- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#361
Rekan Kerja (part 23)
Derasnya gemercik air hujan kini berganti menjadi gerimis. Kuhirup tamat udara yang lembab ini dengan mata yang masih separuh terbuka. Pagi yang dingin, masih menyisakan ingatan tentang peristiwa tak mengenakkan kemarin sore. Di saat aku mengambil izin pulang mendadak karena mengkhawatirkan kondisi ibu, tahu-tahu perkataan menyakitkan itu mencuat. Rasa kesal menyeruak seketika. Bagaimana mungkin seorang wanita dan juga seorang ibu sepertinya, dengan gampangnya berkata yang sangat menyakitkan hati anak orang lain? Tapi, aku sadar diri. Mungkin kemarahan ibu yang luar biasa kemarin juga telah menyakiti perasaannya, terlebih anaknya.
Namun bagaimanapun, aku tetap tak terima ibuku disebut GILA!
Semenjak saat itu, kublokir Adel dari segala akses yang bisa terhubung. WA, IG, FB, nomor pun masuk daftar blacklist. Pun sama dengan nomor si Adam. Aku tak ingin lagi berhubungan dengan mereka. Semua kesalahan murni dariku, oleh sebab itu, menghilang kurasa lebih baik.
Kutatap jalanan yang mulai ramai. Entah jam berapa sekarang, kurasa masih pagi. Pikiranku sendiri masih penuh. Sepintas tersirat rasa penasaran dengan apa yang sebenarnya diidap ibu. Teringat lagi kalau hari ini ibu harus kontrol. Mau tak mau aku harus meminta pertolongan Pakde Kus karena jadwal kontrol bentrok dengan jam kerja.
Langit mulai terang. Tampak beberapa anak berangkat sekolah berlalu-lalang melewati jalanan depan. Aku pun beranjak dari duduk, cepat-cepat menghampiri Kinara yang tadinya kulihat tengah menikmati sarapannya.
Eh, rupanya ia telah selesai makan. Lantas kemana ia sekarang?
"Kinar, sudah selesai belom?" tanyaku, ketika menemukannya ada di kamar, menghadap tolet dengan sisir di tangannya.
"Belom. Ni masih nyisir," jawabnya sambil menekan ujung sisir pada rambutnya yang berantakan.
Kasihan. Biasanya mamanya yang menyisir, kini ia harus mandiri, karena ibu sendiri sibuk di dapur. Lantas kudekati dia, mengambil sisir yang tersangkut pada rambutnya, dan membantu menyisir.
"Kinar, Om boleh tanya, nggak?" ucapku lagi, sambil terus menyisir rambut gadis kecil itu.
Ia mengangguk.
"Kinar, kangen nggak sama Mama?" lirih kuungkap pertanyaan itu karena penasaran. Benar. Gadis itu mengangguk lagi, lalu menjawab sendu, "Kangen mama, kangen Boby juga, Om."
Aku tersenyum dengan hati terenyuh mendengar penuturannya. Bocah itu lalu berkata lagi, "Tapi, Kinar sekolah di sini saja. Temanku di sini baik-baik. Kalau aku ikut Mama pulang kesana, aku nanti kehilangan teman-teman yang baik. Aku juga kasihan sama uthi kalo sendiri. Aku juga kasihan sama Om kalo kangen sama aku."
Selesai menyisir, kupeluk erat tubuhnya. Ada rasa terharu menyeruak kalbu. Kubelai rambutnya lalu berkata, "Makasih sudah sayang sama Om dan Uthi ya, Kinar. Om janji, akan selalu bahagiain Kinar, adek, dan Mama."
"Iya, Om. Tapi, lepasin dulu pelukannya, badan Om Dani kecut banget tauk!"
Ucapan itu sontak membuatku tertawa. Kulepaskan dekapan sambil membuka kedua ketiakku, mencium berulang.
"Bau banget ya, emang?" tanyaku lagi.
"Puooll ...." Kinar menutup hidungnya, sambil mengibas-kibaskan tangannya.
"Sudah ditata belum bukunya? Yuk, Om anter. Jam berapa, nih?"
Gadis itu mengangguk, kemudian berlari ke meja belajarnya, mengambil tas.
Setelah mengantarkan Kinara dan kembali pulang ke rumah, kuputuskan menyendiri di dalam kamar, membuka laptop untuk mempelajari balik apa yang selama ini diajarkan Sefti. Hampir sejam-an aku mematung di kasur, tiba-tiba ibu mengagetkanku dengan teriakan histerisnya, "Daaaaaann ... Daniiii!"
Aku bergegas mengambil seribu langkah menemuinya di dapur.
"Bu, ibu dimana?" tanyaku cemas, mencari ke sana-ke mari tak melihat batang hidungnya.
"Di kamar mandi. Tolong ambilkan handuk! ibu lupa."
Yaelaaah!
Kuambil handuk yang tergantung di rak jemuran, menaruhnya di atas dinding penyekat.
"Ibu ngagetin saja. Kirain kenapa!" gerutuku kesal. Tampak ibu tertawa dari kamar mandi.
"Dan, engkok sore nang omahe Mala, yo? (Nanti sore ke rumah Mala, ya)" serunya lagi.
"Moh. Lapo sih, ibu iki! (Tak. Apaan sih ibu ini)" ketusku.
"Lho, kan cuma main. Apa salahnya?" balasnya.
Tak kuhiraukan bicara ibu, melangkahkan kaki pergi, kembali menuju kamar. Baru saja aku mau berbelok ke tempat tidur, sebuah motor sport tampak memasuki pelataran.
Itu bukannya Rian? Kenapa dia kemari?
