- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#318
Rekan Kerja (part 21)
Pukul 12.15 WIB
Kubuka satu kancingku bagian atas, mengibaskan kerah baju berulang. Sesekali kuseka peluh yang mengucur kening, sambil terus berjalan menuju warung belakang.
Hari ini AC di ruangan kerja mati. Untung Mas Nanang membawakan kipas angin yang tak terpakai dari rumahnya. Kebetulan rumah Mas Nanang berada di belakang pabrik. Namun setelah dinyalakan, kipas itu berputar lambat, tetap saja udara pengap karena hilir angin tak terasa.
Kurang beberapa langkah lagi aku tiba di warung. Sesampainya di sana, langsung kutuju Mbak Siti, memesan nasi pecel lauk telur mata sapi. Sebenarnya aku bawa bekal hari ini, tapi, mengingat pagi tadi ibu yang membuatkannya dengan berwajah cemberut, sudah kupastikan masakannya kali ini pasti berasa tak karuan. Ya, kalau moodnya buruk, bisa keasinan, bisa kepedesan, terkadang cocok di lidah, terkadang pula hambar. Aah, gara-gara pengaduan si Kinar kemarin. Hmmm, tapi, tak begitu juga,sih, alasannya. Memang kali ini kepingin 'marung', sekalian cari angin.
Setiap ke warung ini, selalu nasi pecel yang kupesan. Banyak yang merekomendasikan rawonnya yang juga sedap. Berhubung lidahku sudah cocok pada satu menu, rasanya malas kalau berpaling mencoba yang lain. Ha ha ha
Kuambil duduk di sebuah meja yang masih kosong saat nasi pecel terpangku di tangan, lengkap dengan es teh dan sebatang rokok. Kuletakkan rokok itu di samping asbak. Berganti mengambil krupuk yang tertenteng di bambu penyangga.
"Carton box geger!!"
Sebuah suara lirih kutangkap jelas dari meja di belakangku persis. Pelan aku memakan nasiku, penasaran dengan kelanjutan cerita orang di belakang.
"Kenapa?"
"Ya gara-gara bocah itu. Faktur yang diterima gak valid."
"Lah, sama dong, sama yang di PM 5 bulan lalu. Muatan dipending gara-gara truk salah antar bahan. Gak biasanya lho, seperti itu."
"Lah, yooo ... opo seeh gunane nyamar-nyamar. Ujung-ujunge gawe repot para karyawan. (lah yaaa, apa sih gunanya menyamar? Ujung-ujungnya buat repot karyawan)"
"Eh, tapi ... ada untungnya juga, kan? Karyawan yang seenaknya sendiri langsung di PHK."
"Bukan karena itunya, sih! Repotnya kita gak sehari-dua hari kerja, ngendap jadinya. Trus, kehilangan satu-dua karyawan, pekerjaan jadi dobel-dobel. Waktunya kita istirahat melepas pegal, malah jadi lemburan tak terduga. Remek-remek, ndezz!"
"Iyo, bener. Angger PHK-PHK'ae. Ngene nggolek arek anyar, mblajari kawitan maneh! Repot maneh, salah maneh, remek maneh (gini nyari anak baru, training dari awal lagi. Repot lagi, salah lagi, capek lagi)"
Kriiuuuk! Terdengar suara remahan krupuk dari bibir salah satu diantaranya.
"Kandani, enak nek dadi ndukuran iku. Mlaku rono-rene, gawe kesalahan ngono-ngene, gak onok sing iso ngelokno.(Kubilangi, enak kalau jadi atasan itu. Jalan kesana-kemari, buat kesalahan ini-itu, gak ada yang bisa marahi)."
"Yo, ngerti. Opo maneh, nek wis diprotes, enak'ae kari njawab 'iki ngunu nyamar'. Laaah, nggaplek'i (apa lagi kalau sudah diprotes, enak saja tinggal jawab 'ini tuh, nyamar' ...."
Suara terakhir mencebik dengan nada yang dibuat-buat. Sepintas kutoleh ke belakang, membuat salah satu di antaranya melirik padaku.
"Heeh, ssttt! Onok wong njero (ada orang dalam)." Kudengar lagi bisikan salah satunya. Akhirnya kerumunan itu terdiam. Tak terdengar lagi lontaran yang keluar dari mulut mereka. Sepertinya, saling melahap makanan masing-masing.
