Kaskus

Story

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Rekan kerja
Rekan kerja

Prolog

Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?

Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.

Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!


INDEKS
Spoiler for .:


Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:


(Part 1)

Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....

Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.

"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."

Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?

"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.

"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."

Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.

Kami mengobrol sepuluh menitan.

Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.

****

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.

Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.

Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.

Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"

Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.

"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.

Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."

"Ya,ya, ayo duduk!"

Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.

"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.

"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"

"Ya, Pak. Benar."

"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.

"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.

"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."

"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"

"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."

Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.

".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"

"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.

"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."

Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.

Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.

Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.

Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.

Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.

"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.

"Terima kasih," ucapku.

"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.

Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.

Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.

"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.

"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.

"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."

"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"

"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."

Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.

Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.

-----

Jam istirahat ....

"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.

"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.

"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.

"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"

"Pak Sujiwo."

"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"

Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.

Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.

Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.

"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."

Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.

"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.

Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.

"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.

"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.

Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.

Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.

Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....

****

Pukul 08.30 WIB

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.

Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.

Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.

Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."

Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.

"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.

"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"

"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.

Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.

Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!

Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....

"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.

Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.

Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."

"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."

"Nggih, Pak."

Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.

Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.

Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.

"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.

"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.

"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"

"...." Aku tak bisa berkata.

"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"

Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.

"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."

Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.

"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.

"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.

"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.

Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.

"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.

"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.

Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.

"Awas kau!" Ancamnya kemudian.

Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.

Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
erman123Avatar border
OkkyVanessaMAvatar border
manik.01Avatar border
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.4KAnggota
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#459
Rekan Kerja (part 25 -End-)
Aku melangkah cepat menaiki tangga, menuju ke lantai dua, diiringi napas sengal yang kian memburu. Sebuah amplop putih di tangan masih terpegang erat.

Aku harus cepat sebelum terlambat!

Sesampainya di sana, kembali berlari lagi. Beberapa karyawan nyaris bersinggungan kulewati, membuat semua mata saling berpandangan tak biasa.

"Ada apa, Mas Dani?" Dari belakang, seorang perempuan menyerukan suaranya. "Maaf, Bu," balasku setengah berteriak, sembari terus melangkah tergesa. Entah siapa tadi yang berkata, aku tak menoleh sedikitpun ke belakang. Memang tak begitu konsen pagi ini, karena yang kufokuskan sekarang, aku harus cepat pergi menemui Pak Dika, sebelum akhirnya ia bertolak ke Taiwan selama beberapa pekan.

Hosh! Hosh!

Kuseka keringat yang bercucuran sambil menstabilkan kembali napas yang tak beraturan. Kini aku sudah berada di depan ruang yang kutuju. Pelan tapi pasti, akhirnya kuberanikan diri untuk masuk, setelah beberapa kali sebelumnya mengetuk kecil pintu. Derit pintu semi-transparan itu mengalihkan pandangan sosok di dalam sana. Beberapa pasang mata membidik padaku. Sementara, aku terpaku di tempat, menelan ludah garing dengan perasaan gugup luar biasa.

"M-maaf." Bahkan untuk berkata pun, lidah terasa kelu. Begitu gemetarnya aku berucap, sampai kedua kaki terasa kaku. Hanya dua-tiga orang yang aku kenal di antaranya, sedang yang lain sama sekali tak pernah tahu.

"Dani, apa yang kau lakukan?" Pak Dika berucap geram dengan membulatkan kedua matanya.

"Ma-maaf, Pak. Saya terpaksa, karena saya tahu ... seusai rapat, Pak Dika langsung berangkat ke Taiwan, jadi ...." Belum selesai aku mengutarakan pembicaraan, Pak Dika berjalan menghampiri. Didorongnya dadaku pelan dengan sebelah tangannya, bermaksud agar aku keluar dari ruang rapat. Beruntung kemudian, Pak Feri melarangnya.

"Biarkan dia bicara dulu, Pak! Kalau tak karena kepentingan kerja, mana mungkin ia seberani ini masuk ke mari."

"Seharusnya paham pada waktu dan tempatnya juga, Pak Feri. Bukan di saat-saat seperti ini."

"Dia tentu tahu sebelumnya, Pak. Tak apa, beri dia ruang sejenak untuk bicara!" balas Pak Feri.

