Kaskus

Story

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Rekan kerja
Rekan kerja

Prolog

Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?

Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.

Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!


INDEKS
Spoiler for .:


Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:


(Part 1)

Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....

Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.

"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."

Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?

"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.

"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."

Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.

Kami mengobrol sepuluh menitan.

Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.

****

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.

Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.

Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.

Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"

Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.

"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.

Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."

"Ya,ya, ayo duduk!"

Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.

"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.

"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"

"Ya, Pak. Benar."

"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.

"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.

"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."

"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"

"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."

Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.

".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"

"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.

"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."

Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.

Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.

Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.

Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.

Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.

"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.

"Terima kasih," ucapku.

"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.

Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.

Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.

"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.

"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.

"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."

"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"

"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."

Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.

Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.

-----

Jam istirahat ....

"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.

"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.

"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.

"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"

"Pak Sujiwo."

"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"

Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.

Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.

Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.

"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."

Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.

"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.

Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.

"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.

"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.

Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.

Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.

Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....

****

Pukul 08.30 WIB

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.

Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.

Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.

Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."

Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.

"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.

"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"

"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.

Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.

Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!

Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....

"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.

Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.

Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."

"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."

"Nggih, Pak."

Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.

Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.

Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.

"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.

"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.

"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"

"...." Aku tak bisa berkata.

"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"

Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.

"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."

Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.

"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.

"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.

"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.

Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.

"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.

"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.

Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.

"Awas kau!" Ancamnya kemudian.

Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.

Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
erman123Avatar border
OkkyVanessaMAvatar border
manik.01Avatar border
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.4KAnggota
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#385
Rekan Kerja (part 24)
Sefti membalikkan badan dengan kedua tangan bersidekap. Sorot matanya tajam menatap, seakan tengah mengadili.

"Aku gemes banget, ya, liat kamu. Sumpah, Dan, kamu itu gimana, ya? Hadeeeeeehhh!" Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin geram karena kebodohanku.

"Jangan menyalahkanku seperti itu. Mungkin jika kamu ada di posisiku, jelas sama bingung." Kutekuk kedua kaki yang sejak tadi lurus terselonjor. Membungkukkan sedikit punggung, dengan dua tangan bertumpu pada paha. Betapa pening kepala yang kurasa kini.

"Kalau aku jadi kamu, Dan, tentu aku tak semudah itu mempercayainya. Rian itu modal mulut, doank! Seharusnya cerita sama aku di awal. Kamu suka makan omongan mentah orang, terlalu cepat ambil tindakan tanpa pikir panjang lebih dulu."

Perkataan Sefti sama sekali tak mengindahkan suasana hati. Kutegakkan punggung sejenak, menarik napas panjang, sembari melepas pandang ke jalanan yang ramai motor lalu-lalang. Pikiranku bertambah kacau!

Sesuatu yang mengagetkan. Perlahan, Sefti mendekat. Dipegangnya telapak tangan kiri, yang membuatku langsung menolehkan wajah padanya. Kutatap ia, dan kami pun beradu pandang. Wajah itu tersenyum, begitu berkharisma, menggetarkan kalbu seiring dengan detak jantung yang semakin kencang terasa.

"Terima kasih atas kekhawatiranmu padaku," ucapnya lirih, dan aku langsung membuang pandang. Semakin ke sini, semakin berdebar rasanya hati.

"Boleh tanya? Kenapa kamu begitu berat padaku, sedangkan aku saja adalah orang lain bagimu," lanjutnya. Aku tak bisa menjawab. Pun tak bisa mengalihkan bicara. Kualihkan tatapanku kembali pada sudut lain. Benar-benar salah tingkah dibuatnya.

"Dani, kamu mendengarku?" tanyanya lagi, sembari menarik daguku agar mengarah padanya. Benar wajahku menghadapnya, namun kedua netra kupalingkan pada yang lain.

"Jangan-jangan kamu jatuh cinta padaku." Ia tertawa kecil, seakan menggodaku yang sedang membisu dan kaku. Ah, mungkin ia menertawakan kepolosanku yang tanpa arti. Aku sadari itu. Seharusnya aku tak seperti ini!

Gadis itu masih saja tertawa, seakan ada yang lucu padaku. Tak ingin remeh di matanya, aku pun berseru, "Seandainya memang benar begitu, lalu bagaimana?"

Sefti spontan terdiam. Ia menoleh, menatapku dalam. Wajahnya tak sebercanda yang tadi. Kami berpandangan dan terdiam beberapa menit. "Bagaimana kalau aku memang benar menyukaimu. Lalu, salahnya di mana?" ucapku lagi. Dag-dig-dug rasa hati kali ini.