Aku jadi risih berlama-lama di sini. Kusaku sebatang rokok yang tergeletak tadi, beranjak dari tempat setelah meminum tegukan terakhir es tehku.
Kutoleh kembali ke arah mereka, tersenyum sambil menganggukkan kepala, tanda permisi. Kok, jadi mereka yang berwajah tegang, padahal aku yang tadinya merasa tak enak.
Sesampainya di ruangan, kujumpai Intan berdiri terpaku di depan meja. Matanya melirik tajam di balik kaca mata minusnya, dengan bibir merah yang manyun sempurna memperburuk pandangan.
Aku langsung melewatinya, tanpa sapa.
Berganti mataku tertuju pada kertas tebal berbendel di atas meja.
"Itu, yang salah kemarin. Cepat benahi! Kerjaanku sudah ribet, kamu memolorkan waktu bersantaiku saja!" serunya kesal.
Kucoba periksa arsip tersebut. Rupanya bekas kerjaan Pak Feri minggu lalu. Ini sih, bukan salahku. Seharusnya, ia tahu. Tapi memang karena tanggung jawabku, mau gimana lagi ....
"Kebut tuntas! Lembur kalau perlu. Aku mau besok selesai, aku sendiri banyak yang mesti ngganti ulang. Nungguin ini doank, waktuku terhambat. Tumbuh ubanku nanti,"
Aku termenung sesaat menatap tebalnya kertas menumpuk itu. Gimana bisa selesai, sedang ini saja terlihat mustahil.
Intan mulai melangkah pergi, dan aku segera berseru menghentikan langkahnya, "Mbak, ini kan sudah masuk inputan di program. Bagaimana mengganti di programnya? Ini telat tanggal delapan hari yang lalu."
Ekspresi Intan lebih kaget tak percaya dariku. "Lho? Kamu masih tak tahu caranya? Kapan waktu kan, pernah salah tanggal. Siapa yang ganti?" Ia balik bertanya.
Matanya langsung beralih menuju Rian yang sedang sibuk dengan kerjaannya.
"Kamu, tah ... yang ganti? Iya, dulu kode kamu yang masuk, kan?" ia berbalik tanya pada Rian.
Laki-laki itu tak menjawab. Ia beranjak, bergerak menuju mejaku. Tangan kurusnya merebut mouse yang kugenggam, menarik layar komputerku sambil melihat arsip di meja.
"Tanggal piro iki? (tanggal berapa ini)" Ia berkata dengan nada kesal,menanyakan tulisan di form yang memang tak nampak jelas.
"Itu tanggal enam."
"Tulisan koyok cekeremez!" ucapnya lagi, sambil menggerakkan mouse.
Lah, dia nggak sadar sudah menghina tulisan atasannya.
"Wasno! (lihat!)"
Nadanya yang masih tak enak terdengar itu, memaksaku untuk terus fokus menatap monitor.
"Ini kode programnya!" Ia menekan pelan beberapa angka pada keyboard.
Kemudian, ENTER.
kembali ia melenggang menduduki kursinya, disusul dengan langkah pergi Intan dari ruangan.
Kuembuskan napas pelan. Mengambil urutan form dari depan, mensejajarkan tiga lembar.
Berat ... rupanya benar yang digunjingkan karyawan gudang di warung tadi. Berat memang, kalau kesalahan ini disengaja.
****
"Dan, tolong anterin ke BSP!"
"Ke siapa?" tanyaku, sembari melepaskan ikat tali sepatuku.
Mbak Diah mendekatiku, lalu menjawab, "Ini ... mau menyerahkan surat keterangan jumlah anak, syarat dari notaris."
Setelah selesai melepas kaos kaki, kulepaskan seragam kerjaku. Meletakkannya ke tangan kursi, sambil merebahkan tubuh.
"Aku rehat bentar, capek," ucapku.
"Memang jam berapa sekarang? Ini sudah malam, lho! Kan, bisa besok pagi?" ungkapku lagi. Merasa aneh sih, bertamu malam-malam hanya untuk menyerahkan itu. Perasaan ... aku ceklok tadi jam delapan lebih lima menit.
"Ini ditunggu orangnya, Dan. Butuh taken cepat mungkin. Soalnya besok subuh dia sudah berangkat ke luar kota. Biar segera masuk ke BPN berkasnya."
