- Beranda
- Stories from the Heart
Hujan yang Membawamu Pergi
...
TS
TaraAnggara
Hujan yang Membawamu Pergi
Kumpulan Cerpen Sedih
sumber
Bersamaan dengan rintik hujan yang perlahan jatuh membasahi bumi, air mata mengalir membasahi pipi. Hujan, sering kali membawa ingatanku pada peristiwa tragis yang pernah kualami suatu ketika dulu.
****
Malam itu, hujan deras disertai petir mengiringi perjalananku dan Mas Rendi. Kami baru saja mengunjungi rumah kerabat Mas Rendi untuk meminta doa restu, serta mengharap kehadiran mereka pada acara pernikahan kami.
Mas Rendi memacu pelan sepeda motor gedenya di atas jalanan aspal yang tergenang air hujan. Aku mendekap pinggangnya erat. Namun tiba-tiba mobil dari arah berlawanan melaju kencang dan menyerempet motor yang kami tumpangi, hingga Mas Rendi kehilangan keseimbangan.
Motor pun oleng dan akhirnya menabrak tiang di tepi jalan. Aku terjatuh dengan posisi miring, sementara Mas Rendi terpental agak jauh. Aku sempat melihat Mas Rendi yang terlihat tak berdaya membuka kaca helm dan berusaha menggenggam jari-jemariku. Kulihat darah bercampur air hujan mengalir dari dahinya, lalu setelah itu aku tak sadarkan diri.
"Alhamduillah, kamu sudah sadar Nduk." Ibu mengelus kepalaku sambil berurai air mata.
"Bu, aku ada di mana?" Kulemparkan pandangan keseluruh ruangan bernuansa putih. Selang infus terpasang di lengan sebelah kiri, dan seluruh tubuhku terasa sakit.
"Kamu ada di rumah sakit, Nduk. Kamu dan Rendi baru saja mengalami kecelakaan," jelas ibu dengan raut wajah sedih.
Ibu kemudian menjelaskan kalau seseorang menemukan aku dan Mas Rendi tergeletak di tepi jalan. Ia kemudian menghubungi ibu setelah mendapatkan nomornya dari telepon genggam di dalam saku jaket anti air yang kukenakan.
Ya, waktu itu kami lupa membawa jas hujan, Mas Rendi kemudian memintaku mengenakan jaket miliknya. Sedangkan ia berkendara di bawah guyuran air hujan hanya dengan mengenakan kaos lengan pendek.
"Mas Rendi, Mas Rendi dimana Bu. Dia baik-baik saja kan?" Aku mengguncang lengan ibu, panik.
"Rendi ... Rendi_"
"Rendi kenapa, Bu?" sahutku cemas melihat ibu tergagap menjawab pertanyaanku.
"Rendi baik-baik saja Nduk. Dia dirawat di ruang sebelah," celah ibu Rendi yang tiba-tiba muncul seraya menghampiriku. Mungkin dia mendengar obrolanku dan ibu karena pintu sedikit terbuka.
"Sungguh, Mas Rendi baik-baik saja, Bu?" Entah mengapa perasaanku masih dihinggapi rasa cemas, tapi satu senyuman yang terukir di bibir ibu mas Rendi membuatku kembali tenang.
Dua hari di rumah sakit, selama itu juga aku terus meminta ibu membawaku ke ruangan tempat Mas Rendi dirawat. Namun ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Rasa cemas kembali menguasai hatiku, namun ibu selalu berhasil menenangkan.
Hari ketiga, aku diizinkan pulang.
"Bu, Mas Rendi_"
"Kita akan menemui Rendi di rumahnya Nduk. Dia sudah pulang," potong ibu seolah mengerti apa yang ingin aku tanyakan. Kedua tangannya cekatan memasukkan bajuku ke dalam tas tenteng.
Mas Rendi sudah pulang? Tanpa menemuiku terlebih dahulu. Terbit rasa kecewa dalam hati, namun segera kusingkirkan.
Seharusnya aku bersyukur karena kami baik-baik saja. Mungkin Mas Rendi harus segera istirahat, sehingga ia pulang tanpa menemuiku terlebih dahulu.
