- Beranda
- Stories from the Heart
Kasih Tak Semampai
...
TS
djrahayu
Kasih Tak Semampai
PART 1

Di mana pun, kapanpun. Kecantikan paras selalu menjadi nomor satu. Yang tak punya keindahan paras akan mendapatkan perlakuan kasar dan penghinaan.
"Jelek! Gendut!" Beberapa murid SMP tengah mengitari seorang siswi dengan tubuh gendut dan pendek.
"Lu denger nggak, sih?!" Salah seorang mendorong kepala dengan jari telunjuk.
"Atau jangan-jangan budek?" sambung yang lain.
"Sekarang, nggak ada yang bakal belain, Elo!" Rambut siswi gendut bernama Kasih Putri Hutami ditarik oleh beberapa siswi di sana.
Kasih hanya bisa memelas. Memohon maaf dan minta dilepaskan. Gadis itu menangis. Ia benar-benar tak tahu lagi harus bagaimana.
"Sudah yuk, Guys! Kalau besok dia sakit dan nggak bisa masuk. Kita nggak punya samsat dan mainan untuk dihancurkan besok." Dewi, pemimpin dari enam orang siswi dan tiga orang siswa di sana menuruni tahta singgasana. Sebuah tong yang berada tepat di samping gudang.
"Awas lu bilang sama kak Putra!" Setiap siswa dan siswi di sana menoyor kepala gadis itu saat melewatinya.
Kasih memandang pada kaca yang telah retak. Dulu, kaca ini ada di UKS sekolah.
Tingginya hanya 140cm. Namun, bagi anak SMP, itu sudah normal. Akan tetapi, ia memiliki berat hampir 70kg.
Setelah lamat memerhatikan tubuh, Kasih melihat wajahnya. Matanya sipit dan tetutup pipinya yang seperti bakpao. Hidungnya tidak pesek dan tidak mancung. Sedang. Lalu, bibirnya lumayan kecil, tapi tidak terlalu.
"Benar-benar jelek." Kasih menunduk. Ia memainkan ujung baju yang keluar akibat tubuh besarnya.
Perlahan Kasih pun melangkah. Ia berencana untuk ke toilet terlebih dahulu. Membasuh muka dan membenarkan rambut yang acak-acakan.
Untung saja, mereka tidak berani menyerang wajah atau bagian tubuh yang terlihat. Bila sampai demikian, bagaimana dirinya bisa menyembunyikan dari Putra.
Selesai merapikan pakaian, rambut dan mencuci muka. Kasih berjalan menuju depan. Pasti kak Putra menunggunya di luar.
"Puput?" Kasih menghentikan langkah dan mengitar pandangan, ternyata Putra tengah berbicara pada Dewi di sudut kelasnya. "Jelek, gendut, menyebalkan dan menyusahkan. Jalan dengannya, memalukan."
Kasih menggigit bibir bawah. Ia menunduk dan berjalan pergi dari sana. Tak ia peduli dengan Tas yang masih ada di meja dekat mereka yang tengah berbincang.
"Itu 'kan, jawaban yang ingin kamu dengar?" Putra tersenyum miring. "Bagiku dia lebih cantik dan imut dibandingkan dirimu. Kecantikannya itu memancar dari hati. Tidak sepertimu." Putra meraih tas Kasih dan berlalu pergi.
000
Beberapa hari lalu. Di saat mereka, Kasih, Putra dan Erick tengah berjalan di taman. Sepupu dari putra itu, tiba-tiba bertanya.
"Kamu sama Kasih?"
"Oh, dia adik gue. Aku udah nganggap dia adik kecil dari dulu. Tahulah sendiri. Aku selalu ingin punya adik dari dulu."
Kasih terdiam. Entah kenapa hatinya sakit. Ia ingin lebih dari itu.
000
Kasih megurung diri di kamar. Dia menangis sambil memeluk lutut dan bersandar di pintu. Tak jauh di sana, terdengar suara Putra.
