- Beranda
- Stories from the Heart
Kunikahi Sahabatku
...
TS
nofivinovie
Kunikahi Sahabatku

Nimas tertegun di ranjang pengantinnya.
Dari sana ia bisa melihat Saga yang pulas di sofa ruangan itu. Wajah pria itu terlihat tenang, napasnya teratur, hanya poninya yang tampak agak berantakan. Kemeja putih bekas akad masih melekat di tubuhnya.
Di matanya, Saga tidak lebih dari sahabat.
Namun, aksi heroiknya kemarin sungguh membuat Nimas tidak enak hati.
Semua berawal dari kaburnya Andre di hari pernikahan. Harusnya dia yang kini berada di kamar itu bersama Nimas, bukan Saga. Harusnya Nimas tidak mengorbankan Saga demi menutupi rasa malu keluarganya.
Saga, teman Nimas sejak kecil.
Sejak dulu, laki-laki itu rela melakukan apa saja untuk Nimas. Saga belajar bela diri untuk melindungi Nimas dari anak-anak yang suka mengganggunya. Saga dan Nimas seolah tidak pernah terpisahkan.
Namun, saat keduanya beranjak dewasa, semua mulai berubah. Nimas dan Saga menjadi jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Hingga suatu hari Nimas bertemu Andre dan menjalin hubungan serius.
"Udah bangun?" Lamunan Nimas buyar saat sebuah suara serak yang begitu dikenalinya terdengar begitu dekat. Ia menoleh ke sumber suara.
"Eh, u-udah, Ga."
Kaku. Sunyi. Namun, Saga terlihat begitu tenang. Laki-laki itu mendekati ranjang.
"Boleh gue duduk di sini?"
Mereka berpandangan sejenak.
"Duduk aja." Sekuat tenaga Nimas menahan gejolak dalam hatinya. Pada situasi normal, Nimas akan baik-baik saja duduk berdekatan dengan Saga.
Namun, saat ini situasinya berbeda. Mereka berada di kamar pengantin. Kamar mereka berdua. Kamar pengantin yang bahkan spreinya masih putih bersih dan rapi. Cahaya redup dari lampu tidur membuat suasana makin mendebarkan bagi keduanya. Suasana yang harusnya romantis justru menjadi hal yang meresahkan mereka.
"Apa rencana lo ke depan?" tanya Saga hati-hati. Laki-laki itu tentu tidak mau Nimas salah tangkap dengan maksud pertanyaannya. Bagaimana pun pernikahan ini hanya demi meyelamatkan harga diri Nimas dan keluarganya.
Nimas masih membisu. Wajah sendunya belum hilang sejak kemarin. Namun, setidaknya air mata sudah tidak lagi terlihat.
"Rencana apa maksud lo, Ga?" Nimas balik bertanya. Wajah ayunya sedikit mendongak.
Lagi-lagi keduanya beradu pandang. Namun, Saga cepat membuang pandangan ke arah meja rias demi meredam degup jantungnya yang tidak menentu. Saga menarik napas berat hingga terdengar di telinga Nimas.
"Kita nggak lagi main sandiwara, kan?"
Nimas tidak punya jawaban untuk pertanyaan Saga, setidaknya untuk saat ini. Nimas benar-benar merasa seperti terjebak akibat keputusannya sendiri. Sudah tepatkah keputusannya dengan menerima Saga?
Nimas masih diam.
Saga beranjak dari duduknya. Ia berjalan pelan dengan menyelipkan kedua telapak tangannya di saku celana. Laki-laki jangkung itu sepertinya ingin memberikan Nimas waktu untuk berpikir.
"Ga!" seru Nimas.
Saga yang tangannya hampir menyentuh gagang pintu, berhenti. Ia menoleh. Matanya menatap Nimas.
"Gue nggak peduli kita sandiwara atau enggak. Yang gue tahu, gue berusaha buat lo bahagia. Lupain aja pertanyaan gue tadi."
"Saga!" Nimas turun dari ranjang. Ia mendekati laki-laki yang kini sudah resmi menjadi suaminya itu, lalu berhenti tepat di depannya. "Gue egois banget, ya? Gue cuma mikirin perasaan gue dan keluarga."
"Semua udah kejadian. Pilihannya hanya dua. Kita tetap bersandiwara atau belajar menerima. Itu aja, nggak ada yang lain."
Nimas tertegun mendengar jawaban Saga.