"Sudah siap, Nduk?" Tanya ibu mas Rendi yang muncul dari balik pintu. Ternyata bukan hanya ibu saja yang menjemput, tapi juga kedua orang tua mas Rendi. Aku menyalami mereka sebagai tanda hormat.
Sedikit aneh, bukankah seharusnya mereka ada di rumah untuk merawat Mas Rendi. Pertanyaan yang hanya mampu kuungkapkan dalam hati, karena ibu memintaku segera turun dari ranjang.
Ibu membantu memapahku sampai di tempat Ayah memarkirkan mobil, sementara ibu Rendi membantu membawakan tas. Ayah kemudian melajukan mobil sedan hitam miliknya dengan kecepatan sedang, menyusuri jalan raya yang tak begitu ramai. Suasana sunyi mengiringi perjalanan kami, karena semua orang di dalam mobil diam membisu. Sungguh, tak seperti biasanya.
"Kenapa kita berhenti di sini, Yah?" Aku mengerutkan kening ketika Ayah mas Rendi menghentikan mobil di sebuah pemakaman. Aku memang sudah memanggil kedua orang tua Mas Rendi dengan sebuatan Ayah dan Ibu.
Ayah menoleh dari balik kemudi mobil dan memintaku turun. Kami semua pun turun dan tanpa banyak bertanya aku mengikuti langkahnya, sampai pada akhirnya berhenti di sebuah makam yang tanahnya masih basah.
"Apa ini maksudnya, Yah, Bu." Aku memandang wajah Ayah, Ibu, dan Ibu mas Rendi silih berganti. Jantungku berdebar kencang melihat nama Rendi tertulis di atas nisan kayu bercat putih.
Ibu memegang kedua pundakku. "Nduk, Rendi meninggal dalam kecelakaan itu." Lirih suara ibu, namun terdengar jelas di gendang telingaku. Bulir-bulir bening tampak mengalir dari kedua netranya.
"Tidak! tidak mungkin. Tidak mungkin Mas Rendi meninggalkanku secepat ini Bu." Tangisku pecah. Dunia bagaikan runtuh menimpaku mendengar perkataan ibu. Sekujur tubuh terasa lemas, seolah darah berhenti mengalir. Aku jatuh terduduk di samping makam Mas Rendi.
"Ayah tau ini sulit bagimu, Nduk. Kita semua sedih atas kepergian Rendi, tapi kita harus ikhlas agar Rendi tenang di alam sana."
"Tidak, Yah. Mas Rendi tidak boleh meninggalkanku, kami akan menikah minggu depan. Mas, Bangun! Katakan kalau kamu baik-baik saja?" Aku menangis histeris sambil meremas bunga mawar merah yang bertaburan di atas makam.
"Sudah, Nduk, jangan seperti ini. Kasihan Rendi." Ayah dan ibu Rendi memintaku bangkit tapi dengan sekuat tenaga aku meronta. Tak kuhiraukan perkataan ibu yang mencoba menenangkan, lalu tiba-tiba pandanganku kabur dan semua menjadi gelap.
***
"Kenapa, Nduk. Teringat Rendi lagi?" Ucap satu suara yang sangat kukenal, membawaku kembali ke alam nyata.
Aku menoleh. Entah sajak kapan ibu berdiri di sampingku.
"Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Lupakan kejadian itu, dan carilah pengganti Rendi, agar ia tenang di alam sana." Seperti biasa, terpancar kesedihan di wajah tua ibu melihat kondisiku.
"Entahlah, Bu." Aku tersenyum kecut lalu kembali melempar pandangan ke arah luar. Mengamati butiran-butiran air hujan yang kini turun semakin deras, dari sebalik jendela. Angin bertiup kencang membuatku mengeratkan cardigan hitam yang melekat di tubuh kurusku.
Maafkan aku Bu, aku tidak bermaksud membuatmu bersedih. Namun, melupakan mas Rendi tak semudah membalikkan telapak tangan.
Satu tahun sudah peristiwa itu terjadi, tapi sampai saat ini aku masih berharap itu hanya mimpi. Mimpi yang akan hilang ketika bangun dari tidur, berharap ketika aku membuka mata Mas Rendi sedang terlelap di sampingku.
Namun berkali-kali aku bangun, kenyataan ini masih sama. Mas Rendi telah benar-benar pergi untuk selamanya.