Aku tersenyum, merasa terselamatkan. Tanpa banyak bicara, kusodorkan amplop putih itu Pak Dika, dan ia pun menerimanya. "Memalukan atau tidaknya, kau yang buat sendiri," seru Pak Dika lirih. Ia seperti begitu kesal terhadapku, dan aku merasakannya. Perlahan, ia buka amplop di tangan, lalu terdiam sesaat.

"Apa ini?" Mata Pak Dika bergerak ke kanan-kiri seolah sedang membaca secarik kertas yang ia pegang. Aku berharap ia mengerti maksudku, tanpa harus kujelaskan. Namun, bukannya kaget, justru ia mendorongku ke luar ruangan bersamanya.

"Hei, Dani!" Matanya menyala kesal. "Kalau hanya masalah begini, tak usah lancang mengganggu rapat di dalam. Ini rapat penting! Hanya karena kasus konyol macam ini, kamu buat waktu rapat tersita beberapa menit," lanjutnya lagi sambil membuang secarik kertas itu ke lantai. Tepat jatuh di sisi kaki.

"Tapi, Pak ... apa sudah Pak Dika lihat siapa yang ...." Kuhentikan bicaraku spontan, saat lelaki itu langsung ngeluyur masuk kembali ke ruangan. Terdengar pintu ruang rapat dikunci kemudian.

Aku mematung di tempat. Menarik nafas panjang, dan menatap pintu itu nanar. Kurasa amarah Pak Dika terhadapku tak bisa lagi dimaafkan. Aku cukup tahu diri. Perlahan kubungkukkan tubuh, meraih kertas yang terjatuh itu, lalu beranjak lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Pak Dika rasanya sudah tak mau mendengarku lagi.

Sekian detik membisu, akhirnya kupilih untuk pergi. Melangkahkan kaki gontai menuruni tangga dengan pikiran yang begitu hampa. Mau bagaimana lagi? SP3 telah kuterima, lusa aku harus hengkang dari kantor, sementara aku masih tak percaya jika Pak Dika ikut menanda tangani surat itu. Tadinya, kucoba tinggalkan pekerjaan ketika mendengar berita bahwa ia akan ikut pendampingan pelatihan kerja ke Taiwan setelah rapat bubar. Aku merasa waktuku tak banyak bila untuk sekadar menanyakan. Apa dikata, jika memang ia sudah tak mau mendengar bicaraku kembali?
Aku sadar telah berkali-kali membuat kecewa.

Sampai di lantai bawah, kuambil helm kuning dari loker. Lalu berjalan menuju motor yang kuparkir di samping kantor. Baru melajukan kendaraan, Pak Syaiful berteriak memanggil dari gudangnya, lalu berlari ke arahku.
Aku yang tak ada semangat sama sekali, hanya bisa menghentikan motor. Menunduk lesu, tanpa membalas salamnya.

"Pak Dani ngganteng, matur suwun engast, nggih! (terima kasih banyak, ya)" Ia meraih tanganku, menjabat dengan eratnya. "Berkat lamaran yang samean bawakan, anak saya sudah masuk kerja mulai hari ini," lanjutnya lagi sambil tersenyum simpul.

Aku tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum dan mengangguk kecil.

"Kenek opo, Mas? Durung sarapan? (Kenapa, Mas? Belum sarapan?)" tanyanya heran, yang mungkin karena melihatku kali ini tak bisa ramah.

"Mboten, Pak. Saya buru-buru," ucapku lirih. Ingin segera pergi rasanya dari obrolan tak penting ini.

Akhirnya, kami saling berpamitan untuk melanjutkan pekerjaan. Pak Ipul kembali ke gudangnya, setelah di suruh supervisornya membawakan lembaran form untukku.

Segera kukebut kerja lapanganku. Kepala rasanya buntu berfikir. Tak ada semangat, tak bisa lagi fokus.

****

'Sudah kubilang ... kalau sudah disayang Pak Dika, jangan berkali-kali mengecewakannya. Ia bisa berubah malas menanggapimu.'

Chat dari Sefti barusan lebih membuatku hilang semangat.

Ya, dia benar. Memang begitu sepertinya yang kurasakan.

Tapi, kali ini aku sungguh tak terima. Setelah kulihat Rian tak lagi ada di meja kerjanya, entah ada dimana. Terlebih saat Pak Heri seenaknya saja memberikan SP3 langsung padaku. Apa maksudnya berkunjung ke rumah, sementara aku sudah menelpon ia paginya untuk meminta izin cuti. Kesempatan baginya memberiku surat peringatan saat mengetahuiku pamit berangkat kerja dari rumah. Aku merasa kesal sekali. Berani-beraninya ia seperti itu disaat aku mencoba mengalah untuk anaknya. Harus diberi pelajaran keduanya!

