- Beranda
- Stories from the Heart
Under The Influence
...
TS
AresTheGodOfWar
Under The Influence
UNDER THE INFLUENCE
Genre : Romance, Drama, Crime, Mature, Voyeur.
Terjemahan dari judul, dibawah pengaruh. Multi tafsir, bisa dibawah pengaruh zat tertentu, dibawah pengaruh pikiran, dibawah pengaruh perasaan dsb.
Agar supaya bisa tetap menikmati cerita, anggap saja gw hanya seorang tukang cilok yang halu tingkat tinggi. Kalian tak perlu repot autentikasi maupun investigasi. Terima kasih.
Terjemahan dari judul, dibawah pengaruh. Multi tafsir, bisa dibawah pengaruh zat tertentu, dibawah pengaruh pikiran, dibawah pengaruh perasaan dsb.
Agar supaya bisa tetap menikmati cerita, anggap saja gw hanya seorang tukang cilok yang halu tingkat tinggi. Kalian tak perlu repot autentikasi maupun investigasi. Terima kasih.
《《《《《《《《《 ❖ 》》》》》》》》》》
PREAMBULE
Quote:
Bonus mulustrasi.
Gw pake vectorizer online untuk menggambarkan karakter dalam cerita. Bukan asli pastinya.
Jika ada tokoh baru, nanti menyusul.
Gw pake vectorizer online untuk menggambarkan karakter dalam cerita. Bukan asli pastinya.
Jika ada tokoh baru, nanti menyusul.
Spoiler for Playlist:
Spoiler for mulus:
Quote:
Diubah oleh AresTheGodOfWar 10-01-2020 20:14
nona212 dan 23 lainnya memberi reputasi
24
11.7K
76
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
AresTheGodOfWar
#24
9
Hitungan 1 hari tanpa asupan met (metamfitamine). Sebagai pengguna harian, gw mulai merasakan gejala2 yang sangat gw kenal. Contohnya, saat gw kewarung pinggir jalan, ketika gw melihat botol air mineral dalam kemasan dan sedotan, gw membayangkan sebuah bong rakitan. Gw bener2 gelisah, badan gw seakan mengalami kelelahan yg ekstrem. Tak hanya gejala fisik, pikiran gw tak henti2nya ter sugesti. Di dalam kamar kosan, gw makin gelisah, melirik kearah beberapa tempat rahasia penyimpanan beberapa barang gw.
Di depan cermin, cukup lama gw memandangi diri sendiri. Gw berdialog dalam hati dengan bayangan gw di cermin. Mungkin lebih tepatnya monolog, karena bayangan dihadapan gw tak akan pernah merespon. Monolog2 penuh dengan pertanyaan2. Monolog2 yg mencaci diri sendiri. Semakin lama, kebencian gw akan diri gw sendiri memuncak.
PRANG! (gak pake K)
Tubuh gw reflek merespon perasaan yg bergejolak dengan menghantam cermin di depan gw menggunakan kepalan tangan. Rasa sakit di lubuk hati gw mengalahkan rasa sakit kepalan tangan gw yg tertancap beberapa serpihan kaca. Gw hanya memandangi tangan gw yg mulai mengeluarkan darah, namun seperti mati rasa. Gw duduk di tepian ranjang. Tertunduk memejamkan mata, mengatur nafas. Tak henti2nya gw mengucapkan istighfar. Gw trus melawan pikiran2, sugesti2 yg begitu liar di otak gw.
Rasa sakit ini bukan karena gw menyesali masa lalu, rasa sakit ini lebih kearah karena gw merasa lemah. Bagaimana gw bisa mencontohkan ke Sandra kalau gw sendiri lemah begini? Gw menyalakan sebatang rokok. Mencoba untuk berpikir jernih. Gw melawan rasa kelelahan ekstrem tubuh gw dengan melakukan gerakan2 seolah gw sedang berlatih boxing.