"Bik, Puput ada?" tanyanya dengan wajah panik. Pakaian putih abu-abunya pun berantakan dan tampak lusuh. Rambutnya acak-acakan.
"Ada di kamar, Den."
Putra naik ke atas dengan tergesa. Ia mencoba mendorong, tapi tidak bisa.
"Put, buka pintunya, please." Putra mengetuk, tapi tidak ada jawaban. "Put, jangan bikin kakak susah begini."
Kasih membuka pintu. Ia menatap nyalang pada Putra. "Susah? Emang aku yang minta? Nggak 'kan? Kalau memang menyusahkan, ya sudah! Nggak usah sok baik di depan aku. Aku membencimu! Benar-benar benci! Bila perlu, nggak usah ketemu lagi!" Kasih membanting pintu dan menguncinya. Meninggalkan Putra yang mematung dan membisu.
Tak lama, setelah kesadarannya muncul. Putra menaruh tas Kasih di depan pintu dan berlalu pergi.
"Sabar Put. Mungkin dia lagi PMS kayak mama. Sabar."
000
"Pagi. Bunda!" Putra menyapa wanita paruh baya yang tengah asyik menata piring.
"Loh, Put? Kok kamu masih di sini?" Putra mengerjapkan mata, "Asih sudah pergi tadi. Katanya hari ini harus berangkat cepat. Dia bahkan, cuma sempat menghabiskan sepotong roti dan setengah gelas susu tadi."
"Kalau gitu, Putra susul Puput dulu, Bunda." Putra mencium tangan Bunda dan bergegas pergi.
"Ada masalah apa mereka?" Bunda menggelengkan kepala.
"Namanya anak muda, Bun. Huff ... Ayah memang kecil banget, ya? Kok bisa-bisanya, anak itu cuma pamitan sama kamu."
"Namanya anak muda, Yah." Bunda mengembalikan kata yang diucapkan Ayah.
000
Pagi tadi, ia berusaha menemui Kasih di sekolah. Namun, hasilnya nihil. Bahkan, dia sudah membawa roti yang dibeli di jalan.
Siang ini, sepulang sekolah dia langsung bergegas menuju SMP nya dulu. Kali ini, dia tak perlu takut dengan bel masuk sekolah.
Di tengah jalan, dia bertemu Kasih tengah jalan kaki. Membuat Putra segera memacu motor dengan cepat, menyusul gadis itu.
"Put." Tak ada jawaban. Bahkan, gadis itu terus berjalan. "Put!"
Putra turun dari motornya dan menghadang Putri. "Naik!" tegasnya.
"Minggir!" Kasih berusaha menyingkirkan Putra dari sana. Namun, meski tubuhnya gendut, ia tidak punya kekuatan sama sekali.
"Naik! Kakak bilang naik!"
"Nggak! Aku benci kamu! Aku tidak mau lagi bertemu denganmu!"
Putra mematung, tapi setelah sadar, ia kembali mengejar.
"Ck! Aish! Kalau mama sama bunda tahu, bisa berabe. Kamu nggak kasihan sama Kakak?" Putra membujuk dan biasanya hati Kasih akan luluh.
"Kak." Putra tersenyum, "Aku benar-benar membencimu dan kita nggak perlu ketemu lagi. Dan mereka, tak perlu tahu. Selesai bukan? Kamu tidak kesusahan dan aku tidak harus melihat wajahmu lagi."
Putra terdiam. Saat Kasih melewatinya, ia bertanya, "bisa kamu jelaskan, kenapa tiba-tiba membenci kakak?"
Kasih tetap berlalu pergi. Meninggalkan Putra yang menunggu jawaban.
'Dengan begini, Kakak tidak perlu malu lagi. Kakak tidak perlu susah lagi. Karena, Kasih yang tidak cantik ini, benar-benar akan menjauh.' Ia bergumam sambil mengusap air matanya yang mengalir.
