Kaskus

Story

mahadev4Avatar border
TS
mahadev4
TEROR HANTU DEWI
Cerita ini adalah murni fiksi dan imajinasi saya semata, ini adalah Cerita Horor pertama yang saya buat, maka jika banyak kekurangan disana sini saya mohon maaf dan sangat berharap kritik dan sarannya. Dan Kisah ini saya persembahkan Untuk Novia Evadewi, yang novel horornya sederhana namun begitu mencekam nuansa horornya.

Cerita ini saya beri judul "Teror Hantu Dewi", selamat membaca.

=====================================


Daftar Lengkap serinya :


Prolog

Part 1 Malam Jahanam

Part 2 Penantian Mencekam

Part 3 Geger Mayat Dewi

Part 4 Penguburan Mayat Dewi

Part 5 Teror di Tumah Tua

Part 6 Teror yang Berlanjut

Part 7 Pembalasan Dewi

Part 8 A Hantu Dewi Meneror Lagi

Part 8 B Hantu Dewi Meneror Lagi

Part 9 A Geger di Makam Dewi

Part 9 B Geger di Makam Dewi

Part 9 C Geger di Makam Dewi

Part 9 D Geger di Makam Dewi

Part 10 Menguak Tirai Gelap

Part 11 Keris Kiayi Pancasona

Part 12 Pertarungan Terakhir (Tamat)

=============================

TEROR HANTU DEWI
Diubah oleh mahadev4 31-05-2022 17:52
Hedon.isAvatar border
redricesAvatar border
sampeukAvatar border
sampeuk dan 38 lainnya memberi reputasi
35
27K
192
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
mahadev4Avatar border
TS
mahadev4
#78
TEROR HANTU DEWI - Part 8 A
HANTU DEWI MENEROR LAGI
By Deva

Pagi ini cuaca cerah, walau udara masih menyisakan dingin dari hujan deras yang mengguyur Desa Medasari semalam, namun seperti biasa warung makan Pak Harjo tetap ramai di kunjungi pembeli.

Dua orang lelaki turun dari angkot biru dengan membawa masing-masing tas punggung yang besar, kedua lelaki itu berjalan ke warung Pak Harjo, duduk dan memesan makan.

“Adoh tenan kampunge, Asu (Jauh sekali kampungnya, Anj*ng)!” salah seorang dari mereka mengomel pelan.

“Salah sopo melok, aku nggak ngejak koen, Rus (salah siapa ikut, aku nggak ngajak kamu, Rus)”

“Lha tak pikir cedak songko Branti, Gus (Kufikir dekat dengan Branti, Gus).”

[ctt : Branti adalah nama Bandar Udara yang ada di Bandar Lampung, Propinsi Lampung]

Kedua lelaki yang ternyata adalah Bagus dan Rusdi itu tidak lain adalah dua teman mondok Prasetyo yang memang sudah berjanji akan datang mengunjungi Pras.

Pak Harjo mendekat dan meletakkan dua piring berisi nasi dengan lauk-pauknya di hadapan Bagus dan Rusdi.

“Lha iki si Pras sialan iku jemput ora (Si Pras sialan itu menjemput tidak)?” tanya Rusdi.
Bagus tidak menjawab malah asik menyantap makanannya dengan lahap. Rusdi kembali mengomel dan segera ikutan menyantap makanannya.

Sementara tidak jauh dari mereka duduk 3 orang yang tampak asik ngobrol sambil menikmati rokoknya.

Salah seorang memulai pembicaraan mengalihkan topik sebelumnya, “Kalian sudah dengar berita? Si Ilung Tato semalam mati di bunuh di sebuah Hotel!”

“Jadi bener berita yang ramai diceritakan orang sejak Shubuh tadi?” tanya Prayit.

“Ya bener, karena berita ini di bawa oleh warga yang bekerja di Kota, kebetulan mereka lewat tempat kejadian semalam dan katanya melihat sendiri mayatnya, walau pun wajahnya hancur tapi dari pakaian dan Tato Naga di lengannya sudah jelas itu Ilung Tato,” jawab Hadi.