Indeks Link : Surat Undangan Membawa Kesedihan
End
Cilacap, 11 Desember 2019
sumberBersamaan dengan rintik hujan yang perlahan jatuh membasahi bumi, air mata mengalir membasahi pipi. Hujan, sering kali membawa ingatanku pada peristiwa tragis yang pernah kualami suatu ketika dulu.
****
Malam itu, hujan deras disertai petir mengiringi perjalananku dan Mas Rendi. Kami baru saja mengunjungi rumah kerabat Mas Rendi untuk meminta doa restu, serta mengharap kehadiran mereka pada acara pernikahan kami.
Mas Rendi memacu pelan sepeda motor gedenya di atas jalanan aspal yang tergenang air hujan. Aku mendekap pinggangnya erat. Namun tiba-tiba mobil dari arah berlawanan melaju kencang dan menyerempet motor yang kami tumpangi, hingga Mas Rendi kehilangan keseimbangan.
Motor pun oleng dan akhirnya menabrak tiang di tepi jalan. Aku terjatuh dengan posisi miring, sementara Mas Rendi terpental agak jauh. Aku sempat melihat Mas Rendi yang terlihat tak berdaya membuka kaca helm dan berusaha menggenggam jari-jemariku. Kulihat darah bercampur air hujan mengalir dari dahinya, lalu setelah itu aku tak sadarkan diri.
"Alhamduillah, kamu sudah sadar Nduk." Ibu mengelus kepalaku sambil berurai air mata.
"Bu, aku ada di mana?" Kulemparkan pandangan keseluruh ruangan bernuansa putih. Selang infus terpasang di lengan sebelah kiri, dan seluruh tubuhku terasa sakit.
"Kamu ada di rumah sakit, Nduk. Kamu dan Rendi baru saja mengalami kecelakaan," jelas ibu dengan raut wajah sedih.
Ibu kemudian menjelaskan kalau seseorang menemukan aku dan Mas Rendi tergeletak di tepi jalan. Ia kemudian menghubungi ibu setelah mendapatkan nomornya dari telepon genggam di dalam saku jaket anti air yang kukenakan.
Ya, waktu itu kami lupa membawa jas hujan, Mas Rendi kemudian memintaku mengenakan jaket miliknya. Sedangkan ia berkendara di bawah guyuran air hujan hanya dengan mengenakan kaos lengan pendek.
"Mas Rendi, Mas Rendi dimana Bu. Dia baik-baik saja kan?" Aku mengguncang lengan ibu, panik.
"Rendi ... Rendi_"
"Rendi kenapa, Bu?" sahutku cemas melihat ibu tergagap menjawab pertanyaanku.
"Rendi baik-baik saja Nduk. Dia dirawat di ruang sebelah," celah ibu Rendi yang tiba-tiba muncul seraya menghampiriku. Mungkin dia mendengar obrolanku dan ibu karena pintu sedikit terbuka.
"Sungguh, Mas Rendi baik-baik saja, Bu?" Entah mengapa perasaanku masih dihinggapi rasa cemas, tapi satu senyuman yang terukir di bibir ibu mas Rendi membuatku kembali tenang.
Dua hari di rumah sakit, selama itu juga aku terus meminta ibu membawaku ke ruangan tempat Mas Rendi dirawat. Namun ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Rasa cemas kembali menguasai hatiku, namun ibu selalu berhasil menenangkan.
Hari ketiga, aku diizinkan pulang.
"Bu, Mas Rendi_"
"Kita akan menemui Rendi di rumahnya Nduk. Dia sudah pulang," potong ibu seolah mengerti apa yang ingin aku tanyakan. Kedua tangannya cekatan memasukkan bajuku ke dalam tas tenteng.
Mas Rendi sudah pulang? Tanpa menemuiku terlebih dahulu. Terbit rasa kecewa dalam hati, namun segera kusingkirkan.
Seharusnya aku bersyukur karena kami baik-baik saja. Mungkin Mas Rendi harus segera istirahat, sehingga ia pulang tanpa menemuiku terlebih dahulu.
"Sudah siap, Nduk?" Tanya ibu mas Rendi yang muncul dari balik pintu. Ternyata bukan hanya ibu saja yang menjemput, tapi juga kedua orang tua mas Rendi. Aku menyalami mereka sebagai tanda hormat.