Gw kembali duduk ditepian ranjang, nafas gw tak beraturan. Gw mulai bisa sedikit berpikir jernih. Gw memikirkan langkah, rencana. Gw memikirkan langkah apa yg harus gw ambil, lenyapkan semua sisa barang, hibahkan, atau manfaatkan uangnya untuk terakhir kalinya?
Tak mau semakin gila di dalam kosan gw ini, akhirnya gw memutuskan untuk pulang ke rumah.
---
Sesampainya dirumah, hal yg pertama gw lakukan adalah membalut luka di tangan gw. Siang itu hanya cuma ada nyokap gw dirumah.
"Kenapa tangan kamu?" tanya nyokap gw
"Biasalah ma, anak laki" Jawaban gw membuat nyokap gw geleng2 kepala
Melihat gw yg kesulitan membalut tangan gw sendiri, nyokap gw berusaha membantu.
"Lex, selama ini kegiatan kamu apa?" tanya nyokap gw sambil membalut tangan gw.
Gw diam, tak menjawab pertanyaan itu. Gw lebih memilih melayangkan pandang gw kebeberapa sisi halaman belakang rumah ini yg penuh kenangan. Tepat dibawah pohon mangga, ada sebuah samsak berbahan canvas nylon. Gw teringat, dulu gw berdua bokap selalu bergantian menahan samsak itu supaya tak bergerak ketika salah satu dari kami meninju2 samsak itu.
"Kuncinya ibadah Lex, 5 waktu, 17 rakaat. Al-Fatihah ayat 6, tunjukkanlah jalan yang lurus. Sehari 17 kali kamu ucapkan, kamu pintakan, Insya Allah yg melenceng diluruskan. Gak usah muluk2"
Gw gak memandang nyokap gw, tapi ucapan nyokap gw itu bener2 masuk di dalam hati gw. Ikatan batin ibu dan anak itu kuat bgt, gw yakin selama ini nyokap gw gak pernah lelah mendoakan. Gw yakin nyokap gw mempunyai feeling yg kuat bahwa yg dilakukan anaknya selama ini melenceng. Pengen banget rasanya gw sujud minta maaf, lalu menceritakan semuanya. Tapi gw gak tega.
"Papa masih sering latihan Ma?" gw mencoba mengalihkan topik
"Gak pernah, gak ada partnernya lagi, adek kamu kan cewek semua"
Gw terkekeh, membuang perasaan haru yg berpeluang besar bikin mata gw meleleh.
"Ma, request yg seger2 dong, Alex mau latihan bentar..."
Gw merasa bego sebego2nya selama ini menyiakan waktu yg berharga dengan keluarga. Gw keinget jaman masih akur dengan bokap, sore hari atau saat libur, momen latihan bareng adalah hal yg membahagiakan. Entah kenapa baru sekarang gw rindu momen2 itu.
Dengan bersemangat gw mulai melakukan pemanasan, diawali dengan melatih kecepatan dgn speed bag. Lalu berlanjut dengan pukulan2 ke samsak yg gw dedikasikan untuk segala pelampiasan perasaan gw saat ini.
"Gw kira suara berisik apaan, dari kapan Bang balik?" Tanya adek gw Sherly yg tiba2 nongol, masih menggunakan seragam SMA, baru balik sekolah.
Efek lama gak latihan, durasi kurang dari 15 menit, nafas gw mulai terasa. Pergelangan tangan ini pun rasanya kaku. Kelelahan, tapi gw bisa merasakan, sebagian energi negatif terbuang bersama keringat yg mengucur di tubuh gw.
"Aduh... Engap bgt dek nafas..."
Gw membaringkan tubuh gw dilantai, membuat dada gw makin keliatan kembang kempis.
"Sini2 bang nafas buatan..."
Mendengar itu, gw langsung bangkit duduk disebelah adek gw.
"Ohhhh... Mulai genit ya sekarang... Udah pernah yaaa?"
gw ngeledek bernada menginterogasi, menginterogasi bernada ngeledek.
