- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#243
Rekan Kerja (part 17)
"Tertekan dalam pekerjaan?"
"Tidak, Pak."
"Lalu? Apa kamu menyimpan dendam?"
Aku diam, dan suasana membisu beberapa saat. Kutundukkan kepalaku lesu dengan pikiran yang tak mampu konsentrasi. Kekesalan yang terjadi seakan tiada berujung. Ingin rasanya menyingkir dari ruangan ini, segera.
"Kalau kamu merasa sudah tak nyaman, silahkan kamu mengundurkan diri, Dani! Jangan membuat kerusuhan di lingkungan kerja! Kamu saya suruh sabar sebentar, kenapa sulit sekali? Susah ya, mengontrol emosi meski sebentar saja?"
Pak Dika yang tampak sangat murka membuatku merasa bertambah ingin pergi. Antara malas membahas, juga rasa tak enak hati. Kegusarannya baru pertama kali ini terlihat. Pak Dika memang baik, tak pernah marah. Ia pun mempunyai andil tengah memperjuangkan posisiku agar lebih baik dari sebelumnya. Namun, ia tak tahu seperti apa perasaanku kemarin. Sangat kesal, sama seperti dengan perasaanku sekarang ini. Emosi yang naik-turun tak bisa stabil.
Tak mau lagi memendam masalah, akhirnya kucurahkan semua yang kualami kemarin padanya. Aku tak bercerita mengenai sikap Rian selama ini padaku, karena tanpa kuceritakan, pasti Pak Dika sudah tahu sendiri. Bahkan masih kututupi tentang perbuatan Rian yang pernah membuat sedikit robek pelipisku, padahal sama kejadiannya di tempat kerja. Titik poinnya, hanya bercerita mengenai foto almarhum ayah yang dihinanya.
Siapa yang tak sakit dibegitukan? Kurasa semua orang juga pasti sama jika berada di posisiku.
"Memang kenapa foto Pak Sujiwo kamu ambil?" Pak Dika tegas bertanya padaku. Suaranya melunak, tak setinggi di awal.
Aku diam sejenak, lalu mengalihkan pandangan. Haruskah aku bicarakan tentang Pak Heri padanya? Ah, aku tak mau bermasalah dengan orang tua itu. Cukup pada Rian saja!
"Kau tak mungkin mengambilnya kalau tak disuruh. Aku yakin itu. Memang siapa yang menyuruhmu?" tanyanya lagi, yang membuatku maju-mundur untuk menjawab.
Akhirnya Pak Dika duduk di kursinya, setelah dari tadi berdiri memarahi. Netranya menatap tajam, membuatku kembali menundukkan pandang untuk ke sekian kali.
"Sudahlah, tak usah dijawab! Saya sudah tahu," Pak Dika lalu memberesi beberapa arsip di mejanya, menjadikannya satu pada sebuah holder. Kemudian menaruhnya di laci.
Ia terdiam sejenak, lantas bercerita ... ia memang sengaja tak pernah mengambil bingkai foto almarhum ayah. Ia bahkan berpesan pada office boy agar tak pernah melepas foto itu dari bingkainya, meski jabatannya sudah tergantikan dengan orang lain. Foto itu dijadikannya inspirasi, karena almarhum ayah seorang yang pekerja keras dan selalu baik kepada siapapun. Bahkan setiap ada meeting, selalu almarhum ayah yang ia gambarkan sebagai sosok teladan, sekaligus contoh untuk karyawan/karyawati yang lainnya.
"Hebatnya ayahmu, meski dulu banyak yang ingin menjatuhkannya, almarhum selalu tersenyum tanpa ada rasa dendam. Bahkan merangkul siapa pun mereka yang dengki padanya. Lambat laun, si pendengki luluh hati. Kau tahu, Dan? Sikap buruk, jika dibalas dengan buruk, maka akan terjadi terus keburukan-keburukan yang lain. Tak kan pernah ada ujungnya. Nah, kalau kita terus menanam kebaikan meski keburukan menghinggapi kita, sama halnya kita menjemput kebaikan-kebaikan yang akan datang. Ini ucapan ayahmu yang sampai saat ini saya ingat."
Mendengar ucapan itu, terenyuh rasa hati. Emosi yang panas kini mendingin.
"Sifatnya yang pemurah banyak disegani anak buah. Itulah kenapa saya merasa kehilangan sekali saat almarhum mengajukan pensiun, apalagi telah wafat tak lama setelah itu," pak Dika menerawangkan matanya, membuatku kembali menundukkan kepala. Mendengar kata 'wafat', mendadak mata menjadi berkunang. Sedih pasti jika ada yang membahas almarhum. Merasa durhaka karena belum sempat membahagiakannya, malah membuatnya malu di hadapan banyak rekan kerjanya dulu.
"Saya kecewa karena kamu berbeda sekali dengan ayahmu. Kamu kurang sabar, Dan."
Masih tak kujawab omongan Pak Dika. Tak mampu untuk berkata sementara isi hati terus bergejolak. Benarkah aku kurang sabar?
"Sekarang fokus masalahmu. Sebenarnya saya ingin membantu kamu, tapi maaf ... sepertinya saya tak bisa membuatmu bekerja kembali di sini," Pak Dika menggapit kedua tangannya lurus ke meja. Aku terhenyak, menatapnya nanar, menunggu kepastian omongan dari mulut Pak Dika dengan gemetar.