Kutatap ia dari ruang tengah dengan begitu banyak pertanyaan dalam benak. Ia melepas helm teropongnya, dan turun dari motor. Ia letakkan tas ranselnya ke tunggangannya itu, lalu melepas jaketnya. Sudah berseragam kerja, lengkap dengan sepatu yang membungkus kaki.
Aku yang merasa aneh, mulai melirik jam dinding di atasku. Masih jam tujuh. Kenapa ia sudah mau berangkat saja?
"Dani!" Rian memanggilku kala melihat aku berdiri menatap dari ruang tengah.
Seusai memanggilku, ia lalu menepi, lepas dari awasan. Penasaran, kucoba menghampirinya yang ternyata mengambil duduk di kursi teras.
"Ada perlu apa? Masuk saja!" tukasku.
"Duduklah!" Ia malah memerintah. Sikapnya yang seenaknya sendiri membuatku tetap berdiri di ambang pintu.
"Katakan, ada perlu apa?" tanyaku lagi.
Laki-laki itu tersenyum tak enak, ia beranjak dari duduknya, bersandar di tembok, tepat di sebelahku.
"Aku ingin baik-baik padamu. Jangan bersikap seperti itu!" ucapnya sembari tersenyum melepas pandang.
Baik-baik? Sikapnya saja dari awal tak menampakkan gelagat baik!
"Langsung saja, jam mepet. Bicara apa maumu, aku juga belum mandi."
Rian tertawa kecil. Membuatku semakin kesal, karena mimik wajahnya sangat memuakkan dipandang.
"Aku mau beri kau penawaran spesial," ucapnya kemudian.
Ia menyampingkan tubuhnya, menghadapkannya padaku sambil terus mengembangkan senyum.
"Jangan coba-coba menjebak!"
"Nggaklaaah. Mana mungkin aku ingin menjebakmu? Bersikap dewasa saja, aku lelah seperti anak kecil. Serius, aku ingin memberimu penawaran menarik. Kau pasti tak akan menolak,"
"Langsung saja, kau membuang-buang waktu!" Aku semakin kesal padanya, mengingat jam kerja mepet, dan aku belum mempersiapkan diri sama sekali.
"Oke, oke, santai!" Ia menghentikan bicaranya, lalu memberiku sebuah cincin yang awalnya tersemat di jari manisnya.
"Ini cincin bukan sembarang cincin. Kau pasti tahu, kan ...." Ia hentikan bicaranya sejenak, menyodorkan cincin itu padaku. "Aku berani melepasnya untukmu, asal kau berani mundur dari tes di kantor nanti."
Apa??
Aku terbelalak tak percaya mendengar ucapan yang terlontar. Rian masih tersenyum enteng. Ia mengangkat kedua alisnya memandangku, seakan menantikan sebuah jawaban. "Bagaimana?" tanyanya lagi.
Langsung kutunjuk wajah lelaki itu dengan pandangan begitu kesal. "Kau keterlaluan. Hanya karena jabatan, kau tega mempertaruhkan perasaan seseorang!" umpatku tak habis pikir.
"Memang salahnya di mana? Bukankah aku memberimu penawaran bagus? Kau menginginkan perempuan itu, dan aku menginginkan pekerjaan itu. Bagaimana kalau kau mundur saja dari tes itu, dan kutukar dengan perempuanku? Kita sama-sama bahagia, bukan?"
Entah kenpa, kemarahanku semakin menjadi-jadi mendengar ucapannya. Terlalu kurang ajar!
"Kenapa kau berani mempertaruhkan perasaan seseorang demi sebuah jabatan?" Kucoba mencari tahu jawaban itu langsung dari mulutnya.
Ia tersenyum, lalu menjawab, "Perempuan di luar sana banyak. Tak hanya dia. Tapi, kesempatan untuk mencapai kehidupan di atas, tak mungkin berulang dua kali."
Aku menyeringai tak percaya mendengarnya. Picik sekali!
"Percuma ... aku ikut tes ataupun tidak, tak ada pengaruhnya untukmu. Karena rivalmu di luar sana banyak, tak hanya aku," seruku lantang.
"Kalau soal mereka, itu tak jadi masalah. Ayahku sudah menuntaskan semuanya. Masalahku di sini hanyalah kau!"
"Lho, kenapa bisa aku?"
"Ya. Kau digadang-gadang Pak Dika untuk menjabat di bagian itu. Aku sudah pastikan, tak mungkin aku menang darimu!"
"Jangan begitu yakin! Pak Dika orangnya adil. Kalaupun aku menang, mungkin karena kau tak menguasai skill!!"
Wajah Rian berubah kesal. Matanya menatapku bulat-bulat, seolah ingin menerkam. Ditunjukkannya cincin itu kembali padaku, lalu ia lempar cincin itu ke pekarangan.
"Hei, dengar, ya? Kau menolak penawaranku, berarti kau bersiap cari masalah denganku. Tetap akan kuputuskan Sefti, dan aku bisa menyakitinya jauh lebih parah jika kau coba-coba tak mengindahkan omonganku!" ucapnya geram.
Ia melangkah pergi sambil terus mengumpat tak karuan.
"Ingat-ingat ucapanku!" teriaknya dari atas motor.
Aku masa bodoh, langsung saja kutinggalkan ia yang masih ada di halaman. Bergegas menuju kamar mandi.
Sepintas, pikir masih berputar tak karuan. Lelaki itu benar-benar brengsek rupanya. Bisa-bisanya ia mempertaruhkan perempuan sebaik Sefti demi mendapatkan apa yang ia ingin. Lalu, bisa-bisanya ia mengancam untuk menyakiti Sefti lebih jauh. Mana mungkin aku biarkan semua ini terjadi?