Argamakmur, 04 Desember 2019
PART 2
Part 3
Part 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
Diubah oleh djrahayu 29-12-2019 08:24
nona212 dan 33 lainnya memberi reputasi
34
5.5K
58
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
djrahayu
#12
PART 3
Sesuai janji, Sabtu pagi Kasih pergi ke rumah Mama. Ia juga bertekad selama beberapa hari terakhir ini untuk meminta maaf. Jangan sampai Allah memanggilnya di saat masih marah dengan Putra.
"Wow! It's AMAJING!" seru Erick dengan wajah yang excited melihat Kasih. Badan yang kecil berbalut gamis dan jilbab lebar yang tampak anggun.
"Siapa Rick?" tanya Putra yang muncul dari dalam.
"Ehm ... Assalamu'alaikum, Kak."
"Wa'alaikum salam." Mereka menjawab serentak.
"Boleh kita bicara sebentar? Empat mata."
"Oke, gua ke dalam dulu." Erick menepuk pundak Putra pelan sebelum menghilang dari pandangan.
"Aku minta maaf untuk kejadian yang dulu. Aku terlalu kasar waktu itu. Maaf."
Putra tersenyum dan ingin mengusap kepala Kasih seperti dulu. Namun, gadis itu menghindar.
"Maaf, tapi kita nggak bisa kembali seperti dulu. Ehm ... aku permisi masuk."
Putra menghela napas. Namun, senyumnya masih terpatri. Seolah dirinya punya kesempatan.
"Mama! Adek dat ...."
Kasih melihat seorang perempuan cantik tengah menyuapi mama.Membuatnya diam seketika.
"Mama sakit?" tanyanya sambil mendekat perlahan. "Sudah ke dokter?" Wajahnya lumayan panik.
"Mama cuma capek aja, Sayang." Mama mengelus kepala Kasih dengan lembut dan hangat, "oh, iya! Ini kak Cantik, teman kak Putra dan kak Erick waktu SMA dan ini Kasih. Calonnya Putra."
Suasana yang sejak tadi kaku. Malah bertambah dingin. Namun, Kasih tidak ambil pusing. Ia segera mengulurkan tangannya. "Salam kenal, Kak Cantik yanng Cantik."
"Loh, kenapa?" tanya Kasih saat melihat mama enggan memakan bubur ayam suapan kak Cantik.
"Mama nggak berselera. Sudah ya, Sayang." Mama mendorong mangkuk bubur menjauh.
"Adek tadi, mesan cumi. Mama mau?" tanya Kasih dan dijawab anggukan semangat oleh mama. "Kak, mama boleh makan cumi?"
Putra melihat ke arah Kasih, "asal jangan pedas."
"Nggak kok. Adek mesan yang dike ...."
Handphone Kasih tiba-tiba berdering.
Ia mengangkat panggilan dan di-loadspeaker, karena hendak membenarkan bantal mama.
"Kamu dimana? Katanya minta antar di rumah! Ini malah ngilang ke mana!" Suara laki-laki di sebrang telpon mengagetkan semua yang ada di dalam ruangan.
"Untung nggak adek deketin kuping." Kasih menggerutu kesal. "Sebelah. Adek di sebelah. Minta aja bibi atau satpam ngantar ke kamar."
Panggilan pun mati. Kasih segera duduk dan menghela napas. Namun, tak lama, pintu terbuka. Seorang laki-laki dengan masker, kaca mata hitam dan topi mendekat.
"Berlagak ngartis! Emang di sini ada yang kenal dan ngefans sama situ!" Kasih melempar bantal kecil yang menganggur ke arah orang yang baru datang. Namun, ia menghindar. Laki-laki itu lolos dari serangan dadakan. "Kenapa nggak nitipin ke satpam atau bibi aja, sih?"
"Terus, situ kapan bayarnya?" Ia menyerahkan kantung plastik.
"Nanti sore, kalau nggak besok adek bayar." Kasih merengut. "Terus ini, makannya gimana?"
"Ambil piring, mangkuk dan sendok, atuh."