"Becanda loh bang, gw kan ikut ekskul PMR, jadi belajar CPR juga, teori doang gak praktek"
Wajah Sherly memerah memberikan pembelaan.
"Gw juga becanda kok, gak usah panik dong"
Gw terkekeh melihat raut wajah Sherly. Gw percaya Sherly bisa jaga diri, tau batasan. Kalo adek gw satunya, gw gak bisa jamin.
"Bodo ah, nyebelin." Sherly masuk kedalam dengan wajah manyun nya.
---
Menjelang sore, gw telpon Sandra, menanyakan mau dijemput apa gak. Kata Sandra sih gak usah, soalnya dia bawa motor sendiri. Ketika gw bilang lagi balik kerumah, dia malah ngajakin ke kosan. Gw paham banget Sandra juga sedang merasakan gejala2 seperti gw. Gw gak mau menggurui secara langsung, gw mau mau ngetes Sandra. Ada perasaan takut juga sih, takut seandainya Sandra diem2 cari ke tempat lain tanpa sepengatuan gw. Tapi gw berusaha untuk tetap positif thinking..
Di depan cermin, cukup lama gw memandangi diri sendiri. Gw berdialog dalam hati dengan bayangan gw di cermin. Mungkin lebih tepatnya monolog, karena bayangan dihadapan gw tak akan pernah merespon. Monolog2 penuh dengan pertanyaan2. Monolog2 yg mencaci diri sendiri. Semakin lama, kebencian gw akan diri gw sendiri memuncak.
PRANG! (gak pake K)
Tubuh gw reflek merespon perasaan yg bergejolak dengan menghantam cermin di depan gw menggunakan kepalan tangan. Rasa sakit di lubuk hati gw mengalahkan rasa sakit kepalan tangan gw yg tertancap beberapa serpihan kaca. Gw hanya memandangi tangan gw yg mulai mengeluarkan darah, namun seperti mati rasa. Gw duduk di tepian ranjang. Tertunduk memejamkan mata, mengatur nafas. Tak henti2nya gw mengucapkan istighfar. Gw trus melawan pikiran2, sugesti2 yg begitu liar di otak gw.
Rasa sakit ini bukan karena gw menyesali masa lalu, rasa sakit ini lebih kearah karena gw merasa lemah. Bagaimana gw bisa mencontohkan ke Sandra kalau gw sendiri lemah begini? Gw menyalakan sebatang rokok. Mencoba untuk berpikir jernih. Gw melawan rasa kelelahan ekstrem tubuh gw dengan melakukan gerakan2 seolah gw sedang berlatih boxing.
Gw kembali duduk ditepian ranjang, nafas gw tak beraturan. Gw mulai bisa sedikit berpikir jernih. Gw memikirkan langkah, rencana. Gw memikirkan langkah apa yg harus gw ambil, lenyapkan semua sisa barang, hibahkan, atau manfaatkan uangnya untuk terakhir kalinya?
Tak mau semakin gila di dalam kosan gw ini, akhirnya gw memutuskan untuk pulang ke rumah.
---
Sesampainya dirumah, hal yg pertama gw lakukan adalah membalut luka di tangan gw. Siang itu hanya cuma ada nyokap gw dirumah.
"Kenapa tangan kamu?" tanya nyokap gw
"Biasalah ma, anak laki" Jawaban gw membuat nyokap gw geleng2 kepala
Melihat gw yg kesulitan membalut tangan gw sendiri, nyokap gw berusaha membantu.
"Lex, selama ini kegiatan kamu apa?" tanya nyokap gw sambil membalut tangan gw.
Gw diam, tak menjawab pertanyaan itu. Gw lebih memilih melayangkan pandang gw kebeberapa sisi halaman belakang rumah ini yg penuh kenangan. Tepat dibawah pohon mangga, ada sebuah samsak berbahan canvas nylon. Gw teringat, dulu gw berdua bokap selalu bergantian menahan samsak itu supaya tak bergerak ketika salah satu dari kami meninju2 samsak itu.