Kedua mata lelaki itu sayu menatapku, seolah tak enak hati. Ia kemudian berkata lagi, "Pak Heri mulai beberapa hari yang lalu, punya kewenangan memberhentikan karyawan di kantor. Meskipun saya di sini masih atasannya, tapi saya sudah tak bisa membantu kamu lagi, karena memang yang kamu lakukan kemarin fatal, Dani. Membuat kerusuhan di tempat kerja, mencelakakan orang hingga masuk rumah sakit." Tangan Pak Dika kembali membuka laci, mengambil sebuah kertas lalu menyodorkannya padaku.
"Ini sebagai acuan, lebih baik kamu membuat surat re-sign sekarang, daripada kamu dilaporkan kepada pihak yang berwajib atas dugaan penganiayaan," katanya lagi, membuat hidungku terasa tersumbat karena isak tak terbendung.
"Maafkan saya," lirih kuucap kata maaf pada bibirku yang bergetar.
Pak Dika mendekatkan diri padaku, menepuk bahuku berulang kali. "Belajar dari pengalaman. Semoga mendapatkan pekerjaan yang lebih baik!" Ia coba menyemangatiku yang mungkin di matanya tampak rapuh kali ini. Kubalas ucapannya dengan melempar senyum paksa. Ah, sudahlah, memang aku pantas mendapatkannya.
"Jadi, mulai besok saya sudah tak bekerja lagi, Pak?" tanyaku memastikan.
Pak Dika merapatkan bibirnya, menatapku dalam-dalam. "Tentu masih bekerja sampai tanggal 10 ke depan. Nunggu gajian keluar,berarti tiga harian. Kamu selesaikan pekerjaanmu sampai rampung. Hanya kamu yang kerjakan, bukan lagi karyawan baru."
Aku mengangguk, kembali melempar senyum palsu. Akhirnya benar dugaanku kemarin, aku pasti dikeluarkan.
Kulangkahkan kaki pelan, berjalan menuju ruangan. Sepanjang kumelangkah, beberapa orang memelukku. Ada yang menepuk pundak, mengembangkan senyum simpati. Ada yang berkata, "Sabar, Mas Dani." dan aku cukup membalasnya dengan tersenyum.
Kini aku tepat berada di depan ruangan. Anehnya, pintu yang selama ini selalu terbuka, hari ini malah tertutup. Aku mengetuk kecil pintu itu, perlahan mendorong, kumasuki ruangan dengan hati begitu tak enak.
Tak kudapati siapa-siapa di sana!
Rian kudengar memang cuti hari ini. Sedangkan Feri entah ke mana. Entah masuk, entah cuti, sedari pagi aku tak menemuinya.
Mungkinkah ia dilarang satu ruangan denganku? atau memang sengaja aku disendirikan untuk fokus mengerjakan pekerjaan terakhirku?
Lambat aku melangkah, pelan aku duduki kursiku. Bahkan tanganku pun terasa lemah untuk menghidupkan layar monitor. Benar-benar tak ada semangat!
Gemetar tanganku membaca contoh surat resign yang diberikan Pak Dika tadi. Masih tak percaya, ternyata lakonku cukup sampai di sini. Sekejap aku teringat betapa ringannya tangan ini saat mendaratkan beberapa pukulan pada lelaki itu. Rasa bersalah pun muncul. Terlebih saat mataku terpusat pada foto yang terselip di meja kerjaku. Foto keluargaku.
Nampak ayahku begitu sumringah berfoto dengan anaknya yang telah lulus wisuda. Ia berharap aku menjadi anak yang lebih membanggakan setelah anak perempuannya yang pernah dirasakan mengecewakannya. Tak terasa air mataku luruh ....
"Maafkan anakmu yang mengecewakanmu, Ayah. Maaf, sudah membuat malu di tempat kerjamu dulu." Aku terisak dalam jeritan hati yang begitu membelenggu. Selalu seperti ini jika mengingatnya. Mendadak rapuh. Seperti seorang perempuan, yang gampang sekali bersedih. Memang, aku merasa sangat berdosa belum sempat membahagiakan ayah. Apalagi membuat keadaan memburuk seperti ini. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya perasaan ibu melihatku resign nantinya.
Perlahan kuangkat kaca tebal yang membalut meja kerjaku, mengambil foto itu, kemudian menaruhnya kembali ke dalam tas pinggang.
Ingin kubuat surat resign, tapi kuurungkan. Kubuka program pada komputerku. Masih tampak lagi pemandangan buruk, sisa-sisa kesalahan Feri yang diperbuat. Ini bakal jadi masalah lanjutan buatku. Apalagi di situ tertera kode adminku.
Ah, biarlah! Sekalian kena marah, toh aku juga tak akan lama lagi bekerja di sini.
Kuhela nafas panjang, menyandarkan punggung sambil mengusap raut wajah dengan telapak tangan. Lalu, kutegakkan kembali badanku,mencoba menarik nafas, agar kembali bersemangat.
Kuteguk sedikit teh di meja, kemudian mengalihkan tangan menyentuh mouse ....
*****
Sreett ....
Setirmotor kubelokkan ke sebuah warung kopi di ujung gapura perumahan. Di sana kutemui Yanto yang sedang duduk manis di angkringan. Ia melambaikan tangan padaku. "Tumben," katanya.
Selesai memarkirkan motorku, kudekati dia, mengambil duduk di depannya.
"Kopi asli, opo kopi campur? (kopi asli, apa kopi campur)" tanyanya padaku.
Aku diam sejenak, menyalakan rokok. "Ono kopi campuran, ta? Ojo aneh-aneh! (ada kopi campuran, ya? Jangan aneh-aneh!)" tukasku, sembari kuhembuskan asap rokokku.