Kulirik arloji. Pukul 13.44 WIB.

Mataku menerawang, sekilas terdiam. Tak lama setelah itu, aku beranjak dari duduk. Mengambil telepon kantor, dan mulai menekan beberapa tombol.

"Hallo! Mbak Chandra? Boleh tahu schedule keberangkatan Pak Dika? .... Oh, sudah keluar kantor setengah jam lalu? .... Oh ya, mau tanya, apakah Pak Feri ikut juga?"

Mataku seketika berbinar mendengar ungkapan dari ujung telepon. Senyumku turut mengembang. Cepat-cepat kututup telepon setelah berucap terima kasih. Menyaku hape di atas meja, lalu berjalan ke luar ruangan. Setengah berlari aku menuju lantai tiga. Lift di kantor tak berfungsi. Jadi sedari tadi aku terus menggebu menaiki tangga dengan napas memburu.

Sesampainya di lantai tiga, akhirnya kutemui Pak Feri yang ternyata sedang berjalan pula hendak menuruni tangga. Aku menyapanya, berkata jika ingin bicara. Lalu, ia mengajakku kembali masuk ke ruangannya.

Tak banyak berbasa-basi, langsung saja aku ceritakan semua dari awal. Dengan napas ngos-ngosan karena lelah berlari tadinya, pun dengan jantung yang masih kencang berdetak saat kucoba mengungkap kebenaran. Kuceritakan bagaimana Rian menjebakku, membuat kepalaku merasa dipusingkan, dan ulah bapaknya yang kurasa tengah mencari kesempatan.

Pak Feri hanya manggut-manggut. Ia terdiam sesaat, dan aku lebih puas kali ini, merasa tenang karena keluhanku telah terutarakan. Namun, kemudian ... Pak Feri berucap, "Lalu bagaimana denganmu? Apa kamu merasa menyesali, lantas mencoba mencari pembelaan?"

Mataku kaget mendengarnya. Pelan aku menjawab, "Bukan mencari pembelaan, Pak. Benar, saya menyesali. Saya hanya ingin mengatakan, jika saya merasa dijebak dan dirugikan."

Lelaki itu tersenyum, mendekatkan dirinya padaku.

"Yang merasa dirugikan siapa? Bukannya kamu yang merugikan dirimu sendiri? Kalau kamu bisa sedikit tegas, dan tidak membawa masalah luar ke dalam lingkungan kerja, kamu pasti bisa menyelamatkan posisi kamu kemarin."

Mendengar itu, aku langsung diam. Tak mampu berkata. Kemudian Pak Feri melanjutkan lagi, "Sebenarnya omongan seperti itu tak usah diambil pusing. Yang bahaya juga bukan kamu? Kan, perempuannya. Tapi kalau kamu merasa berat hati, kenapa tak coba bercerita sama itu mbaknya. Ancaman kan ada pidananya. Kenapa harus repot mikir sampai memutuskan untuk tak bekerja? kalau kamu fokus dengan pendirian bekerja, mana mungkin kamu berfikiran yang lain-lain yang tak berhubungan. Itu namanya kamu masih bermain-main dengan pekerjaan."

Kali ini kutundukkan kepalaku. Benar apa yang diucapkan Pak Feri. Memang aku yang bodoh, bertindak sesuka hati.

"Saya tak bisa membantu lagi. Karena saya sudah tahu kesalahanmu di mana. Ini bukan karena tak disengaja. Memang kamu sengaja seperti itu. Saya pun tak berwenang mengenai SP dan pemecatan, karena murni kesalahan ada di kamu. Bukankah kemarin saya sudah membela kamu, tapi kamu tak bisa memperbaiki diri kembali. Dasarnya memang kamu kemarin salah," Pak Feri menghentikan bicaranya lagi. Memberiku segelas air mineral. Menyuruhku minum.

Tegas aku menolak, karena tak mungkin aku bisa bersantai memasukkan minuman ke kerongkongan dalam keadaan seperti ini.