Akhirnya, Nimas hanya mampu menatap punggung sahabatnya yang berlalu. Keresahannya semakin menjadi. Pilihan yang mereka miliki memang hanya pura-pura atau belajar menerima, seperti yang Saga katakan.
Bersambung.
Sumber Gambar: ini
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23 (Ending)
Baca juga kisah cinta yang sesat di sini: Sisi Lain Seorang Pelakor
Diubah oleh nofivinovie 01-04-2020 03:53
efti108 dan 97 lainnya memberi reputasi
98
69.1K
401
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nofivinovie
#220
Bab 17
Di sini lah Nimas saat ini, di dapur rumah mewah milik orang tua Saga. Marini, mertua yang dulu sempat begitu dekat dengannya semasa kecil, kini terlihat sangat bahagia. Berulang kali ia memeluk Nimas sebagai tanda kehadiran wanita itu teramat berarti.
Mereka sedang sibuk dengan menu yang akan disajikan untuk makan malam.
Nimas yang memang belum begitu pandai memasak lebih banyak bertanya tentang proses pengolahan bahan makanan. Untung saja sang mertua dan asisten rumah tangga di sana begitu telaten menjelaskan. Mereka begitu semangat dalam upaya menyiapkan hidangan lezat.
Tepat pukul 18.00 mereka sudah selesai menyajikan makanan. Aroma semur daging beradu kuat dengan harumnya sup ayam dan sambel terasi. Biasanya di rumah itu tidak pernah ada menu sambal, mengingat tidak ada yang suka makanan pedas. Tapi, sekarang ada sang menantu semata wayang sangat menyukai segala makanan bercita rasa pedas. Jadilah menu mereka bertambah varian, yaitu sambal. Tentu saja dengan level super pedas.
Saga yang baru saja pulang dari kebun bunganya, mengintip kegiatan ketiga wanitanya.
"Bau sambal," ucap Saga mengagetkan.
Bik Surti yang kagetan dan latah sampai harus beristighfar tiada henti. Kalau sudah begitu Saga akan tergelak. Laki-laki itu memang sangat senang mengusili orang-orang terdekatnya, tak terkecuali asisten rumah tangga mereka.
"Istri doyan sambal masa suami ngeluh."
Mendengar celetukan sang ibu, Saga hanya meringis mirip orang pamer gigi, lalu pergi begitu saja. Nimas jadi merasa tidak enak. Untuk itu ia segera menyusul Saga. Sepertinya suaminya itu pergi ke kamar.
Sesampainya di kamar, Nimas mendapati suaminya sedang membuka kemeja.
"Ga, sorry masuk nggak ketuk dulu."
Keduanya sama-sama kikuk. Tapi, di detik berikutnya, Saga justru tersenyum. Tanpa ragu ia melanjutkan melepas kemejanya. Seperti adegan slow motion di film-film romantis, adegan itu tidak kalah dramatis.
"Kita suami istri kalau lo lupa," jawab Saga.
Seperti de javu, Nimas tersenyum menyadari Saga tengah membalikkan kalimat yang pernah dilontarkannya saat di Bali. Mendengar itu, Nimas jadi memberanikan diri mendekat. Kini mereka berhadapan.
"Lo keberatan, ya, kalau ada sambal di menu?"
Saga tertawa.
"Ya ampun, istri gue baperan."
"Apaan coba? Gue serius nanya. Kalau sekiranya lo keberatan, besok gue bilang Mami biar nggak usah bikin lagi."
Mendengar itu, Saga langsung menutup mulutnya yang tadi masih ingin meledek.
"Hei, sejak kapan gue keberatan dengan apa yang lo suka? Bahkan lo mau nikah sama Andre pun gue dukung." Saga berbicara sambil tersenyum.
Sayangnya, Nimas justru sebaliknya. Wajah ayunya memerah, matanya menyipit, menatap tajam Saga. Barulah Saga sadar akan kesalahannya.
"Emang nggak ada gunanya gue belajar menerima takdir," desis Nimas seraya mundur.
Menyadari kesalahannya, Saga dengan cekatan meraih tangan Nimas. Ditahannya sang istri agar tidak jadi melangkah pergi. Dengan penuh penyesalan, Saga mendekap Nimas erat. Mendapat dekapan mendadak membuat Nimas tidak bisa berkutik.
Ia tidak menyangka akan direngkuh sedemikian hangat oleh Saga. Tanpa diminta. Tanpa dirayu. Nimas yang tadinya meradang, kini mulai melunak.