Yanto ngakak sambil meninju sedikit lenganku. "Emang onok, Ndeng. (Memang ada) Barangkali mau pedes, kucampuri lombok. Kurang greget lagi, sianida ...." celetuknya konyol sambil terus ngakak. Niat bercanda, tapi sama sekali tak membuatku merasa lucu.
"Wis, kopi ireng'ae siji. (Kopi hitam satu)" pesanku kemudian.
Kuambil HP dari saku, menghidupkan wifi.
Kembali kuhembuskan asap rokokku, merasakan pening yang seakan tak berujung. Ada yang tak biasa hari ini. Adel sama sekali tak memberi kabar. Ingin ku-chat dia, tapi aku tak enak.
Penasaran, kulihat profil WA-nya, siapa tahu aku diblokir. Ternyata tidak! Ia juga tak pernah lahi membuat story. Apa kontakku sudah dihapusnya?
Termenung dalam lamunan, Yanto lalu datang dengan secangkir kopi ditangannya. Ia sodorkan itu padaku.
"Denger-denger, anak itu habis berantem, ya?" bisiknya tiba-tiba. Kembali ia mengambil duduk di tempat semula.
Aku tahu yang Yanto maksud. Pasti Rian! Karena ia tahu aku di pabrik sering bersitegang dengannya.
"Kata siapa?" kucoba balik bertanya, memancingnya.
"Jare tonggone. (kata tetangganya)"
"Emang bilang bagaimana?"
"Yo, wis akeh-akeh (ya,sudah banyak-banyak)." Ia tarik keripik tempe diatasnya, lalu ia sodorkan padaku.
"Kiro-kiro ambek sopo? Ndang karo awakmu, Ndeng.... (kira-kira sama siapa? Jangan-jangan sama kamu)"
Kali ini aku tersenyum, merasa lucu. "Lah, kupingmu yok opo oleh ngrungokno gosip? Nek ngrungokno ojok setengah-setengah, Ndeng. Iso dadi fitnah... (Lah, telingamu bagaimana saat mendengar gosip. Kalo dengerin jangan setengah-setengah. Bisa jadi fitnah)" tukasku. Kuraih kripik tempe di meja yang ia sodorkan barusan, melahapnya.
"Terus ... kok ejek urip, seh? Kok gak mbok pateni-ae! (kok masih hidup, sih? Kok gak kamu bunuh saja)"
"Gendeng!" Kutinju pelan lengan Yanto yang terkekeh melihatku.
Ia masih terkekeh, sambil mengambil tahu pong di meja, menyodorkannya kembali padaku.
"Awak krempeng maneh, sebulen tok'ae lak kawus. Ha ha ha (badan kurus pula, tiup saja nanti juga terbang)" Yanto terus ngakak tak berhenti.
Aku tak menggubrisnya. Sibuk melihat lowongan pekerjaan online.
"Ya gitu, broo.... Mampir laaaah sekali-sekali kemari. Terlalu sibuk kerja bisa bikin stress, iso'ae awakmu wingi stress kurang dolen, mangkakno ndadi (bisa saja kamu kemarin stres kurang main, makanya 'ndadi')"
"Mbok pikir jaran kepang?"
"Lah, opo? Ha ha ha..... "
Kembali tangan Yanto mengambil tahu pong, lagi-lagi menyodorkannya padaku. Melihatnya, membuatku tersedak, tadinya ingin menegurnya malah batuk-batuk tak jelas.
Tangan Yanto kemudian meraih botol fanta, menyodorkannya padaku, "nyooh ... Wenaaaakk, nyess-nyess rasane."
Kutepuk lengannya keras. "Gimana gak laris warungmu? Maksa gitu jualannya. Njiirr ...." akhirnya kuteguk juga fanta merah dingin yang ia beri.
Lama berkutat, mengobrol panjang lebar, tak terasa jam menunjukkan pukul 21.00 WIB.
Kurapatkan jaketku. Membuka dompet ....
"Mau balik? Masih jam segini juga ...."
"Ya, lah. Nggak balik-balik ludes ini dompet, kau palak mulu. Ha ha ha."
"Sini dulu, lah! Jarang-jarang ngobrol juga."
"Masih kurang ngobrol? mulut dari jam lima sore mangap mulu kau tanyain. Besok lagi, kasihan ponakan biasanya belom tidur nungguin aku pulang." Kusodorkan uang lima puluh ribu padanya. Yanto menerimanya.
Kembali kupandang HP, masih juga tak ada story dari WA si Adel. Dia juga online sekarang. Ingin chat, takut dia marah.
"Nyoh, tak sangoni....." Yanto memberi kembalian padaku.
"Lho, masih ada kembalian? Kupikir pas. Kasih kacang aja,deh!" Kukembalikan lagi pecahan itu kepadanya.
Akhirnya malam ini aku pulang dengan sebonggol kacang saset'an di dalam jok.
*****
Prang!!!
Suara seperti pecahan benda kaca itu membuatku segera turun dari motor, berlari bergegas melihat yang terjadi.
Ibu terlihat membanting piring makannya. Nasi dan lauknya berserakan di lantai, tak karuan. Dari sudut Kinara menangis tersedu dalam dekapan mamanya.
Segera aku menghampiri dapur. Memaki kesal.
"Kenapa, sih ... setiap aku pulang selalu ada saja keributan?!"