"Baiklah, untuk membuatmu puas, akan saya panggil Rian beserta Pak Heri ke mari." Setelah berkata begitu, ia tersenyum kepadaku sembari mengambil gagang telepon. Jari-jarinya menekan santai beberapa tombol, membuatku semakin was-was karena cemas yang memdadak muncul.

Tak butuh waktu lama, kedua orang yang dimaksud datang. Keduanya juga langsung duduk di antaraku. Pak Feri satu persatu memberi pertanyaan bergantian pada keduanya, membuat keduanya kaget satu sama lain. Berhadapan dengan rasa khawatir, taksiranku ....

"Sekarang saya kembalikan sama Pak Heri ... bagaimana, Pak? Anda atasan, anda berpengaruh di sini. Jika anda berat sebelah karena lebih memberikan kursi kepada anak anda, saya rasa anda tak pantas menjabat seperti yang sekarang. Karena sampai kapanpun tak kan ada keselarasan dalam bekerja. Tanpa anda sadari, anda turut andil memberi pengaruh buruk pada sekitar." Pak Feri berucap santai dengan sesekali menampakkan senyumnya.

Kami berempat terdiam sesaat. Tak lama setelah itu, Pak Heri meminta maaf, ia lalu berkata datar, "Dani, saya tarik surat peringatan itu dari kamu. Maafkan saya dan Rian, kamu masih boleh bekerja di sini." Wajah Pak Heri sepintas terlihat begitu dingin. Ia lalu menolehkan pandang pada anaknya.

"Dan kamu, Rian ... saya alihkan kamu dari kantor ke produksi!" Kali ini, Pak Heri berseru lantang seakan penuh emosi. Kulihat raut wajah Rian kaget bukan main, dengan mata melotot seakan tak percaya dengan yang barusan didengarnya.

Sementara Pak Feri hanya senyum-senyum sedari tadi.

Entah kenapa, aku semakin tak enak seperti ini lama-lama. Meskipun keadaan berbalik, aku masih mengkhawatirkan semuanya, karena bagaimana pun juga, Pak Heri sangat menyayangi anaknya. Pasti lagi-lagi dampaknya dendam, dan yang terjadi masih ada tekanan di kanan-kiri. Terlebih saat para karyawan lawas satu persatu hilang dari posisi. Pensiun yang hanya menyisakan aku berdua dengan Pak Heri di kantor, besar kemungkinan hanya akan menambah beban di belakangnya. Sebaik apapun aku bekerja, pasti akan selalu dicari salahnya.

Setelah berdiam selama beberapa menit mendengarkan ucapan demi ucapan yang terlontar, pelan aku lalu beranjak dari duduk, menoleh ke kanan-kiri, pada Pak Heri dan juga Rian. Kemudian aku berkata, "Mohon maaf untuk Pak Heri, Rian, ataupun Pak Feri. Saya sangat berterima kasih telah diberi kesempatan ke sekian kali, tapi untuk kali ini ... maaf." Kuhentikan sejenak bicaraku, menganggukkan kepala pada mereka. "Saya memutuskan untuk mundur dari perusahaan, terima kasih sebelumnya atas semua kesempatan," lanjutku lagi.

Ketiga orang di dalam ruangan ini tak kaget mendengar ucapanku. Bapak-anak itu hanya bermuka masam. Pak Feri sendiri hanya bisa diam tak berkata. Jujur aku malu karena penuturannya di awal. Memang semua salah dariku sendiri yang tak bisa tegas. Yang terpenting aku lega, Rian sudah turun jabatan, ia bergumul dengan para buruh produksi. Setidaknya, ia sudah tak bisa menyombongkan diri. Sebagai gantinya, biar aku jalani keputusan ini. Agar tak terus-menerus ia dan orang tuanya memusuhiku. Karena mengalah, bukan berarti kita kalah.

Bagaimana pun, berjuang seperti apapun aku memperbaiki keadaan, kami tetap tak akan bisa menjadi rekan kerja yang baik.

****

Empat bulan kemudian ....

"Gimana?"

"Kurang ke atas dikit," seru Sefti dari bawah.

Kuarahkan banner itu lebih ke atas, menancapkan paku kecil, kemudian bertanya lagi, "Segini sudah?"

"Ya, siiip!" balas Sefti lagi.

Langsung kupukulkan martil berulang kali ke banner yang kupegang.
Selesai. Lalu, aku turun dari tangga.