"Kau ... kau sedang bercanda, bukan?"

Kali ini kubuang pandanganku ke air mancur di tengah taman. "Apakah dengan berkorban seperti pagi tadi itu kau bilang bercandaan? Kurasa kau lebih pintar menanggapi," jawabku datar.

Hal lain yang membuatku syok. Sefti melingkarkan kedua tangannya ke pinggang. Kepalanya dibiarkan bersadar di lenganku. Getar-getar cinta yang ada semakin membuatku terhampar dan luruh semakin dalam dibuatnya. Ia menggelayut, seakan memaksaku menatap wajah ayu nan manis itu. Perlahan, wajah kami semakin mendekat. Ia memejamkan matanya dan mulai semakin mendekat. Kami pun terbuai pada asmara yang bergelora dalam detak jantung. Kupastikan sentuhan ini yang pertama kurasa.

****

"Dani!!!" Seruan lantang ibu terdengar nyaring di telinga manakala aku baru menginjakkan kaki masuk ke rumah. Mendadak ikut kesal, terbawa emosi. "Bu, aku ini capek. Bisa nggak bicara biasa saja?"

"Pegel opo, coba? Ojok nggarai wong ngamok koen, yo? (Capek apa, coba? Jangan buat orang marah kamu, ya)" Ibu terus saja berkata keras padaku.

Wah, ada apa ini? Kenapa pulang-pulang sudah marah begini. Jelas ada apa-apa ini!

"Nyoh! Iki lo surat teko wak Heri. Teko ndi awakmu gak budal nyambut gawe? Iso-isoe mbujuki ibukne, awakmu! Tak selak-selakno isuk gopoh kabeh nebyak-nebyak gawe mbontotno, ndang dekne kerjo angger-angger! (ini lo surat dari wak heri. Darimana kamu gak berangkat kerja? Bisa-bisanya membohongi ibu kamu! Aku sempat-sempatkan tiap pagi terburu-buru demi membawakanmu bekal. Tapi kamu kerja seenaknya)"

Mataku spontan melotot kaget mendengar ucapan itu. Apalagi menatap uluran tangan ibu yang menyodorkan amplop putih panjang padaku, membuatku ragu membukanya, karena ibu pasti masih di tempat dan ingin tahu.

"Ini tak seperti yang ibu duga," ucapku lirih. Keringat semakin bercucuran seiring dengan rasa cemas yang mulai menghantui.
Apa-apaan Pak Heri ini! Kenapa menyelidiki seperti ini segala. Sudah pusing memikirkan cara untuk menghadapi Pak Dika besok, eeeh ... ada lagi masalah lanjutan.

"Cepet bukak! Isine opo, ndelok! (cepat buka. Isinya apa, lihat!)"

Jantung semakin berdegub keras. Bingung dan cemas. Tangan terasa berat, serta kian gemetar. Sementara ibuku sudah harap-harap cemas menanti isi amplop yang kupegang.

"Assalamuallaikum!" Sebuah suara dari luar menyelamatkanku. Suara itu berseru lagi. Kupinta ibu untuk membukakan, agar aku cepat menukar isi amplop di tangan dengan kertas lain di dalam tas. Kamuflase, seolah-olah salah kirim. Bagaimanapun aku harus menyelamatkan diri dari ibu yang sedang berburuk perasaan.

Namun, belum sempat aku menukar isi amplop itu, ibu sudah marah-marah di depan sana. Seolah sedang kesal dengan tamu yang datang. Aku semakin penasaran dibuatnya, mengingat yang berseru tadi adalah suara perempuan. Jangan-jangan Adel?!!

Dengan cepat, kulangkahkan kaki menuju ruang tamu, dan benar dugaan. Adel ada di sana. Berdiri menatapku dengan wajah datarnya. Kualihkan pandang melihat halaman depan. Ada supirnya merokok di halaman. Kuduga ia datang sendiri ke mari.

"Dasar tak tahu malu! Kamu ini perempuan, yang tahu malu, jangan ngejar-ngejar anak saya terus."

"Ssssttt!" Kututup mulut ibu dengan jari telunjuk. Kuharap ibu lebih tenang, karena aku juga merasa bersalah dengan gadis di hadapanku kini.