Ibu berkacak pinggang. Tangannya menunjuk Kinara dengan gusar. "Anak itu ... gara-gara dibawa ayahnya pulang, jadi berani melawan bicara orang tua. Mangkane, aku jiyeembeeekk karo Surya. Gak gedugo ndelok geranganmu! Hayo, muliho maneh rono, gak usah mbalek maneh rene. Bah, cek diingoni larak-larak'an kono ...." (makanya, aku gak suka banget sama Surya. Ilfeel. Hayo, pulanglah lagi ke sana, tak usah kembali lagi ke sini. Biar dikasih makan sampah-sampah sana!)
Kinara semakin tersedu mendekap mamanya. Boby yang sedang menyusu, ikut menangis karena takut.
Hadeeeeehhh! Kubanting tas kerjaku di sofa. Menarik Kinara yang bersembunyi di balik daster Mbak Diah, lalu menggendongnya. "Kinar, di jok sepeda ada kacang banyak. Mau?" kucoba meredam tangis Kinara. Lalu kusuruh Mbak Diah pergi, memintanya untuk masuk ke kamar menidurkan Boby.
Kini tinggal aku, Kinar, dan ibu di dapur.
"Kinar, uthi sudah tua. Membangkang orang tua itu berdosa! Nggak boleh, ya?" bisikku di telinga gadis itu. Kinar terisak, seperti ingin bicara, tapi tak bisa. Kecapekan menangis sepertinya.
Ibu sendiri matanya tengah berkunang. Ia mengambil sapu, mengumpulkan sisa-sisa serpihan piringnya.
"Sudah, biar aku yang memunguti pecahan belingnya. Nanti tangan ibu luka," ujarku lirih.
Ibu duduk di kursi makan. Tiba-tiba tersedu. Aku tahu ibu sangat menyesal memarahi Kinara. Tampak di wajahnya, dan aku hafal betul bagaimana perangainya.
Kuhampiri ibu, lalu berpesan, "Tolong, jangan ulangi lagi! Aku tahu pada siapa ibu kesal. Jangan sangkutkan pada anak-anak. Kasihan! Bentakan dan ucapan kasar akan mengganggu mentalnya. Anak seusia Kinara, daya ingatnya masih tajam. Ibu mau, ia terus mengingat kejadian ini? Bukankah ia cucu ibu? Kebahagiaannya sudah hilang, jangan tambah kesedihannya lagi."
Ibu nampak benar-benar menyesal. Tangannya lalu menggapaiku, hendak mengambil Kinara, tapi Kinar menolak dengan rengekan.
"Sudah, pergilah ke kamar! Sudah malam, biar aku menidurkannya. Nanti aku kirim makan ke kamar ibu. Ibu belum selesai makan, kan?"
Ibu tak menjawab. Menyeka air matanya dengan jilbab yang terkalung di lehernya.
Kudiamkan ibu sejenak, membawa Kinar ke kamarku. Karena lelah menangis, akhirnya ia mudah tertidur. Kutekan saklar kamar. Perlahan menggeletakkannya di kasur.
Fiuuuuhhh....
Kuhela nafas panjang. Kenapa aku jadi terasa berat sekali punya beban? Tak urusan kerja, urusan rumah, urusan perempuan pula.
Kuseka keringat yang mengucur di kening, lantas kembali menghampiri ibu yang masih di dapur. Kuambil sepiring nasi dan lauk, lalu menyodorkannya.
"Aku tak mau makan."
"Bu, jangan seperti anak kecil!"
"Siapa? Kalau ibumu seperti anak kecil, kenapa ibumu yang dibebani oleh kakakmu? Bukankah kakakmu yang seperti anak kecil, karena masih minta diurus sampai sebesar itu?"
Hadeeeehhhh ... aku geleng-geleng kepala.
Kuletakkan piring itu ke meja. Beralih memunguti serpihan piring yang terurai di lantai.
"Cilik wis di gedekno, gede jek dikongkon nggedekno anake. (kecil sudah dibesarkan, sudah besar masih disuruh membesarkan anaknya). Jengkel aku!"
"Bu, ngomongnya kok seperti gak ikhlas, gitu? Itu cucu ibu sendiri! Ngomong kok kayak orang kekurangan duit saja!" Aku ikut tersinggung mendengar ocehan ibu.
"Kalau ibu gak ikhlas, sudah daridulu ibu ungkit. Ibu gak suka sama suaminya. Karena dia sudah seenaknya mempermainkan mbakmu! Karepku iki mbakmu nuruto aku, jual mahalo karo sing lanang. Cek ngerti! Gak ngene di nut, ngunu di nut, toh yo sembarang njagakno mbokne'ae. Duk dekne! (maksud ibu, mbakmu nurutlah sama ibu. Jual mahal sama lakinya. Bukannya begini dianut, begitu dianut. Toh juga semuanya ibunya yang mengurusi. Bukan dia!)"
Aku diam. Masih fokus membereskan serpihan piring. Entahlah, pusing! Salah Mbak Diah juga. Sudah tahu ibunya sensitif, kurang bisa menjaga perasaan orangtua.
Tiba-tiba ... Brugh!
Ibu terhuyung jatuh menimpaku. Spontan aku kaget. Kusentuh badannya panas sekali. Aku gemetaran, bingung bukan main. Kutoleh kesana-kemari dengan tangan masih merengkuh badan ibu. Saking bingung dan panik luar biasanya.
"Mbak ... Mbak Diah!!!"
(Beraambung)
Hai, hallo! Sudah lelahkah anda membaca tulisan saya? Semoga tak jenuh-jenuh, ya
"Tidak, Pak."