"Kuncinya ibadah Lex, 5 waktu, 17 rakaat. Al-Fatihah ayat 6, tunjukkanlah jalan yang lurus. Sehari 17 kali kamu ucapkan, kamu pintakan, Insya Allah yg melenceng diluruskan. Gak usah muluk2"
Gw gak memandang nyokap gw, tapi ucapan nyokap gw itu bener2 masuk di dalam hati gw. Ikatan batin ibu dan anak itu kuat bgt, gw yakin selama ini nyokap gw gak pernah lelah mendoakan. Gw yakin nyokap gw mempunyai feeling yg kuat bahwa yg dilakukan anaknya selama ini melenceng. Pengen banget rasanya gw sujud minta maaf, lalu menceritakan semuanya. Tapi gw gak tega.
"Papa masih sering latihan Ma?" gw mencoba mengalihkan topik
"Gak pernah, gak ada partnernya lagi, adek kamu kan cewek semua"
Gw terkekeh, membuang perasaan haru yg berpeluang besar bikin mata gw meleleh.
"Ma, request yg seger2 dong, Alex mau latihan bentar..."
Gw merasa bego sebego2nya selama ini menyiakan waktu yg berharga dengan keluarga. Gw keinget jaman masih akur dengan bokap, sore hari atau saat libur, momen latihan bareng adalah hal yg membahagiakan. Entah kenapa baru sekarang gw rindu momen2 itu.
Dengan bersemangat gw mulai melakukan pemanasan, diawali dengan melatih kecepatan dgn speed bag. Lalu berlanjut dengan pukulan2 ke samsak yg gw dedikasikan untuk segala pelampiasan perasaan gw saat ini.
"Gw kira suara berisik apaan, dari kapan Bang balik?" Tanya adek gw Sherly yg tiba2 nongol, masih menggunakan seragam SMA, baru balik sekolah.
Efek lama gak latihan, durasi kurang dari 15 menit, nafas gw mulai terasa. Pergelangan tangan ini pun rasanya kaku. Kelelahan, tapi gw bisa merasakan, sebagian energi negatif terbuang bersama keringat yg mengucur di tubuh gw.
"Aduh... Engap bgt dek nafas..."
Gw membaringkan tubuh gw dilantai, membuat dada gw makin keliatan kembang kempis.
"Sini2 bang nafas buatan..."
Mendengar itu, gw langsung bangkit duduk disebelah adek gw.
"Ohhhh... Mulai genit ya sekarang... Udah pernah yaaa?"
gw ngeledek bernada menginterogasi, menginterogasi bernada ngeledek.
"Becanda loh bang, gw kan ikut ekskul PMR, jadi belajar CPR juga, teori doang gak praktek"
Wajah Sherly memerah memberikan pembelaan.
"Gw juga becanda kok, gak usah panik dong"
Gw terkekeh melihat raut wajah Sherly. Gw percaya Sherly bisa jaga diri, tau batasan. Kalo adek gw satunya, gw gak bisa jamin.
"Bodo ah, nyebelin." Sherly masuk kedalam dengan wajah manyun nya.
---
Menjelang sore, gw telpon Sandra, menanyakan mau dijemput apa gak. Kata Sandra sih gak usah, soalnya dia bawa motor sendiri. Ketika gw bilang lagi balik kerumah, dia malah ngajakin ke kosan. Gw paham banget Sandra juga sedang merasakan gejala2 seperti gw. Gw gak mau menggurui secara langsung, gw mau mau ngetes Sandra. Ada perasaan takut juga sih, takut seandainya Sandra diem2 cari ke tempat lain tanpa sepengatuan gw. Tapi gw berusaha untuk tetap positif thinking..
idner69 dan 2 lainnya memberi reputasi
3