"Ya sudah,ambilin sana."
"Loh, kok aku?"
"Tadi malam, adek mesannya jam berapa ngantarnya?"
"Jam enam harus sudah sampai.Tapi, tadi ...."
"Nggak ada alasan ketiduran. Sebagai ganti keterlambatan, ambilin sana! Minta sama bibi. Sekalian nasi dan air minum. Kalau nggak, nggak adek bayar."
"Iya, deh. Dapurnya di mana?"
"Denah rumah ini sama kayak rumah adek. Jadi cepat ambil sana!"
"Siapa itu, Sayang?" tanya mama penasaran setelah Laki-laki absurd tadi keluar.
"Abang Rizki, Ma. Sekelas sama adek."
"Kok, lama. Adek lihat bentar ya, Ma?"
"Iya, Sayang."
Kasih meninggalkan ruangan setelah, mengambil bantal yang dilemparnya tadi. Namun, yang ditunggu sudah datang duluan.
"Lama." Kasih berbalik badan ke arah mama kembali. Sedangkan Rizki, memeletkan lidah ke arah Kasih.
"Jangan macam-macam. Nanti nggak adek bayar." Kasih duduk di kursi samping ranjang, "maaf, Kak. Kakak bisa pindah ke sofa."
"Oh, iya. Nggak apa-apa kok." Cantik memasang senyum memaksa.
"Duduk sini!" Kasih menyuruh Rizki duduk di sampingnya.
Kasih mengambil alih nampan dan mulai menyuapin mama. Namun, ia terusik dengan tatapan tiga orang yang berada di sofa dan Rizki.
"Adek tahu, adek cantik. Nggak usah dilihatin gitu napa?"
"Idih! Orang penasaran, rasanya enak atau nggak."
"Mana aku tahu." Kasih menyeringai nakal.
"Ya, situ mana tahu. Nyicip aja belum." Rizki mengambil sendok yang ada di mangkuk lauk, lalu menyuapkan pada Kasih. "Layanan service."
Kasih mengunyah pelan. Matanya berbinar, "saran adek, kecapnya jangan kebanyakan. Terlalu manis."
"Mana?"
"Mana apanya? Bukanya terima kasih dulu, kek. 'Kan adek sudah kasih saran."
"Makasih. Terus, mana uangnya."
"Ini." Kasih mengeluarkan uang merah selembar dan langsung direbut oleh Rizki. Ia pun segera kabur. Namun, sebuah bantal yang mengenai kepala belakangnya itu, membuat dirinya tersungkur.
"Kembaliannya."
"Pelit!"
"Enak aja! Seharusnya abang yang kasih gatisan ke adek. Sini kembaliannya!"
"Nanti, abang tukar dulu di warung, ya?"
"Nggak! Entar kayak sebelumnya. Abang bawa kabur tuh duit."
"'Kan besoknya abang kembalikan."
"Nggak!"
"Sini, uang Puput. Biar saya yang bayar."
"Lima puluh ribu, sudah sama hutang dia yang kemarin."
"Enak aja! Tiga puluh, Kak. Kapan juga adek ada hutang sama dia."
"Yang situ pesan kemarin sore apa? Katanya bayar besok."
"Yang itu urusan adek. Biar adek yang bayar."
"Ini, sama yang kemarin." Putra mengeluarkan selembar uang biru. Membuat Kasih menghela napas.
Rizki memberikan uang Kasih tadi dan langsung berjalan keluar. Namun, ia teringat sesuatu dan segera berbalik.
"Ngapain?"
"Motormu mana? Aku cek di garasi tadi nggak ada." Ia mendekat ke arah Kasih.
"Kemarin sore, adek dan motor nyemplung di siring arah jalan pulang." Semua orang segera memandang Kasih dengan ekpresi kaget.
"Jatuh?!" tanya Rizki dengan wajah panik. "Terus, motornya gimana? Rusak parah nggak?"