“Memang pantas manusia laknat itu mati, warga Desa tidak tentram kalau belanja ke Pasar, khawatir di ganggu bajingan itu, kalau masih hidup mau rasanya kupukul kepalanya!” jawab Parto.

Prayit memukul kepala Parto, “Lambemu, To. Wonge wis mati tembene kowe wani ngomel (mulutmu itu, To. Orangnya sudah mati barulah kamu berani memaki).”

Hadi melanjutkan dan berkata, “Tapi yang jadi pertanyaan adalah siapa yang membunuh Ilung?”

“Pasti orang sakti!” kembali terdengar celetukan Parto.

“Asu, menengo sek to cocotmu kuwi, (Anj*ng, diam dulu sih mulut kamu itu)” sentak Prayit.

“Yo wis.. yo wis.. Aku meneng ae. (Ya udah.. Ya udah.. Aku diam saja)” jawab Parto.

“Semalam Polisi yang memeriksa kamarnya tak menemukan bukti-bukti adanya seseorang yang berada di dalam kamar selain Ilung sendiri, bahkan saat cctv Hotel di putar hanya terlihat Ilung sempat membuka pintu, berbicara sendiri, lalu kembali menutup pintu. Ia berbicara seakan-akan ada orang di depannya, padahal di cctv jelas-jelas tak terlihat siapapun selain Ilung sendiri.” Panjang lebar kali ini Hadi menerangkan.

“Pasti Hantu itu!” sambar Parto teriak.

“Asu tenan kowe!, wis motong omongan, suoromu yo teriak ngunu gawe budek kupingku! (Anj*ng betul kamu!, sudahlah memotong pembicaraan, suaramu pun teriak membuat telingaku pekak!)”.

“Halaah nek ora Hantu yo sopo meneh?! (Kalau bukan Hantu ya siapa lagi?!)” jawab Parto yang kesal karena kepalanya di pukul terus oleh Prayit.

“Kowe ora iso meneng, tak jak gelut loh! (Kamu nggak bisa diam ku ajak berkelahi saja lah!)”

“Yo wes.. Aku meneng ae. Salah teros! (Ya sudah, aku diam saja. Salah terus!)”

Sementara Bagus sejak tadi menyimak pembicaraan mereka sambil memejamkan mata.

“Ngantuk tah, turune mengko ae ning omahe Pras. (ngantuk ya, tidurnya nanti saja di rumahnya Pras)”. Rusdi menggoyang pundak Bagus, mengira Bagus tertidur karena matanya yang memejam itu.

“Aku ora turu, Rus. Cerito wong-wong kae loh.. (Aku tidak tidur, Rus. Cerita mereka itu tuh)”

Rusdi menoleh ke arah Prayit, Parto dan Hadi yang masih asik ngobrol, kemudian kembali memandang temannya, “Emang kenapa, Gus?”

“Gak beres Deso iki (Gak beres Desa ini)”

Rusdi yang memang sejak tadi asik makan tak menyimak sama sekali pembicaraan tiga orang tersebut, ia pun tak mengerti maksud ucapan Bagus barusan.

“Ada rokok,” tanya Bagus.

“Rokok koen entek? (Rokokmu habis?)” tanya Rusdi pada Bagus sambil tetap memberikan sebatang rokok.

“Iso suwe koyone aku ning kene, Rus. (Bisa lama sepertinya aku disini, Rus)”

Rusdi yang mendengar Bagus berkata dengan serius itu tampak sudah paham, ini pasti ada urusan Ghaib yang di rasakan oleh Bagus, dan Bagus sendiri yang memang memiliki basic Ilmu Ghaib selalu saja ikut campur, sudah beberapa kali Rusdi dilibatkan Bagus dalam urusan hal-hal Ghaib, yang mana beberapa kali juga nyawa Bagus nyaris menjadi taruhannya.