"Lalu? Apa kamu menyimpan dendam?"
Aku diam, dan suasana membisu beberapa saat. Kutundukkan kepalaku lesu dengan pikiran yang tak mampu konsentrasi. Kekesalan yang terjadi seakan tiada berujung. Ingin rasanya menyingkir dari ruangan ini, segera.
"Kalau kamu merasa sudah tak nyaman, silahkan kamu mengundurkan diri, Dani! Jangan membuat kerusuhan di lingkungan kerja! Kamu saya suruh sabar sebentar, kenapa sulit sekali? Susah ya, mengontrol emosi meski sebentar saja?"
Pak Dika yang tampak sangat murka membuatku merasa bertambah ingin pergi. Antara malas membahas, juga rasa tak enak hati. Kegusarannya baru pertama kali ini terlihat. Pak Dika memang baik, tak pernah marah. Ia pun mempunyai andil tengah memperjuangkan posisiku agar lebih baik dari sebelumnya. Namun, ia tak tahu seperti apa perasaanku kemarin. Sangat kesal, sama seperti dengan perasaanku sekarang ini. Emosi yang naik-turun tak bisa stabil.
Tak mau lagi memendam masalah, akhirnya kucurahkan semua yang kualami kemarin padanya. Aku tak bercerita mengenai sikap Rian selama ini padaku, karena tanpa kuceritakan, pasti Pak Dika sudah tahu sendiri. Bahkan masih kututupi tentang perbuatan Rian yang pernah membuat sedikit robek pelipisku, padahal sama kejadiannya di tempat kerja. Titik poinnya, hanya bercerita mengenai foto almarhum ayah yang dihinanya.
Siapa yang tak sakit dibegitukan? Kurasa semua orang juga pasti sama jika berada di posisiku.
"Memang kenapa foto Pak Sujiwo kamu ambil?" Pak Dika tegas bertanya padaku. Suaranya melunak, tak setinggi di awal.
Aku diam sejenak, lalu mengalihkan pandangan. Haruskah aku bicarakan tentang Pak Heri padanya? Ah, aku tak mau bermasalah dengan orang tua itu. Cukup pada Rian saja!
"Kau tak mungkin mengambilnya kalau tak disuruh. Aku yakin itu. Memang siapa yang menyuruhmu?" tanyanya lagi, yang membuatku maju-mundur untuk menjawab.
Akhirnya Pak Dika duduk di kursinya, setelah dari tadi berdiri memarahi. Netranya menatap tajam, membuatku kembali menundukkan pandang untuk ke sekian kali.
"Sudahlah, tak usah dijawab! Saya sudah tahu," Pak Dika lalu memberesi beberapa arsip di mejanya, menjadikannya satu pada sebuah holder. Kemudian menaruhnya di laci.
Ia terdiam sejenak, lantas bercerita ... ia memang sengaja tak pernah mengambil bingkai foto almarhum ayah. Ia bahkan berpesan pada office boy agar tak pernah melepas foto itu dari bingkainya, meski jabatannya sudah tergantikan dengan orang lain. Foto itu dijadikannya inspirasi, karena almarhum ayah seorang yang pekerja keras dan selalu baik kepada siapapun. Bahkan setiap ada meeting, selalu almarhum ayah yang ia gambarkan sebagai sosok teladan, sekaligus contoh untuk karyawan/karyawati yang lainnya.
"Hebatnya ayahmu, meski dulu banyak yang ingin menjatuhkannya, almarhum selalu tersenyum tanpa ada rasa dendam. Bahkan merangkul siapa pun mereka yang dengki padanya. Lambat laun, si pendengki luluh hati. Kau tahu, Dan? Sikap buruk, jika dibalas dengan buruk, maka akan terjadi terus keburukan-keburukan yang lain. Tak kan pernah ada ujungnya. Nah, kalau kita terus menanam kebaikan meski keburukan menghinggapi kita, sama halnya kita menjemput kebaikan-kebaikan yang akan datang. Ini ucapan ayahmu yang sampai saat ini saya ingat."
Mendengar ucapan itu, terenyuh rasa hati. Emosi yang panas kini mendingin.
"Sifatnya yang pemurah banyak disegani anak buah. Itulah kenapa saya merasa kehilangan sekali saat almarhum mengajukan pensiun, apalagi telah wafat tak lama setelah itu," pak Dika menerawangkan matanya, membuatku kembali menundukkan kepala. Mendengar kata 'wafat', mendadak mata menjadi berkunang. Sedih pasti jika ada yang membahas almarhum. Merasa durhaka karena belum sempat membahagiakannya, malah membuatnya malu di hadapan banyak rekan kerjanya dulu.
"Saya kecewa karena kamu berbeda sekali dengan ayahmu. Kamu kurang sabar, Dan."
Masih tak kujawab omongan Pak Dika. Tak mampu untuk berkata sementara isi hati terus bergejolak. Benarkah aku kurang sabar?
"Sekarang fokus masalahmu. Sebenarnya saya ingin membantu kamu, tapi maaf ... sepertinya saya tak bisa membuatmu bekerja kembali di sini," Pak Dika menggapit kedua tangannya lurus ke meja. Aku terhenyak, menatapnya nanar, menunggu kepastian omongan dari mulut Pak Dika dengan gemetar.