*DS Printing*
Menerima Pesanan:
Banner, ID Card, Undangan, Poster, Kalender, Mug, Pin, Akrilik, dll
No Hp 08*******

Puas sudah melihat banner itu terpasang. Tinggal bersantai, setelah dari pagi ribet dengan tatanan ruang kerja dan alat-alat yang dipesan Sefti.

Kenapa diberi nama DS Printing? Singkatan dari kedua inisial nama kami, sesuai kemauan Sefti. Karena aku yang menyediakan tempat, dan Sefti yang mengatur segala perlengkapan.

Sudah empat bulan lamanya aku berhenti kerja, kumulai fokus membesarkan toko onderdil peninggalan alamarhum ayah. Di lain sisi, membantu Sefti berbelanja kelengkapan usahanya. Aku ingin impiannya nyata menjadi besar, dan ia pun berkata yang sama denganku.

"Dan," serunya di suatu pagi.

"Ehemmm ...." Kubalas bicaranya dengan sedikit deheman.

Kami saling duduk menghadap ke jalanan. Kaki lurus menyilang, dengan mata fokus ke depan.

"Sarjana kerja ginian, nyesel nggak, sih?" tanyanya kemudian.

Aku tertawa kecil mendengarnya. Aku tahu apa yang ada di pikirannya kini. "Sarjana tak harus kerja kantoran, bukan? Menjadi bos sendiri lebih baik ketimbang jadi anak buah bos," jawabku datar, sekadar meneguhkan hatinya, jika keputusan kami bersama wirausaha itu tak salah.

Ia pun tersenyum. Tiba-tiba menyandarkan kepalanya di pundakku. Lagi, kurasakan kaget setengah mati saat ia bersikap demikian. Mengingatkanku tentang beberapa bulan lalu saat janjian bertemu di taman. "Dani, makasih, ya?" serunya lagi. Kalem.

"Makasih ... untuk apa?" Aku gugup berucap, ketika kurasakan kepalanya tergesek dari bahu.

"Makasih, kamu sudah banyak memperjuangkanku. Terlebih, saat ibumu banyak menaruh curiga karena ucapan Adel waktu itu. Dari sekian lama perdebatan, aku bisa bernapas lega karena mampu merebut hati ibumu kembali. Semua kalau tak karenamu juga, mana mungkin?"

Kini wajah itu menghadap padaku. Membuatku semakin gemetar luar biasa. Pelan aku membalas menoleh padanya. "Kamu masih mencintaiku, kan?" tanyanya lagi. Kutelan ludah garing, saat menatapnya begitu sendu seperti itu. Ia tetap memandang, seakan menunggu jawaban yang terlontar dari mulut. "Kita pacaran saja, ya?" ucapku lirih. Entah kenapa, kali ini aku tak mampu mengendalikan napsu. Kudekatkan perlahan bibirku padanya, dan ... ah, sudahlah!

Kami saling menyingkur kemudian. Merasa malu satu sama lain. Tak berfikir sebelumnya, sedang ada di mana kami saat ini. Entah ada yang melihat atau tidak, aku pun tak tahu. Sefti langsung tertawa terbahak, semakin menciutkan nyaliku yang memang tak pernah pacaran sebelumnya. Ia lalu masuk ke dalam toko. Sedangkan aku, yaaaa, begini ... tetap duduk tercenung, menyusul senyum-senyum sendiri seperti orang gila.

Kupastikan, sentuhan pertama ini darinya, dari seorang perempuan yang kini menjadi rekan kerjaku. Ah, mungkin bisa dibilang, rekan sekaligus pacar. Ha ha ha ....
Baru kali ini, kutemukan rekan kerja yang cocok. Semoga sampai kelak, entah sampai kapan ... yang pasti kita bersama-sama berharap yang terbaik untuk hubungan ke depannya.

Terik sang surya terasa mulai menyengat. Namun, semilir sang bayu lebih kuat menyejukkan suasana. Sama halnya seperti cerita yang pernah kualami, meskipun setiap hari panas terasa otak dan hati, tapi percayalah ... akan ada karma baik ketika kita mampu menjalani semuanya dengan kepala dingin.

Jangan salahkan masalah yang datang di kehidupanmu. Karena masalah sejatinya adalah guru dari sebuah pengalaman. Ia akan menjadikanmu dewasa secara mendadak.

-End-
genji32
mbahramil
erman123
erman123 dan 30 lainnya memberi reputasi
31
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.