Apa yang harus kuperbuat?
Kenapa Sefti lagi yang akhirnya 'kena', karena kami?
Antara bingung, kesal, dan ingin emosi, akhirnya kuputuskan untuk tak masuk kerja. Aku tetap berangkat dari rumah berseragam lengkap, tapi bersepeda gak jelas ke mana tujuan.
Kupilih mengalah saja, daripada Sefti yang akhirnya kena imbas.
Masih kusaku cincin tunangan yang tadinya Rian buang di halaman depan. Tak kuasa aku menatapnya. Sekilas aku jadi teringat Adel. Bukannya ia pun kuputuskan dengan gampang? Ya, Tuhan ... bagaimana bisa aku punya rasa peduli pada Sefti, namun 'TIDAK' kepada Adel?
Masih kutancap gas motorku kencang. Berjalan mengukur panjangnya jalan yang tak berujung, hingga jam menunjukkan pukul 12.10 WIB.
Hari ini, Pak Dika terus menerus menelpon, membuatku tak bisa berhenti memikirkan alasan. Namun, tak jua aku berani mengangkat teleponnya. Padahal, aku sudah mengirim pesan di awal, dan kuyakin Pak Dika sudah membacanya. Tapi kenapa masih terus menelepon, seakan memaksaku betul untuk mengikuti tes yang sama sekali mengancam keselamatan orang lain.
Tiba-tiba, dua chat masuk ke gawai.
Rian!
Ia hanya mengirim emoticon tersenyum, dengan seuntai kalimat, 'Thanks banget ya, Bro! Cus, ambil perempuan bekasku!'
Sontak mata melotot garang membaca bunyi pesan tersebut. Hendak mematikan HP, mataku terpaku menatap sebuah chat masuk di bawahnya ... Sefti. Ia kirim chat dua jam yang lalu.
'Dan, Kinar aku jemput, ya? Daripada pusing nggak ada kegiatan, nunggu panggilan ya belum ada juga.'
Tak lupa tersemat tiga emoticon tersenyum di belakangnya.
Oh, Tuhan ... gadis ini begitu baik. Sepertinya aku tak salah mengambil keputusan untuk melindunginya dari ancaman Rian.
Kuparkirkan motorku masuk ke area taman. Mengambil sebatang rokok dari saku, menyalakannya, dan berjalan mencari tempat yang nyaman.
Akhirnya kutemukan sebuah kursi panjang kosong di ujung pagar. Aku duduki kursi itu, sembari mengeluarkan sekaleng nescafe dari dalam tas.
Disaat duduk termenung sendirian, kembali aku teringat tentang ancaman Rian tadi pagi. Keterlaluan! Kalaupun aku sudah mengalah seperti ini, apa ia masih ingin menyakiti Sefti? Ah, aku harus bicara. Mau tak mau Sefti harus kuperingati.
'Hallo, Dan?' Gadis itu mengangkat telepon dariku.
'Sef, tadi jemput Kinar?'
'Ya. Ini aku masih di sini, kok. Ada apa? Kamu nggak repot kerja?'
'Ehmm ... kamu bisa temui aku sekarang? Tapi, tolong jangan bilang-bilang ibu, ya?'
Dua puluh menit semenjak aku menutup telepon Sefti, akhirnya ia datang juga menemui. Masih di tempat yang sama. Sebelum ia datang kemari, sudah kusiapkan lebih dulu minuman dan sebungkus permen yang kubeli barusan dari minimarket.
"Dani! Kamu ini suka sekali ya, bolos!" Ia Cumiik geram padaku. Berjalan menghampiri dengan wajah protesnya.
"Aku terpaksa."
"Terpaksa apa, sih? Dua kali ya, kamu begini! Hadapi kalau ada masalah, jangan lari dari masalah!" celotehnya nyaring di telinga.
"Sudahlah, sini duduk! Aku pusing," ucapku, sembari menepuk kursi panjang yang kududuki. Ia menurut, mengambil duduk disebelahku. Diambilnya botol fanta merah dari dalam plastik, lalu bertanya, "Masalah apa, sih?"
Tak kujawab bicaranya.
"Kamu kepikiran hubunganmu yang putus?" tanyanya lagi sambil meneguk minuman di tangannya.
Aku menggeleng.
"Lalu?"
Aku kembali diam. Harus kujawab apa? Apa memang harus kuceritakan semua ke Sefti? Kenapa aku tak sampai hati mengungkapkannya?
"Kepikiran ibu." Jawaban itu asal keluar dari mulut.
"Iya, ibu kamu cerita sama aku. Katanya, kamu dijebak Adel ya, Dan?"
"Ah, jangan bahas itu lagi! Aku jadi merasa bersalah."
"Lho? Jadi bener, dia ituuu ...."
Aku mantap menggeleng. Membuat Sefti menyeringai heran. Akhirnya kuceritakan dari awal sampai akhir bagaimana bisa kuputuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Sefti hanya diam, tak berkomentar.
"Mana mungkin aku bisa melanjutkan semuanya, sedangkan ibu saja sudah ngotot tak menyukai. Memang dia dari awal sudah bersikap aneh seperti itu, siapa juga yang nggak kepikiran aneh-aneh."
"Iya, sih. Tapi, kok ...."
"Kenapa?"
"Ah, lupakan, Dan! Omongan tak penting juga."
Aku berdiri. Melempar puntung rokok tepat ke dalam tong sampah.
"Bingung aku, Sef. Ibuku terlalu sensitif. Aku bingung, dia itu sakit apa. Baru tahu aku, kalau ibu selama ini kontrol ke psikiater."