Kasih menggigit bibir bawahnya. Berusaha mengatur napas dan mengendalikan emosi yang sudah di puncak.
"Pernah dipukul nggak?" Senyumnya miring.
Argamakmur, 08 Desember 2019
"Wow! It's AMAJING!" seru Erick dengan wajah yang excited melihat Kasih. Badan yang kecil berbalut gamis dan jilbab lebar yang tampak anggun.
"Siapa Rick?" tanya Putra yang muncul dari dalam.
"Ehm ... Assalamu'alaikum, Kak."
"Wa'alaikum salam." Mereka menjawab serentak.
"Boleh kita bicara sebentar? Empat mata."
"Oke, gua ke dalam dulu." Erick menepuk pundak Putra pelan sebelum menghilang dari pandangan.
"Aku minta maaf untuk kejadian yang dulu. Aku terlalu kasar waktu itu. Maaf."
Putra tersenyum dan ingin mengusap kepala Kasih seperti dulu. Namun, gadis itu menghindar.
"Maaf, tapi kita nggak bisa kembali seperti dulu. Ehm ... aku permisi masuk."
Putra menghela napas. Namun, senyumnya masih terpatri. Seolah dirinya punya kesempatan.
"Mama! Adek dat ...."
Kasih melihat seorang perempuan cantik tengah menyuapi mama.Membuatnya diam seketika.
"Mama sakit?" tanyanya sambil mendekat perlahan. "Sudah ke dokter?" Wajahnya lumayan panik.
"Mama cuma capek aja, Sayang." Mama mengelus kepala Kasih dengan lembut dan hangat, "oh, iya! Ini kak Cantik, teman kak Putra dan kak Erick waktu SMA dan ini Kasih. Calonnya Putra."
Suasana yang sejak tadi kaku. Malah bertambah dingin. Namun, Kasih tidak ambil pusing. Ia segera mengulurkan tangannya. "Salam kenal, Kak Cantik yanng Cantik."
"Loh, kenapa?" tanya Kasih saat melihat mama enggan memakan bubur ayam suapan kak Cantik.
"Mama nggak berselera. Sudah ya, Sayang." Mama mendorong mangkuk bubur menjauh.
"Adek tadi, mesan cumi. Mama mau?" tanya Kasih dan dijawab anggukan semangat oleh mama. "Kak, mama boleh makan cumi?"
Putra melihat ke arah Kasih, "asal jangan pedas."
"Nggak kok. Adek mesan yang dike ...."
Handphone Kasih tiba-tiba berdering.
Ia mengangkat panggilan dan di-loadspeaker, karena hendak membenarkan bantal mama.
"Kamu dimana? Katanya minta antar di rumah! Ini malah ngilang ke mana!" Suara laki-laki di sebrang telpon mengagetkan semua yang ada di dalam ruangan.
"Untung nggak adek deketin kuping." Kasih menggerutu kesal. "Sebelah. Adek di sebelah. Minta aja bibi atau satpam ngantar ke kamar."
Panggilan pun mati. Kasih segera duduk dan menghela napas. Namun, tak lama, pintu terbuka. Seorang laki-laki dengan masker, kaca mata hitam dan topi mendekat.
"Berlagak ngartis! Emang di sini ada yang kenal dan ngefans sama situ!" Kasih melempar bantal kecil yang menganggur ke arah orang yang baru datang. Namun, ia menghindar. Laki-laki itu lolos dari serangan dadakan. "Kenapa nggak nitipin ke satpam atau bibi aja, sih?"
"Terus, situ kapan bayarnya?" Ia menyerahkan kantung plastik.
"Nanti sore, kalau nggak besok adek bayar." Kasih merengut. "Terus ini, makannya gimana?"
"Ambil piring, mangkuk dan sendok, atuh."
"Ya sudah,ambilin sana."
"Loh, kok aku?"
"Tadi malam, adek mesannya jam berapa ngantarnya?"
"Jam enam harus sudah sampai.Tapi, tadi ...."