Kedua mata lelaki itu sayu menatapku, seolah tak enak hati. Ia kemudian berkata lagi, "Pak Heri mulai beberapa hari yang lalu, punya kewenangan memberhentikan karyawan di kantor. Meskipun saya di sini masih atasannya, tapi saya sudah tak bisa membantu kamu lagi, karena memang yang kamu lakukan kemarin fatal, Dani. Membuat kerusuhan di tempat kerja, mencelakakan orang hingga masuk rumah sakit." Tangan Pak Dika kembali membuka laci, mengambil sebuah kertas lalu menyodorkannya padaku.
"Ini sebagai acuan, lebih baik kamu membuat surat re-sign sekarang, daripada kamu dilaporkan kepada pihak yang berwajib atas dugaan penganiayaan," katanya lagi, membuat hidungku terasa tersumbat karena isak tak terbendung.
"Maafkan saya," lirih kuucap kata maaf pada bibirku yang bergetar.
Pak Dika mendekatkan diri padaku, menepuk bahuku berulang kali. "Belajar dari pengalaman. Semoga mendapatkan pekerjaan yang lebih baik!" Ia coba menyemangatiku yang mungkin di matanya tampak rapuh kali ini. Kubalas ucapannya dengan melempar senyum paksa. Ah, sudahlah, memang aku pantas mendapatkannya.
"Jadi, mulai besok saya sudah tak bekerja lagi, Pak?" tanyaku memastikan.
Pak Dika merapatkan bibirnya, menatapku dalam-dalam. "Tentu masih bekerja sampai tanggal 10 ke depan. Nunggu gajian keluar,berarti tiga harian. Kamu selesaikan pekerjaanmu sampai rampung. Hanya kamu yang kerjakan, bukan lagi karyawan baru."
Aku mengangguk, kembali melempar senyum palsu. Akhirnya benar dugaanku kemarin, aku pasti dikeluarkan.
Kulangkahkan kaki pelan, berjalan menuju ruangan. Sepanjang kumelangkah, beberapa orang memelukku. Ada yang menepuk pundak, mengembangkan senyum simpati. Ada yang berkata, "Sabar, Mas Dani." dan aku cukup membalasnya dengan tersenyum.
Kini aku tepat berada di depan ruangan. Anehnya, pintu yang selama ini selalu terbuka, hari ini malah tertutup. Aku mengetuk kecil pintu itu, perlahan mendorong, kumasuki ruangan dengan hati begitu tak enak.
Tak kudapati siapa-siapa di sana!
Rian kudengar memang cuti hari ini. Sedangkan Feri entah ke mana. Entah masuk, entah cuti, sedari pagi aku tak menemuinya.
Mungkinkah ia dilarang satu ruangan denganku? atau memang sengaja aku disendirikan untuk fokus mengerjakan pekerjaan terakhirku?
Lambat aku melangkah, pelan aku duduki kursiku. Bahkan tanganku pun terasa lemah untuk menghidupkan layar monitor. Benar-benar tak ada semangat!
Gemetar tanganku membaca contoh surat resign yang diberikan Pak Dika tadi. Masih tak percaya, ternyata lakonku cukup sampai di sini. Sekejap aku teringat betapa ringannya tangan ini saat mendaratkan beberapa pukulan pada lelaki itu. Rasa bersalah pun muncul. Terlebih saat mataku terpusat pada foto yang terselip di meja kerjaku. Foto keluargaku.
Nampak ayahku begitu sumringah berfoto dengan anaknya yang telah lulus wisuda. Ia berharap aku menjadi anak yang lebih membanggakan setelah anak perempuannya yang pernah dirasakan mengecewakannya. Tak terasa air mataku luruh ....
"Maafkan anakmu yang mengecewakanmu, Ayah. Maaf, sudah membuat malu di tempat kerjamu dulu." Aku terisak dalam jeritan hati yang begitu membelenggu. Selalu seperti ini jika mengingatnya. Mendadak rapuh. Seperti seorang perempuan, yang gampang sekali bersedih. Memang, aku merasa sangat berdosa belum sempat membahagiakan ayah. Apalagi membuat keadaan memburuk seperti ini. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya perasaan ibu melihatku resign nantinya.
Perlahan kuangkat kaca tebal yang membalut meja kerjaku, mengambil foto itu, kemudian menaruhnya kembali ke dalam tas pinggang.
Ingin kubuat surat resign, tapi kuurungkan. Kubuka program pada komputerku. Masih tampak lagi pemandangan buruk, sisa-sisa kesalahan Feri yang diperbuat. Ini bakal jadi masalah lanjutan buatku. Apalagi di situ tertera kode adminku.
Ah, biarlah! Sekalian kena marah, toh aku juga tak akan lama lagi bekerja di sini.
Kuhela nafas panjang, menyandarkan punggung sambil mengusap raut wajah dengan telapak tangan. Lalu, kutegakkan kembali badanku,mencoba menarik nafas, agar kembali bersemangat.
Kuteguk sedikit teh di meja, kemudian mengalihkan tangan menyentuh mouse ....
*****
Sreett ....
Setirmotor kubelokkan ke sebuah warung kopi di ujung gapura perumahan. Di sana kutemui Yanto yang sedang duduk manis di angkringan. Ia melambaikan tangan padaku. "Tumben," katanya.
Selesai memarkirkan motorku, kudekati dia, mengambil duduk di depannya.
"Kopi asli, opo kopi campur? (kopi asli, apa kopi campur)" tanyanya padaku.
Aku diam sejenak, menyalakan rokok. "Ono kopi campuran, ta? Ojo aneh-aneh! (ada kopi campuran, ya? Jangan aneh-aneh!)" tukasku, sembari kuhembuskan asap rokokku.