Sefti langsung menepuk pundakku. Ia lalu berkata, "Bipolar, Dan."
Spontan kutoleh Sefti dengan penuh penasaran. "Apa itu? Tahu darimana?" tanyaku, menduga-duga jika ibu banyak bercerita sesuatu pada Sefti.
Sefti tegas menggeleng saat aku menanyakan apa benar ibu bercerita tentang penyakitnya padanya. Ia berkata bahwa ia mencari tahu sendiri. Barusan ia diminta ibu mengantarkan kontrol. Sesaat setelah ibu keluar dari ruangan, diam-diam Sefti masuk, dan bertanya pada dokter.
"Memang dari awal aku penasaran. Cara ibumu emosi berlebihan, seperti gak wajar gitu, sih, buat orang normal," ungkapnya.
Ia pun menjelaskan bahwa bipolar itu penyakit mood. Gampang stress kalau lagi tak enak hati. Bisa menangis sejadi-jadinya, bisa marah sejadi-jadinya. Memang sensitif, dan itu tergantung dari perasaannya.
Aku hanya manggut-manggut mendengar penuturannya. Aneh juga, sih ... Kok, Sefti begitu peduli, sampai-sampai mengorek sedalam itu?
"Aku kemarin pagi sebenernya dapat panggilan, Dan. Tapi, saat ditelepon, HRDnya bertanya ... bersedia atau tidak, jika lolos seleksi nanti penempatannya di Bali? Ya, aku mundur saja."
"Lho, kenapa?"
"Sama sepertimu. Aku tak bisa meninggalkan rumah. Ibuku lumpuh. Tak mungkin aku meninggalkannya bekerja jauh, sementara saudara, aku tak punya. Ayah-ibuku bercerai lama, dan ayah sudah punya kehidupan sendiri. Yang bisa kuandalkan hanya kakekku. Cuma kakek selama ini yang bisa membantu merawat ibu selagi aku kerja."
Sefti menunduk. Ia nampak sedih, membuatku tak enak hati menanyakannya.
"Seandainya rumahku ada halaman depan yang luas seperti rumahmu, mungkin aku bisa berwirausaha saja. Percetakan. Kebetulan aku suka desain grafis. Agar tak sia-sia ilmuku. Agar bisa sambil menunggui ibu. Tak mungkin selamanya kakekku bisa menjaganya, Dan."
Setetes air mata tertangkap mata berlinang jatuh ke pahanya. Namun, ia tak terisak. Matanya pun tak terlihat sembab. Ia pandai sekali menyembunyikan kesedihannya pada orang lain.
"Sayangnya, rumahku mepet jalan. Sewa ruko pasti mahal. Sementara pesangonku dari pabrik, mungkin hanya pas untuk membeli peralatan wirausaha. Jadi mau tak mau, aku harus menunggu panggilan di dekat-dekat wilayah sini, agar bisa pulang-pergi ke rumah," ucapnya lagi.
Tiba-tiba, aku ingat toko onderdil peninggalan ayahku yang terbengkalai percuma. Biasanya mbak Diah yang menjaga, tapi kini mbak Diah pulang ke suaminya.
"Eh, Sef. Gimana kalau aku dirikan sepetak bangunan di belakang toko onderdilku? Kamu bisa memakainya untuk percetakan. Tak usah pikirkan biaya sewa. Gantinya, kau jaga juga tokoku, agar tak terbengkalai. Jadi nanti, toko itu jadi satu pintunya."
Sefti langsung menolehkan pandangannya padaku. "Tapi, Dan ... aku tak tahu-menahu soal onderdil sedikitpun."
"Mbak Diah dulu juga gitu, lama-lama pasti hafal. Trus juga ... biar Rian tak mengira ada apa-apa pada kita, kalau kamu kubangunkan toko sendiri. Biar dikira ngontrak."
Sefti langsung menghela nafas mendengar omonganku, seakan menahan omongan. Raut wajahnya berubah ketus, dengan bibir sedikit manyun.
"Jangan sebut lagi nama Rian, Dan! Kita putus hubungan sepekan yang lalu." Bibirnya berkata datar dengan nada garing.
Aku tersentak, kaget setengah tak percaya mendengarnya. Kupandang lekat-lekat kedua mata Sefti. Kupegang kedua pundaknya, bertanya sekali lagi untuk menegaskan.
"Benar. Lihat!" Ia menunjukkan jari manisnya padaku. "Sudah kukembalikan cincinku padanya hari itu juga. Ia berselingkuh. Bahkan orang tuanya sepertinya mendukungnya mencari pasangan baru," lanjutnya lagi.
"Mau gimana lagi, orangtuanya pernah bilang dulu, jika menginginkan menantu kerja kantoran. Apalah aku yang kini pengangguran. Mungkin itu alasan tepatnya ia pergi," lirihnya dalam tundukan.
Kali ini kupukul pahaku dengan kerasnya. Isi kepala seperti lava yang ingin meletup. "Gila!" umpatku penuh emosi.
"Ya. Kita sama-sama gila gara-gara pasangan kita."
"Bukan, Sef! Bukan itu!" Entah kenapa kepalaku kini mendadak pening. Sementara Sefti menatap dengan dahi berkerut. Kukeluarkan sebuah cincin dari dalam dompet, lalu menyodorkannya pada perempuan itu.
"Lihat!" tukasku.
Kupastikan mata itu menatap penuh keheranan kali ini.
"D-Dan, ke-kenapa bisa ini ada di kamu?" Bibir itu bergetar mengucap. Aku beranjak dari tempat, membuang pandang jauh dan berkata, "Aku memang bodoh. Aku kena tipu."