Mendengar itu, aku pun bangun dari kursi. Kubelalakkan mata lebar-lebar, sambil memegang kedua pipi yang tampak berminyak. Sepertinya butuh cuci muka. Mataku lalu beralih memandang Mbak Diah yang sedang menggendong Boby terlelap.
"Apa bisa, ninggal si Boby? Nggak mungkin, kan, kita bawa serta? Kasihan, malam-malam begini."
Mbak Diah menggeleng, kembali menimang Boby di gendongan.
"Coba kesini'in berkasnya, biar aku antar sendiri!"
Akhirnya, setelah kertas itu terpegang tangan, tanpa mandi dan hanya berganti kemeja, kembali kuraih helmku.
Keluar lagi ....
****
Kini aku berdiri tepat di depan rumah besar berpagar besi yang tingginya melebihiku. Bagaimana aku bisa memastikan rumah ini berpenghuni, sementara keadaan begitu tenang dan sunyi.
Sembari memencet bel rumah berulang, kucoba menilik ke arah dalam melalui celah pagar. Sepi. Tapi, aku melihat ada beberapa pasang sepatu di luar, seperti ada tamu yang bertandang. Eh, kenapa banyak kelinci berhamburan dibiarkan begitu saja?
Tak lama, muncul seorang perempuan berpakaian seperti babysitter. Ia setengah berlari menghampiriku.
Pagar pun dibuka.
"Cari siapa, Mas?"
"Bu Mega, Mbak."
"Kok, ndak lewat depan?"
Aku bingung mendengar bicaranya. "Lah, wong ada bel disini. Saya tahunya juga alamat yang di sini. Masa' ini pintu belakang, Mbak?" Aku balik bertanya.
Gadis itu tersenyum dan menjawab, "Kantornya di blok belakang, Mas. Monggo, lewat sini juga tak apa."
"Nggak, Mbak. Minta tolong ini saja ...." Kuhentikan sejenak bicaraku, mengambil secarik kertas di dalam jok, titipan dari Mbak Diah.
"Apa ini, Mas? Untuk siapa?" gadis itu bertanya lagi.
"Untuk Bu Mega, dari Diah Safitri," jawabku.
"Aku nggak enak, Mas, kalau urusan begini. Mending Mas masuk aja ke dalam. Ibu ada kok, nemuin tamu juga di depan. Siapa tahu ada pesan lanjutan dari ibu, biasanya sih begitu." Gadis itu menggiringku masuk ke dalam, mau tak mau aku jadi menurut.
"Eh, sebentar, Mbak. Sepedanya belum kukunci setir!"
Selesai mengunci, kembali aku memasuki rumah. Tapi lewat jalan samping, yang menuju ke depan. Dari sana, kulihat ada dua orang tamu juga.
"Bu, ini ada tamu, mau menyerahkan ini!" Gadis itu memberikan kertas yang kuberi tadi pada seorang perempuan bertubuh sintal, berambut sebahu kecokelatan.
Aku mengambil duduk di salah satu kursi, bersama dua orang tamu yang lainnya.
Lho? Mataku sontak kaget saat melihat seorang perempuan duduk paling ujung. Sepertinya Sefti yang duduk di sana. Sama sepertinya, ia juga tampak tercengang melihatku.
"Dani ...." Ia menyapa lirih, melambaikan tangan sambil tersenyum.
"Heiii!" Aku membalasnya lirih, turut mengulas senyum.
Panggling aku melihatnya kali ini. Tak nampak seperti biasanya, ia berkemeja lengan panjang, memakai rok lebar, dengan jilbab orange terbalut dikepala. Anggun sekali!
"Oh, iya, Mas. Makasih. Ini sudah bener seperti yang saya minta, kok." Notaris bernama Mega itu berkata padaku, sambil menawarkanku air aqua gelasan.
Tanpa banyak berkata lagi, aku langsung pamit balik.
Saat berjalan ke luar, sengaja kukedipkan mata berulang kali ke Sefti. Ia lalu pamit permisi pada orang di sampingnya, mengikutiku yang berjalan ke luar.
"Hei, kamu. Sombongnya sekarang ... sedang dipingit, ya? Gak pernah kasih kabar!"
"Nggak, kok. Aku lagi nggak mood saja, sih!" elaknya sambil tertawa kecil. "Eh, ada kepentingan apa ke mari?" tanyanya lagi.