"Jangan pergi," bisik Saga dengan mata terpejam di puncak kepala Nimas. Mendengar dua kata sederhana itu, hati Nimas makin trenyuh. Tanpa sadar tangan Nimas balas memeluk tubuh tanpa baju itu.
Tanpa mereka sadari, pintu kamar terbuka.
***
"Besok ikut Mami ke kebun?" Marini membuka percakapan di meja makan. Matanya tertuju ke arah sang menantu.
"Nggak boleh," jawab Saga, "besok Nimas mau ikut metik mawar. Lumayan, kan, ngirit waktu kalau Nimas bantuin." Saga menaik turunkan alisnya.
"Ih, apaan? Bukannya bantu-bantu, yang ada dimodusin. Emangnya Mami nggak tau akal-akalan kamu?" cibir sang ibu.
"Modus apaan?"
"Eh, tadi pintu kamar kamu kebuka. Apa yang Mami lihat, tebak?" Marini melotot jenaka.
Nimas tersedak. Saga dengan cekatan menyodorkan air putih di hadapannya. Ia begitu khawatir melihat Nimas yang merah padam.
"Nimas nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, kok, Mi." Nimas berusaha tersenyum meski kerongkongannya masih sedikit tak nyaman. Ia benar-benar kaget mendengar pertanyaan sang mertua.
"Maaf, tadi Mami nggak sengaja. Pas mau manggil buat makan, eh malah kalian lagi mesra-mesraan. Tapi Mami seneng, akhirnya kalian berjodoh."
"Mami udah, makan dulu, ngobrolnya nanti."
"Ih kamu tuh sirik aja, Mami kan seneng akhirnya kalian bisa barengan. Mami udah nggak sabar nimang cucu." Lagi-lagi Nimas tersedak.
"Mamiii!"
***
Kebun bunga anggrek milik Marini begitu luas dan tertata apik. Pot-pot tanah liat berjajar dengan anggrek warna-warni bermekaran. Banyak juga anggrek yang digantung atau menempel di tembok.
Aroma khas anggrek menguar di sepanjang lorong. Cahaya mentari yang mengintip dari atap berpenyaring begitu teduh terasa. Benar-benar surga para pencinta anggrek. Nimas masih terpana, meksi ia bukan salah seorang pencintanya.
Lalu matanya tertuju kepada segerombol anggrek berwarna ungu. Bunga yang sama dengan yang Saga berikan padanya saat makan siang di Cafe Lotus. Ia teringat rencananya untuk menanyakan filosofi bunga tersebut kepada sang mertua. Nimas girang bukan kepalang karena sebentar lagi ia akan mendapatkan jawaban.
"Mi, ini anggrek jenis apa?" Nimas menunjuk bunga yang ia maksud. Sang mertua tersenyum dan menjelaskan.
"Ini Anggrek Larat atau bahasa latinnya Dendrobium palaenopsis. Nimas suka? Boleh kalau mau tanam nanti."
"Ah. Nggak usah, Mi. Cuma penasaran aja."
"Cantik memang. Anggrek warna ungu juga bisa diartikan sebagai kekaguman, rasa hormat. Anggrek juga punya filosofi perjuangan."
"Perjuangan?"
"Iya, merawat anggrek tidak gampang. Butuh ketelatenan hingga menghasilkan bunga yang indah. Semua butuh proses. Untuk itu, bunga anggrek seolah menggambarkan akhir yang indah dari segala bentuk perjuangan."
"Bisa diartikan sebagai lambang cinta?"
"Bisa dong. Mungkin cinta yang begitu lama ia simpan dan jaga layaknya merawat anggrek kemudian berakhir dengan indah. Menghasilkan bunga yang begitu memesona. Pernah dikasih bunga anggrek?"
"Pernah."
***
Nimas sudah pulang dari kebun anggrek dengan mertuanya. Kemudian ia menghabiskan sore dengan tiduran di kamar Saga. Tanpa sadar matanya tertuju ke dinding dekat jendela, ada anggrek yang menempel di sana.
Satu lagi terletak di meja sudut, warna ungu bunganya persis dengan yang diberikan Saga waktu itu. Ia tiba-tiba teringat percakapan mereka di mobil kemarin. Percakapan tentang wanita yang dicintai Saga.
"Lo yakin mau tahu siapa cewek itu?"
"Iya," jawab Nimas waktu itu. Tapi Saga tidak kunjung menjawab. "Buruan. Siapa?"
"Cewek itu ... istri gue."
"Ha? Sumpeh lo? Miapah?"