(Bersambung)
penasaran, kan? Penasaran, kan? Yekaaann, yekaaaaan?
yaudahlah, gitu aja. Pamit bobok manis dulu, stress TS mikirin ribetnya dunia Dani! Jan lupa cendol banyakin! 
Namun bagaimanapun, aku tetap tak terima ibuku disebut GILA!
Semenjak saat itu, kublokir Adel dari segala akses yang bisa terhubung. WA, IG, FB, nomor pun masuk daftar blacklist. Pun sama dengan nomor si Adam. Aku tak ingin lagi berhubungan dengan mereka. Semua kesalahan murni dariku, oleh sebab itu, menghilang kurasa lebih baik.
Kutatap jalanan yang mulai ramai. Entah jam berapa sekarang, kurasa masih pagi. Pikiranku sendiri masih penuh. Sepintas tersirat rasa penasaran dengan apa yang sebenarnya diidap ibu. Teringat lagi kalau hari ini ibu harus kontrol. Mau tak mau aku harus meminta pertolongan Pakde Kus karena jadwal kontrol bentrok dengan jam kerja.
Langit mulai terang. Tampak beberapa anak berangkat sekolah berlalu-lalang melewati jalanan depan. Aku pun beranjak dari duduk, cepat-cepat menghampiri Kinara yang tadinya kulihat tengah menikmati sarapannya.
Eh, rupanya ia telah selesai makan. Lantas kemana ia sekarang?
"Kinar, sudah selesai belom?" tanyaku, ketika menemukannya ada di kamar, menghadap tolet dengan sisir di tangannya.
"Belom. Ni masih nyisir," jawabnya sambil menekan ujung sisir pada rambutnya yang berantakan.
Kasihan. Biasanya mamanya yang menyisir, kini ia harus mandiri, karena ibu sendiri sibuk di dapur. Lantas kudekati dia, mengambil sisir yang tersangkut pada rambutnya, dan membantu menyisir.
"Kinar, Om boleh tanya, nggak?" ucapku lagi, sambil terus menyisir rambut gadis kecil itu.
Ia mengangguk.
"Kinar, kangen nggak sama Mama?" lirih kuungkap pertanyaan itu karena penasaran. Benar. Gadis itu mengangguk lagi, lalu menjawab sendu, "Kangen mama, kangen Boby juga, Om."
Aku tersenyum dengan hati terenyuh mendengar penuturannya. Bocah itu lalu berkata lagi, "Tapi, Kinar sekolah di sini saja. Temanku di sini baik-baik. Kalau aku ikut Mama pulang kesana, aku nanti kehilangan teman-teman yang baik. Aku juga kasihan sama uthi kalo sendiri. Aku juga kasihan sama Om kalo kangen sama aku."
Selesai menyisir, kupeluk erat tubuhnya. Ada rasa terharu menyeruak kalbu. Kubelai rambutnya lalu berkata, "Makasih sudah sayang sama Om dan Uthi ya, Kinar. Om janji, akan selalu bahagiain Kinar, adek, dan Mama."
"Iya, Om. Tapi, lepasin dulu pelukannya, badan Om Dani kecut banget tauk!"
Ucapan itu sontak membuatku tertawa. Kulepaskan dekapan sambil membuka kedua ketiakku, mencium berulang.
"Bau banget ya, emang?" tanyaku lagi.
"Puooll ...." Kinar menutup hidungnya, sambil mengibas-kibaskan tangannya.
"Sudah ditata belum bukunya? Yuk, Om anter. Jam berapa, nih?"
Gadis itu mengangguk, kemudian berlari ke meja belajarnya, mengambil tas.
Setelah mengantarkan Kinara dan kembali pulang ke rumah, kuputuskan menyendiri di dalam kamar, membuka laptop untuk mempelajari balik apa yang selama ini diajarkan Sefti. Hampir sejam-an aku mematung di kasur, tiba-tiba ibu mengagetkanku dengan teriakan histerisnya, "Daaaaaann ... Daniiii!"
Aku bergegas mengambil seribu langkah menemuinya di dapur.
"Bu, ibu dimana?" tanyaku cemas, mencari ke sana-ke mari tak melihat batang hidungnya.
"Di kamar mandi. Tolong ambilkan handuk! ibu lupa."
Yaelaaah!
Kuambil handuk yang tergantung di rak jemuran, menaruhnya di atas dinding penyekat.
"Ibu ngagetin saja. Kirain kenapa!" gerutuku kesal. Tampak ibu tertawa dari kamar mandi.
"Dan, engkok sore nang omahe Mala, yo? (Nanti sore ke rumah Mala, ya)" serunya lagi.
"Moh. Lapo sih, ibu iki! (Tak. Apaan sih ibu ini)" ketusku.
"Lho, kan cuma main. Apa salahnya?" balasnya.
Tak kuhiraukan bicara ibu, melangkahkan kaki pergi, kembali menuju kamar. Baru saja aku mau berbelok ke tempat tidur, sebuah motor sport tampak memasuki pelataran.
Itu bukannya Rian? Kenapa dia kemari?
Kutatap ia dari ruang tengah dengan begitu banyak pertanyaan dalam benak. Ia melepas helm teropongnya, dan turun dari motor. Ia letakkan tas ranselnya ke tunggangannya itu, lalu melepas jaketnya. Sudah berseragam kerja, lengkap dengan sepatu yang membungkus kaki.
Aku yang merasa aneh, mulai melirik jam dinding di atasku. Masih jam tujuh. Kenapa ia sudah mau berangkat saja?