Sedikit aneh, bukankah seharusnya mereka ada di rumah untuk merawat Mas Rendi. Pertanyaan yang hanya mampu kuungkapkan dalam hati, karena ibu memintaku segera turun dari ranjang.
Ibu membantu memapahku sampai di tempat Ayah memarkirkan mobil, sementara ibu Rendi membantu membawakan tas. Ayah kemudian melajukan mobil sedan hitam miliknya dengan kecepatan sedang, menyusuri jalan raya yang tak begitu ramai. Suasana sunyi mengiringi perjalanan kami, karena semua orang di dalam mobil diam membisu. Sungguh, tak seperti biasanya.
"Kenapa kita berhenti di sini, Yah?" Aku mengerutkan kening ketika Ayah mas Rendi menghentikan mobil di sebuah pemakaman. Aku memang sudah memanggil kedua orang tua Mas Rendi dengan sebuatan Ayah dan Ibu.
Ayah menoleh dari balik kemudi mobil dan memintaku turun. Kami semua pun turun dan tanpa banyak bertanya aku mengikuti langkahnya, sampai pada akhirnya berhenti di sebuah makam yang tanahnya masih basah.
"Apa ini maksudnya, Yah, Bu." Aku memandang wajah Ayah, Ibu, dan Ibu mas Rendi silih berganti. Jantungku berdebar kencang melihat nama Rendi tertulis di atas nisan kayu bercat putih.
Ibu memegang kedua pundakku. "Nduk, Rendi meninggal dalam kecelakaan itu." Lirih suara ibu, namun terdengar jelas di gendang telingaku. Bulir-bulir bening tampak mengalir dari kedua netranya.
"Tidak! tidak mungkin. Tidak mungkin Mas Rendi meninggalkanku secepat ini Bu." Tangisku pecah. Dunia bagaikan runtuh menimpaku mendengar perkataan ibu. Sekujur tubuh terasa lemas, seolah darah berhenti mengalir. Aku jatuh terduduk di samping makam Mas Rendi.
"Ayah tau ini sulit bagimu, Nduk. Kita semua sedih atas kepergian Rendi, tapi kita harus ikhlas agar Rendi tenang di alam sana."
"Tidak, Yah. Mas Rendi tidak boleh meninggalkanku, kami akan menikah minggu depan. Mas, Bangun! Katakan kalau kamu baik-baik saja?" Aku menangis histeris sambil meremas bunga mawar merah yang bertaburan di atas makam.
"Sudah, Nduk, jangan seperti ini. Kasihan Rendi." Ayah dan ibu Rendi memintaku bangkit tapi dengan sekuat tenaga aku meronta. Tak kuhiraukan perkataan ibu yang mencoba menenangkan, lalu tiba-tiba pandanganku kabur dan semua menjadi gelap.
***
"Kenapa, Nduk. Teringat Rendi lagi?" Ucap satu suara yang sangat kukenal, membawaku kembali ke alam nyata.
Aku menoleh. Entah sajak kapan ibu berdiri di sampingku.
"Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Lupakan kejadian itu, dan carilah pengganti Rendi, agar ia tenang di alam sana." Seperti biasa, terpancar kesedihan di wajah tua ibu melihat kondisiku.
"Entahlah, Bu." Aku tersenyum kecut lalu kembali melempar pandangan ke arah luar. Mengamati butiran-butiran air hujan yang kini turun semakin deras, dari sebalik jendela. Angin bertiup kencang membuatku mengeratkan cardigan hitam yang melekat di tubuh kurusku.
Maafkan aku Bu, aku tidak bermaksud membuatmu bersedih. Namun, melupakan mas Rendi tak semudah membalikkan telapak tangan.
Satu tahun sudah peristiwa itu terjadi, tapi sampai saat ini aku masih berharap itu hanya mimpi. Mimpi yang akan hilang ketika bangun dari tidur, berharap ketika aku membuka mata Mas Rendi sedang terlelap di sampingku.
Namun berkali-kali aku bangun, kenyataan ini masih sama. Mas Rendi telah benar-benar pergi untuk selamanya.