"Ini, lho. Urusannya Mbak Diah. Rumah yang di perumahan mau dibalik nama pake nama dia. Lah, kamu ... ngapain?"
"Nganter Ayah," jawabnya singkat.
Senyum gadis itu masih saja terkembang, membuatku sayang kalau ingin cepat pulang. Ingin memujinya cantik, kok sungkan.
"WA aku, lah ...." Aku setengah merajuk padanya. Sengaja kubuat seperti itu agar ia mau lagi menghubungi.
"Iiiihh, koyok arek cilik'ae (kayak anak kecil saja). Aku tak enak sih, hubungin calon orang."
"Lho? Masih belum, kok. Wah, sepertinya nyindir aku, ya? Iya deh, paham kalau kamu sudah milik orang. Makanya kamu menghindar, gak mau temenan lagi sama aku, ya?"
Belum sempat Sefti menjawab omonganku, terdengar Ayahnya dari dalam ruang tamu berpamitan.
"Dan, sudah, ya? Nggak enak sama Ayah," seru Sefti lirih padaku.
Kuanggukkan kepalaku dan setengah berbisik, "Jangan lupa WA, ya?"
Ia mengangguk kecil, kemudian melangkahkan kakinya menuju motornya. Menunggu ayahnya di sana. Cepat-cepat aku juga melangkahkan kaki ke gang samping, menuju belakang rumah. Motorku sendiri menanti kedinginan di sana.
Sepanjang perjalanan pukang, kulajukan motor pelan. Menikmati dinginnya hawa malam penuh kejutan. Akhirnya, aku bertemu dengannya. Hampir stress aku memikirkannya, dan beruntung Tuhan mempertemukan kembali.
Sampai aku gelisah sendiri terkadang. Kok, bisa ya seperti ini?
Mesin motor kumatikan saat tepat sampai di depan rumah, kugelindingkan masuk ke dalam garasi, mengingat si kecil Boby yang anti berisik.
Sampai di dalam rumah, ibu masih saja cemberut menatapku.
Sadar akan situasi, cepat saja aku masuk ke dalam kamar. Lagipula capek. Eeh, ibu malah berdiri menyusul ke ambang pintu, seperti sengaja membuntuti.
"Kau tahu Nirmala, Dan?" ucapnya tiba-tiba.
Aku diam sejenak, mengingat siapa yang ibu maksud.
"Nirmala yang mana?" akhirnya nyerah juga aku, karena tak berhasil mengingat nama itu.
"Itu lho, Nirmala anaknya Pak Polo lawas (Kepala Desa lama). Bukannya dulu satu SMP denganmu?"
Anak Pak Polo lawas?
Aku masih penasaran, mengingat-ingat yang ibu maksud. Oh, mungkinkah si Mala, teman ngajiku dulu?
"Oalah ... iya, inget. Dia bukan temanku. Dia adik kelas,"jawabku santai.
Aku mengambil hape dari saku celana. Memeriksa, barangkali ada WA masuk dari Sefti. Masih was-was menanti.
"Kalau kau aku kenalkan sama dia. Mau?" Suara ibu barusan lebih membuatku was-was lagi. Spontan aku bangun dari rebahan, memandangnya penuh tanda tanya.
"Apa sih, maksud ibu? Ibu mau menjodohkanku dengannya?" pekikku setengah kesal.
"Lah, kan cuma kenalan. Kalau cocok, ya kenapa? Toh, Nirmala itu cantik. Sregep (rajin), dia juga berjilbab. Tapi nggak jilbab abal-abal seperti yang di sono."
"Maksud ibu apa, sih? Gak jelas!" Aku semakin kesal dibuatnya. Kenapa jadi terkesan membandingkan?
"Memangnya kenapa? Kau belum kenal dia, kan?" Suara ibu semakin meninggi.
Kuhembuskan nafasku perlahan. Aku lupa kalau bicara dengan ibu harus extra. Extra ditata pokoknya!
Mala? Anak Pak Polo lawas yang dulunya berhidung mbeleerr, bahkan ingusnya sampai di bibir. Oh, tidak!
Mengingat masa kecilnya, belum apa-apa sudah merasa tak cocok.
Pandanganku menerawang, memikirkan sesuatu yang entah ... terasa seperti bergidik di leher.