“Tujuanmu mrene kan mung silaturahmi (Tujuanmu kesini kan hanyalah silaturahmi), lagi pula kita ada janji lusa untuk mulai bekerja di Bandar Lampung."

“Masalahnya ini menyangkut temen kita, Prasetyo. Kita harus segera menemui Pras,” Bagus berdiri, membenahi ranselnya.

“Rus, kamu yang bayarin ya makanannya,” teriak Bagus yang langsung berjalan cepat keluar.

“Jancuk lah (Sialan),” Rusdi mengomel tapi tetap mengeluarkan dompetnya dan membayar makanan mereka tadi pada Pak Harjo.

“Bagus sudah berjalan cukup jauh menuju Desa Medasari.

“Tonggoni, Cuk!! (tungguin, sial)”

=========

Pak Suharno, lebih akrab di panggil Pak Harno, Pagi itu tengah memberi makan ayam-ayam peliharannya di halaman belakang, ia memelihara ayam bukanlah untuk sengaja di ternakkan, sekedar hobby saja, namun lama kelamaan, berkat ketelatenannya ayam-ayamnya kian bertambah banyak, kandang yang semula hanya berukuran dua kali satu untuk beberapa ekor ayam kali ini sudah bertambah jadi puluhan meter, untunglah Pak Harno memiliki tanah yang luas, sehingga ayam-ayamnya masih bisa di tampung di halaman belakang. Tidak hanya dari Desanya Sendiri, terkadang ada saja yang datang dari Desa tetangga yang ingin membeli ayamnya, atau telur-telurnya, Harga yang di berikan oleh Pak Harno jelas lebih murah di bandingkan harga yang umumnya di pakai oleh peternak ayam disana, juga telur-telurnya, sedangkan kualitas daging ayam dan telurnya tak perlu disangsikan lagi. Hasil penjualan ayam dan telur selama ini cukup membantu untuk kehidupan sehari-hari, juga biaya sekolah putrinya, Rina Andini dan biaya mondok anak lelakinya Aryo Prasetyo, hingga akhirnya Pras lulus dan kembali kedesa, namun Pras belum berniat untuk mengajarkan ilmunya di desanya, walau itu sekedar membangun semacam TPA. Sementara itu Pak Harno sendiri kini tinggal menanti masa panen tiba, di sawah memang sudah terlihat sebagian padi yang sudah mulai menguning, kiranya sekitar sebulan lagi keseluruhan padi di pesawahan Desa Medasari sudah bisa dipetik hasilnya.

Istri Pak Harno sudah meninggal tiga tahun silam, terkena struk yang aneh, di katakan aneh karena semua dokter yang mengobatinya mengatakan kalau syaraf istrinya normal tak ada masalah apapun. Banyak yang menyarankan Pak Harno untuk mencari orang Pintar untuk kesembuhan istrinya tetapi ia memilih pengobatan alternatif saja ketika semua Dokter sudah angkat tangan tak sanggup mengobati lagi, semakin hari tubuh istrinya semakin kurus, sampai saat kematiannya terlihat hanya tinggal tulang yang dibalut kulit, seakan tanpa daging. Rumor yang beredar istrinya terkena santet, namun Pak Harno tak mau percaya hal semacam itu, ia hanya pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Allah Swt, setelah berbagai ikhtiar sudah di lakukan.

“Pak, Pras mau ziarah ke makam Dewi,” tiba-tiba terdengar suara Pras dari arah belakangnya, Pras berdiri di pintu belakang rumah, panggilan Pras telah membuyarkan lamunannya yang saat itu tengah mengenangkan istri tercinta.

“Ya, hati-hati saja di jalan."

"Nggih, Pak."

Pras segera bersiap dan melangkahkan kaki hendak keluar rumah, ketika adiknya Rina tiba-tiba masuk, bersama seorang perempuan sebayanya.

"Lho, Mas mau kemana?"