"Mohon maaf, saya hanya ingin menyerahkan ini. Saya tahu Dani baru saja pulang, saya menunggunya. Khususnya kepada ibu, untuk memberikan ini ...." Adel menghentikan bicaranya sejenak sembari menyodorkan sebuah amplop putih pada kami, lalu berkata lagi, "Semuanya demi mempertahankan harga diri saya di mata kalian."

Ibu mengerutkan dahi. Apalagi aku. Tangan ibu tak jua mengambil amplop itu dari tangan Adel. Aku pun meraihnya demi rasa penasaran. Sebuah surat dari Rumah Sakit??

"Kalau sudah kamu baca, ganti serahkan sama ibumu, Dani!" tukasnya datar.

"Itu Rumah Sakit asli kota ini, aku mendapatkannya masih hangat, karena baru saja kuambil. Kuharap, kamu tak meragukan keasliannya," lanjutnya lagi.

Ibu melongok sedikit menatap secarik kertas yang terpampang di tanganku. "Apa, sih, Dan? Ibu jadi pengen tau," ujar ibu setengah berbisik.

Aku tak bisa berkata lagi. Karena memang pada akhirnya, aku yang salah padanya. Tak mau berdebat, kuserahkan surat itu kembali padanya, lalu menjawab ucapan ibu, "Bukan apa-apa, kok, Bu."

Adel yang mendengar ucapanku, rupanya tak terima. Ia buka kembali amplop itu. Mengambil secarik kertas yang ada di dalamnya, membuka lipatan, hingga memampangkan di depan mata ibu.

"Ini adalah hasil tes, Bu. Hasil tes yang menunjukkan bahwa saya benar-benar masih perawan. Saya tak pernah hamil seperti yang ibu duga, pun dengan perkiraan buruk ibu yang sudah banyak menyakitkan saya!" Tegasnya setengah mengisak. Butiran kristal itu luruh dari kelopak matanya, membuatku tertunduk atas rasa bersalah yang tinggi. Ibu pun terdiam, tak mau menimpali.

Adel bergegas memasukkan kertas itu dari tasnya. Kembali menatapku tajam dengan bibir yang tampak bergetar. Sejurus kemudian, ia berucap, "Terima kasih atas semua kebaikan yang kalian berikan padaku. Aku beruntung tak jadi bagian dari kehidupan kalian. Sekarang, baru percaya, kan ... saya masih gadis?"

"Del, aku minta maaf!"

"Sssttt! Sudah!" Adel menggeleng berulangkali dengan menutup kedua telinganya. "Aku tak akan mendengarkan lagi apa katamu. Aku sudah tahu semuanya. Terima kasih!" Seusai berkata demikian, ia lalu melangkahkan kaki ke luar rumah. Namun, baru sampai di ambang pintu, ia berbalik lagi seraya berkata, "Sampaikan salamku pada rekan kerjamu yang kau temui tadi. Sebelumnya, suruh ibumu bertanya, MASIHKAH IA PERAWAN??"

Seperti mendapat kepuasan batin, Adel tersenyum sembari berucap, "Sekali lagi, terima kasih banyak. Assalamuallaikum," kemudian melangkah pergi. Sedangkan aku di tempat, tersentak bukan main tentunya. Sama dengan ibu kini.

Selepas kepergian Adel, segera aku menyingkir dari tempat. Kuharap ibu tak menghiarukan apa yang dia kata. Namun, sedetik kemudian ....

"Dani!!! Siapa perempuan yang dimaksud??" Ibu keras membentak di belakangku. Aku terhenyak, semakin bingung kali ini.

"Jadi, benar ... kau tadi tak bekerja?!!" lanjut ibu dengan nada berapi-api.

Dan aku masih berdiri di sini. Terpaku dalam pikiran yang tak lagi stabil.

----

Coba tebak, Gaeeess ... onok opo maneh iki, Gaeeess?? Opo gak ngelu awakmu nek dadi Dani, Gaeeesss?? Wkwkwkwkwk! emoticon-Wakaka
Dah, silahkan dilanjut sendiri maunya gimana. Ane lagi butuh menyan, eeh cendol yang banyak, buat malmingan. Ramein kokom, biar lebih semangat nulisnya
emoticon-Toast
Diubah oleh shirazy02 07-12-2019 20:42
tambaltubeless
siloh
erman123
erman123 dan 24 lainnya memberi reputasi
25
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.