(Bersambung)
Kubuka satu kancingku bagian atas, mengibaskan kerah baju berulang. Sesekali kuseka peluh yang mengucur kening, sambil terus berjalan menuju warung belakang.
Hari ini AC di ruangan kerja mati. Untung Mas Nanang membawakan kipas angin yang tak terpakai dari rumahnya. Kebetulan rumah Mas Nanang berada di belakang pabrik. Namun setelah dinyalakan, kipas itu berputar lambat, tetap saja udara pengap karena hilir angin tak terasa.
Kurang beberapa langkah lagi aku tiba di warung. Sesampainya di sana, langsung kutuju Mbak Siti, memesan nasi pecel lauk telur mata sapi. Sebenarnya aku bawa bekal hari ini, tapi, mengingat pagi tadi ibu yang membuatkannya dengan berwajah cemberut, sudah kupastikan masakannya kali ini pasti berasa tak karuan. Ya, kalau moodnya buruk, bisa keasinan, bisa kepedesan, terkadang cocok di lidah, terkadang pula hambar. Aah, gara-gara pengaduan si Kinar kemarin. Hmmm, tapi, tak begitu juga,sih, alasannya. Memang kali ini kepingin 'marung', sekalian cari angin.
Setiap ke warung ini, selalu nasi pecel yang kupesan. Banyak yang merekomendasikan rawonnya yang juga sedap. Berhubung lidahku sudah cocok pada satu menu, rasanya malas kalau berpaling mencoba yang lain. Ha ha ha
Kuambil duduk di sebuah meja yang masih kosong saat nasi pecel terpangku di tangan, lengkap dengan es teh dan sebatang rokok. Kuletakkan rokok itu di samping asbak. Berganti mengambil krupuk yang tertenteng di bambu penyangga.
"Carton box geger!!"
Sebuah suara lirih kutangkap jelas dari meja di belakangku persis. Pelan aku memakan nasiku, penasaran dengan kelanjutan cerita orang di belakang.
"Kenapa?"
"Ya gara-gara bocah itu. Faktur yang diterima gak valid."
"Lah, sama dong, sama yang di PM 5 bulan lalu. Muatan dipending gara-gara truk salah antar bahan. Gak biasanya lho, seperti itu."
"Lah, yooo ... opo seeh gunane nyamar-nyamar. Ujung-ujunge gawe repot para karyawan. (lah yaaa, apa sih gunanya menyamar? Ujung-ujungnya buat repot karyawan)"
"Eh, tapi ... ada untungnya juga, kan? Karyawan yang seenaknya sendiri langsung di PHK."
"Bukan karena itunya, sih! Repotnya kita gak sehari-dua hari kerja, ngendap jadinya. Trus, kehilangan satu-dua karyawan, pekerjaan jadi dobel-dobel. Waktunya kita istirahat melepas pegal, malah jadi lemburan tak terduga. Remek-remek, ndezz!"
"Iyo, bener. Angger PHK-PHK'ae. Ngene nggolek arek anyar, mblajari kawitan maneh! Repot maneh, salah maneh, remek maneh (gini nyari anak baru, training dari awal lagi. Repot lagi, salah lagi, capek lagi)"
Kriiuuuk! Terdengar suara remahan krupuk dari bibir salah satu diantaranya.
"Kandani, enak nek dadi ndukuran iku. Mlaku rono-rene, gawe kesalahan ngono-ngene, gak onok sing iso ngelokno.(Kubilangi, enak kalau jadi atasan itu. Jalan kesana-kemari, buat kesalahan ini-itu, gak ada yang bisa marahi)."
"Yo, ngerti. Opo maneh, nek wis diprotes, enak'ae kari njawab 'iki ngunu nyamar'. Laaah, nggaplek'i (apa lagi kalau sudah diprotes, enak saja tinggal jawab 'ini tuh, nyamar' ...."
Suara terakhir mencebik dengan nada yang dibuat-buat. Sepintas kutoleh ke belakang, membuat salah satu di antaranya melirik padaku.
"Heeh, ssttt! Onok wong njero (ada orang dalam)." Kudengar lagi bisikan salah satunya. Akhirnya kerumunan itu terdiam. Tak terdengar lagi lontaran yang keluar dari mulut mereka. Sepertinya, saling melahap makanan masing-masing.