Indeks Link : Surat Undangan Membawa Kesedihan
End
Cilacap, 11 Desember 2019
Diubah oleh TaraAnggara 15-12-2019 20:20
jiyanq dan 24 lainnya memberi reputasi
25
2K
55
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
TaraAnggara
#1
Surat Undangan Membawa Kesedihan
sumberEntah untuk keberapa kali, Andin menatap kertas undangan di tangannya. Dadanya terasa sesak, melihat nama yang tertulis di atas kertas berwarna merah muda itu.
***
"Ini untukmu." Rafi mengulurkan undangan pernikahan, dengan gambar pengantin tercetak pada bagian atasnya.
"Ini apa?" tanya Andin dengan dahi berkerut.
"Baca aja," perintah Rafi dengan senyum mengembang menampakkan barisan giginya yang rapi.
Tanpa menunggu lama Andin segera membuka lipatan kertas undangan yang diulurkan Rafi.
Deg! Jantungnya terasa berhenti berdenyut melihat nama lelaki itu tertulis di atas undangan tersebut, sementara pada bagian bawah tertulis nama Putri Anggraeni.
Rafi adalah sahabat karib Andin semasa SMA. Tiga tahun belajar di sekolah yang sama, banyak waktu mereka habiskan bersama. Seiring berjalannya waktu cinta tumbuh di hati Andin, tapi sayang ia tidak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya.
Setelah masa pendidikan mereka di SMA berakhir, Rafi memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Sementara Andin harus membuang jauh keinginannya menikmati bangku kuliah karena kondisi ekonomi keluarga tak mendukung, meski prestasinya di sekolah cukup bagus. Begitulah pendidikan di negeri ini, yang berprestasi terkadang kalah dengan yang bermateri.
Sejak saat itu mereka tak pernah lagi bertemu, dan hanya sesekali saja berkomunikasi. Namun hal itu tidak membuat rasa cinta di hati Andin untuk Rafi musnah begitu saja. Tak heran ketika lelaki bertubuh jangkung itu tiba-tiba hadir di hadapannya, hati Andin begitu bahagia karena bisa kembali menatap wajah manis yang selama ini ia rindukan. Namun, rasa bahagia itu musnah setelah mengerti apa maksud kedatangan Rafi sebenarnya.
"Datang ya, minggu depan," pinta Rafi dengan wajah sumringah. Dia tidak tahu bahwa hati wanita di depannya sedang hancur berkeping-keping.
Andin menatap Rafi, memaksakan bibir tipisnya mengukir senyum meski hatinya menangis perih. "Iya Raf, pasti aku datang," ucap Andin, mencoba bersikap sebiasa mungkin, tidak ingin Rafi mengetahui apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya.
****
Kenapa belum siap-siap?" Sentuhan tangan yang mendarat di bahu Andin, mengembalikannya ke dunia nyata. Andin menoleh. Wajah lembut seorang wanita paruh baya yang ia panggil Ibu, menatapnya penuh iba.
Bu Arum memang menjadi tempat buat Andin mencurahkan segala perasaannya. Tidak heran ibunya itu tahu segala kisah Andin, termasuk tentang Rafi. Hanya saja ia tidak menyangka bahwa perasaan Andin terhadap Rafi akan bertahan sampai saat ini.
"Ibu tahu ini sangat menyakitkan bagimu Andin. Tapi inilah kenyataan, kamu harus menerimanya." Bu Arum meraih putri kesayangannya ke dalam pelukan lalu mengelus lembut punggungnya.
Andin bergeming. Bulir-bulir bening mengalir dari kedua netranya. Terlalu sakit. Terlalu sakit kenyataan yang harus ia terima.
"Bu, haruskan aku menghadiri pesta pernikahan Rafi. Sanggupakah aku melihat Rafi bersanding di pelaminan dengan wanita lain?" rintih Andin sambil terisak dalam pelukan Bu Arum.
"Jika selama ini kamu sanggup memendam perasaanmu pada Rafi, sanggup memendam rasa rindu seorang diri. Maka kali ini pun Ibu yakin kamu sanggup melalui ini." Bu Arum berhenti sejenak, "datanglah, hargai undangan Rafi, dia bahkan mengundangmu secara langsung," lanjutnya seraya mengendurkan pelukan.