Yanto ngakak sambil meninju sedikit lenganku. "Emang onok, Ndeng. (Memang ada) Barangkali mau pedes, kucampuri lombok. Kurang greget lagi, sianida ...." celetuknya konyol sambil terus ngakak. Niat bercanda, tapi sama sekali tak membuatku merasa lucu.
"Wis, kopi ireng'ae siji. (Kopi hitam satu)" pesanku kemudian.
Kuambil HP dari saku, menghidupkan wifi.
Kembali kuhembuskan asap rokokku, merasakan pening yang seakan tak berujung. Ada yang tak biasa hari ini. Adel sama sekali tak memberi kabar. Ingin ku-chat dia, tapi aku tak enak.
Penasaran, kulihat profil WA-nya, siapa tahu aku diblokir. Ternyata tidak! Ia juga tak pernah lahi membuat story. Apa kontakku sudah dihapusnya?
Termenung dalam lamunan, Yanto lalu datang dengan secangkir kopi ditangannya. Ia sodorkan itu padaku.
"Denger-denger, anak itu habis berantem, ya?" bisiknya tiba-tiba. Kembali ia mengambil duduk di tempat semula.
Aku tahu yang Yanto maksud. Pasti Rian! Karena ia tahu aku di pabrik sering bersitegang dengannya.
"Kata siapa?" kucoba balik bertanya, memancingnya.
"Jare tonggone. (kata tetangganya)"
"Emang bilang bagaimana?"
"Yo, wis akeh-akeh (ya,sudah banyak-banyak)." Ia tarik keripik tempe diatasnya, lalu ia sodorkan padaku.
"Kiro-kiro ambek sopo? Ndang karo awakmu, Ndeng.... (kira-kira sama siapa? Jangan-jangan sama kamu)"
Kali ini aku tersenyum, merasa lucu. "Lah, kupingmu yok opo oleh ngrungokno gosip? Nek ngrungokno ojok setengah-setengah, Ndeng. Iso dadi fitnah... (Lah, telingamu bagaimana saat mendengar gosip. Kalo dengerin jangan setengah-setengah. Bisa jadi fitnah)" tukasku. Kuraih kripik tempe di meja yang ia sodorkan barusan, melahapnya.
"Terus ... kok ejek urip, seh? Kok gak mbok pateni-ae! (kok masih hidup, sih? Kok gak kamu bunuh saja)"
"Gendeng!" Kutinju pelan lengan Yanto yang terkekeh melihatku.
Ia masih terkekeh, sambil mengambil tahu pong di meja, menyodorkannya kembali padaku.
"Awak krempeng maneh, sebulen tok'ae lak kawus. Ha ha ha (badan kurus pula, tiup saja nanti juga terbang)" Yanto terus ngakak tak berhenti.
Aku tak menggubrisnya. Sibuk melihat lowongan pekerjaan online.
"Ya gitu, broo.... Mampir laaaah sekali-sekali kemari. Terlalu sibuk kerja bisa bikin stress, iso'ae awakmu wingi stress kurang dolen, mangkakno ndadi (bisa saja kamu kemarin stres kurang main, makanya 'ndadi')"
"Mbok pikir jaran kepang?"
"Lah, opo? Ha ha ha..... "
Kembali tangan Yanto mengambil tahu pong, lagi-lagi menyodorkannya padaku. Melihatnya, membuatku tersedak, tadinya ingin menegurnya malah batuk-batuk tak jelas.
Tangan Yanto kemudian meraih botol fanta, menyodorkannya padaku, "nyooh ... Wenaaaakk, nyess-nyess rasane."
Kutepuk lengannya keras. "Gimana gak laris warungmu? Maksa gitu jualannya. Njiirr ...." akhirnya kuteguk juga fanta merah dingin yang ia beri.
Lama berkutat, mengobrol panjang lebar, tak terasa jam menunjukkan pukul 21.00 WIB.
Kurapatkan jaketku. Membuka dompet ....
"Mau balik? Masih jam segini juga ...."
"Ya, lah. Nggak balik-balik ludes ini dompet, kau palak mulu. Ha ha ha."
"Sini dulu, lah! Jarang-jarang ngobrol juga."
"Masih kurang ngobrol? mulut dari jam lima sore mangap mulu kau tanyain. Besok lagi, kasihan ponakan biasanya belom tidur nungguin aku pulang." Kusodorkan uang lima puluh ribu padanya. Yanto menerimanya.
Kembali kupandang HP, masih juga tak ada story dari WA si Adel. Dia juga online sekarang. Ingin chat, takut dia marah.
"Nyoh, tak sangoni....." Yanto memberi kembalian padaku.
"Lho, masih ada kembalian? Kupikir pas. Kasih kacang aja,deh!" Kukembalikan lagi pecahan itu kepadanya.
Akhirnya malam ini aku pulang dengan sebonggol kacang saset'an di dalam jok.
*****
Prang!!!
Suara seperti pecahan benda kaca itu membuatku segera turun dari motor, berlari bergegas melihat yang terjadi.
Ibu terlihat membanting piring makannya. Nasi dan lauknya berserakan di lantai, tak karuan. Dari sudut Kinara menangis tersedu dalam dekapan mamanya.
Segera aku menghampiri dapur. Memaki kesal.
"Kenapa, sih ... setiap aku pulang selalu ada saja keributan?!"