Aku jadi risih berlama-lama di sini. Kusaku sebatang rokok yang tergeletak tadi, beranjak dari tempat setelah meminum tegukan terakhir es tehku.
Kutoleh kembali ke arah mereka, tersenyum sambil menganggukkan kepala, tanda permisi. Kok, jadi mereka yang berwajah tegang, padahal aku yang tadinya merasa tak enak.
Sesampainya di ruangan, kujumpai Intan berdiri terpaku di depan meja. Matanya melirik tajam di balik kaca mata minusnya, dengan bibir merah yang manyun sempurna memperburuk pandangan.
Aku langsung melewatinya, tanpa sapa.
Berganti mataku tertuju pada kertas tebal berbendel di atas meja.
"Itu, yang salah kemarin. Cepat benahi! Kerjaanku sudah ribet, kamu memolorkan waktu bersantaiku saja!" serunya kesal.
Kucoba periksa arsip tersebut. Rupanya bekas kerjaan Pak Feri minggu lalu. Ini sih, bukan salahku. Seharusnya, ia tahu. Tapi memang karena tanggung jawabku, mau gimana lagi ....
"Kebut tuntas! Lembur kalau perlu. Aku mau besok selesai, aku sendiri banyak yang mesti ngganti ulang. Nungguin ini doank, waktuku terhambat. Tumbuh ubanku nanti,"
Aku termenung sesaat menatap tebalnya kertas menumpuk itu. Gimana bisa selesai, sedang ini saja terlihat mustahil.
Intan mulai melangkah pergi, dan aku segera berseru menghentikan langkahnya, "Mbak, ini kan sudah masuk inputan di program. Bagaimana mengganti di programnya? Ini telat tanggal delapan hari yang lalu."
Ekspresi Intan lebih kaget tak percaya dariku. "Lho? Kamu masih tak tahu caranya? Kapan waktu kan, pernah salah tanggal. Siapa yang ganti?" Ia balik bertanya.
Matanya langsung beralih menuju Rian yang sedang sibuk dengan kerjaannya.
"Kamu, tah ... yang ganti? Iya, dulu kode kamu yang masuk, kan?" ia berbalik tanya pada Rian.
Laki-laki itu tak menjawab. Ia beranjak, bergerak menuju mejaku. Tangan kurusnya merebut mouse yang kugenggam, menarik layar komputerku sambil melihat arsip di meja.
"Tanggal piro iki? (tanggal berapa ini)" Ia berkata dengan nada kesal,menanyakan tulisan di form yang memang tak nampak jelas.
"Itu tanggal enam."
"Tulisan koyok cekeremez!" ucapnya lagi, sambil menggerakkan mouse.
Lah, dia nggak sadar sudah menghina tulisan atasannya.
"Wasno! (lihat!)"
Nadanya yang masih tak enak terdengar itu, memaksaku untuk terus fokus menatap monitor.
"Ini kode programnya!" Ia menekan pelan beberapa angka pada keyboard.
Kemudian, ENTER.
kembali ia melenggang menduduki kursinya, disusul dengan langkah pergi Intan dari ruangan.
Kuembuskan napas pelan. Mengambil urutan form dari depan, mensejajarkan tiga lembar.
Berat ... rupanya benar yang digunjingkan karyawan gudang di warung tadi. Berat memang, kalau kesalahan ini disengaja.
****
"Dan, tolong anterin ke BSP!"
"Ke siapa?" tanyaku, sembari melepaskan ikat tali sepatuku.
Mbak Diah mendekatiku, lalu menjawab, "Ini ... mau menyerahkan surat keterangan jumlah anak, syarat dari notaris."
Setelah selesai melepas kaos kaki, kulepaskan seragam kerjaku. Meletakkannya ke tangan kursi, sambil merebahkan tubuh.
"Aku rehat bentar, capek," ucapku.
"Memang jam berapa sekarang? Ini sudah malam, lho! Kan, bisa besok pagi?" ungkapku lagi. Merasa aneh sih, bertamu malam-malam hanya untuk menyerahkan itu. Perasaan ... aku ceklok tadi jam delapan lebih lima menit.
"Ini ditunggu orangnya, Dan. Butuh taken cepat mungkin. Soalnya besok subuh dia sudah berangkat ke luar kota. Biar segera masuk ke BPN berkasnya."