"Dani!" Rian memanggilku kala melihat aku berdiri menatap dari ruang tengah.
Seusai memanggilku, ia lalu menepi, lepas dari awasan. Penasaran, kucoba menghampirinya yang ternyata mengambil duduk di kursi teras.
"Ada perlu apa? Masuk saja!" tukasku.
"Duduklah!" Ia malah memerintah. Sikapnya yang seenaknya sendiri membuatku tetap berdiri di ambang pintu.
"Katakan, ada perlu apa?" tanyaku lagi.
Laki-laki itu tersenyum tak enak, ia beranjak dari duduknya, bersandar di tembok, tepat di sebelahku.
"Aku ingin baik-baik padamu. Jangan bersikap seperti itu!" ucapnya sembari tersenyum melepas pandang.
Baik-baik? Sikapnya saja dari awal tak menampakkan gelagat baik!
"Langsung saja, jam mepet. Bicara apa maumu, aku juga belum mandi."
Rian tertawa kecil. Membuatku semakin kesal, karena mimik wajahnya sangat memuakkan dipandang.
"Aku mau beri kau penawaran spesial," ucapnya kemudian.
Ia menyampingkan tubuhnya, menghadapkannya padaku sambil terus mengembangkan senyum.
"Jangan coba-coba menjebak!"
"Nggaklaaah. Mana mungkin aku ingin menjebakmu? Bersikap dewasa saja, aku lelah seperti anak kecil. Serius, aku ingin memberimu penawaran menarik. Kau pasti tak akan menolak,"
"Langsung saja, kau membuang-buang waktu!" Aku semakin kesal padanya, mengingat jam kerja mepet, dan aku belum mempersiapkan diri sama sekali.
"Oke, oke, santai!" Ia menghentikan bicaranya, lalu memberiku sebuah cincin yang awalnya tersemat di jari manisnya.
"Ini cincin bukan sembarang cincin. Kau pasti tahu, kan ...." Ia hentikan bicaranya sejenak, menyodorkan cincin itu padaku. "Aku berani melepasnya untukmu, asal kau berani mundur dari tes di kantor nanti."
Apa??
Aku terbelalak tak percaya mendengar ucapan yang terlontar. Rian masih tersenyum enteng. Ia mengangkat kedua alisnya memandangku, seakan menantikan sebuah jawaban. "Bagaimana?" tanyanya lagi.
Langsung kutunjuk wajah lelaki itu dengan pandangan begitu kesal. "Kau keterlaluan. Hanya karena jabatan, kau tega mempertaruhkan perasaan seseorang!" umpatku tak habis pikir.
"Memang salahnya di mana? Bukankah aku memberimu penawaran bagus? Kau menginginkan perempuan itu, dan aku menginginkan pekerjaan itu. Bagaimana kalau kau mundur saja dari tes itu, dan kutukar dengan perempuanku? Kita sama-sama bahagia, bukan?"
Entah kenpa, kemarahanku semakin menjadi-jadi mendengar ucapannya. Terlalu kurang ajar!
"Kenapa kau berani mempertaruhkan perasaan seseorang demi sebuah jabatan?" Kucoba mencari tahu jawaban itu langsung dari mulutnya.
Ia tersenyum, lalu menjawab, "Perempuan di luar sana banyak. Tak hanya dia. Tapi, kesempatan untuk mencapai kehidupan di atas, tak mungkin berulang dua kali."
Aku menyeringai tak percaya mendengarnya. Picik sekali!
"Percuma ... aku ikut tes ataupun tidak, tak ada pengaruhnya untukmu. Karena rivalmu di luar sana banyak, tak hanya aku," seruku lantang.
"Kalau soal mereka, itu tak jadi masalah. Ayahku sudah menuntaskan semuanya. Masalahku di sini hanyalah kau!"
"Lho, kenapa bisa aku?"
"Ya. Kau digadang-gadang Pak Dika untuk menjabat di bagian itu. Aku sudah pastikan, tak mungkin aku menang darimu!"
"Jangan begitu yakin! Pak Dika orangnya adil. Kalaupun aku menang, mungkin karena kau tak menguasai skill!!"
Wajah Rian berubah kesal. Matanya menatapku bulat-bulat, seolah ingin menerkam. Ditunjukkannya cincin itu kembali padaku, lalu ia lempar cincin itu ke pekarangan.
"Hei, dengar, ya? Kau menolak penawaranku, berarti kau bersiap cari masalah denganku. Tetap akan kuputuskan Sefti, dan aku bisa menyakitinya jauh lebih parah jika kau coba-coba tak mengindahkan omonganku!" ucapnya geram.
Ia melangkah pergi sambil terus mengumpat tak karuan.
"Ingat-ingat ucapanku!" teriaknya dari atas motor.
Aku masa bodoh, langsung saja kutinggalkan ia yang masih ada di halaman. Bergegas menuju kamar mandi.
Sepintas, pikir masih berputar tak karuan. Lelaki itu benar-benar brengsek rupanya. Bisa-bisanya ia mempertaruhkan perempuan sebaik Sefti demi mendapatkan apa yang ia ingin. Lalu, bisa-bisanya ia mengancam untuk menyakiti Sefti lebih jauh. Mana mungkin aku biarkan semua ini terjadi?
Apa yang harus kuperbuat?
Kenapa Sefti lagi yang akhirnya 'kena', karena kami?
Antara bingung, kesal, dan ingin emosi, akhirnya kuputuskan untuk tak masuk kerja. Aku tetap berangkat dari rumah berseragam lengkap, tapi bersepeda gak jelas ke mana tujuan.