"Mikian dan telimagajih."
"Tuh, kan. Saga, buruan kasih tahu. Pelit!"
"Nggak usah, ntar istri gue cemburu."
"Ya kalau boleh. Kalau nggak boleh ya nggak. Kan hak lo," jawab Nimas lirih. Wanita itu seolah terluka oleh keadaan.
"Apaan, sih? Udah percaya aja, nanti lo bakal tauuu. Gue janji lo bakal tau semuanya."
"Ga, kalau misal gue cuma bikin lo nggak bebas ngelakuin apa yang lo mau, lebih baik kita udahan aja, ya."
"Ngomong apa sih?"
Nimas terkejut dan seketika sadar dari lamunan saat sekuntum mawar merah menyentuh lubang hidungnya. Aroma lembut menyusup indra penciumannya. Saga memberi isyarat kepada Nimas untuk mengambil alih tangkai bunga tersebut.
"Ini artinya kalau nggak salah, cinta yang menggebu. Benar nggak, Ga?" Nimas menatap Saga, berharap mendapat jawaban.
"Sejak kapan jadi pengen tau arti bunga?"
"Sejak jadi istri dari cowok yang sukanya ngode pake bunga. Udah dong main kode-kodeannya. Ngomong langsung lebih enak, sih, Ga."
"Ngomong apa, sih?"
Saga masih menanggapi Nimas dengan candaan.
"Gue cuma pengen tau yang sebenarnya."
"Tentang apa?"
"Perasaan lo ke gue. Tolong jangan bikin gue nebak-nebak. Kita bicara sekarang atau nggak sama sekali." Saga menatap Nimas dengan intens.
Saga menggosokkan kedua telapak tangannya.
"Gue--"
"I love you."
Nimas berkata demikian seraya merapat ke arah Saga. Keduanya saling menatap. Lagi-lagi Nimas memanfaatkan kesempatan itu untuk menempelkan bibirnya tepat di bibir Saga. Entah angin apa yang menggerakan keduanya untuk melanjutkan lebih jauh.
"Gue nggak mau kehilangan lo, gue takut lo marah sama gue. Gue takut kita pisah. Gue takut lo bakal jauhin gue kalau tahu gue punya perasaan lebih ke lo."
Nimas tersenyum seraya berkata, "Kita suami istri sekarang, Ga. Gue janji bakal belajar jadi istri yang baik. Kita mulai dari nol, ya."
Saga mengangguk setuju. Kemudian mereka berpelukan erat seolah tidak ingin terpisah. Sayangnya kemesraan itu terganggu oleh dering ponsel milik Nimas.
Bersambung
Mereka sedang sibuk dengan menu yang akan disajikan untuk makan malam.
Nimas yang memang belum begitu pandai memasak lebih banyak bertanya tentang proses pengolahan bahan makanan. Untung saja sang mertua dan asisten rumah tangga di sana begitu telaten menjelaskan. Mereka begitu semangat dalam upaya menyiapkan hidangan lezat.
Tepat pukul 18.00 mereka sudah selesai menyajikan makanan. Aroma semur daging beradu kuat dengan harumnya sup ayam dan sambel terasi. Biasanya di rumah itu tidak pernah ada menu sambal, mengingat tidak ada yang suka makanan pedas. Tapi, sekarang ada sang menantu semata wayang sangat menyukai segala makanan bercita rasa pedas. Jadilah menu mereka bertambah varian, yaitu sambal. Tentu saja dengan level super pedas.
Saga yang baru saja pulang dari kebun bunganya, mengintip kegiatan ketiga wanitanya.
"Bau sambal," ucap Saga mengagetkan.
Bik Surti yang kagetan dan latah sampai harus beristighfar tiada henti. Kalau sudah begitu Saga akan tergelak. Laki-laki itu memang sangat senang mengusili orang-orang terdekatnya, tak terkecuali asisten rumah tangga mereka.
"Istri doyan sambal masa suami ngeluh."
Mendengar celetukan sang ibu, Saga hanya meringis mirip orang pamer gigi, lalu pergi begitu saja. Nimas jadi merasa tidak enak. Untuk itu ia segera menyusul Saga. Sepertinya suaminya itu pergi ke kamar.
Sesampainya di kamar, Nimas mendapati suaminya sedang membuka kemeja.
"Ga, sorry masuk nggak ketuk dulu."
Keduanya sama-sama kikuk. Tapi, di detik berikutnya, Saga justru tersenyum. Tanpa ragu ia melanjutkan melepas kemejanya. Seperti adegan slow motion di film-film romantis, adegan itu tidak kalah dramatis.