****
Lalu di sinilah Andin, berdiri di depan sebuah gedung, tempat diadakannya resepsi pernikahan Rafi. Kata-kata ibunya membuatnya tersadar, bahwa sesakit apapun perasaannya ia harus menerima takdir dari Sang Kuasa. Takdir bahwa Rafi memang bukan jodohnya hingga ia memutuskan untuk menghadiri undangan Rafi.
Gaun panjang berwarna merah muda, membalut tubuh mungil Andin. Perlahan ia melangkah masuk ke dalam gedung. Harum bunga Lili putih yang terdapat di setiap sudut gedung menusuk masuk ke dalam indra penciumannya, sesaat setelah ia menginjakkan kaki di dalam ruangan yang dipenuhi tamu undangan.
Lampu-lampu nan terang benerang terpasang di atap gedung membuat suasana terlihat terang. Sementara satu lampu besar berbentuk bulat tergantung persis di atas pelaminan.
Andin memandang Rafi dan Putri yang sedang menjalani sesi foto di atas pelaminan. Rafi terlihat segak mengenakan kemeja putih dipadukan dengan jas hitam, sementara di sampingnya mempelai wanita terlihat anggun dengan gaun pengantin modern berwarna putih susu. Postur tubuhnya yang tinggi, terlihat serasi berdampingan dengan Rafi. Senyum mengembang terlihat di bibir mereka berdua saat berpose mengikuti arahan fotografer.
Rafi meminta sang fotografer menghentikan aksinya saat menyadari kedatangan Andin yang berdiri tidak jauh dari hadapannya. Ia melambaikan tangan kemudian berjalan menghampiri Andin, berniat mengajaknya foto bersama.
Andin membalas lambaian tangan Rafi seraya menarik nafas dalam. Berusaha sekuat tenaga agar air matanya tidak luruh dari bendungan.
Rafi baru berjalan beberapa langkah saat lampu yang tergantung di atas pelaminan jatuh menimpa Putri. Sontak semua tamu menjerit. Rafi menoleh. Ia terpaku beberapa saat melihat pemandangan di hadapannya.
"Putri ...," teriak Rafi kemudian, sambil berlari ke arah Putri yang jatuh terkulai tak sadarkan diri. Darah segar terlihat mengalir dari kepalanya.
Rafi menangis histeris. Ia meletakkan kepala Putri di pangkuan sambil terus menepuk-nepuk pipi wanita yang baru saja menjadi istrinya itu, meminta ia membuka mata. Namun sama sekali tak ada respon.
Suasana hingar bingar penuh kebahagiaan pun berubah menjadi hujan air mata. Sementara Andin, terkaku di tempatnya berdiri. Ia terlihat sangat terkejut dengan kejadian yang ada di hadapannya.
****
Tiga bulan kemudian. Rafi menatap baju pengantin yang tergantung di kamarnya dengan tatapan kosong. Bercak-bercak darah masih terlihat jelas dibeberapa bagian baju yang dikenakan Putri saat pernikahan.
Kehilangan Putri membuat akal sehat Rafi tak lagi berfungsi, sehingga semenjak peristiwa itu dirinya seperti mayat hidup. Ia seolah lupa, bahwa hakikatnya manusia akan meninggalkan dan ditinggalkan, semua hanya masalah waktu.
"Raf, makan dulu ya," bisik Andin lembut.
Semenjak kejadian itu dia memang tidak pernah absen mengunjungi Rafi. Mencoba terus menguatkan sahabatnya meski semua yang dia lakukan seolah sia-sia, karena kondisi Rafi sama sekali tak menunjukkan perubahan.
Rafi menerima suapan demi suapan dari tangan Andin, tapi seperti biasa tak sepatah pun kata keluar dari bibir lelaki itu. Terkadang ia tiba-tiba menangis lalu sedetik kemudian tersenyum. Rafi, seolah larut dengan dunianya sendiri.
Melihat kondisi Rafi hati Andin terasa pedih. Lebih pedih, di bandingkan saat ia menerima surat undangan darinya.
Rafi, tidakkah kamu menyadari? bahwa di sampingmu ada wanita yang sangat mencintaimu. Sebegitu besarkah cinta yang kau milikki untuk Putri, sehingga kematiannya membuatmu seperti ini? Jerit hati Andin.
Diubah oleh TaraAnggara 16-12-2019 15:06
081364246972 dan 21 lainnya memberi reputasi
22
Tutup