganggu, laki-laki itu segera menyingkir. Tapi, baru saja beberapa langkah, acara tersebut jeda. Otomatis kesadaran Marini kembali.

"E e eh. Anak Mami mau ke mana? Main ngeloyor."

Saga berbalik.

"Tadi Saga udah pamitan, Mami aja terlalu serius nonton." Anak itu mendekati sang ibu. Menyalami dan mengecup pipi mulusnya.

"Emang mau ke mana?"

"Mau ngajakin mantu Mami balik."

Marini terlihat antusias. Ia memeluk sang anak begitu erat. Air matanya luruh.

"Saga, Mami sedih lihat kamu kayak gini."

Saga melepaskan pelukan itu dan menghapus air mata di pipi tua sang ibu.

"Jangan nangis, ah! Saga nggak apa-apa. Mami cukup bantu doa. Kan doa paling mujarab itu nggak lain adalah doa seorang ibu."

Marini mengangguk. Tapi, tentu saja bukan menghentikan air matanya. Justru membuat rinai itu menderas.

"Mami selalu doain kamu. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang selama ini terlampau jauh untuk dijangkau. Jadilah laki-laki sejati!"

"Pasti."

Ada getar yang dirasakan Marini dari jawaban singkat sang anak. Tentu tidak mudah menjadi Saga. Hidup dengan kurangnya cinta seorang ayah, menyaksikan kekerasan yang begitu sering, dan lagi mencintai dalam diam sahabatnya.

Marini paham rasanya.

Marini tahu tatapan Saga yang begitu iri melihat teman-temannya digandeng atau digendong oleh ayah mereka.

Marini juga paham ketakutan Saga akan sebuah hubungan yang kemungkinan besar berasal dari masa lalu. Masa di mana dirinya menjadi korban KDRT. Saga kecil hanya bisa menangis tanpa suara. Berdiri atau duduk di sudut ruangan menatap nanar sang ibu yang sedang disiksa.

Lalu, Saga tumbuh menjadi pemuda yang kurang percaya diri. Ia takut ditinggalkan. Takut kehilangan. Saga takut kehilangan Nimas seperti ia kehilangan papinya. Saga ingin Nimas terus ada di hadapannya.

Saga menyimpan rapat perasaannya terhadap Nimas agar tidak terjadi perselisihan.

Saga takut Nimas tidak menerima perasaannya.

Saga takut Nimas marah dan memutuskan pergi untuk selamanya. Sag tidak ingin hal itu terjadi. Baginya, Nimas harus selalu ada di dekatnya.

"Sudah saatnya kamu meraih kebahagiaan."

"Saga akan berusaha meraihnya, Mam."

Mereka berpelukan dengan sangat erat.

"Jadilah laki-laki kuat, Nak!"

***

"Jadi Nimas ingin bercerai, Om?"

"Kemarin dia bicara seperti itu."

"Lalu, apa tanggapan Om?"

"Om sudah terlanjur bilang akan dukung dia."

Kedua orang yang sedang berbincang itu tidak tahu ada sepasang telinga lain yang mendengar. Sedangkan pembahasan terus berlanjut. Orang itu Saga.

Semangat memperbaiki hubungan dirinya dengan Nimas mendadak pupus. Hilang. Lenyap begitu saja tanpa sisa.

Saga bahkan tiba-tiba benar-benar menyesal.

Menyesal telah bertindak sok pahlawan.

Pahlawan apa namanya yang punya hati rapuh?

Tidak menunggu lama, kaki Saga bergegas keluar halaman rumah mertuanya.

Sesampainya di luar pagar, sebelum masuk ke mobil, ia bersandar sejenak. Ia mendongak ke arah kamar Nimas. Kebetulan, sosok itu terlihat sedang melamun.

Lamunan yang Saga tahu apa isinya.

Tidak lain adalah tentang hubungan mereka.

Kalau memang gue cuma bisa bikin lo kayak gini, lebih baik gue pergi, batin Saga.

Lalu, dengan tatapan yang masih tertuju kepada sosok sang istri, Saga mengambil kunci mobilnya. Menekan tombol buka kunci dan bergegas menuju kemudi. Lama, sebelum akhirnya ia masuk ke mobil setelah puas menatap sosok ayu di balkon itu.

Saga tidak langsung menyalakan mesin.

Tapi, sejurus kemudian tekadnya benar-benar bulat. Ia memutar kontak di bawah kemudi hingga suara mesin mulai terdengar. Perlahan, tetapi pasti, kendaraan roda empat itu melaju. Tanpa Saga tahu, sosok yang tadi diamatinya sedang berlari menuju pagar. Dan, wanita itu hanya mendapati jalanan sepi.

Bersambung

AN: mohon maaf manteman baru sempat update. Selain sedikit sok sibuk, saya juga kehabisan kuota. Wkwkkw.
Diubah oleh nofivinovie 11-03-2020 00:02
Herisyahrian
yudhiestirafws
disya1628
disya1628 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.