"Mau ziarah, Rin, ke makam Dewi"

"Oh iya, Mas, semalam Rina bertemu Devi di Musholla saat Sholat Maghrib, dia bilang makam Mbak Dewi amblas tanahnya, tapi sudah di perbaiki lagi oleh Mas Dewo."

Prasetyo hanya mengangguk, "Lha kamu kok nggak Sekolah?"

"Mas iki piye tho, kan wis selesai ujiane, saiki yo wis libur, tinggal nunggu pengambilan Raport ae. (Kakak ini bagaimana sih, kan sudah selesai Ujiannya, sekarang ya sudah libur, tinggal menunggu pengambilan Raport saja) Oh ya kenalkan, Mas, iki koncoku, Atikah (ini temanku, Atikah)."

Prasetyo menjabat tangan Atikah, "Prasetyo, kangmase Rina."

"Atikah, Mas. Atikah Pratiwi, kulo konco Sekolahe Rina. (Saya teman Sekolahnya Rina)"

Saat Atikah menjabat tangan Prasetyo tiba-tiba wajah Atikah seperti berkerut, seperti wajah orang yang terkejut, hal itu hanya berlangsung sekilas, baik Pras maupun Rina tidak memperhatikan.

"Aku mangkat yo, Dik. (Aku berangkat ya, Dik) As salaamu 'Alaikum."

"Wa 'alaikumus salaam," jawab Rina dan Atikah bersamaan.

====

"Kangmasmu gak bakalan suwe ning Deso iki, Rin, (kakakmu takkan tinggal lama di Desa ini, Rin)" kata Atikah, "Mung kowe ojo cerito iki karo Kangmasmu? (tapi kamu jangan cerita pada kakakmu)"

"Maksudmu opo to, Tik? (Maksud kamu apa, Tik?)"

"Aku melihat kakakmu akan pergi, tapi tidak sendiri, bersama dua orang lagi, aku gak tahu siapa dua orang itu, dan aku melihat …"

"Lihat apalagi?" Kejar Rina penasaran.

"Wis lah gak usah di bahas. (sudahlah. Tak perlu di bahas)"

"Ah kamu buat aku penasaran aja."

"Mudah-mudahan Masmu gak jadi berangkat.."

"Memangnya kalau Masku beneran pergi kenapa?"

Atikah tak menjawab, wajahnya menunjukkan kecemasan.

"Emang Masku kamu lihat akan pergi kemana?"

"Ke timur, ujung timur pulau Jawa."

=======

Prasetyo sedang membersihkan makam Dewi dari rontokan daun-daun yang bertaburan di atas pusara, kemudian ia membaca Tahlil dan berdoa khusus untuk Dewi, saat ia sedang khusyuk berdoa itulah ia mendengar bisikan halus di telinganya.

"Mas Pras…"

Karena terkejut Pras hilang konsentrasi sehingga do'anya terputus, ia menengok kiri kanan mencari sumber suara, tak ada siapa-siapa, namun saat pandangannya tertuju kepintu masuk makam, ia melihat seorang wanita bergaun putih bersih, rambut panjangnya yang terurai itu tergerai oleh hembusan angin, wajahnya tampak pucat, namun wajah itu adalah wajah yang sangat di kenalnya. Dewi Anggraini.

“Dewi.. “ gumamnya, Pras buru-buru bangkit dan berlari kearah sosok yang menyerupai Dewi.

Dewi berbalik dan berjalan menjauh, anehnya walau jelas tampak berjalan sedangkan Pras berlari mengejarnya , seakan Dewi berjalan sangat cepat, ia tak bisa menjangkau Dewi.

Pras terus mengikuti kemana arah perginya Dewi. Sampai mereka tiba di depan sebuah rumah tua, Dewi masuk kedalamnya dan menghilang.

Saat pras ingin masuk dan mengejar sosok Dewi saat itu juga sebuah suara yang pernah dekat dengannya terdengar memanggilnya dari kejauhan.

“Woi, Pras, iki aku Rusdi karo Bagus teko! (ini aku Rusdi bersama Bagus datang)."