Kupilih mengalah saja, daripada Sefti yang akhirnya kena imbas.
Masih kusaku cincin tunangan yang tadinya Rian buang di halaman depan. Tak kuasa aku menatapnya. Sekilas aku jadi teringat Adel. Bukannya ia pun kuputuskan dengan gampang? Ya, Tuhan ... bagaimana bisa aku punya rasa peduli pada Sefti, namun 'TIDAK' kepada Adel?
Masih kutancap gas motorku kencang. Berjalan mengukur panjangnya jalan yang tak berujung, hingga jam menunjukkan pukul 12.10 WIB.
Hari ini, Pak Dika terus menerus menelpon, membuatku tak bisa berhenti memikirkan alasan. Namun, tak jua aku berani mengangkat teleponnya. Padahal, aku sudah mengirim pesan di awal, dan kuyakin Pak Dika sudah membacanya. Tapi kenapa masih terus menelepon, seakan memaksaku betul untuk mengikuti tes yang sama sekali mengancam keselamatan orang lain.
Tiba-tiba, dua chat masuk ke gawai.
Rian!
Ia hanya mengirim emoticon tersenyum, dengan seuntai kalimat, 'Thanks banget ya, Bro! Cus, ambil perempuan bekasku!'
Sontak mata melotot garang membaca bunyi pesan tersebut. Hendak mematikan HP, mataku terpaku menatap sebuah chat masuk di bawahnya ... Sefti. Ia kirim chat dua jam yang lalu.
'Dan, Kinar aku jemput, ya? Daripada pusing nggak ada kegiatan, nunggu panggilan ya belum ada juga.'
Tak lupa tersemat tiga emoticon tersenyum di belakangnya.
Oh, Tuhan ... gadis ini begitu baik. Sepertinya aku tak salah mengambil keputusan untuk melindunginya dari ancaman Rian.
Kuparkirkan motorku masuk ke area taman. Mengambil sebatang rokok dari saku, menyalakannya, dan berjalan mencari tempat yang nyaman.
Akhirnya kutemukan sebuah kursi panjang kosong di ujung pagar. Aku duduki kursi itu, sembari mengeluarkan sekaleng nescafe dari dalam tas.
Disaat duduk termenung sendirian, kembali aku teringat tentang ancaman Rian tadi pagi. Keterlaluan! Kalaupun aku sudah mengalah seperti ini, apa ia masih ingin menyakiti Sefti? Ah, aku harus bicara. Mau tak mau Sefti harus kuperingati.
'Hallo, Dan?' Gadis itu mengangkat telepon dariku.
'Sef, tadi jemput Kinar?'
'Ya. Ini aku masih di sini, kok. Ada apa? Kamu nggak repot kerja?'
'Ehmm ... kamu bisa temui aku sekarang? Tapi, tolong jangan bilang-bilang ibu, ya?'
Dua puluh menit semenjak aku menutup telepon Sefti, akhirnya ia datang juga menemui. Masih di tempat yang sama. Sebelum ia datang kemari, sudah kusiapkan lebih dulu minuman dan sebungkus permen yang kubeli barusan dari minimarket.
"Dani! Kamu ini suka sekali ya, bolos!" Ia Cumiik geram padaku. Berjalan menghampiri dengan wajah protesnya.
"Aku terpaksa."
"Terpaksa apa, sih? Dua kali ya, kamu begini! Hadapi kalau ada masalah, jangan lari dari masalah!" celotehnya nyaring di telinga.
"Sudahlah, sini duduk! Aku pusing," ucapku, sembari menepuk kursi panjang yang kududuki. Ia menurut, mengambil duduk disebelahku. Diambilnya botol fanta merah dari dalam plastik, lalu bertanya, "Masalah apa, sih?"
Tak kujawab bicaranya.
"Kamu kepikiran hubunganmu yang putus?" tanyanya lagi sambil meneguk minuman di tangannya.
Aku menggeleng.
"Lalu?"
Aku kembali diam. Harus kujawab apa? Apa memang harus kuceritakan semua ke Sefti? Kenapa aku tak sampai hati mengungkapkannya?
"Kepikiran ibu." Jawaban itu asal keluar dari mulut.
"Iya, ibu kamu cerita sama aku. Katanya, kamu dijebak Adel ya, Dan?"
"Ah, jangan bahas itu lagi! Aku jadi merasa bersalah."
"Lho? Jadi bener, dia ituuu ...."
Aku mantap menggeleng. Membuat Sefti menyeringai heran. Akhirnya kuceritakan dari awal sampai akhir bagaimana bisa kuputuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Sefti hanya diam, tak berkomentar.
"Mana mungkin aku bisa melanjutkan semuanya, sedangkan ibu saja sudah ngotot tak menyukai. Memang dia dari awal sudah bersikap aneh seperti itu, siapa juga yang nggak kepikiran aneh-aneh."
"Iya, sih. Tapi, kok ...."
"Kenapa?"
"Ah, lupakan, Dan! Omongan tak penting juga."
Aku berdiri. Melempar puntung rokok tepat ke dalam tong sampah.
"Bingung aku, Sef. Ibuku terlalu sensitif. Aku bingung, dia itu sakit apa. Baru tahu aku, kalau ibu selama ini kontrol ke psikiater."
Sefti langsung menepuk pundakku. Ia lalu berkata, "Bipolar, Dan."
Spontan kutoleh Sefti dengan penuh penasaran. "Apa itu? Tahu darimana?" tanyaku, menduga-duga jika ibu banyak bercerita sesuatu pada Sefti.