Mendengar itu, aku pun bangun dari kursi. Kubelalakkan mata lebar-lebar, sambil memegang kedua pipi yang tampak berminyak. Sepertinya butuh cuci muka. Mataku lalu beralih memandang Mbak Diah yang sedang menggendong Boby terlelap.
"Apa bisa, ninggal si Boby? Nggak mungkin, kan, kita bawa serta? Kasihan, malam-malam begini."
Mbak Diah menggeleng, kembali menimang Boby di gendongan.
"Coba kesini'in berkasnya, biar aku antar sendiri!"
Akhirnya, setelah kertas itu terpegang tangan, tanpa mandi dan hanya berganti kemeja, kembali kuraih helmku.
Keluar lagi ....
****
Kini aku berdiri tepat di depan rumah besar berpagar besi yang tingginya melebihiku. Bagaimana aku bisa memastikan rumah ini berpenghuni, sementara keadaan begitu tenang dan sunyi.
Sembari memencet bel rumah berulang, kucoba menilik ke arah dalam melalui celah pagar. Sepi. Tapi, aku melihat ada beberapa pasang sepatu di luar, seperti ada tamu yang bertandang. Eh, kenapa banyak kelinci berhamburan dibiarkan begitu saja?
Tak lama, muncul seorang perempuan berpakaian seperti babysitter. Ia setengah berlari menghampiriku.
Pagar pun dibuka.
"Cari siapa, Mas?"
"Bu Mega, Mbak."
"Kok, ndak lewat depan?"
Aku bingung mendengar bicaranya. "Lah, wong ada bel disini. Saya tahunya juga alamat yang di sini. Masa' ini pintu belakang, Mbak?" Aku balik bertanya.
Gadis itu tersenyum dan menjawab, "Kantornya di blok belakang, Mas. Monggo, lewat sini juga tak apa."
"Nggak, Mbak. Minta tolong ini saja ...." Kuhentikan sejenak bicaraku, mengambil secarik kertas di dalam jok, titipan dari Mbak Diah.
"Apa ini, Mas? Untuk siapa?" gadis itu bertanya lagi.
"Untuk Bu Mega, dari Diah Safitri," jawabku.
"Aku nggak enak, Mas, kalau urusan begini. Mending Mas masuk aja ke dalam. Ibu ada kok, nemuin tamu juga di depan. Siapa tahu ada pesan lanjutan dari ibu, biasanya sih begitu." Gadis itu menggiringku masuk ke dalam, mau tak mau aku jadi menurut.
"Eh, sebentar, Mbak. Sepedanya belum kukunci setir!"
Selesai mengunci, kembali aku memasuki rumah. Tapi lewat jalan samping, yang menuju ke depan. Dari sana, kulihat ada dua orang tamu juga.
"Bu, ini ada tamu, mau menyerahkan ini!" Gadis itu memberikan kertas yang kuberi tadi pada seorang perempuan bertubuh sintal, berambut sebahu kecokelatan.
Aku mengambil duduk di salah satu kursi, bersama dua orang tamu yang lainnya.
Lho? Mataku sontak kaget saat melihat seorang perempuan duduk paling ujung. Sepertinya Sefti yang duduk di sana. Sama sepertinya, ia juga tampak tercengang melihatku.
"Dani ...." Ia menyapa lirih, melambaikan tangan sambil tersenyum.
"Heiii!" Aku membalasnya lirih, turut mengulas senyum.
Panggling aku melihatnya kali ini. Tak nampak seperti biasanya, ia berkemeja lengan panjang, memakai rok lebar, dengan jilbab orange terbalut dikepala. Anggun sekali!
"Oh, iya, Mas. Makasih. Ini sudah bener seperti yang saya minta, kok." Notaris bernama Mega itu berkata padaku, sambil menawarkanku air aqua gelasan.
Tanpa banyak berkata lagi, aku langsung pamit balik.
Saat berjalan ke luar, sengaja kukedipkan mata berulang kali ke Sefti. Ia lalu pamit permisi pada orang di sampingnya, mengikutiku yang berjalan ke luar.
"Hei, kamu. Sombongnya sekarang ... sedang dipingit, ya? Gak pernah kasih kabar!"
"Nggak, kok. Aku lagi nggak mood saja, sih!" elaknya sambil tertawa kecil. "Eh, ada kepentingan apa ke mari?" tanyanya lagi.