"Pras membalik badannya, ia tersenyum lebar melihat bahwa benar yang berteriak memanggilnya tadi adalah Rusdi, dan disebelahnya sahabat dekatnya di pondok, Bagus Wicaksono.

"Piye kabare?" tanya Bagus menyalami Pras saat mereka sudah berdiri berhadap-hadapan.

Belum lagi Pras menjawab pertanyaan Bagus tiba-tiba tangannya terasa seperti dialiri listrik dan ia Cumiik kuat seraya melepaskan jabat tangan Bagus.

“Jancuk koen, Gus (sialan kamu, Gus)."

"Koen wis suwe ora ngamalne amalan Al Hikmah yo (kamu sudah lama tak mengamalkan amaln Al Hikmah?"

"Lho kok koen weruh? (Lho, kok kamu tahu?")

"Tanganmu adem ngono, biosone panas. Baru di setrum sedikit saja sudah loncat, (tanganmu dingin begitu, biasanya panas)"

Pras hanya tertawa, (Koen weruh aku melok PerguruanAl Hikmah soko ngendi? (Kamu tahu aku ikut Perguruan Al Hikmah darimana?)"

"Yo opo koen iki sih (gimana kamu ini), Bagus ini kan Dukun," kata Rusdi berkelakar.

Bagus ikutan tertawa. "Koen lapo ngadek ning kene? madep omah iku. (kamu ngapain berdiri disini, menghadap ke rumah itu."

"Sudahlah, nggak apa apa. Yuk kita kerumahku."

Mereka bertiga pun berjalan berbarengan menuju rumah Pras, sepanjang jalan mereka saling bercerita mengenang masa-masa waktu sama-sama mondok dulu

=====

Malam itu Agung tidak kumpul bersama teman-temannya, sejak ia mendengar tentang kematian Ilung dengan sangat mengenaskan itu ia mulai di penuhi kecemasan, ketakutan, dan rasa bersalah yang benar-benar menghantuinya, ia jadi tak berani keluar rumah malam ini, padahal sejak tadi di smartphonenya ia lihat banyak sekali panggilan masuk dari Johan dan Yondi.

Berbatang-batang rokok sudah ia hisap tanpa henti, seakan ia berharap kepulan asap rokok itu dapat mengusir rasa gelisahnya, tetapi tidak, yang ia rasakan justru ketakutannya semakin besar, Damayanti melintas di depan Agung.

"Yanti, buatin Mas kopi dong, buruan ya."

"Ya, Mas. Sebentar ya," jawab Damayanti langsung bergegas kedapur untuk membuatkan Agung segelas kopi, lalu ia membawa kopi panas yang di buatnya, dan meletakkannya di meja. Damayanti kembali ke kamarnya.

Setelah di hembuskannya asap rokok ke udara, Agung segera mengambil gelas kopi dan meminumnya, namun baru saja ia meneguk kopinya ia langsung memuntahkan, karena yang dirasakan di mulutnya bukanlah kopi.n

Mata Agung menatap gelas kopi yang baru saja dihidangkan adiknya, Damayanti. Ia sangat terkejut karena ternyata isinya bukanlah kopi, melainkan cairan darah segar dan sempat terminum olehnya, Agung langsung membanting gelas itu dan berteriak, “Setan sialan!"

Nella yang mendengar suara gelas pecah karena di lemparkan itu segera keluar menuju ruang tamu.

"Kamu kenapa sih, Gung. Mabuk ya?" tanya Nella yang bingung melihat tingkah aneh adiknya itu.

"Gak papa, mbak, aku nggak papa."

"Kalo nggak papa ngapain pake banting gelas segala? Ruangan jadi kotor kan penuh tumpahan kopi."

Kini yang tampak di mata Agung adalah benar-benar cairan kopi yang tumpahannya mengotori lantai ruang tamunya.

Agung langsung lari ke kamar dan menguncinya.

===
Diubah oleh mahadev4 18-12-2019 09:17
axxis2sixx
redrices
sampeuk
sampeuk dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.