"Kita suami istri kalau lo lupa," jawab Saga.
Seperti de javu, Nimas tersenyum menyadari Saga tengah membalikkan kalimat yang pernah dilontarkannya saat di Bali. Mendengar itu, Nimas jadi memberanikan diri mendekat. Kini mereka berhadapan.
"Lo keberatan, ya, kalau ada sambal di menu?"
Saga tertawa.
"Ya ampun, istri gue baperan."
"Apaan coba? Gue serius nanya. Kalau sekiranya lo keberatan, besok gue bilang Mami biar nggak usah bikin lagi."
Mendengar itu, Saga langsung menutup mulutnya yang tadi masih ingin meledek.
"Hei, sejak kapan gue keberatan dengan apa yang lo suka? Bahkan lo mau nikah sama Andre pun gue dukung." Saga berbicara sambil tersenyum.
Sayangnya, Nimas justru sebaliknya. Wajah ayunya memerah, matanya menyipit, menatap tajam Saga. Barulah Saga sadar akan kesalahannya.
"Emang nggak ada gunanya gue belajar menerima takdir," desis Nimas seraya mundur.
Menyadari kesalahannya, Saga dengan cekatan meraih tangan Nimas. Ditahannya sang istri agar tidak jadi melangkah pergi. Dengan penuh penyesalan, Saga mendekap Nimas erat. Mendapat dekapan mendadak membuat Nimas tidak bisa berkutik.
Ia tidak menyangka akan direngkuh sedemikian hangat oleh Saga. Tanpa diminta. Tanpa dirayu. Nimas yang tadinya meradang, kini mulai melunak.
"Jangan pergi," bisik Saga dengan mata terpejam di puncak kepala Nimas. Mendengar dua kata sederhana itu, hati Nimas makin trenyuh. Tanpa sadar tangan Nimas balas memeluk tubuh tanpa baju itu.
Tanpa mereka sadari, pintu kamar terbuka.
***
"Besok ikut Mami ke kebun?" Marini membuka percakapan di meja makan. Matanya tertuju ke arah sang menantu.
"Nggak boleh," jawab Saga, "besok Nimas mau ikut metik mawar. Lumayan, kan, ngirit waktu kalau Nimas bantuin." Saga menaik turunkan alisnya.
"Ih, apaan? Bukannya bantu-bantu, yang ada dimodusin. Emangnya Mami nggak tau akal-akalan kamu?" cibir sang ibu.
"Modus apaan?"
"Eh, tadi pintu kamar kamu kebuka. Apa yang Mami lihat, tebak?" Marini melotot jenaka.
Nimas tersedak. Saga dengan cekatan menyodorkan air putih di hadapannya. Ia begitu khawatir melihat Nimas yang merah padam.
"Nimas nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, kok, Mi." Nimas berusaha tersenyum meski kerongkongannya masih sedikit tak nyaman. Ia benar-benar kaget mendengar pertanyaan sang mertua.
"Maaf, tadi Mami nggak sengaja. Pas mau manggil buat makan, eh malah kalian lagi mesra-mesraan. Tapi Mami seneng, akhirnya kalian berjodoh."
"Mami udah, makan dulu, ngobrolnya nanti."
"Ih kamu tuh sirik aja, Mami kan seneng akhirnya kalian bisa barengan. Mami udah nggak sabar nimang cucu." Lagi-lagi Nimas tersedak.
"Mamiii!"
***
Kebun bunga anggrek milik Marini begitu luas dan tertata apik. Pot-pot tanah liat berjajar dengan anggrek warna-warni bermekaran. Banyak juga anggrek yang digantung atau menempel di tembok.
Aroma khas anggrek menguar di sepanjang lorong. Cahaya mentari yang mengintip dari atap berpenyaring begitu teduh terasa. Benar-benar surga para pencinta anggrek. Nimas masih terpana, meksi ia bukan salah seorang pencintanya.
Lalu matanya tertuju kepada segerombol anggrek berwarna ungu. Bunga yang sama dengan yang Saga berikan padanya saat makan siang di Cafe Lotus. Ia teringat rencananya untuk menanyakan filosofi bunga tersebut kepada sang mertua. Nimas girang bukan kepalang karena sebentar lagi ia akan mendapatkan jawaban.
"Mi, ini anggrek jenis apa?" Nimas menunjuk bunga yang ia maksud. Sang mertua tersenyum dan menjelaskan.