Ibu berkacak pinggang. Tangannya menunjuk Kinara dengan gusar. "Anak itu ... gara-gara dibawa ayahnya pulang, jadi berani melawan bicara orang tua. Mangkane, aku jiyeembeeekk karo Surya. Gak gedugo ndelok geranganmu! Hayo, muliho maneh rono, gak usah mbalek maneh rene. Bah, cek diingoni larak-larak'an kono ...." (makanya, aku gak suka banget sama Surya. Ilfeel. Hayo, pulanglah lagi ke sana, tak usah kembali lagi ke sini. Biar dikasih makan sampah-sampah sana!)
Kinara semakin tersedu mendekap mamanya. Boby yang sedang menyusu, ikut menangis karena takut.
Hadeeeeehhh! Kubanting tas kerjaku di sofa. Menarik Kinara yang bersembunyi di balik daster Mbak Diah, lalu menggendongnya. "Kinar, di jok sepeda ada kacang banyak. Mau?" kucoba meredam tangis Kinara. Lalu kusuruh Mbak Diah pergi, memintanya untuk masuk ke kamar menidurkan Boby.
Kini tinggal aku, Kinar, dan ibu di dapur.
"Kinar, uthi sudah tua. Membangkang orang tua itu berdosa! Nggak boleh, ya?" bisikku di telinga gadis itu. Kinar terisak, seperti ingin bicara, tapi tak bisa. Kecapekan menangis sepertinya.
Ibu sendiri matanya tengah berkunang. Ia mengambil sapu, mengumpulkan sisa-sisa serpihan piringnya.
"Sudah, biar aku yang memunguti pecahan belingnya. Nanti tangan ibu luka," ujarku lirih.
Ibu duduk di kursi makan. Tiba-tiba tersedu. Aku tahu ibu sangat menyesal memarahi Kinara. Tampak di wajahnya, dan aku hafal betul bagaimana perangainya.
Kuhampiri ibu, lalu berpesan, "Tolong, jangan ulangi lagi! Aku tahu pada siapa ibu kesal. Jangan sangkutkan pada anak-anak. Kasihan! Bentakan dan ucapan kasar akan mengganggu mentalnya. Anak seusia Kinara, daya ingatnya masih tajam. Ibu mau, ia terus mengingat kejadian ini? Bukankah ia cucu ibu? Kebahagiaannya sudah hilang, jangan tambah kesedihannya lagi."
Ibu nampak benar-benar menyesal. Tangannya lalu menggapaiku, hendak mengambil Kinara, tapi Kinar menolak dengan rengekan.
"Sudah, pergilah ke kamar! Sudah malam, biar aku menidurkannya. Nanti aku kirim makan ke kamar ibu. Ibu belum selesai makan, kan?"
Ibu tak menjawab. Menyeka air matanya dengan jilbab yang terkalung di lehernya.
Kudiamkan ibu sejenak, membawa Kinar ke kamarku. Karena lelah menangis, akhirnya ia mudah tertidur. Kutekan saklar kamar. Perlahan menggeletakkannya di kasur.
Fiuuuuhhh....
Kuhela nafas panjang. Kenapa aku jadi terasa berat sekali punya beban? Tak urusan kerja, urusan rumah, urusan perempuan pula.
Kuseka keringat yang mengucur di kening, lantas kembali menghampiri ibu yang masih di dapur. Kuambil sepiring nasi dan lauk, lalu menyodorkannya.
"Aku tak mau makan."
"Bu, jangan seperti anak kecil!"
"Siapa? Kalau ibumu seperti anak kecil, kenapa ibumu yang dibebani oleh kakakmu? Bukankah kakakmu yang seperti anak kecil, karena masih minta diurus sampai sebesar itu?"
Hadeeeehhhh ... aku geleng-geleng kepala.
Kuletakkan piring itu ke meja. Beralih memunguti serpihan piring yang terurai di lantai.
"Cilik wis di gedekno, gede jek dikongkon nggedekno anake. (kecil sudah dibesarkan, sudah besar masih disuruh membesarkan anaknya). Jengkel aku!"
"Bu, ngomongnya kok seperti gak ikhlas, gitu? Itu cucu ibu sendiri! Ngomong kok kayak orang kekurangan duit saja!" Aku ikut tersinggung mendengar ocehan ibu.
"Kalau ibu gak ikhlas, sudah daridulu ibu ungkit. Ibu gak suka sama suaminya. Karena dia sudah seenaknya mempermainkan mbakmu! Karepku iki mbakmu nuruto aku, jual mahalo karo sing lanang. Cek ngerti! Gak ngene di nut, ngunu di nut, toh yo sembarang njagakno mbokne'ae. Duk dekne! (maksud ibu, mbakmu nurutlah sama ibu. Jual mahal sama lakinya. Bukannya begini dianut, begitu dianut. Toh juga semuanya ibunya yang mengurusi. Bukan dia!)"
Aku diam. Masih fokus membereskan serpihan piring. Entahlah, pusing! Salah Mbak Diah juga. Sudah tahu ibunya sensitif, kurang bisa menjaga perasaan orangtua.
Tiba-tiba ... Brugh!
Ibu terhuyung jatuh menimpaku. Spontan aku kaget. Kusentuh badannya panas sekali. Aku gemetaran, bingung bukan main. Kutoleh kesana-kemari dengan tangan masih merengkuh badan ibu. Saking bingung dan panik luar biasanya.
"Mbak ... Mbak Diah!!!"
(Beraambung)
Hai, hallo! Sudah lelahkah anda membaca tulisan saya? Semoga tak jenuh-jenuh, ya

Diubah oleh shirazy02 03-12-2019 22:47
erman123 dan 25 lainnya memberi reputasi
26
Tutup