"Ini, lho. Urusannya Mbak Diah. Rumah yang di perumahan mau dibalik nama pake nama dia. Lah, kamu ... ngapain?"
"Nganter Ayah," jawabnya singkat.
Senyum gadis itu masih saja terkembang, membuatku sayang kalau ingin cepat pulang. Ingin memujinya cantik, kok sungkan.
"WA aku, lah ...." Aku setengah merajuk padanya. Sengaja kubuat seperti itu agar ia mau lagi menghubungi.
"Iiiihh, koyok arek cilik'ae (kayak anak kecil saja). Aku tak enak sih, hubungin calon orang."
"Lho? Masih belum, kok. Wah, sepertinya nyindir aku, ya? Iya deh, paham kalau kamu sudah milik orang. Makanya kamu menghindar, gak mau temenan lagi sama aku, ya?"
Belum sempat Sefti menjawab omonganku, terdengar Ayahnya dari dalam ruang tamu berpamitan.
"Dan, sudah, ya? Nggak enak sama Ayah," seru Sefti lirih padaku.
Kuanggukkan kepalaku dan setengah berbisik, "Jangan lupa WA, ya?"
Ia mengangguk kecil, kemudian melangkahkan kakinya menuju motornya. Menunggu ayahnya di sana. Cepat-cepat aku juga melangkahkan kaki ke gang samping, menuju belakang rumah. Motorku sendiri menanti kedinginan di sana.
Sepanjang perjalanan pukang, kulajukan motor pelan. Menikmati dinginnya hawa malam penuh kejutan. Akhirnya, aku bertemu dengannya. Hampir stress aku memikirkannya, dan beruntung Tuhan mempertemukan kembali.
Sampai aku gelisah sendiri terkadang. Kok, bisa ya seperti ini?
Mesin motor kumatikan saat tepat sampai di depan rumah, kugelindingkan masuk ke dalam garasi, mengingat si kecil Boby yang anti berisik.
Sampai di dalam rumah, ibu masih saja cemberut menatapku.
Sadar akan situasi, cepat saja aku masuk ke dalam kamar. Lagipula capek. Eeh, ibu malah berdiri menyusul ke ambang pintu, seperti sengaja membuntuti.
"Kau tahu Nirmala, Dan?" ucapnya tiba-tiba.
Aku diam sejenak, mengingat siapa yang ibu maksud.
"Nirmala yang mana?" akhirnya nyerah juga aku, karena tak berhasil mengingat nama itu.
"Itu lho, Nirmala anaknya Pak Polo lawas (Kepala Desa lama). Bukannya dulu satu SMP denganmu?"
Anak Pak Polo lawas?
Aku masih penasaran, mengingat-ingat yang ibu maksud. Oh, mungkinkah si Mala, teman ngajiku dulu?
"Oalah ... iya, inget. Dia bukan temanku. Dia adik kelas,"jawabku santai.
Aku mengambil hape dari saku celana. Memeriksa, barangkali ada WA masuk dari Sefti. Masih was-was menanti.
"Kalau kau aku kenalkan sama dia. Mau?" Suara ibu barusan lebih membuatku was-was lagi. Spontan aku bangun dari rebahan, memandangnya penuh tanda tanya.
"Apa sih, maksud ibu? Ibu mau menjodohkanku dengannya?" pekikku setengah kesal.
"Lah, kan cuma kenalan. Kalau cocok, ya kenapa? Toh, Nirmala itu cantik. Sregep (rajin), dia juga berjilbab. Tapi nggak jilbab abal-abal seperti yang di sono."
"Maksud ibu apa, sih? Gak jelas!" Aku semakin kesal dibuatnya. Kenapa jadi terkesan membandingkan?
"Memangnya kenapa? Kau belum kenal dia, kan?" Suara ibu semakin meninggi.
Kuhembuskan nafasku perlahan. Aku lupa kalau bicara dengan ibu harus extra. Extra ditata pokoknya!
Mala? Anak Pak Polo lawas yang dulunya berhidung mbeleerr, bahkan ingusnya sampai di bibir. Oh, tidak!
Mengingat masa kecilnya, belum apa-apa sudah merasa tak cocok.
Pandanganku menerawang, memikirkan sesuatu yang entah ... terasa seperti bergidik di leher.
(Bersambung)
Diubah oleh shirazy02 10-12-2019 17:24
erman123 dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Tutup