"Nggak ada alasan ketiduran. Sebagai ganti keterlambatan, ambilin sana! Minta sama bibi. Sekalian nasi dan air minum. Kalau nggak, nggak adek bayar."
"Iya, deh. Dapurnya di mana?"
"Denah rumah ini sama kayak rumah adek. Jadi cepat ambil sana!"
"Siapa itu, Sayang?" tanya mama penasaran setelah Laki-laki absurd tadi keluar.
"Abang Rizki, Ma. Sekelas sama adek."
"Kok, lama. Adek lihat bentar ya, Ma?"
"Iya, Sayang."
Kasih meninggalkan ruangan setelah, mengambil bantal yang dilemparnya tadi. Namun, yang ditunggu sudah datang duluan.
"Lama." Kasih berbalik badan ke arah mama kembali. Sedangkan Rizki, memeletkan lidah ke arah Kasih.
"Jangan macam-macam. Nanti nggak adek bayar." Kasih duduk di kursi samping ranjang, "maaf, Kak. Kakak bisa pindah ke sofa."
"Oh, iya. Nggak apa-apa kok." Cantik memasang senyum memaksa.
"Duduk sini!" Kasih menyuruh Rizki duduk di sampingnya.
Kasih mengambil alih nampan dan mulai menyuapin mama. Namun, ia terusik dengan tatapan tiga orang yang berada di sofa dan Rizki.
"Adek tahu, adek cantik. Nggak usah dilihatin gitu napa?"
"Idih! Orang penasaran, rasanya enak atau nggak."
"Mana aku tahu." Kasih menyeringai nakal.
"Ya, situ mana tahu. Nyicip aja belum." Rizki mengambil sendok yang ada di mangkuk lauk, lalu menyuapkan pada Kasih. "Layanan service."
Kasih mengunyah pelan. Matanya berbinar, "saran adek, kecapnya jangan kebanyakan. Terlalu manis."
"Mana?"
"Mana apanya? Bukanya terima kasih dulu, kek. 'Kan adek sudah kasih saran."
"Makasih. Terus, mana uangnya."
"Ini." Kasih mengeluarkan uang merah selembar dan langsung direbut oleh Rizki. Ia pun segera kabur. Namun, sebuah bantal yang mengenai kepala belakangnya itu, membuat dirinya tersungkur.
"Kembaliannya."
"Pelit!"
"Enak aja! Seharusnya abang yang kasih gatisan ke adek. Sini kembaliannya!"
"Nanti, abang tukar dulu di warung, ya?"
"Nggak! Entar kayak sebelumnya. Abang bawa kabur tuh duit."
"'Kan besoknya abang kembalikan."
"Nggak!"
"Sini, uang Puput. Biar saya yang bayar."
"Lima puluh ribu, sudah sama hutang dia yang kemarin."
"Enak aja! Tiga puluh, Kak. Kapan juga adek ada hutang sama dia."
"Yang situ pesan kemarin sore apa? Katanya bayar besok."
"Yang itu urusan adek. Biar adek yang bayar."
"Ini, sama yang kemarin." Putra mengeluarkan selembar uang biru. Membuat Kasih menghela napas.
Rizki memberikan uang Kasih tadi dan langsung berjalan keluar. Namun, ia teringat sesuatu dan segera berbalik.
"Ngapain?"
"Motormu mana? Aku cek di garasi tadi nggak ada." Ia mendekat ke arah Kasih.
"Kemarin sore, adek dan motor nyemplung di siring arah jalan pulang." Semua orang segera memandang Kasih dengan ekpresi kaget.
"Jatuh?!" tanya Rizki dengan wajah panik. "Terus, motornya gimana? Rusak parah nggak?"
Kasih menggigit bibir bawahnya. Berusaha mengatur napas dan mengendalikan emosi yang sudah di puncak.
"Pernah dipukul nggak?" Senyumnya miring.
Argamakmur, 08 Desember 2019
berodin dan 5 lainnya memberi reputasi
6