Sefti tegas menggeleng saat aku menanyakan apa benar ibu bercerita tentang penyakitnya padanya. Ia berkata bahwa ia mencari tahu sendiri. Barusan ia diminta ibu mengantarkan kontrol. Sesaat setelah ibu keluar dari ruangan, diam-diam Sefti masuk, dan bertanya pada dokter.
"Memang dari awal aku penasaran. Cara ibumu emosi berlebihan, seperti gak wajar gitu, sih, buat orang normal," ungkapnya.
Ia pun menjelaskan bahwa bipolar itu penyakit mood. Gampang stress kalau lagi tak enak hati. Bisa menangis sejadi-jadinya, bisa marah sejadi-jadinya. Memang sensitif, dan itu tergantung dari perasaannya.
Aku hanya manggut-manggut mendengar penuturannya. Aneh juga, sih ... Kok, Sefti begitu peduli, sampai-sampai mengorek sedalam itu?
"Aku kemarin pagi sebenernya dapat panggilan, Dan. Tapi, saat ditelepon, HRDnya bertanya ... bersedia atau tidak, jika lolos seleksi nanti penempatannya di Bali? Ya, aku mundur saja."
"Lho, kenapa?"
"Sama sepertimu. Aku tak bisa meninggalkan rumah. Ibuku lumpuh. Tak mungkin aku meninggalkannya bekerja jauh, sementara saudara, aku tak punya. Ayah-ibuku bercerai lama, dan ayah sudah punya kehidupan sendiri. Yang bisa kuandalkan hanya kakekku. Cuma kakek selama ini yang bisa membantu merawat ibu selagi aku kerja."
Sefti menunduk. Ia nampak sedih, membuatku tak enak hati menanyakannya.
"Seandainya rumahku ada halaman depan yang luas seperti rumahmu, mungkin aku bisa berwirausaha saja. Percetakan. Kebetulan aku suka desain grafis. Agar tak sia-sia ilmuku. Agar bisa sambil menunggui ibu. Tak mungkin selamanya kakekku bisa menjaganya, Dan."
Setetes air mata tertangkap mata berlinang jatuh ke pahanya. Namun, ia tak terisak. Matanya pun tak terlihat sembab. Ia pandai sekali menyembunyikan kesedihannya pada orang lain.
"Sayangnya, rumahku mepet jalan. Sewa ruko pasti mahal. Sementara pesangonku dari pabrik, mungkin hanya pas untuk membeli peralatan wirausaha. Jadi mau tak mau, aku harus menunggu panggilan di dekat-dekat wilayah sini, agar bisa pulang-pergi ke rumah," ucapnya lagi.
Tiba-tiba, aku ingat toko onderdil peninggalan ayahku yang terbengkalai percuma. Biasanya mbak Diah yang menjaga, tapi kini mbak Diah pulang ke suaminya.
"Eh, Sef. Gimana kalau aku dirikan sepetak bangunan di belakang toko onderdilku? Kamu bisa memakainya untuk percetakan. Tak usah pikirkan biaya sewa. Gantinya, kau jaga juga tokoku, agar tak terbengkalai. Jadi nanti, toko itu jadi satu pintunya."
Sefti langsung menolehkan pandangannya padaku. "Tapi, Dan ... aku tak tahu-menahu soal onderdil sedikitpun."
"Mbak Diah dulu juga gitu, lama-lama pasti hafal. Trus juga ... biar Rian tak mengira ada apa-apa pada kita, kalau kamu kubangunkan toko sendiri. Biar dikira ngontrak."
Sefti langsung menghela nafas mendengar omonganku, seakan menahan omongan. Raut wajahnya berubah ketus, dengan bibir sedikit manyun.
"Jangan sebut lagi nama Rian, Dan! Kita putus hubungan sepekan yang lalu." Bibirnya berkata datar dengan nada garing.
Aku tersentak, kaget setengah tak percaya mendengarnya. Kupandang lekat-lekat kedua mata Sefti. Kupegang kedua pundaknya, bertanya sekali lagi untuk menegaskan.
"Benar. Lihat!" Ia menunjukkan jari manisnya padaku. "Sudah kukembalikan cincinku padanya hari itu juga. Ia berselingkuh. Bahkan orang tuanya sepertinya mendukungnya mencari pasangan baru," lanjutnya lagi.
"Mau gimana lagi, orangtuanya pernah bilang dulu, jika menginginkan menantu kerja kantoran. Apalah aku yang kini pengangguran. Mungkin itu alasan tepatnya ia pergi," lirihnya dalam tundukan.
Kali ini kupukul pahaku dengan kerasnya. Isi kepala seperti lava yang ingin meletup. "Gila!" umpatku penuh emosi.
"Ya. Kita sama-sama gila gara-gara pasangan kita."
"Bukan, Sef! Bukan itu!" Entah kenapa kepalaku kini mendadak pening. Sementara Sefti menatap dengan dahi berkerut. Kukeluarkan sebuah cincin dari dalam dompet, lalu menyodorkannya pada perempuan itu.
"Lihat!" tukasku.
Kupastikan mata itu menatap penuh keheranan kali ini.
"D-Dan, ke-kenapa bisa ini ada di kamu?" Bibir itu bergetar mengucap. Aku beranjak dari tempat, membuang pandang jauh dan berkata, "Aku memang bodoh. Aku kena tipu."
(Bersambung)
penasaran, kan? Penasaran, kan? Yekaaann, yekaaaaan?

yaudahlah, gitu aja. Pamit bobok manis dulu, stress TS mikirin ribetnya dunia Dani! Jan lupa cendol banyakin! 
Diubah oleh shirazy02 07-12-2019 15:53
erman123 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Tutup