"Ini Anggrek Larat atau bahasa latinnya Dendrobium palaenopsis. Nimas suka? Boleh kalau mau tanam nanti."
"Ah. Nggak usah, Mi. Cuma penasaran aja."
"Cantik memang. Anggrek warna ungu juga bisa diartikan sebagai kekaguman, rasa hormat. Anggrek juga punya filosofi perjuangan."
"Perjuangan?"
"Iya, merawat anggrek tidak gampang. Butuh ketelatenan hingga menghasilkan bunga yang indah. Semua butuh proses. Untuk itu, bunga anggrek seolah menggambarkan akhir yang indah dari segala bentuk perjuangan."
"Bisa diartikan sebagai lambang cinta?"
"Bisa dong. Mungkin cinta yang begitu lama ia simpan dan jaga layaknya merawat anggrek kemudian berakhir dengan indah. Menghasilkan bunga yang begitu memesona. Pernah dikasih bunga anggrek?"
"Pernah."
***
Nimas sudah pulang dari kebun anggrek dengan mertuanya. Kemudian ia menghabiskan sore dengan tiduran di kamar Saga. Tanpa sadar matanya tertuju ke dinding dekat jendela, ada anggrek yang menempel di sana.
Satu lagi terletak di meja sudut, warna ungu bunganya persis dengan yang diberikan Saga waktu itu. Ia tiba-tiba teringat percakapan mereka di mobil kemarin. Percakapan tentang wanita yang dicintai Saga.
"Lo yakin mau tahu siapa cewek itu?"
"Iya," jawab Nimas waktu itu. Tapi Saga tidak kunjung menjawab. "Buruan. Siapa?"
"Cewek itu ... istri gue."
"Ha? Sumpeh lo? Miapah?"
"Mikian dan telimagajih."
"Tuh, kan. Saga, buruan kasih tahu. Pelit!"
"Nggak usah, ntar istri gue cemburu."
"Ya kalau boleh. Kalau nggak boleh ya nggak. Kan hak lo," jawab Nimas lirih. Wanita itu seolah terluka oleh keadaan.
"Apaan, sih? Udah percaya aja, nanti lo bakal tauuu. Gue janji lo bakal tau semuanya."
"Ga, kalau misal gue cuma bikin lo nggak bebas ngelakuin apa yang lo mau, lebih baik kita udahan aja, ya."
"Ngomong apa sih?"
Nimas terkejut dan seketika sadar dari lamunan saat sekuntum mawar merah menyentuh lubang hidungnya. Aroma lembut menyusup indra penciumannya. Saga memberi isyarat kepada Nimas untuk mengambil alih tangkai bunga tersebut.
"Ini artinya kalau nggak salah, cinta yang menggebu. Benar nggak, Ga?" Nimas menatap Saga, berharap mendapat jawaban.
"Sejak kapan jadi pengen tau arti bunga?"
"Sejak jadi istri dari cowok yang sukanya ngode pake bunga. Udah dong main kode-kodeannya. Ngomong langsung lebih enak, sih, Ga."
"Ngomong apa, sih?"
Saga masih menanggapi Nimas dengan candaan.
"Gue cuma pengen tau yang sebenarnya."
"Tentang apa?"
"Perasaan lo ke gue. Tolong jangan bikin gue nebak-nebak. Kita bicara sekarang atau nggak sama sekali." Saga menatap Nimas dengan intens.
Saga menggosokkan kedua telapak tangannya.
"Gue--"
"I love you."
Nimas berkata demikian seraya merapat ke arah Saga. Keduanya saling menatap. Lagi-lagi Nimas memanfaatkan kesempatan itu untuk menempelkan bibirnya tepat di bibir Saga. Entah angin apa yang menggerakan keduanya untuk melanjutkan lebih jauh.
"Gue nggak mau kehilangan lo, gue takut lo marah sama gue. Gue takut kita pisah. Gue takut lo bakal jauhin gue kalau tahu gue punya perasaan lebih ke lo."
Nimas tersenyum seraya berkata, "Kita suami istri sekarang, Ga. Gue janji bakal belajar jadi istri yang baik. Kita mulai dari nol, ya."
Saga mengangguk setuju. Kemudian mereka berpelukan erat seolah tidak ingin terpisah. Sayangnya kemesraan itu terganggu oleh dering ponsel milik Nimas.
Bersambung
Diubah oleh nofivinovie 29-01-2020 04:30
disya1628 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Tutup